Pages

Nasionalisasi dan Venezuela abad 21, #Chavez'sLegacy Part.1



In Memoriam Chavez 

Nasionalisasi dan Venezuela abad 21


Kedaulatan sumber daya alam suatu negara merupakan hal yang sifatnya kontroversial dan paradoksial. Hal ini menjadi kontroversial ketika dibicarakan dalam rangka negara sebagai subjek yang ingin mengelola baik secara sentral baik dalam kebijakannya maupun dalam implementasi lapangan (produksi dan komersil). Aktor negara tidak ingin melepaskan kedaulatannya terlebih dengan penggadaian sumber daya alam kepada pihak asing sementara di satu pihak sistem internasional berjalan anarki yaitu pengaruh negara besar terhadap negara lain mendeterminasi sangat besar. Hal ini dapat ditelusuri rekam jejak negara tersebut dalam “utang-utang” pembangunan.

Venezuela dalam hal ini tidak terlepas dari permasalahan kontroversial tersebut. Berdasarkan  data yang dikeluarkan badan energi Amerika Serikat (EIA – US Energy Information Administration) bahwa Venezuela memiliki 211 billion barrels dan  gas 179 trillion cubic feet (Tcf) pada tahun 2011[1]   maka kedaulatan energi dengan menjadikan industri energi  (minyak) sebagai penopang kehidupan (kantong pemasukan) negara merupakan suatu potensial yang sangat besar dengan catatan pengelolaan yang baik dan transparansi demi mencegah tindakan korupsi sistemik yang justru kontra produktif dengan aksi nasionalisasi sebagai manifestasi kedaulatan.

Tindakan nasionalisasi dalam rangka memperoleh kedaulatan sesungguhnya sangat kontroversial jika dilihat dari kacamata kepentingan perusahaan asing  maupun elit borjuasi lokal yang “menginginkan” eksistensinya dalam pengelolaan energi khususnya  minyak di negara tersebut tetap bertahan dan bahkan meluas (peran negara minimum). Jadi kepentingan para pihak yang dirugikan membuat termin “nasionalisasi” menjadi sesuatu wacana yang kontroversial karena dunia berjalan tidak seperti apa yang mereka kehendaki. Sementara wacana yang ingin ditutupi bahwa terdapat hak luas bagi setiap negara untuk berdaulat atas teritorialnya. 

Nasionalisasi dimengerti sebagai pengambilan alat produksi dan sumber daya yang berada di tangan swasta asing oleh aparatus nasional. Nasionalisasi bertopang pada tindakan negara, dapat dirundingkan dan dapat juga dilakukakan secara revolusioner.[2] Nasionalisasi dapat berarti perubahan atau asumsi kontrol atau kepemilikan dari kepemilikan swasta ke negara.[3] Dalam konteks nasionalisasi terdapat content syarat yaitu kompensasi. Dalam ranah emansipasi perjuangan idiologi nasionalisasi merupakan jawaban atas tantangan yang diberikan neoliberal dengan konsep keterbukaan, peran negara minimun dan aliran modal bebas. Nasionalisasi merupakan bentuk dimana negara memperlihatkan bargaining positionnya menghadapi situasi anarki dari determinasi asing terhadap kedaulatan negara sedangkan re-negosiasi masih merupakan bentuk dimana negara secara eksplisit tidak terdapat keinginan untuk pengelolaan secara penuh tetapi hanya menginginkan pembesaran pemasukan dan kepentingan lokal lainnya.

            Kedaulatan dan hak negara dapat dilihat pada konteks hukum ekonomi internasional, hal ini diatur dalam CERDS (Charter of the Economic Rights and Duties of States) (GA Res. 3281(xxix), UN GAOR, 29th Sess., Supp. No. 31 (1974) 50) menyebutkan dalam Bab I mengenai ”Fundamentals of international economic relations”  prinsip kedaulatan, integritas wilayah dan kemerdekaan politik.[4] Kemudian tentang hak negara terdapat pada  article 2 butir 2 Each State has the right:
(a)  To regulate and exercise authority over foreign investment within its national jurisdiction in
accordance with its laws and regulations and in conformity with its national objectives and priorities. No State shall be compelled to grant preferential treatment to foreign investment.
(b)  To regulate and supervise the activities of transnational corporations within its national jurisdiction and take measures to ensure that such activities comply with its laws, rules and regulations and conform with its economic and social policies. Transnational corporations shall not intervene in the internal affairs of a host State. Every State should, with full regard for its sovereign rights, cooperate with other States in the exercise of the right set forth in this subparagraph;
(c)   To nationalize, expropriate or transfer ownership of foreign property, in which case appropriate compensation should be paid by the State adopting such measures, taking into account its relevant laws and regulations and all circumstances that the State considers pertinent. In any case where the question of compensation gives rise to a controversy, it shall be settled under the domestic law of the nationalizing State and by its tribunals, unless it is freely and mutually agreed by all States concerned that other peaceful means be sought on the basis of the sovereign equality of States and in accordance with the principle of free choice of means.[5]


             Menurut Ernst-U.Petersmann dalam Huala Adolf  pasal 2 tersebut merupakan pasal kontroversial bagi negara-negara OECD. Alasan utamanya pasal tersebut menyimpang dari hukum internasional dalam resolusi MU 1803 (XVII) tanggal 14 Desember 1962 mengenai “Permanent Sovereignty Over Natural Resources”. Resolusi ini memuat hukum kebiasaan internasional mengenai persyaratan appropriate compensation (ganti rugi/kompensasi yang layak). Resolusi itu juga membatasi kebebasan pemilihan hukum yang berlaku dan forum penyelesaian sengketanya.[6] Dalam proses ganti rugi terdapat dua teori yaitu teori Girvan berpendapat suatu negara yang menasionalisasi dapat menuntut balik (counter claim) untuk meminta ganti rugi karena akibat penderitaan yang dideritanya sewaktu masa penjajahan yang dilakukan oleh negara dari warga negaranya yang dinasionalisasi terhadap negara tersebut.[7] Kedua, teori Allende menyatakan suatu negara berhak mendapat pengurangan ganti rugi atas tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan asing yang telah memperoleh keuntungan yang berlebihan (excess profit).[8] Jadi secara norma hukum internasional terdapat peluang bagi setiap negara untuk melakukan nasionalisasi sesuai kebutuhan dan kepentingan negara tersebut dengan hukum-hukum kompensasi yang diatur kemudian.


Nasionalisasi merupakan sebuah keadaan yang telah lama ada seiring dengan terbentuknya nation diseluruh dunia pada umumnya tidak terkecuali sejarah di Amerika Latin. Nasionalisasi dapat terjadi disemua sektor dalam suatu negara dengan tujuan yang berbeda-beda. Nasionalisasi tidak jarang menjadi siklus, dalam sejarah tercatat sektor yang telah di nasionalisasi pada perkembangan selanjutnya beralih ke privatisasi dan berputar kembali (re-nasionalisasi) ataupun sebaliknya. Hal ini sangat dideterminasi oleh banyak faktor selain aktor (rezim berkuasa) diantaranya politik domestik (keadaan/kepentingan domestik atas perusahaan yang akan di nasionalisasi), regionalisme, sistem politik internasional, ketergantungan dan rezim ekonomi, globalisasi sampai ke hegemoni.


 Menyandingkan nasionalisasi dengan sosialisme merupakan sebuah partikularitas dalam keseluruhan aspek yang terkait dalam mata rantai motif kepentingan nasionalisasi itu sendiri. Tetapi jika dinilai dalam konteks bahwa nasionalisasi menjadi sebuah proyek jangka panjang untuk melepaskan diri dari ketergantungan (core-periphery) yang disebabkan oleh arus keterbukaan asing (resep neoliberalisasi) dalam sisten kapitalisme global maka dalam konteks itu kacamata idiologi dapat digunakan dimana sosialisme dan nasionalisasi bertautan erat khususnya dalam konteks praxis yang diterapkan oleh sejak dulu oleh Kuba serta Venezuela abad 21.


Tercatat dalam sejarah negara-negara yang melakukan nasionalisasi yaitu Argentina (1918,1946-49, 1952,1958,1974,1980,2003,2012), Australia (1948), Bolivia era Morales (2006-2012), Canada (1918,1944,1975), Chile era Salvador Allende (1972), Cuba semenjak Fidel Castro (1966-1968) menasionalisasi semua sektor, Cekoslovakia (1945,1948), Mesir (1956) Kanal Suez, Prancis (1938,1945,1946,1982), German (2008), Yunani (1974,2011), Iceland (2008,2009), India (1949,1953,1955,1969,1973,1980,1972), Iran (1953), Ireland (2007,2009,2010), Israel (1983), Japan (1906), Lithuania (2011), Latvia (2008), Malta (1974), Mexico (1938,1982), Belanda (2008), New Zealand (2001-2004,2008), Pakistan (1972), Polandia (1946), Portugal (1974,2008), South Korea (1946), Soviet Union (1918), Spain (1941,1983), UK (1868,1912,1916,1926,1933,1938,1939,1943,1946-1949,1951,1967,1969,1973-1977,1981,1984,1997,2001,2008,2009), USA (1862-1863,1917,1939,1971,1976,1980,2001,2008,2009),[9] Venezuela semenjak era Chavez sampai sekarang. Indonesia pun pernah melakukannya dengan menasionalisasi de Javache bank pada tahun 1951.


Kontroversial dan paradoksial akan permasalahan ini mencuat ketika “kepentingan” mengarahkan narasi “nasionalisasi” tersebut menjadi sesuatu yang sifatnya tabu dan membahayakan. Jika sektor-sektor yang dinasionalisasi seperti Bank (keuangan), infrastruktur maupun sektor lain diluar sumber daya alam dalam hal ini pertambangan (minyak,gas dan bahan galian lainnya) maka termin “nasionalisasi” menjadi sangat wajar serta lembut dalam artian “sangat bisa dilakukan”. Tetapi sangat berbeda misalnya ketika sektor tambang yang menyangkut kepentingan pendapatan negara dan asing dinasionalisasi  khususnya bagi negara berkembang. 


Terminologi “nasionalisasi” tiba-tiba menjadi sesuatu yang “tabu” dan “menakutkan” secara psikologis dan kalkulasi politik, lebih jauh lagi memunculkan klaim-klaim idiologi, kediktatoran, status quo dan mistifikasi lainnya. Secara fundamental hal tersebut sangat lumrah terjadi dan merupakan hak suatu negara dalam mengelola perekonomiannya sebagaimana dijelaskan diatas pada aspek hukum internasional terlepas pada falsafah, ideologi dan cita-cita ekonomi suatu negara.  Hal ini yang menjadi dasar keterkungkungan dan represif ide/pemikiran masyarakat di negara-negara berkembang dan miskin di dunia sehingga jalan yang ditempuh tetap berada pada sistem status-quo kapitalisme dengan mencoba mengambil sedikit sekali celah dengan ilusi pertumbuhan signifikan dalam arus neoliberalisme.


 Semenjak terpilihnya Hugo Chavez menjadi presiden melalui pemilu konstitusional 1998, presiden tersebut melakukan perombakan besar-besaran dalam sistem kenegaraan baik dari segi pola sistemik pemerintahan, pola subsitusi sektor strategis terhadap pembangunan sektor lain sampai pada penyadaran hak konstitusi pada elemen grass roots. Mengetahui masalah represi ide dan terror psikologis maupun terror nyata yang dijalankan oleh sistem kapitalisme global maka Hugo Chavez memberanikan diri sebagai mercu suar jalan pembangunan alternatif melawan arus status-quo neoliberalisme walaupun hal itu secara sadar akan menemui banyak tantangan domestik dan internasional sampai pada membahayakan keselamatan jiwa dan reputasi politik seperti reputasi buruk Stalin di Rusia yang menjadi representasi kegagalan pembangunan model sosialisme. 


 Belajar dari kegagalan Rusia dan negara sosialis lainnya maka Chavez memulainya dengan penguatan substansi demokrasi yaitu melakukan penyadaran hak-hak serta kewajiban negara, pemerintahan dan rakyatnya yang dituliskan dalam konstitusi Bolivarian dan berupaya sekuat tenaga untuk mengimplementasikannya. Dalam tulisan Diana Raby dalam menggambarkan Venezuela “No country in Latin America (and arguably in the world) has adopted a more proactive, innovative, and controversial foreign policy than Venezuela in the last 12 years. The process proclaimed by Hugo Chávez as the “Bolivarian Revolution” has brought far-reaching change to Venezuela itself, and has placed that country at the center of international controversies and tensions that resonate far beyond the Latin American and Caribbean region.”[10]


Program revolusi Bolivarian yang dicanangkan Hugo Chavez setelah mengamendemen konsititusi (UUD) pada tahun 1999 menjadi konstitusi yang substansinya pro rakyat dalam tulisan Harnita Rahman beberapa program sosial (pendidikan, kesehatan, perumahan, kredit dan pelatihan kerja) bagi masyarakat miskin yang dijalankan yaitu :
1.     Menciptakan 3.000 sekolah Bolivarian yang baru, memasukkan 1.5juta rakyat ke sekolah-sekolah gratis. Mendirikan Universitas Simon Bolivar untuk mayoritas rakyat tidak mampu.Penyediaan buku teks, transportasi ke universitas dan makanan gratis. Kerjasama demokratis staff universitas dan mahasiswa dalam membuat kurikulum.
2.     Membangun jaringan air sehat, bersih dan segar.
3.     Mission Identidad merupakan sebuah program pembuatan tanda identitas (cedillas) bagi mereka yang telah menetap di Venezuela selama 20-30 tahun namun tak dapat perlindungan hak negara secara gratis.
4.     Mendistribusikan jutaan hektar tanah yang tidak digunakan (menganggur) untuk lahan pertanian bagi rakyat tidak mempunyai lahan.
5.     Mengganti nama “Colombus Day” dengan nama “Invasion Day”.
6.     Mission Mercal yaitu membuka pasar makanan alternatif untuk rakyat miskin yang jauh lebih murah (30% lebih murah dari toko-toko supermarket besar).
7.     Membuka 1000 dapur umum untuk menyediakan makanan gratis untuk tunawisma.
8.     Mission Vuelvan Caras pemberian $600 juta kredit bagi petani kecil untuk membeli benih kentang.
9.     Mission Bario Adentro I dan II pembangunan pusat-pusat kesehatan gratis. Tenaga dokter 15.000 orang didatangkan dari Kuba.
10.  Pelarangan pemilik pabrik PHK para pekerja. Mendukung pertumbuhan serikat-serikat buruh demokratik yang kuat.
11.  Pengakuan terhadap pekerja domestik, memperbesar jaminan upah sosial bagi permanen bagi rakyat yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (utamanya perempuan).
12.  Memberantas feminisasi kemiskinan dengan mendirikan BANMUJER (Bank Pembangunan Perempuan) memberikan kredit bagi komunitas perempuan yang berproduksi.
13.  Mendirikan media telivisi alternatif  (TV Sur) untuk melawan propaganda imperialis.
14.  Menstimulus industrialisasi nasional dengan konsep “Endogenous Development” yaitu pembangunan yang berdasarkan logika kerjasama dan humanis dengan melawan tendensi individualisme kapitalistik ekonomi global. Seperti pembangunan Conviasa (perusahaan penerbangan) dan Covetel (perusahaan telekomunikasi), Invenepal (perusahaan kertas) yang kesemuanya di bawah kontrol kaum pekerja, dewan buruh wakil otoritas tertinggi perusahaan dan wakil pemerintah secara langsung.
15.  Meluaskan solidaritas melawan imperialisme salah satunya dengan menggagas ALBA.
16.  Misi Ciencia (science) (2006) penyediaan perangkat lunak gratis dan komputerisasi tingkat dasar di seluruh sekolah dasar.
17.  Pada bidang IPTEK Venezuela membuktikan independensinya melalui Latin American Free Software Installation Fair, mempromosikan penggunaan piranti lunak open source.


Selain itu beberapa program inovasi misalnya pendirian CONIBA (perusahaan nasional industri-industri dasar) sebuah BUMN yang akan mengontrol 12 perusahaan-perusahaan industri baru yang akan menggantikan sebagian besar produk impor yang bahan mentahnya dimiliki Venezuela. Di pertengahan 2006 Venezuela membangun pabrik-pabrik petrokimia, stasiun hidroelektrik di La Vuettosa, jalan bawah tanah di Los Teques, pembangkit termoelektrik, teknologi penerbangan, laboratorium dengan sistem analisa ultra-mikro, peralatan elektroterapi, hidroterapi, defektologi, podologi, pabrik truk, kendaraan, mesin pembajak dan penggali. Selanjutnya Harnita Rahman mengatakan bahwa Chavez membangun jalan menuju masyarakat setara dan adil serta memberikan porsi besar untuk rakyat miskin bukan untuk membuat mereka kaya tetapi membuat mereka memiliki apa yang seharusnya mereka nikmati sejak dulu yaitu sumber daya alam yang selama ini hanya didominasi oleh pemilik modal.[11]

 
Gerakan populis pemerintahan Chavez dengan begitu banyak program pro rakyat mendapatkan hambatan dari pihak lokal oportunis maupun orang-orang yang masih dilingkupi dengan janji ilusi perkembangan dan kesejahteraan di bawah sistem kapitalisme global dengan resep neoliberal sebagi obat ampuh dari model pembangunan. Hambatan domestik dari program populis ini secara nyata dan terang-terangan dapat dilihat pada percobaan kudeta yang gagal pada April 2002 yang didukung oleh pembelot elit militer dan pimpinan oportunis oligarki bisnis rezim lama Carmona. Dalam insiden tersebut sangat terlihat konspirasi domestik yang melibatkan agitasi dari media serta pihak oportunis lainnya dalam memenangkan isu secara psikologis dan intervensi internasional terutama AS dalam mendukung munculnya pemerintahan baru menggantikan Hugo Chavez.


Kebijakan populis serta peran besar Venezuela dalam perpolitikan Amerika Latin membutuhkan sokongan dana yang besar. Sebagai negara dengan kekayaan mineral berlimpah maka kedaulatan dalam pengelolaan merupakan hal mutlak agar dapat menjalankan distribusi kekayaan negara sebaik mungkin sebagaimana dicantumkan dalam konstitusi Bolivarian 1999.

  
Distribusi kekayaan diatur dalam konstitusi Bolivarian tentang Economic Rights Chapter VII, artikel 112:
 “…El estados promoverá la iniciativa privada, garantizando la creacion y justa distribución de la riqueza, asi como la produccion de bienes y servicios que satisfagan   las necesidades de la población…(… The State shall promote private initiative, guaranteeing the creation and fair distribution of wealth, as well as the production of goods and services that meet the needs of the populace…).”[12]

          Selanjutnya distribusi kekayaan tercantum kembali dalam konstitusi pasal 117[13], title VI Socio Economic System Chapter I pasal 299 – 310.[14] Secara jelas undang-undang tentang PDVSA terdapat pada pasal 303 yang berbunyi :
          “For reasons of economic and political sovereignty and national strategy, the State shall retain all shares of Petróleos de Venezuela, S.A. or the organ created to manage the petroleum industry,with the exception of subsidiaries, strategic joint ventures, business enterprises and any other venture established or coming in the future to be established as a consequence of the carrying on of the business of Petróleos de Venezuela, S.A.”[15]
         
            Analisa kebijakan di Venezuela pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari konstitusi yang dibuat secara demokratis (referendum) antara rakyat dan pemerintahan era Hugo Chavez. Konstitusi merupakan sel dasar pemerintah dan rakyat bekerja, dengan menghormati dan mengimplementasikan konstitusi dengan baik merupakan tolak ukur bekerjanya pemerintahan pada relnya. Atas dasar inilah pendidikan politik atas hak dan kewajiban pemerintah dan rakyatnya diperkenalkan sampai ke grass roots. Dalam pola pendidikan politik itu diharapkan masyarakat menjalankan fungsinya sebagai partisipan (partisipatory) dan sebagai social control terhadap pemerintah berkuasa. Hal ini terbukti ketika kekuatan loyalis dan rakyat yang sadar akan konstitusi menggagalkan upaya kudeta terhadap Hugo Chavez pada april 2002.


            Nasionalisasi sebagai sebuah gerakan pembangunan era Chavez dilihat dari kacamata sejarah bahwa setelah program ISI (industri subsitusi impor) gagal membawa pembangunan signifikan pada dekade 1970-an di Amerika Latin secara merata disebabkan oleh banyaknya faktor waktu itu, dan setelah Washington Consensus menjadi jalan keluar krisis Amerika Latin ternyata pertumbuhan hanya berada pada ring elit korporatokrasi, pertumbuhan hanya berada diatas kertas statistik data release yang tidak merepresentasikan kondisi masyarakat marjinal,  pemerintahan dalam hal ini gagal menaikkan derajat hidup masyarakat pada umumnya melalui distribusi kekayaan negara terutama dari sektor energi dan pertambangan khususnya minyak. Cukup aneh rasanya negara yang termasuk 5 negara terkaya sumber minyak dengan populasi hanya 29 juta gagal mendistribusikan kekayaan negara, bandingkan dengan Canada yang berpopulasi 34 juta atau populasi di Russia sebanyak 140juta jiwa. Hal tersebut dapat dianalogikan “makanan yang dibawa keluar rumah sementara pemilik rumah hanya pasrah melihat dan parahnya hanya terbagi sisa makanan.”


            Wacana untuk menaikkan kembali terminologi ISI abad 21 oleh pemerintahan Hugo Chavez menjadi sesuatu yang berkarakteristik baru dengan secara total merubah kosntruksi negara yang selama ini berjalan. Mencegah munculnya korupsi struktural, munculnya elit  korporatokrasi yang baru, birokrasi berbelit dan penyadaran agenda bangsa kepada masyarakat (partisipasi politik aktif seluruh elemen masyarakat), penguatan sel-sel pekerja/buruh merupakan suatu karakteristik ISI yang baru.





[2] Dieter Nohlen (ed.) “Kamus Dunia Ketiga” Jakarta: Grasindo.1994. p.469
[4] Huala Adolf.”Hukum Ekonomi Internasional”.Jakarta:RajaGrafindo Persada.2003 p.185
[5] “Charter of Economic Rights and Duties of States” Ein Projekt des Lehrstuhls für Öffentliches Recht insb. Völkerrecht, Europarecht sowie ausländisches Verfassungsrecht.Europa-Universität Viadrina, Frankfurt (Oder), 2002.http://voelkerrecht.euv-frankfurt-o.de
[6] Op.cit Huala Adolf p.192
[7] Ibid p.194
[8] ibid
[10] Gian LucaGardini & Peter Lambert (editor).2011.” Latin American Foreign Policies : Between Ideology and Pragmatism “. New York:Palgrave Macmillan. p.159
[11] Harnita Rahman. “Revolusi Bolovarian Chavez: Langkah Nyata untuk Dunia Baru”.Jurnal Alternativa Vol.II (Januari-Juni 2010). p. 61-65
[12] “ constitucion de la republica bolivariana de Venezuela” impreso en la imprenta nacional y gaceta official.caracas.febrero de 2010. p.209
[13] Ibid p.211
[14] Ibid p.315-320
[15] ibid

Commentaries On World Trade Report 2007



                                                                                                              


 
Commentaries On World Trade Report 2007


            Secara essensial hadir dan terbentuknya World Trade Organization ialah menjamin kelancaran perdagangan, perpindahan arus barang dan komoditas antara negara-negara di dunia untuk menjamin arus perekonomian terus berjalan. Hal ini sesuai dengan basis historitas dimana sejarah dunia khususnya pada abad 20 diwarnai berbagai macam ragam peristiwa yang menghambat arus perekonomian seperti perang dunia I (1914-1918), great depression dengan trigger U.S stock market collapse pada oktober 1929 dan di ikuti oleh kolapsenya bank-bank di Amerika, kebijakan proteksionisme Smooth-Hawley tariff  yang memperparah krisis, kebijakan  beggar thy-neighbor, perang dunia ke II (front eropa 1939—1945) dan beberapa perang lainnya (Vietnam, Korea dan sebagainya), konstalasi perang dingin, stagflasi 1970, krisis minyak 1973, dianggap gagalnya kebijakan Keynesian model, dan beberapa kejadian-kejadian penting lainnya. 


            Perdagangan dan arus investasi khususnya di bidang produksi mengalami paradigm shifting dari berbasis mass production model Fordisme ke fleksibilitas (post-fordisme). Revolusi teknologi dalam hal ini pengembangan sistem komputerisasi dan jaringan internet membuat inovasi di berbagai bidang mengalami peningkatan yang signifikan tidak terkecuali dalam bidang perdagangan (mempertemukan ­–buyers-sellers, transaksi keuangan dan sebagainya).  Semakin tingginya intensitas perdagangan, semakin banyaknya aktor perdagangan dan industri, munculnya kerjasama regionalisme  tentu seiring dengan semakin banyaknya kepentingan dan masalah yang harus diregulasikan maka dalam hal ini peranan WTO sebagai institusi menjadi sentral. Dinamisasi aktor dapat  dimengerti sebagai aktor yang membawa kepentingan  seperti yang digambarkan oleh Waltz (2001:204)The clever player will be on the watch for a chance to increase his gains or cut his losses by cooperating with another”. Posisi sulit WTO dalam konteks regulasi dan kepentingan tersebut menjadi tantangan tersendiri, Oatley (2006:40) menyatakan “the WTO will weaken and perhaps in crumble, when governments no longer believe this is true” tidak hanya itu pressure groups seperti gerakan sosial anti-WTO seperti protes massif di Seattle 1999 menambah krisis legitimasi WTO. Harapan Pascal Lamy dalam kerjasama semua pihak dalam memperkuat dan meminimalisir konflik kepentingan di jelaskan dalam satu kalimat pada pengantar World Trade Report 2007 “we are further motivated to ensure we do the necessary to preserve and strengthen this institution and ensure its continuing contribution in a changing and uncertain world” (2007:vi).



 World Trade Report 2007


            Table 1 (WTO 2007: 3) menggambarkan data GDP and merchandise trade by region, 2004-06. Data tersebut menunjukkan selama 3 tahun (2004-06) sektor eksport Amerika Serikat mengalami fluktuasi dimana eksport pada tahun 2005 melemah 0.5%  dibandingkan tahun sebelumnya yaitu pada 2004 sebesar 8.5%, tetapi mengalami peningkatan pada tahun 2006 dibandingkan tahun 2005 sebesar 2.5% menjadi 10.5%. Sedangkan untuk sektor import AS selama tiga tahun tersebut mengalami penurunan, penurunan terbesar terjadi pada tahun 2005 terhadap tahun 2004 yaitu sebesar 5% dari 11%, sedangkan pada tahun 2005 import sebesar 5.5% yang berarti hanya turun 0.5 poin dari tahun sebelumnya. Statistikal menggambarkan eksport – import AS  merupakan hal yang positif dalam balance of trade dimana eksport lebih besar dari import atau terjadinya surplus eksport. Sektor perdagangan barang sendiri menyumbang 3.4% dari total GDP Amerika Serikat pada tahun 2006.


            Masih pada tabel yang sama, region lain tepatnya Asia data menampilkan tiga negara pengeksport terbesar yaitu China, Jepang dan India.  Pada tahun 2006 eksport China 22%, sedangkan tahun 2005 sebsar 25%, hal ini berarti terjadi penurunan sebanyak 3 poin. Import China selama tiga tahun tersebut terbesar pada tahun 2004 yaitu sebanyak 21.5%. Perdagangan barang menyumbangkan 10.7%  terhadap GDP China, hal ini memberi informasi ekonomi politik bahwa melihat besaran sumbangan perdagangan barang terhadap GDP maka kepentingan strategis China terhadap perdagangan sangat besar dan berimplikasi pada strategi kebijakan negaranya untuk mempertahankan sekaligus meninggikan sektor ini kedepannya. 


            Lain halnya dengan Jepang pada tahun 2004 jumlah presentase eksport sebesar 13.5% tetapi mengalami penurunan sangat tajam pada tahun 2005 dimana total eksport hanya 5%. Pada tahun 2006 Jepang memperbaiki kekuatan eksportnya dengan menaikkan 5 poin menjadi 10%. Sedangkan posisi import terjadi sentimen yang positif dimana total import pada 2005 dan 2006 sama sebesar 2%, mengalami penurunan signifikan dari tahun 2004 dimana pada tahun tersebut total import sebesar 16%. Sektor perdagangan barang hanya menyumbang 2.2% terhadap GDP Jepang. Sedangkan kondisi India tahun 2005 yang terjadinya penurunan eksport Jepang justru merupakan titik tertinggi bagi total eksport India selama tiga tahun tersebut yaitu sebesar 20.5%. Hal serupa dengan kondisi import tahun tersebut merupakan yang tertinggi diantara tiga tahun tersebut sebesar 20.5%. Kondisi defisit perdagangan terjadi pada tahun 2004 dan 2006 yaitu defisit 0.5% sedangkan pada tahun 2005 terjadi terjadi in balance trade dimana total eksport  sama dengan import yaitu sebesar 20.5%. China selama tiga tahun (2004-06) menduduki negara pengeksport terbesar di bandingkan Jepang dan India begitu juga dengan kondisi import kecuali tahun 2005 dimana India mengalahkan total import China.


            Appendix table 1 (WTO 2007:11) menunjukkan World Merchandise Trade By Region And Selected Country, 2006 dalam Billion Dollars dan persentase. Data tersebut menyebutkan pada Region Amerika Utara, pada tahun 2006 value perdagangan eksport barang negara Amerika Serikat senilai (billion dollars) 1037 sedangkan value import 1920. Hal ini berarti terjadi trade deficit sebesar 883. Keadaan serupa terjadai pada Meksiko dimana besaran nilai eksport 250 sedangkan import 268. Keadaan surplus terjadi pada Kanada dalam tahun yang sama dimana eksport sebesar 388 dan import 357. Region Amerika Tengah dan Selatan, Brazil sebagai negara dengan pengeksport terbesar dengan nilai eksport 137. NIlai eksport ini hampir setengah dari total nilai eksport yang dikumpulkan dari seluruh negara Amerika Selatan dan Tengah yang berjumlah 289. Brazil sendiri mendapatkan surplus perdagangan karena total nilai import dibawah nilai eksportnya, nilai import sebesar 88. 



            Dalam tabel yang sama dalam region Eropa, Eropa secara keseluruhan menghasilkan nilai eksport (dalam Billion dollars) sebesar 4957 dan import 5218 pada tahun 2006. Hal ini berarti secara keseluruhan Eropa mengaami defisit perdagangan barang. European Union (EU 25) menyumbangkan mayoritas nilai dalam total nilai eksport Eropa yaitu sebesar  4527 sekaligus pada sektor import dengan total nilai 4743. Dalam EU 25 sendiri German menduduki posisi terkuat dalam surplus perdagangan barang dimana menghasilkan nilai eksport 1112 dan import 910. United Kingdom, France, Italy mendapatkan defisit perdagangan. Besaran nilai eksport UK 443 sedangkan pada import 601, hal ini berarti terjadi defisit 158 (billion dollars). Total nilai eksport perdagangan barang Prancis sejumlah 490  sedangkan nilai import sebesar 533, yang berarti defisit 43 billion dollars. Nilai eksport perdagangan barang Italia sebesar 410 sedangkan import 436, berarti defisit sebesar 26 billion dollars. Pada negara-negara CIS, total nilai eksport maupun import dari Russian Federation lebih dari separuh total nilai eksport-import perdagangan (eksport senilai 422- import senilai 278) wilayah tersebut. Total nilai eksport perdagangan barang Russia pada 2006 sebesar 305 dan nilai import sebesar 164, suatu kondisi yang surplus. Russia sebagai kekuatan ekonomi sekaligus politik yang kuat di kawasan CIS tersebut, sekaligus aktor pesaing dari negara-negara Eropa Barat khususnya dalam bidang perdagangan barang, walaupun persaingan dalam hal ini terjadi dalam nuansa kerjasama perdagangan. 



            Region Afrika mempunyai total (dalam bilion dollars) nilai eksport perdagangan barang sebesar 361 dan import 290, suatu kondisi yang surplus. Afrika Selatan menunjukkan diri sebagai negara industri terbesar di kawasan itu dengan menyumbangkan nilai eksport perdagangan barang sebesar 58 tetapi kondisi import pada tahun 2006 lebih banyak dari eksport, nilai import sebesar 77. Sedangkan negara Afrika selain Afrika Selatan menyumbangkan nilai eksport yang bersumber dari oil sebesar 212. Negara-negara tersebut  yaitu Algeria, Angola, Cameroon, Chad, Congo, Equatorial Guinea, Gabon, Libya, Nigeria, Sudan. Sedangkan negara Afrika lainnya yang tidak selaku oil exporters menyumbangkan nilai eksport perdagangan 90, tetapi negara-negara tersebut mempunyai import yang cukup signifikan yaitu 131. Region Middle East yang terkenal negara berbasis eksport sumber daya alam mempunyai nilai eksport perdagangan sebesar 644 dan import senilai 373. 



            Dalam tabel yang sama, total nilai eksport (dalam billion dollars) perdagangan barang sebesar 3276 dan import senilai 3023. Jadi walaupun pertumbuhannya cukup signifikan tetapi dalam hal total nilai eksport perdagangan barang masih dibawah EU 25, tetapi mampu melampaui total nilai eksport region Amerika secara keseluruhan dan terutama Afrika-Timur Tengah. China dalam region ini menempati posisi tertinggi dalam surplus perdagangan pada tahun 2006 yaitu total nilai eksport perdagangan barang sebesar 969 dan total nilai import 792. Jepang menghasilkan total nilai eksport perdagangan barang 647 dan import sebesar 578 suatu kondisi yang surplus. Kondisi berbeda ditunjukkan India walaupun total nilai eksport sebesar 120 tetapi total nilai import 174, suatu kondisi yang defisit. Traders yang cukup diperhitungkan di region ini menurut data yaitu China-Taipei, Hongkong;China, Republic of Korea dan Singapore. Ke empat negara tersebut menyumbangkan nilai eksport perdagangan barang sejumlah 844 dan import sebesar 787.



                        Tabel 2 (WTO 2007:4) menunjukkan data Real Merchandise Trade Growth By Region tahun 2006. Region Commonwealth of Independent States (CIS) merupakan region dengan defisit perdagangan tertinggi dibandingkan region lainnya sekaligus region dengan tingkat import tertinggi dibandingkan region lainnya yaitu sebesar 20%, defisit terbesar kedua pada region Amerika Selatan dan Tengah, kemudian Afrika dan Timur Tengah. Kekuatan eksport region CIS hanya sebesar 3% tetapi presentase tersebut diatas region Amerika Tengah dan Selatan (sebesar 2%) dan Timur Tengah dan Afrika (sebesar 1%). Hal ini berarti negara-negara pada regional CIS merupakan negara-negara tujuan eksport yang sangat besar jumlahnya. Regional Asia merupakan regional dengan jumlah presentase eksport terbesar dibandingkan regional lainnya yaitu sebesar 13.5% sementara posisi kedua ditempati region Amerika Utara sebesar 8.5%, kemudian Eropa sebesar 7.5%. Surplus perdagangan terbesar terjadi pada region Asia (5%) kemudian Amerika Utara (2%) disusul kemudian oleh Eropa (0.5%). Jika kondisi ini dipertahankan maka region Asia khususnya China dan India kedepannya menjadi region dengan negara berbasis eksport dengan bertindak sebagai supplier bagi negara-negara di region yang lain.




            Tabel 3 (WTO 2007:5) menunjukkan data Export Prices Of Selected Primary Products pada tahun 2005 dan 2006. Pada tahun 2005 terlihat fuels menempati presentase kenaikan export price tertinggi  sebesar 37% dibandingkan dengan komoditas lainnya, kemudian di ikuti oleh minerals and non-ferrous metals sebesar 26%, komoditas bevereges (coffee, cocoa, beans and tea) sebesar 18%, komoditas agriculture and raw materials sebesar 2% dan komoditas food mengalami penurunan sebesar -1%. Pada tahun 2005 jelas terlihat volatilitas harga komoditas fuels cukup tinggi yang berarti pada tahun tersebut fuels producer, cartel ­meraup besaran laba/profit secara signifikan. Jika kenaikan harga eksport minyak ini dihubungkan dengan inflasi maka dapat diasumsikan kenaikan harga fuels tersebut menjadi satu faktor dorongan terjadinya inflasi dan bisa saja terjadi kenaikan pengangguran, seperti ilustrasi Gregory Mankiw “kenaikan dalam harga minyak pada tahun 1979,1980,1981 menyebabkan inflasi dua-digit dan meningkatkan pengangguran” (Mankiw 2000:236). 




            Pada tahun yang sama kelesuan terjadi pada komoditas food dengan penurunan export prices sebesar -1% tentu berakibat tersendiri bagi para pelaku usaha di bidang komoditas ini. Pada tahun 2006 keadaan berubah, komoditas minerals and non-ferrous metals mencatat kenaikan export price sebesar 56%. Hal ini berarti terjadi kenaikan 30% dibandingkan tahun sebelumnya dan  sekaligus menjadi trend kenaikan harga eksoprt tertinggi dibandingkan dengan produk primer lainnya.  Fuels product mengalami presentase penurunan harga eksport dibandingkan tahun sebelumnya, penurunannya sebesar 20%. Secara spekulatif dapat diasumsikan bahwa peningkatan harga eksport produk mineral berbanding terbalik dengan harga fuels product meskipun terdapat faktor-faktor lainnya yang berpengaruh cukup signifikan dalam fluktuasi harga eksport yang perlu diperhatikan lebih seksama seperti trend supply and demand, kejadian politik dunia dan sebagainya. Akibat terjadinya penurunan harga fuels tersebut maka diasumsikan inflasi berkurang dan pengangguran dapat menurun jumlahnya.



            Pada tahun 2006 terlihat hal yang positif pada produk agriculture,raw material dan food. Kenaikan presentase harga eksport pada agriculture,raw material sebesar 6% dan pada produk food sebesar 8% dari tahun sebelumnya. Produk beverages pada tahun 2006 justru mengalami penurunan presentase harga eksport sebesar 12% dari tahun sebelumnya. Kenaikan harga eksport pada mineral – logam dan raw material tahun 2006 dapat diasumsikan secara sederhana yaitu terstimulasinya kegiatan industrialisasi dan pembangunan secara fisik di berbagai negara berdasarkan asumsi kenaikan permintaan atas produk-produk tersebut yang mendorong terjadinya kenaikan harga eksport. 



            Dalam WTO report 2007 memperlihatkan data World Trade Developments In It Products, 1996-2005 (WTO 2007:16). Data tersebut menyebutkan pada tahun 2005 dengan nilai perdagangan eksport mencapai $1450 billion, produk-produk Teknologi Informasi menyumbang sejumlah 14% dari total eksport perdagangan barang dengan demikian melebihi gabungan dari produk agriculture, textile and clothing. Tabel 1 (WTO 2007:6) menunjukkan bahwa perkembangan ekspansi eksport produk IT lebih cepat dari eksport produk manufaktur, terutama terjadi pada tahun 1999-2000. Pada tahun 2001-2002 mengalami penurunan sementara manufaktur pada tahun tersebut mengalami perkembangan yang signifikan dan trend 2003 perkembangan eksoprt produk manufaktur dan TI meningkat sejalan tentunya dengan total nilai eksport IT produk lebih dari produk manufaktur. Antara tahun 1996 dan 2005 harga produk IT meningkat rata-rata 6% setiap tahun sedangkan produk manufaktur lainnya hanya meningkat 1% setiap tahunnya. Hal ini dapat menggambarkan fenomena industri IT yang berkembang sangat cepat khususnya memasuki era millenium. Perkembangan nilai eksport produk IT tentunya seiring dengan peningkatan demand, perkembangan informasi teknologi membuat konsumsi barang yang tinggi dari sektor ini menjadi tinggi selain itu karena umur produknya yang relatif singkat membuat produk cepat berganti.   




            Tabel 2 (WTO 2007:17) menyebutkan data IT Trade by region and leading traders. Data tersebut menyebutkan munculnya negara-negara di region Asia yang menonjol sebagai aktor eksportir produk IT di dunia sekaligus juga sebagai importir terbesar. Data eksport produk TI dunia pada tahun 2005 menyebutkan Asia sebagai eksportir terbesar dengan presentase 52.4%, kemudian Eropa 31.2%, North America 15.4% dan region lainnya sebesar 1.0%. Hal ini menunjukkan negara di region Asia merupakan negaar yang paling adaptif dan sangat kompetitif dalam menghadapi kompetisi dibidang produk IT tersebut. Dalam region Asia sendiri yang total eksport produk IT terhadap dunia sebesar 52,4%, China merupakan negara dengan ekspor produk tertinggi sebesar 14.8%, kemudian Jepang 10.0%, Singapore 7.8%, Rep.Korea 6.1% dan negara Asia lainnya 13.7%. China mempunyai pertumbuhan yang mengesankan, selama 1996-2000 eskoprt meningkat 29% per tahun, mendekati tiga kali lebih ceoat dibandingkan trader lainnya. 



            Selama tahun 2000-2005 meskipun pertumbuhan eksport global  produk IT melambat tetapi eksport produk China mendekati 40% per tahun, lebih dari tujuh kali lebih cepat dari trader lainnya. Eksport produk IT inilah yang membantu mendongkrak angka eksport barang dari Asia memenuhi pasar di seluruh dunia. Fenomena lain seperti perpindahan secara geografis mekanisme produksi karena mengejar efisensi sehingga berlomba-lomba race to the bottom membuat daya tarik tersendiri bagi pilihan berinvestasi (FDI) di negara-negara Asia khususnya yang memiliki buruh banyak dan murah, pajak rendah dan sebagainya. Sedangkan region terbesar kedua dalam eksport produk IT yaitu Europe dengan 31.2% terbagi dalam kelompok EU 25 intra menyumbangkan besaran 18.4% dan EU 25 extra 11.6% dan negara Eropa lainnya 1.2%. Menguatnya mata uang Euro vis a vis US dollar memberikan divergensi tersendiri bagi negara-negara di Eropa untuk menjadi negara exportir produk IT dengan mengembangkan industri TI di negaranya seperti negara Rep.Ceko, Hungaria, Polandia. Amerika Serikat merupakan eksportir terbesar dari region Amerika Utara 11.8% dan negara di benua Amerika lainnya sebesar 3.6%. Amerika Serikat yang merupakan eksportir kuat pada pertengahan tahun 1990an mengalami masa peak pada tahun 2000. Meksiko yang berada di region Amerika menjadi negara eksportir penting walaupun tidak berpartisipasi dalam ITA, tujuan eksport produk Meksiko untuk pasar Amerika Serikat.



            Dari segi import dunia pada produk IT, region Asia juga menempati peringkat teratas dengan presentase import 41.5%, kemudian Eropa 33.3%, Amerika Utara 21.1% dan region lain 4.1%.  Di Region Asia, China sebagai importir terbesar yaitu 13.2%, di ikuti Singapore 5.6%,  Japan 5.3%, Rep.Korea 3.9% dan Asia lainnya 13.5%. Fenomena import yang tinggi dari China dan Singapore ini merupakan model dari skema import untuk re-eksport. Import IT produk oleh India juga tergolong besar terutama semenjak memasuki tahun 2000, sebagian besar import India berasal dari produk telekomunikasi dan komputer tentunya hal ini sejalan dengan proses pembangunan yang direncanakan oleh India. 
            


            Appendix tabel 1 (WTO 2007:22) menunjukkan total nilai (dalam Million Dollars) yang dihasilkan dari eksportir produk IT pada tahun 2005.  Negara EU 15 menghasilkan 400328 dengan share 27.7% dari total global (global 1443963). Extra- EU 15 menghasilkan 185682 (share 12.9%), intra-EU 15 214646 (share 14.9%). China sebagai negara teratas dengan total nilai yang dihasilkan sebanyak 213637 atau 14.8% dari total global. Report ini menunjukkan semakin kuatnya perekonomian China yang kedepannya akan menjadi kebijakan untuk mengoptimalisasi sektor ini guna mendapatkan hasil yang lebih dari tahun-tahun sebelumnya. Strategi dengan memanfaatkan kekuatan negara seperti demografis, geografis dan capital attractive, membuat China semakin memperkokoh kekuatan industri berbasis perdagangan dunia terutama pada produk ini. Amerika Serikat menduduki ranking ke dua setelah China dengan total pendapatan 170121 atau 11.8% dari global. Jepang sebagai negara dengan ranking ke tiga dengan penghasilan 144759 atau 10% dari global. Hongkong sebagai status istimewa administratif China memperoleh 115768 dengan skema re-eksport menghasilkan 111124 dan domestik eksport 4644. Singapore menghasilkan 111969 atau 7.8% dari total nilai global. Republik Korea menghasilkan 87947 atau sebesar 6.1% dari total global. Taipei/Taiwan menghasilkan 71891 atau sebesar 5% dari total penghasilan dunia. Malaysia menghasilkan 59370 atau 4.1%. Mexico walaupun bukan partisipan ITA menghasilkan  sebesar 33904 atau 2.3%. Philipina menghasilkan 26940 atau sebesar 1.9%. Thailand menghasilkan 244464 atau sebesar 1.7% dari total penghasilan dunia. Kanada menghasilkan 19045 atau sebesar 1.3%. Hungaria menghasilkan sebesar14011 atau sebesar 1% dari total dunia. Switzerland menghasilan 10956 menghasilkan 0.8% dari total dunia. Republik Ceko menghasilkan 9919 atau sebesar 0.7% dari total global. Indonesia menghasilkan 6193 atau sebesar 0.4% dari total global. Brazil walaupun sebagai negara non partisipan ITA menghasilkan 4073 atau sebesar 0.3% dari total penghasilan dunia. Israel menghasilkan 3758 atau sebesar 0.3% dari total global. Polandia menghasilkan pendapatan dari eksport sebesar 3169 atau sebesar 0.2%. Australia menghasilkan 2544 atau sebesar 0.2%, Norway menghasilkan 2486 atau sebesar 0.2%, Slovakia menghasilkan 2076 atau sebesar 0.1%. India menghasilkan 2112 atau 0.1% dari total. Costa Rika menghasilkan 1744 atau sebesar 0.1 dari total pendapatan dunia. Estonia menghasilkan sebesar 1530, Malta menghasilkan 1208, Marocco menghasilkan 1065, Romania menghasilkan 1046, Tunisia (non partisipan ITA) menghasilkan 972 masing-masing negara tersebut menyumbangkan 0.1% dari total penghasilan dunia. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan region Asia khususnya Timur dan Tenggara mempunyai peranan penting bagi produk berbasi TI. Negara-negara dikawasan tersebut harus menyadari tingginya angka kompetisi dan sekaligus menjadi motivasi untuk mengembangkan dan mengkoneksikan diri dengan produk TI dunia.



            Tabel 3 (WTO 2007: 20) menunjukkan data World Exports Of Ita Products By Category, 1996 dan 2005. Data tersebut menunjukkan perubahan yang signifikan untuk eksport produk IT terutama pada produk telekomunikasi. Produk telekomunikasi pada tahun 1996 sebesar 15.2% tetapi pada tahun 2005 terjadi kenaikan menjadi 20.9%. produk Komputer relatif stabil, pada tahun 1996 eksport sebesar 35.5% dan pada 2005 sebesar 34.2%. Produk semikonduktor juga mengalami penurunan presentase eksport, pada tahun 1996 sebesar 12% dan pada tahun 2005 sebesar 10.6%, produk ITA isntrumen dan software juga mengalami penurunan, pada tahun 1996 sebesar 13.5% sedangkan pada 2005 sebesar 11.8%. Produk semikonduktor juga mengalami trend menurun, pada 1996 sebesar 23.6% sedangkan pada 2005 sebesar 22.5%.  Data ini menunjukkan sektor produk telekomunikasi mempunyai perkembangan yang signifikan dalam kegiatan perdagangan, hal ini sejalan dengan fenomena masyarakat komunikasi tinggi.
           
           
           
           
             





 Tugas perdagangan dan Investasi sambarang nyit2  :D


REFFERENCES

Mankiw, N.Gregory. Teori Makro Ekonomi 4th edition, terj. Imam Nurwaman. Jakarta: Erlangga, 2000.
Oatley, Thomas. International Political Economy: Interests and Institutions in the Global Economy - 2nd edition. New York : Pearson, 2006.
Waltz, Kenneth N. Man, the State and War: a theoritical analysis. New York: Columbia University Press, 2001.
WTO. World Trade Report 2007, Six Decades of Multilateral Trade Cooperation: What have we learnt? Switzerland, 2007.