Pages

Interpretif: Action Theories


Seri:  Hey, Who are you ?


INTERPRETIF : ACTION THEORIES

Melalu Intereksionisme Simbolik (IS) menunjukkan jenis-jenis aktivitas manusia yang unsur-unsurnya memandang penting  untuk memusatkan perhatian dalam rangka memahami kehidupan sosial. IS menekankan bahwa interaksi adalah proses interpretif dua arah. Salah satu konstribusi utama IS bagi teori tindakan adalah elaborasi dan menjelaskan berbagai akibat interpretasi terhadap orang lain terhadap identitas sosial individu yang menjadi objek interpretasi.


Konstruksi Citra Diri “Self Image”
Pengaruh interaksionisme ini menggunakan pandangan bahwa menggunakan interpretasi orang lain sebagai  kesadaran identitas kita. Tidak lain adalah produk dari cara orang lain berpikir tentang kita. Kepribadian dikonstruksi dengan menggunakan interpretasi.


Kita bertemu dengan banyak orang, semua menanggapi kelakuan kita “sesuai” dengan simbolisasi yang kita bangun. Mereka mengintrepretasikan perilaku kita sesuai dengan “bukti” yang tersedia dan kemudian mengambil tindakan “bertindak”.


Contoh : Kemampuan siswa dipengaruhi oleh penilaian guru. Penilaian guru terhadap citra, yang duduk di depan berprilaku “sopan”,”rajin”, “pintar “ dan “baik” sedangkan yang duduk dibelakang berkebalikannya. ( Fenomena ini cukup status quo dalam mindset pendidikan mirip dengan gambar gunung-gunung-sawah-matahari-jalan pada tingkat dasar J)


IS berpendapat bahwa kerapkali yang menjadi persoalan bukanlah apakah interpretasi itu benar, melainkan dampaknya terhadap penerimanya. Dalam hal ini, sekalipun murid-murid berpotensi sama untuk maju tapi guru memutuskan mereka tidak sama dan akibatnya mereka diperlakukan berbeda. Barisan depan di dorong untuk terus rajin belajar, memvapai potensi tertingginya sementara  yang berada di belakang (duduk barisan di belakang) di awasi kelakuannya. Karena kata guru “ia/mereka kurang mampu”.  Penilaian guru dikonfirmasi murid dan menjadi kenyataannya. Ketidakadilan interpretasi ini mendorong “penerima” untuk berafirmasi memandang dirinya.

( mirip dengan kondisi mental negara/bangsa Indonesia, afirmasi terhadap kondisi label “terbelakang/tidak mampu”)



Akting Sosial : penghadiran diri dalam kehidupan sehari-hari

Pengaruh orang lain baru separuh dari proses interaksi yang ditekankan oleh IS. Jauh dari isu kepribadian manusia yang dikonstruksi secara pasif oleh orang lain. IS menekankan peran aktif yang dimainkan manusia dalam penciptaan diri sosial (social selves) mereka. Kemampuan interpretif kita memungkinkan kita untuk memanipulasi interpretasi ini sesuai dengan pandangan kita terhadap diri kita sendiri. Kita memainkan peranan dalam cara kreatif agar orang lain berpikir dan berespons tentang kita menurut yang kita hendaki. Akibatnya kita mengelola irama, respons-respons dengan cara menghadirkan citra kita sedemikian rupa, menjadi aktor hkital diatas panggung kehidupan.


Ahli teori IS dengan penekanan permainan kreatif ini adalah Erving Goffman (Presentation of Self in everyday life (1969). Bagi Goffman dan rekan-rekan interaksionis lainnya, sosialisasi biasanya adalah tentang kemenangan kapasitas kreatif individu atas reaksi orang lain.


Teori Labelling merupakan prespektif yang lahir dari IS ini. Teori labeling kurang tertarik pada cara-cara di mana orang dapat mempengaruhi interpretasi orang lain tentang diri mereka sendiri dibandingkan jenis-jenis interaksi di mana tidak ada kesempatan tersebut. Teori Labeling terutama tertarik pada fakta bahwa manusia kadang-kadang menjadi korban interpretasi atau label orang lain selama identitas sosial mereka dapat dipengaruhi atau bahkan menenteng kehendak mereka. Akibatnya manusia kerap kali ber “putus asa”, mengapa hal ini terjadi ? Mengapa kita harus menemukan diri kita sendiri dalam situasi sosial dimana kita tidak bisa memanipulasi interpretasi orang lain ?



Teori Labelling merupakan hal yang berlawanan dengan “citra diri (self-image)”. Kadang-kadang kita dapat memprotes label yang salah tetapi terhambat oleh para penafsir. Malahan kadang-kadang protes tersebut sebagai konfirmasi  maupun penegasan atas kepantasan label itu. Jika kita di diagnosis “sakit jiwa”  (dalam kondisi masyarakat mainstream ini) oleh para penafsir meski kita membantah bahwa kita-kita waras apalagi dengan situasi meninggi seperti marah justru tidak lagi mempertegas bahkan memperbesar kemungkinan kita dikirim ke rumah sakit jiwa. Karena katanya, “orang normal tidak akan bertindak begitu”. Akhirnya ketika kita mencoba metode yang lain untuk meyakinkan kita tidak gila dengan bersabar dan tidak menghiraukan tuduhan itu, berusaha se”normal” mungkin, kita tetap saja akan dikonfirmasi sakit jiwa. Kata mereka, “tidak ada orang normal  tenang-tenang saja seperti itu.” (hahahahahaaa, para penafsir sudah siap dengan segala kemungkinan respon kita)


Pembahasan interaksionis klasik Goffman tentang perilaku mengumpulkan benda-benda buangan (hoarding) pasien gangguan jiwa dalam Asylum (1968) adalah contoh baik tentang ciri-ciri pelaku “normal” tatkala label “abnormal” diterapkan. Segala benda buangan seumpama potongan kain, karet, dan puntung rokok dikumpulkan dan menjadi “milik berharga” sebagian pasien, dan mereka marah apabila benda-benda itu diambil atau disingkirkan dari mereka. Dikatakan bahwa perilaku itu adalah cerminan kecemasan yang mendalam dan ketidakstabilan emosi dalam diri pasien.

Goffman menentang analisi itu, berpendapat bahwa analisis itu hanya cocok dari sudut pandang orang di luar rumah sakit (normal) di mana benda-benda “tak berguna” itu selalu ada dimana-mana. Tetapi di dalam institusi (pandangan pasien) benda-benda buangan itu sangat sulit terlihat, berharga sehingga pantas apabila disimpan dengan sangat hati-hati karena kurangnya privasi.

Teori Labelling berpendapat bahwa kadang-kadang proses labell itu berlebihan karena sang korban salah interpretasi itu tidak dapat melawan dampaknya terhadap dirinya. Berhadapan dengan label yang diterapkan dengan kuat, citra diri orang yang dilabel itu dapat runtuh. Seperti akibat labeling sebelumnya “ketepatan/kebenaran” suatu label tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kekuasaan dari dampaknya. Label tersebut menjadi realitas baik penafsir (pe-label) maupun yang dilabeli. Edwin Lemert (konstruksi sosial paranoia 1967) menyebut istilah “persekongkolan label” dimana yang terlabeli sadar dirinya sedang ditindas oleh suatu persekongkolan. Fakta bahwa inilah yang terjadi tidak akan mempengaruhi orang-orang yang melabel menegaskan penilaiannya.

Teori Labelling memandang hubungan antara orang yang membuat label dan yang dilabel di daerah kehidupan sosial itu secara essensial adalah kekuasaan. Sebagai kebalikan dari pandangan konvensional, korban adalah underdog yang dibentuk menjadi kriminal, sedangkan pelaku kesalahan adalah overdog yang lebih berkuasa yang menindas mereka yang tak mempunyai kuasa.

Teori labeling berpendapat tentang “kejahatan” mencerminkan kekuasaan dalam masyrarakat. Sesungguhnya konstruksi aturan hukum itu adalah tindakan politik. Misalnya “eksploitasi buruh” dan menghisap mariyuana tetapi membayar pajak yang besar.  Posisi IS tidak hanya pada definisi tindak illegal tetapi juga mempengaruhi penyelidikan tentang kejahatan. Hampir semua kasus pencurian mobil dilaporkan ke pihak kepolisian karena itulah satu-satunya cara untuk mendapat klaim kompensasi dari asuransi tetapi kasus yang lain menunjukkan angka yang rendah karena kurang yakin atas kemampuan/kemauan pihak kepolisian.

Sekali stereotyping diterapkan eksistensi label tersebut meresap dalam diri dan menjadi bagian dari identitasnya sehingga membuat aktivitas berbeda di masa depan menjadi sukar, karena para penafsir akan memperlakukannya seperti labelnya (menjadikan label staus quo). Proses pemaksaan ini menjadi manusia yang menyimpang  karena reaksi orang lain dikenal sebagai deviant amplification.


Etnometodologi
Etnometodologi mendorong kasus teori tindakan, bahwasannya realitas sosial itu adalah kreasi para pelaku hingga ke tapal batas. Secara harfiah etnometodologi berarti “metode orang”. Sasarannya adalah mengungkapkan metode yang digunakan oleh partisipan “warga” suatu tataran sosial untuk berkomunikasi. Minat ini berasal dari fenemonologi (gerak bolak balik subjek <-> fenomena) menekankan bahwa kejadian tidak memiliki makna sendiri  tetapi manusialah yang membuatnya bermakna.

Etnometodologi menekankan bahwa setiap situasi sosial itu unik, kata-kata yang diucapkan atau tindakan yang dilakukan adalah indeksikal artinya hanya pada kesempatan/waktu tertentu  ketika mereka menggunakan. Pengetahuan akal sehat jarak-jarak perbedaan persepsi orang lain tentang kejadian di dekatkan dengan cara yang sama oleh pendengar-pendengar yang berbeda.
  
Harvey Sacks memberi  contoh tentang hal tersebut. Misalnya mendengar/melihat kalimat di bawah ini :
Anak itu menangis
Ibu menggendongnya.







Apa yang muncul di benak kita? asumsi yang kemudian muncul tentang dua kejadian “ibu dari sang anak (menggendong anak itu karena ia menangis)”. Ini membuktikan munculnya interpretasi yang sama dari pembaca/pendengar yang berbeda-beda dan kemudian menjadikannya masuk akal.



  
n  (disadur, di tambah, paraphrase, edit,  sensor dari P.Jones mengingat ada “content” yg membutuhkan filter 141-167)







Korban-korban interpretasi. Merupakan kosa kata yang mungkin agak hilang dari kosa kata kita. Konstruksi sosial ini didasarkan logika umum yang coba di buatkan track/rel oleh keadaan status quo dengan bermacam maksud. Keadaan “self image” bisa berkutub dua selain menyenangkan bagi para penjaga status quo mainstream dia pun menjaganya. “Self-image” bagi individu inilah lakon yang harus dijalankannya di panggung sandiwara ini, kadang berusaha menolak/berontak tetapi akan menimbulkan kontraksi legitimasi ataupun menciderai saraf karakter yang melekat akhirnya kehabisan followers/pendengar/pengagum. Sebuah kesibukan personal yang melelahkan. Hal yang lebih mikro bahwa label begitu kuat daya harmonisasi pembentukan mindset/interpretasi. Sebuah karakter yang di bangun dan di bunuh pada saat yang bersamaan. Sebuah konsekuensi fenomena dari masyarakat pemuja Cover dalam era masyarakat ber-jejaring. “Socially constructed as a table, become a table forever.”



Tindakan memesis/menirupun merupakan suatu daya kreasi terciptanya individu lebih lanjut disamping lakon yang harus dipakai untuk sebuah posisi pekerjaan. Tidak jarang tanpa kita sadari kita menggunakan logika, cara/istilah berbicara (intonasi/substansi), maupun gesture dari orang yang kita idolakan, orang yang  sering kita lihat (bisa di TV,internet dsbnya), afirmasi subordinasi kita atas orang/kumpulan orang yang berbicara pada kita (kekaguman tersembunyi)  (baca: bayang-bayang) yang kadang mereduksi  identitas kita atau bahkan jauh melampaui apa yang kita harapkan ketika berkomunikasi. Kita menjadi tidak terkontrol dalam artian kita bukan kita yang kita kenal. it kills us beside they kill you with label.



Terkadang lucu juga membayangkan, seorang hakim misalnya. Pada malam hari memakai baju “piyama” untuk tidur kemudian pada pagi hari besiap ke kantor memakai baju “dinas” sebutlah PDH (pakaian dinas harian), sebelum persidangan dimulai memakai “jubah”. Persidangan lokasi kursi diatur sedemikian rupa, dihadiri seorang terdakwa, ada kelompok penuntut dan pembela serta para audience yang datang dari bermacam arah, hakim itu mengetuk palu untuk menentukan nasib terdakwa (memutuskan terdakwa dengan hukuman 2 tahun penjara ). Persidangan selesai ia pun kembali melepaskan “jubah” kembali terlihat PDH, sesampai dirumah menggantinya dengan baju “kaos” makan dan bercanda bersama kawan-kawan sejawat di ruang tamu sebelum beralih ke “piyama” untuk beraktivitas di tempat tidur.

piyama –> PDH -> Jubah (kekuasaan menentukan nasib) -> kaos -> piyama.  Suatu sandiwara yang indah bagi manusia ber piyama itu dan nasib yang kurang beruntung bagi pencuri becak yang menjadi terdakwanya ditentukan nasib oleh si piyama super. Bertepuk tanganlah atas sebuah keberhasilan…..

Tulisan ini bukan dalam rangka penyebaran semangat interpretatif subjektif, tetapi sebagai pengetahuan tambahan dimana logika mainstream bermain untuk emansipasi lebih lanjut, misalnya represi dalam normalisasi fenomena pendidikan dengan memakai fenomenologi ataupun level "se;f-image" yg menjadi penyangga kokoh konsumerism dan penyeragaman lainnya.












                                                                                         



Kembali di sebuah malam di sebuah Juli di sebuah tempat bernama jogja di sebuah tahun 2012 – with Coldplay – life in technicolor

Kula

Edisi : yang terlupakan
Seri : belajar kehidupan (kritik mainstream)


Kula

Bronislaw Malinowski merupakan antropolog lapangan pertama yang melakukan penelitian lapangan dengan waktu yang lama. Selama 4 tahun (1915-1918) ia tinggal di tengah penduduk Kepulauan Trobriand, pulau-pulau koral kecil sebujur pantai Papua Nugini . Beberapa buku ia terbitkan namun yang terkenal (the best lah) adalah Argonauts of the Western Pasific (1922).


Buku ini membicarakan secara rinci institusi tukar menukar hadiah yang disebut Kula yang dilakukan orang dikalangan Trobriand dan orang-orang dari pulau (suku) lain yang tinggal di pulau-pulau sekitar. Malinowski menguraikan :

“ Kula adalah suatu bentuk pertukaran antar suku yang meluas; dilakukan oleh komunitas-komunitas yang menghuni lingkaran pulau-pulau yang luas wilayahnya yang membuat sirkuit tertutup…. Di sepanjang rute ini, dua macam barang dan hanya dua macam ini, secara tetap bergerak  dengan arah yang berlawanan. Menurut arah jarum jam, gerakan secara  konstan suatu macam barang – kalung-kalung panjang terbuat dari kulit kerang merah, yang disebut soulava . Menurut arah yang berlawanan, bergerak semacam barang yang lain – gelang-gelang terbuat dari kerang putih yang disebut mwali.


Kedua benda ini masing-masing dalam arah perjalanannya di sepanjang sirkuit tertutup bertemu dengan barang-barang lain dari kelas yang berbeda  dan pada saat itu dipertukarkan. Di setiap pulau dan disetiap desa, laki-laki dalam jumlah yang terbatas terlibat dalam kegiatan kula – maksudnya, menerima barang-barang memilikinya untuk beberapa lama, kemudian secara berkala meski tak teratur, menerima salah satu dari beberapa mwali, atau kalung soulava dan kemudian menyerahkan kepada rekannya dan pada saat itu ia menerima komoditas yang berlawanan dalam kegiatan pertukaran itu. Jadi, tak satu orang yang menyimpan atau memiliki soulava atau mwali itu dalam waktu yang lama.” (Malinowski 1922: 82-83)


Barang bernilai tersebut memungkinkan orang Trobriand dan masyarakat tetangga memperoleh prestige. Namun, mereka melakukakannya dengan cara yang berbeda. Dalam Kula tidak ada keuntungan/prestige yang melekat pada kebiasaan menyimpan barang berharga yang dalam Thorstein Veblem 1970, memperkenalkan istilah “konsumsi pamer” yang sangat mudah dijumpai dalam masyarakat modern.


Anda akan dikagumi karena dua alasan. Pertama, karena anda dipilih oleh mitra Anda sebagai penerima barang berharga, tidak memilih mitra lain. Kedua, karena anda dapat menunjukkan kebesaran hati dengan menyerahkan kembali barang berharga itu untuk diedarkan kembali.  Sebagaimana dikatakan Malinowski :
“ Pemilikan dalam kula, adalah hubungan ekonomi yang khusus. Seseorang yang berada dalam kula tak pernah menyimpan suatu barang lebih dari – katakanlah – setahun atau dua tahun. Pemilikan sementara itu juga jarang menyebabkan orang yang bersangkutan barang tersebut dan ia tetap menjalankan kewajiban itu hingga kemudian menyerahkan kepada salah satu mitranya.” (Malinowski 1922)


Dalam hal ini, kehormatan sosial tidak melekat pada perolehan untuk dimiliki. Tujuan dari mencapai keinginan bukanlah untuk memiliki sesuatu secara alamiah diharapkan untuk berbagi dengan orang lain, menyebarkannya, menjadi pengemban amanah dan pemberi amanah…. gejala penting agar berkuasa adalah menjadi kaya dan kaya dalam konteks ini berarti kemuliaan dan kemurahan hati….. semakin penting dia, semakin dia gandrung menunjukkan kemurahan hatinya itu” (Malinowski 1922, hal.97)


Nampaknya inilah jawaban tentang kula. Kula adalah “pameran kemurahan hati” menurut parody Veblen. Triobrand juga ingin dianggap penting dan berkuasa tetapi mereka menggunakan cara lain untuk melakukannya. Dari sudut pandang individu orang Trobriand inilah hampir kesuluruhan dari cerita, bagi mereka, kula adalah institusi yang dibangun untuk memperoleh status.


Karena banyaknya kula terjadi antara mitra-mitra yang tinggal di pulau-pulau yang bermil-mil jauhnya, eksistensinya memungkinkan hubungan ekonomi dan politik di antara orang-orang, yang kalau tidak mereka mungkin tidak akan bertemu. Hasilnya adalah integrasi politik dan ekonomi antar pulau. Eskpedisi dari satu pulau ke pulau lain bukanlah semata akibat dari pertukaran kula tetapi kegiatan barter barang-barang bukan kula. Menurut Malinowski inilah fungsi laten dari kula memungkinkan fungsi ekonomi perdagangan  antar pulau yang warga masyarakat sendiri tidak menyadari.


“saling berdampingan dengan pertukaran ritual soulava dan mwali, penduduk membawa barang dagangan biasa, menukarkannya dari satu pulau ke pulau yang lain sejumlah besar barang, seringkali tak tertampung di daerah itu, barang-barang dari luar dan tak dapat digantikan.” (Malinowski 1922:83)


Fakta menunjukkan terdapat fungsi politik kula dengan telah dibangunnya interaksi sosial jarak jauh dengan menghubungkan masyarakat Trobriand dengan masyarakat lain yang berjauhan.
“Rata-rata seseorang mempunyai beberapa mitra dekat, dengan mitra ini ia pada umumnya sangat bersahabat, mitra jauh di pulau sana, di pihak lain, adalah tuan rumah, pelindung, dan sekutu dalam keadaan berbahaya dan tidak aman.” (Malinowski 1922: 91-2)
“ Kula adalah institusi yang sangat besar dan kompleks. Kula menjalin bersama sejumlah suku bangsa, dan mencakupi suatu kompleks besar kegiatan, saling berkaitan dan bekerja sama satu sama lain, sehingga membentuk suatu keseluruhan organic.” (Malinowski 1922:83)


Melalui Singh Uberoi melanjutkan penelitian Malinowski berpendapat kalau totem pada orang Arunta (suku Aborigin di Australia yang hidup dalam Band (kelompok domestik/klen), totem merupakan simbol objek yang sakral yang mempersatukan (integrasi sosial) anggota-anggota Band karena merasakan kertegantungan mereka saling tolong menolong dan saling menjaga  dalam karya Durkheim “The Elementary Forms of Religious Life (1976)”) akhirnya mereka tergantung, maka kula mendorong orang Trobriand untuk berpikir tentang masyarakat secara totalitas, bukan suatu kumpulan kekerabatan yang bersaing.


Kula memperluas masyarakat politik keluar dari daerahnya dengan secara berkala mengaktifkan hubungan-hubungan yang mengikat individu dengan anggota lain dalam kelompok dan menekankan kembali kewajibannya pada mitra kulanya, yang kalau tidak niscaya berhadapan satu sama lain sebagai oposisi.  Dalam ekspedisi kula setiap individu berdiri sendiri-sendiri berhadapan satu sama lain tetapi karena setiap orang menyalurkan kepentingan pribadinya melalui ikatan mitra kula yang disebut sebagai mitra kula, ia tidak lagi berdiri sendiri, tetapi terikat dalam kekerabatan, puncak tertinggi dari kepentingan individual dan juga kepentingan asosiasi politik yang luas dimana mereka semua terlibat.” (Singh Uberoi 1962: 159-60)



n  Disadur dalam P.Jones (2003: 60-65)






Semoga risalah diatas menemui pembacanya yang budiman dan mengajaknya bermain dan menari-nari di dalam kegirangan yang sunyi.


Hubungan Internasional, sosiologi, ekonomi, politik mereka terapkan dengan sangat manis dan nikmat. Sebuah hal langka dalam kehidupan dengan nafas logika mainstream dehumanisasi yang mengaburkan realitas bahkan menkonstruksinya satu arah, altruistik dikalkulasi, mendera bermilyar umat dimana pengakuan kecerdasan intelektual membuat blok sendiri tak tertembus, meminggirkan dan menghardik bermacam rendah, ketidakmampuan, kebodohan dan kemiskinan sambil mendendangkan kemuliaan dan kemudian berlari mengolok yang lambat berjalan. Tetapi ini exist dan real.

Tulisan ini tidak membawa serta semangat fungsionalisme objektivist sosiologi, hanya menambah perbendaharaan pengetahuan tentang praxis/praktek yang dianggap tradisional dalam seri melawan arus logika mainstream.



Please, switch ON your human mind and soul
(Sebaiknya di baca pada malam hari, dimana kesadaran mencapai puncak tertingginya dan baju kebesaran telah anda tanggalkan untuk bersiap memakainya kembali pada pagi hari dengan manis)


2012 (today) – 1922 (buku) = 90 tahun lalu 
 if l’historie se repetete for the next hundred years, I hope the logics of story part become mainstream




Because we have small and weak memory to remember, thus we re-write.
Because nobody is listening, thus we re-write.
Because this knowledge will be eliminated by mainstream, thus we re-write.
Because life is so short and world maybe run for a long time, thus we re-write.
For the story will be live forever







(2a.m) Di sebuah Juli 2012 yang hening dan lapar di kota yang bernama Jogjakarta with Coldplay - Yes
n  yes  right, I’m what you thought - 

Materialisme – Dialektik– Historisme

                                                                                        Jogja 28 june 2012


Materialisme – Dialektik– Historisme
Dari buku Problem Filsafat Edisi Kolektor (bukunya Gun)
oleh Martin Suryajaya


“Materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis, sedang dialektika adalah metode-nya” sedangkan “materialisme historis adalah penerapan atau pengenaan materialisme dialektik ke alam sejarah manusia”—demikian tutur Njoto dalam kuliahnya di tahun 1961.

 Kedua pernyataan tersebut dapat kita uraikan dalam tiga pokok pengertian: materialisme, dialektika dan historisitas. Melalui uraian atas pokok-pokok ini kita akan mengerti apa yang dimaksud sebagai “berpikir dengan pendekatan materialisme dialektis dan historis”.

1. Materialisme
Seperti kita ketahui secara umum, materialisme pada mulanya merupakan gugus pengertian bahwa materi (ikhwal indrawi) adalah hakikat dari realitas. Marx merubah pandangan umum ini. Baginya, materialisme macam itu hanya benar untuk materialisme klasik hingga abad ke-18. Dalam Tesis pertamanya tentang Feuerbach, Marx menunjukkan pengertian baru dari materialism.


Materialisme sebelum Marx hanya memahami materi sebagai obyek indrawi belaka. Pengertian ini tak mampu menyadari bahwa obyek-obyek material itu adalah juga hasil dari aktivitas subyektif manusia. Sentralitas pada obyek ini dibalikkan oleh Marx dengan menunjukkan peran sentral subyek, manusia, dalam konstitusi materialitas hal-ikhwal. Dengan pendekatan yang dapat disebut sebagai “materialisme subyektif” inilah Marx lantas dapat menunjukkan sesuatu, selain obyek material, yang konstitutif terhadap realitas. Sesuatu itu tak lain adalah KERJA.


Pengertian Marx tentang materialisme ini merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah pemikiran. Pengertian ini pulalah yang, dalam tafsir Etienne Balibar, untuk pertama kalinya mampu melepaskan materialisme dari idealisme. Selama materialisme hanya berhenti pada primasi pada materi sebagai esensi realitas, maka materialisme itu tak akan lebih dari “idealisme terselubung” (disguised idealism). Berdasarkan konseptualisasi Marx yang baru, kini materialisme menjadi subyektif dan terekspresikan dalam praktik konkret. Pembaharuan ini juga, bagi Balibar, menghasilkan konsepsi baru tentang subyek, yakni persamaan “SUBYEK = PRAKTIK”.


Materialisme Marx adalah pengertian bahwa keseluruhan obyek yang menyusun realitas ini tak lain adalah efek dari aktivitas subyek. Dipahami dalam kerangka ini. Kenaikan harga sembako tidaklah alami, begitu juga hutan-hutan yang jadi gundul di Kalimantan, pemanasan global dan matinya seorang buruh pabrik. Semuanya adalah efek dari konfigurasi aktivitas manusia yang tertentu.


2. Dialektika
Kita juga tahu bukan Marx yang pertama kali berbicara mengenai dialektika. Sejak Platon, pemikiran filosofis senantiasa dicirikan dengan sifat dialektis. Sokrates, junjungan Platon, sendiri berfilsafat dengan dialektika, dengan dialog (ingat: asal kata Yunani dari dialektika adalah dialegesthai yang artinya “dialog”). Namun dari Hegel lah Marx menimba pelajaran mengenai dialektika. Pengandaian dasar dialektika Hegel adalah relasionalisme internal.


Bagi Hegel, relasi determinasi resiprokal ini adalah pula relasi negasi resiprokal: afirmasi (A), negasi (non-A) dan afirmasi pada tataran yang lebih tinggi atau “negasi atas negasi” (non-non-A yang mencakup intisari A dan non-A). Inilah yang biasanya kita kenal sebagai dialektika antara tesis-antitesis-sintesis. Dialektika inilah yang dimengerti Hegel sebagai dinamika internal dari realitas dan pikiran.


Konteksnya adalah tuduhan yang dilayangkan peresensi Jerman dan Russia atas buku Kapital. Dalam resensinya mereka menyebut bahwa traktat tersebut dipenuhi oleh “sofisme” Hegelian”. Terhadap tuduhan ini, Marx menjawab:
“Metode dialektis saya, pada fondasinya, tidak hanya berbeda dari kaum Hegelian melainkan tepatnya beroposisi dengannya. Bagi Hegel, proses pemikiran, yang ia transformasikan menjadi subyek independen di bawah nama ‘Idea’, merupakan pencipta dunia riil, dan dunia riil hanyalah penampakan eksternal dari idea. Dengan saya, kebalikannya menjadi benar: yang-ideal tidak lain dari dunia material yang direfleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk pemikiran.


Bahwa Marx menolak dialektika Hegel sejauh itu dipahami sebagai glorifikasi atas apa yang eksis, alias suatu justifikasi atas status quo. Dengan demikian, selama dialektika Hegel masih dipahami dalam pengertian bahwa segala yang riil (situasi penghisapan, sistem yang merepresentasi rakyat dalam parlemen borjuis) niscaya rasional dan dengannya menjadi sah untuk eksis dan terus eksis, maka dialektika Marx bukanlah dialektika Hegel.


komentator seperti Louis Althusser justru menekankan adanya patahan (coupure) radikal yang mengantarai pemikiran Marx muda yang masih Hegelian dan pemikiran Marx lanjut yang samasekali non-Hegelian.
Dialektika, sesuai dengan pendapat Njoto, merupakan metode dari materialisme Marxis. Artinya, filsafat Marx yang bertumpu pada konsepsi materialis—bahwa yang terselubung pada jantung realitas sesungguhnya tak lain adalah praxis subyektif yang jadi material—hanya dapat diekspresikan oleh satu-satunya metode yang cocok dengan karakter materialis ini, yakni metode dialektika—sebuah modus di mana bendanya itu sendiri tidak hadir dalam stabilitas yang diam, melainkan telah selalu dalam gerak determinasi bolak-balik yang tak berkesudahan.



3. Historisitas
Kesejarahan merupakan tema sentral dalam diskursus Marx. Kita sering mendengar tentang ramalan Marx mengenai tatanan komunis dunia sebagai hasil evolusi dialektika sejarah. Seolah-olah Malaikat Sejarah yang bekerja dari balik layar realitas tengah merancang suatu Penyelenggaraan Ilahi bagi kaum proletar sedunia. Seolah-oleh sejarah akan berpuncak pada suatu konflagrasi final antara yang-Baik dan yang-Jahat, antara proletar dan borjuasi, dan akan berakhir dalam suatu surga dunia komunis. Pandangan inilah yang dikenal sebagai historisisme, atau pengertian bahwa sejarah dipimpin oleh suatu teleologi internal.


Skema Marx yang terkenal tentang infrastruktur (Unterbau) dan suprastruktur (Überbau) dapat menjurus pada historisisme: karena infrastruktur ekonomis mendeterminasi suprastruktur ideologis, maka perkembangan realitas ekonomi lah yang menentukan pembebasan politik dari kelas proletar yang terhisap. Pada akhirnya, tafsiran semacam ini akan berujung pada suatu kepercayaan pada “keniscayaan historis” bahwa kapitalisme akan tumbang dengan sendirinya karena kontradiksi internalnya seperti dianalisis Marx dan kelas proletar akan menjadi satu-satunya kelas sosial dunia. Namun pembacaan seperti ini abai terhadap relasi determinasi timbal-balik yang menstruktur relasi antara subyek dan sejarah dunia yang melingkupinya.


Memang benar bahwa konsepsi materialis Marx yang bersifat subyektif, atau menekankan pada praxis, dapat mengarah pada pengertian bahwa sejarah pun merupakan hasil bentukan manusia dan, oleh karenanya, Marx terjatuh dalam historisisme.


Pembacaan historisis itu berpegang pada sebaris frase kunci yang tidak berasal dari Marx melainkan dari Engels, yakni “determinasi pada pokok terakhir”. Artinya, determinasi pada pokok terakhir ada pada infrastruktur ekonomi. Terhadap tafsiran historisis ini, Althusser juga mengajukan sanggahan. Ini dilancarkannya melalui elaborasi konsep overdeterminasi (surdétermination), yakni relasi determinasi resiprokal di mana pokok yang mendeterminasi ikut terdeterminasi oleh apa yang ia determinasikan sendiri. Relasi overdeterminasi inilah yang bagi Althusser dimengerti Marx dalam konteks relasi antara infrastruktur dan suprastruktur. Itulah sebabnya Althusser dapat menulis: “Dari momen pertama hingga terakhir, jam sepi ‘pokok terakhir’ tak pernah datang [the lonely hour of the ‘last instance’ never comes].”15 Dengan demikian, tak ada historisisme yang esensial dalam pemikiran Marx.



  
4. Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis

Setelah kita mencapai pengertian tentang materialisme, dialektika dan historisitas dalam pemikiran Marx, kini kita dapat beranjak menuju pemahaman akan materialisme dialektis dan historis—atau apa yang kerap disebut sebagai MDH. Kita akan mulai dengan uraian tentang asal-usul term. Tentang materialisme dialektis, term ini sendiri tidak ada dalam corpus Marx-Engels: Marx hanya bicara tentang “metode dialektis” sementara Engels tentang “dialektika materialis”.


Ekspresi “materialisme dialektis” pertama kali dipakai oleh Joseph Dietzgen di tahun 1887, salah seorang kawan koresponden Marx. Lenin lah yang mempergunakan term ini secara sistematis—sesuatu yang, dalam Materialism and Empirio-Criticism (1908), ia elaborasi dari karya-karya Engels. Sesudah Lenin, wacana Marxisme Soviet terbagi oleh dua orientasi pemikiran: “dialektis” (Deborin) dan “mekanis” (Bukharin).


Untuk mengatasi perdebatan yang tak kunjung selesai di antara kedua kubu ini, Sekretaris Jendral Partai Stalin mengeluarkan dekrit di tahun 1931 yang memutuskan bahwa materialisme dialektis adalah sama dengan Marxisme-Leninisme. Lantas, pada tahun 1938, Stalin menjalankan kodifikasi atas ajaran tersebut secara lebih lanjut di dalam pamfletnya, Dialectical and Historical Materialism. Kodifikasi Stalin inilah yang dikenal sebagai sistem diamat (singkatan dari dialectical materialism) dan diterapkan di sebagian besar negara Komunis.


Koreksi penting atas kodifikasi Stalin ini datang dari Mao Tse-Tung. Dalam esainya dari tahun 1937, On Contradiction, Mao menolak ide Stalin tentang “hukum-hukum dialektika” dan justru memberikan penekanan pada kompleksitas kontradiksi. Kontradiksi, dalam pandangan Mao, tidak tunggal melainkan memiliki struktur ganda: di satu sisi terdapat kontradiksi pokok, yakni kontradiksi yang tak dapat diperdamaikan (misalnya, kontradiksi antara borjuis dengan proletar), dan di sisi lain terdapat kontradiksi tidak pokok yang dapat diselesaikan dengan negosiasi (misalnya, kontradiksi antara buruh dan petani). Dari penafsiran Mao atas kontradiksi inilah nantinya Althusser mengelaborasi konsep overdeterminasi yang tadi telah kita bahas secara singkat sebagai kritik atas pembacaan historisis tentang Marx.


Apapun penafsiran para komentator tentang materialisme dialektis dan historis, ada satu yang tetap, yakni bahwa semuanya mengakui bahwa materialisme dialektis dan materialisme historis merupakan ajaran yang internal dalam pemikiran Marx sendiri walaupun Marx tak pernah menggunakan term-term tersebut secara sistematis. Oleh karena pembahasan mengenai materialisme dialektis dan historis ini mengandaikan rekonstruksi atas keseluruhan teks Marx, maka kami di sini hanya akan membatasi pada pengertian tentang kedua term tersebut berangkat dari klarifikasi yang telah kita lakukan atas term materialisme, dialektika dan historisitas.


Materialisme dialektis merupakan cara berpikir Marx tentang realitas, yakni pengertian bahwa realitas tersusun oleh materi yang memiliki relasi langsung dengan subyektivitas dan relasi ini pun bergerak dalam untaian determinasi resiprokal. Dalam pengertian yang lebih sederhana, realitas adalah efek dari mekanisme perjuangan kelas. Jika, mengikuti Njoto, materialisme historis merupakan penerapan materialisme dialektis kepada kenyataan yang menyejarah, maka materialisme historis dapat kita mengerti sebagai gugus pemahaman tentang sejarah sebagai ikhwal yang tersusun oleh determinasi resiprokal antar subyek dan antara subyek dengan materi obyektif. Atau dalam arti yang dipermudah, sejarah adalah efek perjuangan kelas—sebuah efek yang bergerak dalam arah ganda, kepada sejarah dan kepada kelas itu sendiri.



"Ramadhan" Bulan training perlawanan


“Ramadhan” The month of rebel training

Memasuki bulan Ramadhan lagi,, merupakan suatu kesempatan yang luar biasa dan sulit dilukiskan dengan kata-kata saking indahnya bulan ini, apalagi bagi para manusia yang penuh dosa seperti saya ini,,heheee,,.. bisa Ramadhan itu sesuatu.. #syukur walaupun kali ini jauh dari keluarga tercinta terutama ibunda tersayang.

Rencana mau nulis apa yang jarang di dengar dari khatib2 mimbar tarwih atau jumatan  " Ramadhan " the month of Rebel training,, ini bukan rebel cap terrorist ala konstruksi paranoid AS.
 ya Ramadhaan bulan training perlawanan
Biasanya "perlawanan" yg dikumandangankan di mimbar atau media lainnya dengan main tema: emansipasi individual dimana "personal" menghadapi gempuran nafsu terutama yang melanda di subuh/fajar sampai maghrib. Proyek2 tanda tangan korupsi terjadi dalam rentang waktu ini, dan sebelum tidur biasa manusia merenung merefleksikan diri tetapi kemudian lupa lagi ke-esokan harinya, alias jahat kembali. Berdialektik dan kalah.

  • Dimulai dari individu:

penjelasan emansipasi individu ini saja bisa dilihat dari sudut pandang perlawanan (baca: kesadaran:emansipasi), ketika logika Capitalism dengan lokomotif Liberalnya menjadi mainstream dari gerak-gerak kehidupan umat manusia di seluruh dunia dapat dengan mudah di counter oleh emansipasi individu dalam Ramadhan ktika kita berhasil membaca kondisi ramadhan dengan baik. Ramadhan more than words lah...

Untuk sekedar refreshing mengingat kembali apa yg dilakukan Logika mainstream untuk mengkonstruksi kita (ide apa yang dicangkokkan/successfully transferred) , berikut ini ada beberapa point :

-. Kehidupan dilandaskan logika transaksional, 
   Semua gerak-gerak diwakili oleh transaksi, untung-rugi pun tak elak menjadi basis landasan kemudian dikenal dengan model Rasional choice, Uang menjadi keterwakilan gerak-gerak, profit (money) oriented, ide-ide transaksi ini menjadi sel-sel masyarakat yg dijalankan oleh kita2 ini..hehehee. Lebih jauh lagi uang sebagai komoditas (diperjual-belikan).

-. Logika kompetisi
dengan berbagai macam narasi dari narator konstruksi, kompetisi seperti meng-upgrade, inovasi bla bla bla bla.. ide bidang eksakta ini (baca:penemuan/pengembangan teknologi/ manajemen bisnis) cukup menyakitkan ketika berhasil mempenetrasi kepala individu-individu dan berhasil menjadi mainstream dalam kehidupan sosial, kenapa ?? Logika ini menutup (Baca;berhasil menyelubungi) bahwa manusia bukan mahluk sosial yang bekerja sama tetapi ditekankan kerjasama untuk kompetisi yaitu logika sikut menyikut demi kepentingan individu dalam skala proyeksi yg lain golongan.

Dalam kompetisi "kerjasama" hanya "lip-service" saja tapi intinya anda bisa karena dia/mereka jatuh. Anda diatas karena dia/mereka dibawah. Anda juara karena mereka kalah. Menjadi penting dari transfer ide ini adalah kompetisi mengharuskan anda merebut, menekan, mendahului dan sbagai-sebagainya.

Ketika saya menuliskan asumsi diatas dan anda langsung mengcounternya dengan membayangkan logika kompetisi ala game/permainan/olahraga berarti anda telah gagal memasuki wilayah ide ini dalam konstruksi sel-sel kehidupan sosial dan turut meng-status-quokan logika mainstream ini diranah praksis.

Kemudian kita jg harus memperhatikan orang-orang yg kalah klo pun memaksakan memakai logika olahraga/game,, bagaimana kondisi psiko-sosial orang-orang yang kalah itu, karena konstruksi sejarah jarang menempatkan orang ke 2 dalam reputasi yang baik. Hanya pemenanglah no.1 yang di ingat sejarah. Tak pelak lagi logika ini akan menghapuskan nama-nama prajurit biasa, yang mati di front terdepan dari perang. Sakit ya itulah kata yg dapat mewakili...menyakitkan. Dalam psikoanalisis "sublimasi" tipu ego menjadi panah paling tangguh dalam melesatkan rasa sakit itu ke arah yang katanya "positif". 

Akibat selanjutnya yang ditimbulkan dari logika ini adalah individualistik.

Sedikit curcol: logika kompetisi ini juga biasa masuk ke dalam shaf-shaf salat, demi menyempurnakan gerakan shalat menyempitkan gerak yang disampingnya. Apakah harus berkompetisi (sikut menyikut) … padahal tak satupun menyebutkan surga punya kuota, kalau level mah ada berdasarkan kadar kualitas. Lagian penilaian milik yg MahaKuasa.



-. Logika ukuran
 Sebagai turunan dari individualistik bahwa kita dibiasakan untuk mengukur dalam segala hal. Tampak sederhana tidak ada masalah sosial dari logika ini tetapi bila dilihat lebih lanjut logika ukuran/standarisasi ini adalah logika berjalannya industri. Bahwa segala sesuatunya harus diukur/distandarisasi. 


Ketika ini masuk ke ranah manajemen industri tampaknya baik-baik saja (walaupun tidak), ini telah menjamur berakar kuat (kurap terdalam) dalam kehidupan sosial. Misalnya coba saja mendeskripsikan kata "sukses" atau "berhasil" di benak anda dalam sekejap muncul material-material (baca:benda-benda dkknya) untuk ukuran sosial dimana anda akan menstandarisasi kata "sukses" "berhasil" itu. 


Permasalahan ukuran-ukuran ini menjadi suatu agenda utama bagi para Kapitalis lokal/asing dalam menciptakan simbol-simbol demi kepentingan bisnis (baca: reproduksi simbol). Menghabiskan jutaan rupiah demi sebuah jam katanya “prestise”. Padahal kesemuanya itu adalah "tipu-mata", hanya di area ini mereka memainkan settingan atas nama selera/gaya hidup blab la blaa dan tak pelak lagi para korban selera (konstruksi selera) lagi mengalami kontrak persetujuan tak tertulis sebagai kaum defendernya/pembelanya dalam segala kondisi sampai mati.


Selera dimengerti adalah ketidak mengertian habisnya uang dalam jumlah yg banyak dalam membeli/memakai berbagai bentuk tanpa menyadari apa perlunya (fungsi,nilai pakai) dari sesuatu. Nilai pakai dikonstruksi sedemikian rupa untuk keperluan mengada-ada. Mereka menjawab dalam satu format tunggal: Ini "selera" saya/gue/i, mampu kok,,” paling banter "kualitasnya bagus", “makanannya enak” (ya iyalah vetsin semua) ... padahal tujuannya cuman kenyang, nda lebih, entar juga keluar sendiri, klo gak keluar2 malah jadi masalah... :D.


Sebagai contoh : kadang benda menjalankan fungsi tipu-mata”sihirnya/mistisnya dalam pembentukan selera “atas pembelinya, seolah-olah barang tersebut punya tangan atau magnet yg kuat sekali (biasanya orang bilang chemistry atau kontak bathin) menarik anda dengan kagum ketika anda melihatnya untuk kemudian  membelinya tanpa memperdulikan lagi harga dari nilai pakai yang seharusnya. (dalam penjelasan yang lain kepelikan metafisika ala fetshisme). Yang paling parah merekonstruksi bahwa benda tersebut natural ada, bukan hasil dari kerja-kerja.


Tipu-mata ini banyak bermain di ranah-ranah inovasi, pembentukan budaya dulu baru kemudian penetrasi pasar (barang), sebutlah inovasi motor ini motor itu, motor ini …produksi budaya balap ala moto GP. Motor ini lebih kencang lebih blab la bla. Apakah betul setelah memakainya anda akan melaju sekencang speedometer yang tertera disitu?? Klo tidak untuk apa, melebihi fungsi yang ia tawarkan sebagai sebuah motor, jikapun anda mau balap, anda yakin bisa balap aman dengan kondisi objektif jalan di Indonesia?? Gak takut dilindas truk??



Biasa orang mengatakan “wajar mahal karena mereklah, bla bla bla “ terlalu sibuk dengan performance berusaha memuaskan audience/viewer yg hanya melihat sepersekian menit bahkan detik saja, selebihnya audience/viewer nda perduli. Pihak yg  paling tersenyum dari kegiatan “ilusi” anda adalah para penghasil simbol-simbol itu karena anda berhasil mentransfer sejumlah uang kepadanya. Bagi mereka yg berkelebihan mungkin agak susah merasakan ini, tetapi para korban selera yang berpenghasilan pas-pasan dengan memaksakan selera ini memproduksi kerja kriminal bukan lagi untuk makan tetapi selera. Menjambret untuk membeli baju seharga ratusan ribu atau hape yg bisa bbman. Ataupun para working class terutama buruh, dari pagi sampai sore angkat batu mempertaruhkan hidup dan otot akhir minggu gajian dan besoknya habis untuk minum-minum dan membeli baju di toko A,B,C merek A,B,C. ß ini kecap atau baju.. heheee



Kemampuan logika ukuran/standarisasi sampai ke selera ini patut di acungi jempol karena "berhasil" menipu secara masif dan dalam waktu penetrasinya tidak terlampau jauh dari era kita sekarang ini (baca: era dimana globalisasi di-intensifkan pasca perang dunia II). pertanyaannya lewat media mana...hehee saya rasa sudah tahu semuanya ditambah diperkokoh oleh para aparatus defendernya.
Terkadang dalam hal konstruksi budaya budaya sebutlah pernikahan, terkadang "ukuran-ukuran" ini menjadi barriers pihak laki-laki untuk maju ke pihak perempuan..hehehehehee wkwkwkwk


-. dan masih banyak logika lainnya dalam membentuk kesadaran semu. Apa yg dilakukan oleh Logika-logika ini adalah men Setting hidup anda dari awal sampai mati nanti. Akhirnya satu menjajah yg lain itu normal adanya.


Berikut ini ada beberapa dari ungkapan untuk mempertahankan statusquo logika mainstream ini disamping aparatusnya berupa institusi pendidikan formal

Kebutuhan tak terbatas sedangkan alat pemenuhan kebutuhan terbatas” ß- gile banget ini kalimat gan.. kira-kira kalimat ini mau memproduksi manusia jenis apa ?? ya rakuspora / balalapora …pemakan semuanya. Padahal mati gak bawa material apa-apa kita.

“talk less do more” ß ini bisa dipakai apabila anda kerja untuk orang miskin, membuat program sosial dari kelebihan uang anda, memperbaiki nasib bangsa, umat dengan cucuran keringat yg luar biasa dsbnya kalimat ini bisa dipakai, tapi sayangnya ini kata2 selalu dikumandangkan oleh para bisnisman kepada para pekerjanya, atau para supervisor terhadap bawahannya. Nasib pekerja yg untung-untungan (untung bisa makan, untung bisa hidup, untung bini bisa melahirkan dengan selamat dsbnya) dipertahankan dan diserukan gak usah protes.. kerja saja. Mirip romusha, cultur stelsel dsbnya. Di era sekarang eranya perusahaan para pengawas/mandor tidak lagi memakai cambuk dalam arti tali cambuk yang nyata tetapi memakai istilah KPI (Key Performance Index), para karyawan menghalalkan segala cara untuk merebut ukuran2 KPI itu… heheheee


“be yourself” ß kira nebak ini iklan apa?? Logikanya kita disuruh untuk menjadi diri sendiri (katanya) dengan memakai produk yang sama. Lah dimana letak be yourself klo kita sama. Dan dengan mudahnya kata2 ini untuk mempertahankan produk-produk jualan membentuk kesadaran palsu. Katanya berbeda kok “model rambut sama.” Tak pelak lagi “saya berbeda” kata yg paling banyak diucapkan. (iyalah ente ya ente,, gak ada 2 nya di dunia ini, klo ada ya itu kembaran ente). yang jelas kita manusia itu saja.


“Time is money” ß ini yg teraneh (merekonstruksi umur manusia yg pendek dan penuh kefanaan, makanya harus bersenang2 sedemikian rupa dan menimbun uang sedemikian rupa), tidak ada afterlife di ungkapan ini.

“Modis” – upaya penyeragaman/ normalisasi.

Dalam ungkapan terkenal "memberi ganjaran bagi para pemalas dan menghargai yang rajin" <--- gilee banget ini konstruksinya gan..wwkwkk


Dalam Ramadhan jika kita mau memakai dalil agama dalam mengcounter hegemoni ideologi diatas ialah dengan melakukan logika pembalikan atas semua logika yang ditawarkan dan beranak cucu itu. Hanya dengan satu ayat singkat saja dapat menjelaskan bentuk perlawanan atas logika mainstream itu, dalam surah At-takaatsur  (1) أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ  (Al hakumuttakasyur) ya hanya satu ayat ini maka runtuhlah semua logika mainstream yang ditawarkan kepada kita. Arti surah itu "bermegah-megahan telah melalaikan kamu".


Di "bermegah-megahan" logika mainstream itu bermain dengan sangat halus sekaligus kasar dengan tujuan bisnis itupun karena mengkonstruksi selera yang berujung pada pementukan kepentingan dan melahirkan gerak-gerak aksi/praxis untuk mewujudkannya. Semacam gerak bolak balik (Selera <-> kepentingan <-> aksi). Biasa terdengar, “ini ada budgetnya buatkan program apa saja yang penting jalan dengan potongan …%”. Urusan performance diri berlebihan merupakan “tipu-mata” yang melanggengkan logika mainstream ini berbasis konsumtif.


Selera dipahami men"konstruksi kenyamanan" , dan akibatnya "melalaikan kamu" lalai dalam arti semuanya dari lalai beribadah (vertical primer) sampai keberhasilan untuk mendistraksi perhatian atas kondisi yang timpang (horizontal primer). Ketika tersadar (baca: emansipasi) dengan segenap kemampuan yang ada mencurahkan pada perbaikan dari kondisi yang ada maka upaya logika mainstream untuk berakar di pikiran kita bisa terputus tetapi jika “kelebihan materi” tidak bersumber dan digunakan kepada yang baik/berhak, maka logika mainstream kembali memupuk dalam pohon yang baru. Lalai juga bisa diartikan terlalu sibuknya kita memperhatikan bungkusan daripada isi dari sesuatu.  Bagaimana ternyata jika hanya bungkusan semua?? Gak ada isi. ß doorprice


Dalam banyak penjelasan upaya-upaya untuk menyadarkan ini sudah banyak ditulis para thinkers dan writers baik barat maupun timur dalam wacana suprastruktur yang sama. 

Klo di ilustrasikan upaya dari para mainstream ini seperti kita diputarkan film terus menerus/cuci otak dengan memakai kaca mata kuda dimana tidak diperbolehkan melihat ke sana kemari di mitoskan dengan memberi batasan, awass ketika keluar batas akan masuk jurang sini jurang sana.



  • Dari fokus kesadaran individu ke emansipasi komunal/komunitas


Hanya di bulan Ramadhan ekonomi mikro menggeliat ditengah sibuknya para ekonom level langit berdebat padahal hanya bermain-main menjaga perasaan yang tidak real, apa itu menjaga persepsi/sentiment pasar modal (orang-orang yg mau duit banyak dalam waktu cepat tanpa kerja nyata), pasar virtual, financial tidak real/nyata/ hanya konstruksi untuk hegemoni maintain sistem perputaran uang yang uangnya hanya dilihat dalam bentuk digital naik turun, memutar uang dengan memberikan utang2 (sistem bank bekerja). Orang2 di negeri jauh-jauh sono bisa meremote nasib-nasib jutaan manusia atas nama pasar. “Tanam besar, dapat besar, klo ada yang aneh tarik saja uangnya, susah amat, yang ditanami stress minta ampun.” ß ini orang-orang carinya apa… astaga. Atas nama penambahan modal perusahaanlah, itulah inilah, diberi pinjaman sama mata duitan, ya jelaslah kacau.


Hanya di ekonomi skala kecil (baca: pasar tradisional) yang menghidupkan dan merupakan kumpulan orang-orang yang real/exist ketemu. Sayangnya setelah penjajahan kuno beralih ke modern dimana logika mainstream diatas dipraktekkan institusi2 keuangan penyangganya seolah menjadi penjaga yang siap memukul kapanpun di kritisi.


Para pemegang uang tak segan mendermawakan uangnya, para pemuda-pemuda begitu solid dalam setting kepanitiaan menyukseskan ramadhan dalam program-program, para pelaku dosa takut membatalkan puasanya (self control), kebersamaan dalam keluarga begitu terasa, dan sebagai-sebagainya.



Dengan menggunakan dalil lagi, banyak sekali anjuran dalam tema keadilan untuk berdiri untuk kaum miskin "stand for the poor" sebutlah kata-kata "shalat dan zakat" berapa kali diulangi ataupun seruan larangan memakan hak orang lain terutama kaum miskin. Khusus pada kata-kata “shalat dan zakat” yang rata-rata tertulis bersamaan, menurut saya sebagai orang yg minim pengetahuan agama memiliki aspek dan dimensi Vertikal dan horizontal yang sama sekali tidak bisa dipisahkan.



Anjuran “membela” yg miskin, membela dalam arti yang luas mencurahkan segala kemampuan untuk membuat perbaikan nasib dan sebagainya dari segala tindakan maupun profesi. Ketika anda menjadi ekonom yang mempunyai akses untuk merubah ini itu harus jelas fokus dari pembangunan yang anda bangun itu tujuannya untuk orang miskin, sekarang malah terjadi pembalikannya dan cukup banyak para penjual negara ini berkeliaran belum lagi tradisi “sunat” anggaran berakar pada birokrasi.. wadoww kacau betull. Ketika jadi dosen setidaknya jangan membodoh2i mahasiswa dengan merepetisi logika mainstream itu, berusaha sekuat tenaga untuk memunculkan alternatif-alternatif mode yang tidak berpatronase pasar, lebih berorientasi bagaimana nasib kaum miskin ini dsbnya. Dalam pendek kata tidak usahlah menambah jumlah  “apparatus” penyangga mainstream itu.


Kesalehan individu mesti tidak berdiam diri tetapi harus menunjukkan gerak, karena kapan terdiam ditepi sang ekskavator datang mengambil emas secara brutal. Sekarang katanya merubah kondisi negara itu “Utopia”, tetapi nabi-nabi terdahulu bersama para pengikutnya berusaha sekuat tenaga untuk merubah zaman bahkan peradaban. Jadi nostalgia sejarah cukup banyak menyebutkan success story. Setelah terjadi emansipasi individu keharusan menjadikan kelompok itu kuat dengan tujuan yg mulia. Kesadaran “bersama” atau massa diperlukan. Biasanya muncul anekdot begini dan cukup mengganggu “kita kan bukan Nabi” ß lah yg bilang lu nabi siapa?? Dan parahnya kegagalan melihat kerja nyata massa/pengikut baik semasa hidup ataupun setelah wafat Nabi, mereka terus mensyiarkan apakah kerja-kerja itu patut dilupakan??


Kondisi terjadi sekarang khususnya dinegara ini saking banyaknya orang “pintar” dalam menterjemahkan pembangunan nyatanya kualitas dan kuantitas miskin itu meningkat. Kenapa bisa begitu, ternyata “banyaknya” justru melahirkan faksi-faksi dan tidak terfokus lagi objek nyata (masyarakat miskin) yang ingin di advokasi. They are success to distract us sekali lagi pemirsa. Dalam hal ini “Al hakkumutakasyur” mengena lagi difenomena ini.


 Tengoklah masyarakat yg hidup dibawah jembatan itu. Coba para pejabat itu diberi waktu sebelum buat program magang 1 minggu saja tinggal bersama mereka, bukti dan kenyataan empiris tak pelak lagi mereka merasakan apa itu Miskin, liat tatapan berjuta mata tanpa masa depan. Hidup tak jelas, sanitasi berantakan dsbnya.



Kenapa agama menitik beratkan pembelaan ke yg miskin, tentu saja bukan tanpa alasan, karena selemah-lemahnya manusia dalm hal akses dan sebagainya adalah orang miskin. Ketika sakit dan tidak punya uang berobat atau kerumah sakit, ketika lapar dan tidak punya makanan, ketika lapar dan tereksploitasi, ketika malnutrisi, gizi buruk, lambat berpikir, pendek berpikir, ketika hujan tidak mempunyai tempat berteduh, ketika tergusur, ketika hak dengan mudah diambil, ketika direpresi tidak membalas, ketika pembodohan di langgengkan, ketika pendidikan menjadi hak ekslusif, ketika tidur diemperan, , ketika voters diperjualbelikan, ketika membicarakan hak warga negara menjadi sesuatu yang sakral, ketika ada/exist dalam jumlah yang besar semua dialamatkan pada “Miskin”.




Dalam salah satu forum kajian diskusi menyebutkan bahwa “Islam sangat menjunjung pendidikan dan keharusan bagi kita untuk belajar” dengan nostalgia para penemu Islam seperti Ibnu Sina, Ibn Rusyd, Ibnu Khaldun dsbnya betul mereka mampu melakukan pengembangan pengetahuan berbasis eksperimental dan sebagainya dengan kondisi objektif waktu itu ketika pendidikan belum dikomersialisasikan seperti sekarang ini, dan dimana dunia waktu itu haus akan pengetahuan non komersil (socially constructed) dan terpenting mereka bebas lapar. Pendidikan sekarang itu mahal karena merupakan sebuah industri dengan manajemen perusahaan seperti logika-logika mainstream. Seperti pabrik yang melahirkan cetakan-cetakan, dimana cetakannya harus memberikan uangnya ke pabrik. Akan lebih senang rasanya jika para intelektual tidak hanya memikirkan kesalehan individualnya tetapi berhasil bersatu padu dalam emansipasi massa untuk melahirkan pendidikan yang bisa di akses bagi semua kalangan (vertical dan horizontal bersamaan). Aspek idesional/gagasan individualistic ini jangan sampai direpetisi dalam kerangka kesalehan dan perburuan surga.



Cukup malu rasanya dengan populasi yg notabene Islam terbesar sekaligus negara dengan simpul korupsi paling ribet di dunia dibandingkan negara lain yang betul2 menservis/bekerja untuk rakyat miskinnya, putar otak kiri kanan untuk melayani rakyatnya ditekan asing kiri kanan atas bawah, diserang dari dalam oleh oportunis politikus-pengusaha pro mainstream, (disini tidak diberikan ilusi welfare state ala skandiv). Negara disini bukan ruang hampa tetapi ialah sekumpulan orang-orang (massa) yang menjalankannya. Jika jual menjual kepentingan untuk bermegah-megahan sampai kapanpun negara (massa) ini LALAI. Seperti para ustad/tokoh agama dsbnya yang dimana lisan fasih dengan ayat-ayat tetapi tetap memakai logika mainstream ke arah penumpukan materi-materi (bermegah-megahan), kenapa bisa begitu ?? tokoh agama juga manusia… jika tidak mengerti logika kondisi objektif yang terjadi tetap saja dihegemoni.



Penutup, Arena pembuktian Ramadhan bukan terletak pada bulan ini saja tetapi kekonsistensian terletak pada bulan-bulan selanjutnya. Bulan ini bisa menjadi kesadaran palsu saja ketika gagal mewujudkannya ke dalam gerak-gerak/praxis.


Seperti kata teman: Bahagia itu sederhana, dalam kesederhanaan (emansipasi bermegah-megahan) ada kebahagiaan. Untuk aksinya “Share your happiness to others (miskin/tidak mampu)’. Karena hidup itu dinamis sampai titik kematian, ada kesempatan untuk merubah diri.

Salam perlawanan, salam Ramadhan
Stand for the poor

Mohon Maaf jika ada salah menafsirkan berdasarkan pengetahuan agama yang minim dan contoh-contohnya yg ke kanak-kanakan.


Jogja 1433 H