Pages

Indonesia, on the track to nowhere

Indonesia, on the track to nowhere

Mengutip separagraf Anwar Jimpe Rachman, modernisasi yang menjadi roh-hantu cara pandang birokrasi negara ini masih saja menunjukkan wajah bebal, ditambah keengganan luar biasa untuk hanya bergerak satu langkah. Kebijakan-kebijakan sering seperti buldoser, melenggang tanpa memperdulikan sekitarnya. Ia juga seperti robot tuli berkacama kuda tanpa mau mendengarkan lebih dahulu apa yang di inginkan masyarakat. (Rahman 2012:3-4).

Jika A.J Rachman gelisah dengan perilaku birokrat daerah terhadap masyarakat kecil dan budaya, maka tulisan ini  melihat birokrat-aparatus negara skala nasionalnya dan sekiranya menjadi kegelisahan A.J Rachman sama seperti kegelisahaan jutaan orang-orang di negeri ini. Dengan rekam sejarah yang pernah besar sebagai kerajaan kemudian di jajah oleh kolonial “kecil” Belanda yang meluluhlantahkan semua formasi sosial tetapi mental inlander-nya tetap terpatri. Ditambah lagi dinasti Soeharto memacetkan kemajuan sosial ekonomi politik kebangsaan atas nama “normalisasi” serta menghancurkan impian founding fathers tentang pembangunan-kemajuan versi Indonesia. 


Wajah bebal ini disertai sikap mengeluh dipraktekkan sekali lagi dalam drama kenaikan harga BBM. Suatu komoditas yang berbeda dengan yang lain karena ia mampu “mensekaratkan” kehidupan jutaan manusia sekaligus komoditas yang mampu membuat orang berkarnaval kekecewaan di jalan-jalan di semua sudut negeri.  Suatu panorama yang menyesakkan dada di negara yang dikaruniai daerah terbaik dimuka bumi ini.


Pada 21 Juni 2013 pukul 22:00 WIB kenaikan harga BBM di umumkan, kenaikan dua ribu rupiah menjadi Rp.6.500 untuk bensin (RON 88) dan kenaikan seribu rupiah menjadi  Rp.5.500 untuk solar/diesel.  Kerekan harga bensin kali ini merupakan yang ke-empat dan kedua tertinggi dalam periode SBY. Tercatat sebelumnya kenaikan harga pada Maret 2005 sebesar Rp.590 menjadi Rp.2.400, pada oktober 2005 sebesar Rp.2.100 menjadi  Rp.4.500, pada mei 2008 Rp.1.500 menjadi Rp.6.000. Tentu kenaikan kali ini merupakan “kenaikan yang tertunda” setelah sebelumnya drama berlangsung di paripurna DPR setahun yang lalu. Perlahan dan pasti subsidi dikurangi, seperti lagu Iwan Fals yang liris tahun 1982 “orang pintar tarik subsidi, bayi kurang gizi”.


Lantas apa yang membuat kebebalan tersebut menjadi-jadi dan mengatas namakan kemiskinan. Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan tersebut, bagaimana pemerintah melihat dirinya sendiri dalam dimensi internasional-dialog struktur-agen (pemerintah). Diakhiri dengan wacana moderat yang diperbincangkan di sekitaran lingkar-lingkar masalah. Kali ini pembahasan belum bisa melampaui lingkar masalah tersebut/beyond barriers.


Roh/Spirit Modernisasi-liberalisasi, Negara dalam kompetisi internasional

Dimensi motif kebijakan negara biasanya dibahas dalam disiplin ilmu hubungan internasional salah satunya dengan perspektif realisme. Tanpa perlu mengutip realisme strukturalnya “survive ” Waltz ataupun struggle for power-nya Morghentau, kepentingan nasional disini kita bahas lebih rileks dan longgar “tidak melulu soal perang”. 

Dalam kredo liberalisme seperti yang dinyatakan  Scott Burchill perdagangan bebas merupakan jiwa liberalisme untuk mewujudkan hubungan yang baik dan kepentingan nasional antara negara dengan damai dibandingkan contoh sejarah setelah abad pertengahan dimana sistem autarki justru menimbulkan banyak peperangan. Perdagangan bebas/free market ingin mengurangi/menghapuskan hambatan artificial ekonomi (Burchill 2005:64). Dimensi ekonomi menjadi muara dimana kompetisi memainkan saluran yang signifikan. Nabi ekonomi kapitalisme Adam Smith menyatakan competition would everywhere be as great  (Smith 1998:136). 


Trajektori liberal-kapitalisme dalam studi industri Porter menekankan setiap negara dalam upayanya mencapai kemakmuran harus berbasis competitiveness/daya saing dalam produktivitas, nilai yang diciptakan setiap hari, modal/capital yang di investasikan dan sumber daya fisik negara. Akar produktivitas terdapat dalam iklim nasional dan regional. Konsep diamond Porter dialamatkan kepada saluran informasi, insentif, competitive pressure, akses dukungan kepada firma, institusi, infrastruktur, pemahaman mendalam dan skill dalam hal mendukung produktivitas (Porter 1998).


Hal tersebut termanifestasi dari program nasional negara dalam program jangka panjang MP3KI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia) yang diarahkan kepenguatan UMKM dan perlindungan sosial (bansos). PJP lainnya yaitu  MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025). Dengan berbagai program pendukung industrialisasi seperti pembangunan infrastruktur, regulasi, perizinan dan klasifikasi geografis pada enam koridor utama dengan nilai investasi diperkirakan 4000 Triliun Rupiah. Target-target seperti PDB/kapita USD 14.250-15.500 (negara berpendapatan tinggi) pada 2025 dan 2045 sebesar USD 44.500-49.00. Potensi gas alam yang besar sekitar 165 TCF dengan tingkat produksi +3 TCF yang belum teroptimalisasi menjadi landasan berbagai proyek berbasis energi alternatif/gas (MP3EI 2011).  Model ini juga serupa dengan apa yang ditawarkan Lundvall pada studi industri dalam model National Innovation System dengan model neo-Schumpetarian.  


Kegiatan sarat modal/capital intensive tersebut mengundang investasi secara besar-besaran baik dilantai bursa maupun yang bermodel direct investment. Dalam hal ini engagement private-state-donors lebih harmonis dan intim dari sebelumnya ditambah lagi program-program bertema sustainable. Karena investor juga tidak dengan mudah melepaskan modalnya maka pemerintah sebagai “negara” dalam hal ini diharuskan menyediakan segala sesuatu yang berkenaan dengan investasi tersebut guna mendapatkan trust. Karena motif utama dari para pemegang modal tersebut adalah profit/laba capital return plus surplus sebesar mungkin. Seperti contoh pembangunan pabrik baja kerjasama POSCO (perusahan besar baja asal Korea Selatan) dengan Krakatau di Banten selain target penjualan baja ke luar negeri terutama untuk capture moment-domestic demand rencana pembangunan nasional MP3EI tersebut.


Komitmen pemerintah dalam organisasi internasional seperti G20, APEC dan sebagainya, kredibilitas dimata donors  untuk tumbuh menjadi negara maju yang salah satunya mensyarakatkan minimalisasi budget yang tidak produktif seperti subsidi juga mendapatkan citranya sendiri. Berikut ini mengenai positioning Indonesia dalam regional competitiveness berdasarkan data global competitiveness index 2011-2012 dari laporan World Economic Forum .

1.      Rangking 12 dengan score 4.38 pada competitiveness index  dalam regional Asia-Pasifik, Singapura ranking 1, Japan 2, Hongkong 3, Taiwan 4, Australia 5, Korea Rep.6, New Zealand 8, China 9, Brunei Darussalam 10, Thailand 11, Srilanka 13, India 14, Vietnam 15, Filipina 16, Mongolia 17, Kamboja 18, Bangladesh 19, Pakistan 20, Nepal 21, Rep.Kyrgyz 22.
2.      Ranking 5 dalam regional ASEAN setelah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand dan Rangking 46 secara global.
3.   Secara global pada pilar institusi, ranking 71 dibawah Singapura 1st , Malaysia 30th, Brunei 34th , Thailand 67th
4.   Secara global pilar infrastruktur, ranking 76 dibawah Singapura 3rd, Malaysia 26th , Thailand 42nd
5.    Pilar iklim makroekonomi, ranking 23 dibawah Brunei 1st, Singapura 9th dan diatas Thailand 28th, Malaysia 29th
6.     Pilar pembangunan pasar finansial rangking 69 dibawah Singapura 1st, Malaysia 3rd , Brunei 57th, Thailand 50th
7.      Pilar ukuran pasar/market size rangking 15th diatas semua negara di ASEAN
8.      Pilar kepuasan berbisnis ranking 45th dibawah Singapura dan Malaysia. Pilar inovasi 36th dibawah Singapura dan Malaysia tetapi diatas Thailand. 

Ketertinggalan tersebut memperkuat kepercayaan bahwasannya kompetisi harus sesegera mungkin demi mengejar predikat negara maju dengan berpendapatan tinggi.  Perekonomian nasional yang ikut terdistorsi akibat krisis 2008 di Amerika Serikat diharapkan dapat tumbuh sesuai target. Hal tersebut juga cara cara menarik investor dari Eropa seiring berkurangnya minat investasi akibat krisis Euro dalam hal ini seperti contoh Brazil yang kedatangan investasi besar dari kejadian tersebut dan juga menarik investor Jepang karena kondisi Jepang yang tidak stabil/krisis utang. Oleh karena itu angka pertumbuhan 6% selalu dibanggakan sebagai raport baik ditengah instabilitas pertumbuhan ekonomi negara di dunia.


Sejauh ini didapatkan pola bahwa pengurangan subsidi BBM pada 2013 ataupun subsidi lainnya seperti listrik hanya menunggu waktu untuk mendapatkan momennya karena termasuk “tidak produktif”. Dengan kata lain kebijakan yang diambil sudah on the track menuju ekonomi liberal yang direncanakan, stabilitas politik-keamanan menjadi kunci-kunci selanjutnya. Tahun ini pada 5-7 Oktober 2013 akan diselenggarakan KTT APEC 22 di Bali dan Konferensi tingkat Menteri WTO ke-9 pada 3-6 Desember di pulau yang sama. Berbagai ajang dimana pemerintah bisa berbusung dada menaikkan citranya sebagai birokrasi yang mampu menjalankan power-nya, pengurangan subsidi salah satunya karena bagi lembaga donor kegagalan/­miss-opportunity mengurangi subsidi bukti birokrasi yang lemah.


Jika memakai konsep Foucault, maka kompetisi ekonomi dalam hal ini pemerintah melakukan kebijakan dalam upaya mengikuti kompetisi daya saing negara-negara lain merupakan diskursus yang beroperasi di pemerintahan negara ini. Diskursus ekonomi liberal tersebut memberi masalah dan ambang batasnya, mendisiplinkan subjek-subjek (pemerintah dan semua subjek pro kenaikan BBM atas dasar efisiensi) dalam tindakan-argumentasi-justifikasinya. Sebuah relasi antara pengetahuan dan aksi/tindakan sosial.  Hal ini menjelaskan pihak yang kontra-kenaikan akan mendapatkan sanksi label seperti kuno, tidak berpengetahuan, tidak pro-pembangunan, tidak internasional dan sebagainya.


Hegel menyebutnya fenomena hadirnya roh absolute yang meng-shape consciousness sebuah interlinked pemikiran dan eksistensi sosial yang dipenuhi kontradiksi. Sebuah manifestasi known dari refleksinya atas objek eksternal yang memampukan hadrinya dialektika dan negasi atas sesuatu yang lain. Masalah menjadi “objektif” sejauh melibatkan intersubjek. It is identical to itself by excluding from itself everything other/than itself, consciousness is particular and isolated   (Kojeve 1980:10). Spirit ekonomi liberal-kapitalis dengan dimensi daya saing – industrialisasi telah terkonstitusi dan terisolasi dalam kesadaran aparatus pemerintah dalam melihat jalan yang terang benderang, apakah sebuah ilusi?.



Transaksi komoditas politik

Setiap orang pasti sudah menyadari  setahun sebelum perhelatan pemilu dilaksanakan bermacam akrobatik politik dilakukan. Menyambung kutipan lagu Iwan Fals “menjelang pemilu, ditandai BBM melambung tinggi”.  Jika melihat tahun rilis lagu tersebut  1982 tentu kenaikan harga BBM sebelum pemilu bukan barang baru lagi. Oleh karena itu disini tidak berpanjang lebar membahasnya dengan perkiraan para pembaca lebih mengetahui daripada penulis. Hal yang ingin ditunjukkan adalah konsep suara lebih dalam transaksi komoditas politik yang dibangun oleh Martin Suryajaya untuk lebih jelasnya bisa langsung ke link berikutDisini yang digunakan hanya transaksinya saja sedangkan suara lebih belum digunakan. Politik menjadi komoditas yang ditransaksikan.

Tentu tahun lalu masih ingat drama April yang seolah-olah jika harga BBM tidak dinaikkan vonis kiamat didepan mata dan negara akan kolaps. Setahun berlalu, negara tidak kiamat dan seri kebijakan yang tertunda-pun dimulai. Jika dimodelkan terdapat dua faktor yaitu A sebagai faktor luar negeri (instablitas komoditas minyak internasional (harga,supply dan sebagainya)), dan B sebagai faktor domestik (demand > supply, “membebani” APBN).


Hal tersebut dapat dimengerti misalnya untuk poin A, pada tahun 2007 dimulai pada bulan Oktober harga benchmark WTI naik menyentuh titik > USD90/barrel dengan trend terus menanjak sampai 2008. Pada bulan Mei 2008 pemerintah menaikkan harga premium RON 88 dari Rp.4.500 menjadi Rp.6.000. Jenis komoditas ini (WTI) menyentuh harga tertingginya selama sejarah yaitu USD 145,66/barrel pada bulan Juli.  Seperti kata Naisbitt semakin besar ekonomi semakin sedikit dan kuat pemainnya. Struktur bisnis ini pemainnya tidak terlalu banyak dan pemain besar tersebut dapat disebut oligarki (OPEC, seven sister cartels) harga patokan seperti komoditas lain bisa berubah sewaktu-waktu tidak terlepas juga dengan faktor spekulasi. Ibaratnya jika negara petro-states di Arab bersin maka yang demam jutaan orang dibelahan dunia lainnya.


Ketika turbulensi ekonomi dunia terjadi karena bangkrutnya Lehman Brothers pada bulan September pada tahun yang sama, trend harga komoditas tersebut menurun di bulan-bulan berikutnya seiring kontraksi perekonomian menyebabkan lemahnya demand. Pada bulan Desember terjadi dua kali penurunan/koreksi harga oleh pemerintah pertama dari Rp.6.000 ke Rp.5.500 dan kedua menjadi Rp.5.000. Sebulan kemudian/Januari 2009 turun lagi menjadi Rp.4.500 disaat WTI USD 40an/barel. Naiknya harga BBM Juni 2013 hal tersebut seiring melemahnya harga minyak dunia, laporan EIA menyebutkan trendnya menurun salah satunya disebabkan kenaikan produksi di negara non-OPEC yaitu Amerika Serikat, perkiraannya (jika tidak ada situasi dunia yang mendeterminasi) WTI spot price rata-rata di USD93/barrel (EIA 2013).


Persoalannya, apakah korelasi-koherensi tersebut bisa menjelaskan fenomena tata kelola dan kebijakan migas termasuk kenaikan harga BBM secara benar/sesuai realitas negara ini.  Seperti kata Charles Taylor yang dikutip John Roosa (2008:71), koherensi tidak menyiratkan sesuatu masuk akal tetapi penggambaran yang cukup tentang kontradiksi menjadikannya dapat dimengerti.


Ketika PERTAMINA melalui Petral sebagai trading (anak perusahaan yang mengadakan impor produk BBM seperti bensin dan sebagainya) dituding sebagai sarang permainan/mafia sebutlah seperti Dahlan Iskan yang berkomentar sebaiknya pembelian langsung ke perusahaan minyak tidak melalui Petral (Tempo 2012), seakan-akan telah memberi informasi perusahaan pelat merah ini tidak dapat diharapkan banyak untuk transparansi mengingat kuatnya kekuatan pemain lama. Tetapi masalah ini timbul tenggelam terlebih pada respon terhadapnya.


Perdebatannya bukan pada studi manajemen industri perusahaan trading berfungsi apa, atau mengapa lokasinya di Singapura sebagai pusat pertemuan trader-supplier tetapi siapa yang bermain didalamnya menjadi mengemuka. Hal serupa dikemukakan oleh mantan Sekertaris Menteri BUMN Said Didu yaitu salah satu praktek mafia migas dilakukan melalui Petral, sudah sangat parah dan siapapun pejabat yang mencoba ungkit dipastikan tergeser, mafianya sangat terbatas dan sekitar inti kekuasaan, sulit diaudit karena semua berpusat di Singapura (lensaindonesia 2013). Sejarah perusahaan ini sahamnya pernah dipegang Bob Hasan dan Tommy Soeharto (theindonesianway 2012).


Hal ini membuat spekulasi berbagai pihak untuk menemukan jawaban berapa sebenarnya harga ke-ekonomian ataupun harga riil dari BBM tersebut.  Perhitungan Kwik Kian Gie walaupun mendapat banyak cibiran karena penyederhanaannya hal itu hendaknya dilihat sebagai medan terbuka para ekonom untuk melakukan debat publik tentang angka-angka dan cara penghitungannya. Hal yang biasa terjadi misalnya debat pro-keynesian atau pro-monetarist di AS, Eropa, seiring legitimasi ekonom jauh lebih baik untuk menjelaskan perhitungan. Untuk perhitungan Kwik disini dan contoh kritiknya disini.  Sejauh data itu kabur, sejauh harga bensin RON 88 tidak diketahui dijual berapa oleh penjualnya, dibeli berapa oleh pembelinya sejauh itu argumen berputar-mengorbit tentang harga ke-ekonomiannya. Karena komoditas ini sebagai komoditas berjumlah uang sedemikian banyak maka tentu saja permainan juga terjadi disetiap rantai nilai.


Ditambah lagi perdagangan komoditas BBM di Indonesia memakai benchmark harga dari MOPS (Mean of Platts Singapore), juga ditenggarai adanya manipulasi karena hanya satu-satunya dijadikan patokan berdasarkan Perpres 5/2005, lebih jelasnya lihat link berikut ini. Karena MOPS mengetahui ekogeopolitik Asia Tenggara maka akses publik ditutup untuk melihat harga komoditas baik crude maupun produk jadi (bensin, solar, kerosene) yang diperdagangkan demi menjaga “kerahasiaan” trader.


Pemerintah selalu bertransaksi dan menyandera “subsidi” dipertukarkan dengan bantuan tunai seolah-olah “subsidi” tersebut bertanggung jawab dengan kemiskinan yang terjadi. Sehingga opini publik terbentuk yang “kontra” kenaikan berarti kontra terhadap pengurangan kemiskinan via program balsem dan mendukung pemborosan oleh kendaraan bermotor. 


Jika alur tersebut kita geser menjadi problematika yang dipaparkan diatas maka yang terjadi alurnya adalah tidak terlebih dahulu mengarah ke subsidi tapi penyelesaian masalah di tata kelola migas nasional tersebut. Bertransaksi politik pembersihan dan transparansi tata kelola baru kemudian mengarah ke subsidi. Atau dengan kata lain subsidi tidak menjadi pembahasan selama satu hal tersebut belum berhasil dibenahi, setelahnya menyusul prasyarat yang lain yang akan disebutkan di bawah. Pada jalur ini didapatkan model bukan “subsidi” yang sepatutnya dipertukarkan dengan narasi pengurangan kemisknan yang ditawakan pemerintah tetapi alur para mafia yang bermain disemerawutnya tata kelola industri nasional dan kelemahan pemerintah menghadapinya/dealing with them bertanggung jawab langsung atas kemiskinan di Indonesia.


Pada aras politik praktis, analis pada stand point ini melihat kebijakan penurunan BBM pada ujung 2008 dan awal 2009 merupakan kebijakan populis menyambut pertarungan pemilu April 2009. Lalu bagaimana dengan kenaikan Juni 2013 kali ini, proyeksi apakah dipenghujung waktu mendekati pemilihan pada April 2013 terjadi pola yang serupa. Jawabannya hanya menunggu waktu benar atau tidak pola serupa akan muncul.

Selanjutnya analisia strategi politik dari kebijakan non populis yang sudah diagendakan seperti pengurangan subsidi. Jika beberapa waktu lalu orang-orang bertanya mengapa pilihan jatuh kepada pak Boediono sebagai wakil presiden masa sekarang inilah jawabannya. Pasang kuda-kuda ini terbukti ampuh ketika isu-isu politik non populis yang kiranya bertendensi menggoyang kursi 01 negeri ini dapat dimanage. Pilihan yang tersedia tidak lebih baik.  Seorang wakil presiden yang non partisan (tidak bertendensi menggeser) dan notabene berlabel agen neoliberal dengan kasus hukum yang masih menghantui. Strategi aktor non parpol sebagai wapres ini juga mensolidkan barisan dilegislatif perihal goyangan terhadap seorang presiden.
               

Semerawutnya nalar, macetnya argumen

Kenaikan harga BBM menyebabkan kemacetan argumen. Secara sekilas telah dijelaskan diatas ada pihak yang mengambil untung dari kesemerawutan ini.  Para subjek analis yang menerima subsidi menjadi sebuah masalah secara taken for granted akan mengorbitkan justifikasinya disekitaran penghitungan ekonomi dan dukungan melalui statistik. Penggunaan argumen perhitungan ekonomi ataupun studi-studi tentangnya untuk reduksionis masalah dan menyempitkannya, sementara masalah yang terjadi tidak independen dalam kotaknya tetapi memiliki interlinked, interkoneksi dan saling mengunci. Herbert Feigl (1952) seorang filsuf empiris menyatakan terdapat dua kelas dari justifikasi yaitu validation or justification cognitions dan vindication or justification actionis. 


Tanpa bermaksud mengulang-ulang analisis sebelumnya tentang argumen “bernuansa” statistik untuk melihat lebih banyak data kontra-kenaikan bisa dilihat disini. Pemerintah mengajukan alasan beban subsidi terlalu besar untuk APBN. Dengan alur yang sama tanpa mengulang seperti yang ditulis pada link diatas, pertanyaannya digeser sedikit, apakah bisa menggenjot pemasukan negara dari sektor yang lain secara moderat. Misalnya pengenaan pajak progressif yang dilakukan negara sosdem di Eropa Barat dan sebagainya dalam upaya mengurangi gap antara si kaya – miskin. 


Sementara dengan sistem yang ada pengumpulan pajak negara ini belum optimal.  Realisasi pajak 2012 yaitu RP.980,1 T sekitar 96,4% dari target Rp.1.016,2 (kontan 2013), tahun sebelumnya Rp.872,6 T atau sebesar 99,3% dari target Rp.878,7 T (Dirjen Pajak 2012). Belum lagi Pengemplangan pajak seperti yang dilakukan Asian Agri sebesar Rp.1.29 Triliun dengan denda Rp.604 miliar (Kompas 2013). 


Kasus pajak yang dilakukan Gayus menunjukkan bahwa terjadi relasi yang akrab antara klien pajak besar dan apparatus negara. Jika fenomena ini mirip gunung es, maka ada berapa banyak gayus yang belum berhasil ditemukan/muncul dipermukaan. Tentu masih ingat dialog LHI dan AF yang diperlihatkan sebagai bukti di persidangan, dimana konsep ketahanan pangan dapat dirubah dengan deal menteri dan importirnya. Anehnya media menstirnya menjadi konsumsi gossip politisi ala don juan. Jika perdagangan sapi diakali sedemikian rupa oleh pemimpin disebuah kementrian, bagaimana dengan komoditas minyak yang nilainya berkali lipat dibanding bisnis sapi tersebut. 

Tentang korupsi ini, jika ada alaram peringatan bahaya perampokan harusnya dinyalakan karena periode post-authoritarian ini semua ingin merampok negara dari posisinya masing-masing. Jika konsep morald hazard diperluas ke korupsi struktural bukan saja terbatas pada istilah sekelompok pengusaha too big to fail atau too big to bailout dalam sistem finansial maka akan nampak seperti yang dikatakan M.L Djelic,J. Bothello (2013:31), fenomena tersebut bukan particular aktor,negara semata, tetapi telah menjadi ciri-ciri utama kapitalisme kontemporer.  Jika KPK diberikan full power dan menangkapi koruptor bisa jadi banyak jabatan yang dilelang karena kekosongan dan penjara menjadi tempat paling mudah bertemu eks-pejabat.


Jika wacana penambahan pemasukan negara dari sektor pajak selanjutnya diarahkan kepada disiplin industri pertambangan dimana manipulasi data sering terjadi maka loss pajak dari industri tersebut dapat menambah pundi-pundi negara. Pada April 2013 Freeport Indonesia “setuju” menaikkan royalti yang semula dalam kontrak karya tertulis tembaga 4%, 1% emas dan 1% perak menjadi 4% tembaga, 3.75% emas dan 3.25% perak, dengan asumsi harga emas USD 1.500-1.600/ounce pendapatan pemerintah meningkat USD 80 jika produksi sedang turun dan USD 120 juta (vivanews 2013). Pencarian rente ini sebenarnya dalam studi industri tidaklah baik karena industri butuh  experience untuk mengelolanya. 


Jika memakai transaksi komoditas politik (ada yang dipertukarkan), pembahasan subsidi boleh muncul sebagai sebuah masalah besar tapi satu syarat lagi yaitu Antam masuk mengelola bersama Freeport dengan persentase 60%. Hal tersebut dari dinding masalah saat ini pastilah dipandang tidak masuk akal, tetapi dibandingkan nasionalisasi pilihan tersebut lebih moderat dengan keinginan memperbanyak pemasukan negara.


Sama halnya dengan industri minyak, secara moderat sekiranya segenap warga negara menginginkan PERTAMINA layaknya sebesar PETRONAS menjadi kebanggan nasional bermodel satu atap player, regulator dan manager dan main disemua rantai nilai up,mid,downstream dan menjadi perusahaan bersih-transparan serta berkredibilitas dunia-Good Coorperate Governance. Jika data yang dikemukakan produksi yang menurun karena sumur sudah tua, selayaknyalah PERTAMINA masuk mengganti atau paling moderat berkejasama dengan operator asing tersebut dengan prasyarat pertama PERTAMINA harus akuntable dan membersihkan dirinya.  


Sebagai contoh declining produksi di Blok Mahakam sekitar 390.00 barel/hari (kontan 2013), tetapi Total juga masih mau bertahan disitu. Bertahannya operator asing dengan pernyataan produksi menurun pastilah ada “sesuatu” perusahaan masih melihat adanya keuntungan dari investasinya dari pada angkat kaki. Pertanyaannya kenapa pemerintah tidak segera memutus kontrak dan menyerahkan operasi ke PERTAMINA. 


Experience perusahaan diperlukan untuk semakin matangnya eksplorasi dan produksi, research & development juga dikembangkan bukan hanya sekedar mencari rente dari profit split dari sistem kontrak PSC. Sekali lagi upaya pencarian rente menjadikan industri nasional jalan ditempat, kerdil dan tidak percaya diri. Keinginan masyarakat secara luas mengenai industri sederhana saja, setiap BUMN menjadi tuan rumah di rumahnya bukan sebagai pemain cadangan yang kerdil dengan prasyarakat lembaga dikelola secara professional – akuntabilitas. Secara moderat seharusnyalah perusahaan pelat merah menjadi besar di rumahnya seiring konsep souverignty menubuh dengan kepemilikan.  Lahan basah untuk nasional, lahan kering untuk asing dan swasta.


 Sekiranya ada permasalahan di antara pemerintah dan badan usahanya. Apalagi dibawah kediktatoran Soeharto, terlihat usaha pemerintah untuk membesarkan PERTAMINA tidak optimal dan yang terparah pada saat 1970an oil shock mendapatkan windfall-profit dari oil bonanza tetapi PERTAMINA tidak dikembangkan sedemikian rupa padahal PETRONAS baru incorporated 1974. Moral hazard ini disatirkan oleh Crotty “large financial gains of the boom (would be) private, while losses in the crisis (would be) socialized” (Crotty dalam M.L Djelic,J. Bothello 2013).


Kompetisi dalam arti ekonomi liberal pada sektor ini dimenangi Malaysia tetapi apakah penguasa kala itu/1970an perduli dengan kontestasi dan preskripsi idiologi ketimbang penggelembungan pundi rupiah dan pelebaran sayap-sayap usaha yang sustainable di segala lini. Pembesaran jumlah ekonomi dan pengerucutan ownership-control plus penggunaan militer bukan hal baik bagi kontestasi idiologi ekonomi liberal tingkat lanjut. Jika hanya strategi mentackling sosialisme era perang dingin cukup ampuh digunakan tetapi untuk agenda internasional kontemporer semisal good governance mengandung problematikanya.


Argumen yang sering mengemuka selanjutnya, alasan besarnya konsumsi BBM oleh kendaraan bermotor. Sekali lagi jika kita mengkonsumsi hal ini secara taken for granted kuantitas kendaraan yang menjadi persoalannya. Total kendaraan bermotor di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 18,9 juta kendaraan, pada 2011 sebanyak 85,6 juta (BPS 2011), pada 2013 94,2 juta (kompas 2013). Angka tersebut hampir setara dengan total populasi Malaysia plus Thailand tahun 2012. Jika alur bisnis otomotif di-ikuti dengan penjualan sebanyak-banyaknya maka pemerintah seharusnya tidak mengeluh soal hal tersebut. 


Sementara daya serap semi-skilled tenaga kerja bisnis ini menggelembung di rantai nilai terakhir yaitu retailer, hal tersebut berarti nasib yang tidak tentu bagi para pekerja. Jika konsumsi BBM subsidi dikeluhkan banyak disedot oleh kendaraan bermotor, mengapa tidak mengajukan skema semua kendaraan mobil pribadi/plat hitam, dinas bermigrasi ke Pertamax. Petugas SPBU cukup tahu bagaimana membedakan mobil plat hitam-kuning tidak perlu teknologi/solusi berbasis proyek pengadaan barang. 


Apakah ketakutan terhadap WTO membayangi, seperti jatah infant industry mobil nasional yang hanya sekali itu habis dipakai untuk proyek mobnas 1996 yang mendapatkan protes dari produsen otomotif Jepag. Industrialisasi dalam MP3EI juga dapat dibaca melalui kasus ini, alih-alih kebanggaan nasional via mobil nasional dalam Inpres 22/1996 ternyata perpanjangan bisnis dari keluarga penguasa. Hal ini serupa dengan penjelasan berbagai tokoh tentang konfigurasi industri pos-Soekarno atau masa Soeharto dimana militer menjadi borjuasi mengendalikan ekonomi negara di sekitar lingkarannya, pengusaha yang berhasil adalah pengusaha yang berhasil masuk kedalam lingkaran tersebut.


 Apakah proyek MP3EI dalam lajur yang sama kemungkinannya terbuka lebar, suatu formasi pelebaran bisnis tyconn lokal. Jika dihubungkan ke politik praktis, hal ini setidaknya bisa memberi ilustrasi pengusaha besar yang ingin menduduki tampuk kepemimpinan, selain motif prestise, ekonomi menjadi ekstrapolasi. 


Misalkan proyek-proyek infrastruktur sebutlah JSS (Jembatan Selat Sunda) yang diestimasikan sebesar USD 25 miliar atau sebesar Rp.225 Triliun (suarapembaruan 2012).  Fenomena yang terbentuk nantinya yaitu kompetisi sesama taipan lokal by proxy aliansi birokrat-birokrat sekutu didasari naiknya argumen “profesionalitas, efisiensi, membantu pemerintah”. Disini dilihat pemerintah tidak dalam artian yang solid/satu tetapi terdiri dari “orang-orang” yang terbuka lebar menyelingkuhi rakyat atas nama proyek. Pemerintah – swasta – pengusaha dalam kontestasi idiologi ekonomi neoliberalisme mengorbit pada jalur yang sama. 


 Secara kelas, bagi rakyat biasa asas fungsi dan manfaat yang mengemuka, tidak menjadi soal siapa yang mengerjakan, siapa operatornya yang penting bisa menyebrang Sumatera-Jawa pulang pergi tanpa harus naik feri sudah menjadi kesyukuran atas kelancaran. Tetapi bagi siklus bisnis, mulai dari proses konstruksi dan terutama menjadi operator hilir mudiknya jutaan manusia merupakan suatu proyeksi laba yang besar/signifikan menambah pundi-pundi emas. Bagi kelas pengusaha besar bukan masalah “kehausan kekayaan tanpa henti” tetapi ketidakrelaan melihat pengusaha lainnya membesar. Suatu simulasi kompetisi diantara taipan. Bagi pemerintah korelasinya dengan pemasukan negara seperti yang dibahas sebelumnya, suatu prasyarat transaksi lagi menjadi mayoritas demi experience dan terutama pembesaran angka pemasukan negara. 


Perihal tentang protes sebagai reaksi, justru menjadi aneh ketika negara dengan kebijakannya yang mendeterminasi terhadap nasib orang banyak tidak ada yang bersuara. Tentang  hadirnya kekerasan hendaknya dilihat dua arah (aksi-reaksi). Galtung menyatakan, tidak hadir/absennya kekerasan langsung/direct violence pada individu, kelompok dan sebagainya (misalnya absennya perang) dapat dikategorikan kondisi damai negatif, sementara absennya kekerasan struktural/ketidakadilan sosial, politik, ekonomi dikategorikan damai positif (Galtung 1969:183). 


Dengan menambahkan kausalitas kejadian berarti kekerasan yang terjadi dimasyarakat (misalkan tindakan protesters) merupakan efek yang lahir dari kondisi hadirnya kekerasan sistemik yang dilakukan oleh negara kepada masyarakatnya berupa ketidak adilan sosial. Seperti pernyataan Zizek, kekerasan sistemik/systemic violence merupakan catastrophic consequences of the smoot functioning of our economic and political system (ZIzek 2008). 


Pabrik kekerasan terdapat pada struktur sementara partikularitas violence  yang bagi sebagian orang sangat menganggu psikologis dan aktivitas “normal”nya merupakan asap dari pabrik. Inflasi harga akibat kenaikan harga BBM hendaknya dilihat sebagai pengganggu kenormalan. Dari titik ini kita memperoleh kondisi bahwa hadirnya keadilan sosial ekonomi merupakan solusi pengurangan asap pabrik tetapi jika terjadi sebaliknya maka asap pabrik akan semakin menghitam dan menebal. 


Perihal harga BBM, argumen yang banyak beredar mengatakan bahwa harga BBM di Indonesia lebih murah dibandingkan negara seregion tidak detil dalam melihat komoditas itu sendiri. Perlu di ingat bahwa kualitas bensin di negara ini (RON 88) merupakan terendah di region, data olahan ada dalam tabel di bawah. Oleh karena itu sebuah iklan yang menggambarkan sebuah mobil Alphard mengisi tangkinya dengan bensin RON 88 suatu yang diluar akal sehat. Bagaimana mungkin mobil yang harganya diatas Rp.700 juta atau setara 3 mobil truk Dyna tersebut merelakan dirinya (baca:mesin) di obrak-abrik oleh bensin berkualitas rendah. Jikapun ada yang tertangkap kamera itu hanyalah partikularitas saja, semisal sopir yang mengkorupsi uang pembeli bahan bakar.


 Ataupun jika tetap dipaksakan ada Alphard menggunakan RON 88, mungkin kita harus mempertanyakan pengetahuan si pemilik mobil terhadap propertinya dengan hipotesa keduanya bertolak belakang. Jika semua pemilik mobil disosialisasikan niscaya usaha pemerintah untuk memigrasikan pengguna kendaraan ke Pertamax RON 92, 95 tentu lebih mudah dikarenakan ketakutan atas kerusakan mesin yang berbiaya mahal.





               PERBANDINGAN NEGARA – NEGARA (diolah dari berbagai sumber)
Tahun
2005
2012
2005
2012
2005
2012
2005
2012
2005
2012
2005
2012
2005
2012
2005
2012
Negara
Indonesia
Malaysia
Singapura
Thailand
Vietnam
Filipina
Norway
Brazil
Luas wilayah (km²)
5.1juta
329 ribu
697
514ribu
329ribu
300ribu
386ribu
8.5juta
Rangking korupsi*
140
118
39
54
5
5
60
88
114
123
124
105
8
7
63
69
GDP/capita

3592

10304

51161

5678

1528

2614

99461

12079
Total populasi

237juta

29juta

5juta

65juta

88juta

97juta

5juta

193juta
Ranking infrastruktur

82

23

2

47

123

113

42

104
Jenis premium terendah
RON 888
RON 95
RON 92
RON 91
RON 92
RON 93
RON 95
RON 98
Harga premium**
0.6
0.58
2.10
1.17
1.1
1.2
2.49
1.35
Perusahaan nasional
PERTAMINA
PETRONAS

PTTEP
PETROVIETNAM
PNOC
STATOIL
PETROBRAS
revenue perusahaan***

2,76
36
97



0,003

37

0,202
45,4
119,5
37
145,9
note: *semakin rendah semakin bersih














            ** khusus harga premium memakai harga terbaru /juni 2013 dalam USD




             *** dalam USD billion









 

 


 
Terdapat tiga National Oil Companies (NOCs) yaitu di Malaysia, Norwegia dan Brazil. Ketiga perusahaan nasional tersebut terbukti mampu tidak hanya besar di dalam rumahnya tetapi offshore diluar teritorinya pun mendapatkan posisi yang bagus berkelas dunia. Ranking korupsi juga bisa di lihat bagaimana negara ini sangat terbelit dengan fenomena post-authoritarian regime dimana para subjek yang tadinya sedikit berada di lingkar kekuasaan sekarang pemainnya bertambah dengan korupsi struktural yang sama.  Size market berdasarkan populasi paling besar se region, maka tidak salah AS tidak berkecil hati kalah pada perang Vietnam tetapi “mendapatkan” Indonesia.  Dan tidak mengherankan pula jika kekayaan akumulatif 5 besar billionaires Indonesia pada 2012 sebesar 38.7 (US$ million) mengalahkan Filipina dan Thailand (Forbes 2012). Terlihat dari harga gasoline, subsidi di Malaysia membuat harga premium di bawah harga di Indonesia dengan kualitas yang lebih tinggi RON 95 atau sama dengan harga Pertamax Plus (RON 95). Jadi disini diperlihatkan bahwa argumen yang berpendapat harga premium RON 88 per Juni 2013 di Indonesia paling murah seregion terbukti tidak benar.


              


Contoh Manajemen


Karena orbit masalah yang diumpankan pemerintah dalam hal ini kuantitas kendaraan bermotor dalam konsumsinya maka sedikit berjalan ke tetangga melihat apa yang mereka lakukan. Dalam hal regulasi otomotif tentu tidak ada yang meragukan Singapura. Dibawah regulasi LTA (Land Transportation Authorithy) dengan slogan “We keep your moving” atau dengan bahasa lain perjalanan lancar/bebas macet/terus bergerak berbagai skema sedapat mungkin diberlakukan untuk mendisiplinkan sesuai kemauan pemerintah.


 Misalkan mobil bermesin 1.600 cc pajak diberlakukan per 6 bulan yaitu road tax S$372 atau setahun S$744 setara Rp.5,8 juta, motor bermesin 400cc SGD 55/6 bulan atau SGD 110/tahun setara Rp.8ratus ribu. Belum lagi pajak berdasarkan emisi, berdasarkan tipe bahan bakar, berdasarkan usia kendaran misalnya ˃ 10 tahun kena 10% dari road tax dan terdapat sistem kuota bernama VQS (vehicle quota system) dan sebaginya. Setiap orang yang ingin registrasti kendaraan baru harus mendapatkan COE (Certificate of Entitlement) dimana berhak untuk kepemilikan kendaraan berdurasi 10 tahun, diharuskan mengikuti bidding untuk mendapatkan kuota kendaraan sehubungan dengan VQS tadi. Untuk kendaraan kategori A (˂1600 cc),B (˃1600cc),C (kendaraan barang-bus), E diharuskan bid deposit sebesar SGD 10.000 dan D sebesar SGD 200 (LTA.org). Perkiraan/kisaran dalam pengurusan sertifikat kepemilikan kendaraan tersebut (COE) sebesar SGD70.000 setara Rp.547juta untuk tipe A, SGD 85.000 atau setara Rp.665juta untuk tipe B, belum lagi surat izin mengemudi yang ketat diharuskan lulus uji teori dan praktek (GatewaySingapore.com). 


Boleh saja dikatakan Singapura strict dalam aturan karena terbatasnya wilayah daratannya tetapi apabila pernyataan ini kita geser misalnya Singapura  di bawah administrasi Indonesia, tata kota dan public policy Singapura tidak akan menduduki ranking 1 competitiveness regional. Ilustrasi berbagai skema aturan terutama pajak dan sebagainya di Singapura setidaknya bisa memberi visi dalam upaya menjadikan pajak optimal dan pararel dengan manajemen transportasi darat yang sering dikeluhkan semua pihak.


Sementara alur argumen sekitar masalah ini masih seputar keinginan untuk menghadirkan manajemen publik transportasi di satu lajur dan menuruti sahwat industri otomotif dengan penjualan sebanyak-banyaknya di satu lajur lainnya seiring negara mengambil untung pajak dari kuantitas kendaraan. Ilustrasi ini menekankan munculnya public policy yang progressif mengatur dan membatasi dengan serangkaian barriers tentang kepemilikan serta manajemen yang meminimalisir tingkat kebocoran ataupun lobi antara aparat dengan pengurus kendaraan yang transaksi keuangannya tidak tercatat. Terbalik 180 derajat dari Singapura, negara ini penuh lobi, sebuah pemandangan yang umum di negara ini kemudahan seseorang mendapatkan SIM asalkan extra paid akibatnya juga terbalik semua berjalan lama jika normal paid.
              


Penutup

Penyanderaan subsidi, beban APBN dan kemiskinan yang menjadi konstruksi nalar dominan di ilustrasikan sebagai nalar yang dikembangkan. Seolah-olah hanya pos inilah biang masalah. Tulisan ini mengambil posisi dibelakangnya yaitu sebelum subsidi dibahas menjadi sebuah masalah terdapat prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi sebagai transaksinya.  Jika ternyata tidak mampu memenuhi prasyarat-prasyarat tersebut maka subsidi tidak muncul sebagai masalah negara. Jika pemerintah mustahil menjaga harga-harga tidak bergerak saat kenaikan harga BBM maka terjadi hal yang sama yaitu mustahil pula masyarakat kecil menerima kenaikan harga BBM.          Tidak menutup kemungkinan apabila semua beres, pemasukan negara bertambah, transportasi terkontrol, subsidi dan jaminan sosial semisal bantuan tunai bukan hal yang berlainan tetapi datangnya sepaket dimasyarakat.


Mengenai validasi argumen, tendensi ilmu ekonomi mainstream (kapitalisme) untuk mendekati kebenaran/realitas dengan perhitungan, angka-angka, statistik terkadang melampaui dirinya dengan mengkonstruksi kebenaran tersebut dalam reduksi angka-angka. Justifikasi ini cukup superior dalam perdebatan, fenomena kemajuan diatas kertas tetapi kemelaratan dilapangan bukan sesuatu yang asing. Alih-alih empirisme studi kelayakan yang dilakukan untuk validasi tidak bisa ditampik disesuaikan pesanan. Bagaimana mungkin kesimpulan akhir berbeda dengan kesimpulan yang ditawarkan donors tahap awal. Perdebatan ini seharusnya meluas bukannya mengkerucut, reduksionis alih-alih objektif.  Hal ini bukan melihat faktor eksternal – asing ala teori konspirasi tetapi demand ­dan aksi agen domestik yang menjadikannya jalan.


Bagi pemerintah yang lagi kasmaran dengan industrialisasi apabila keadaan semerawut seperti hari ini, banyak free rider niscaya program deligitimasi. Bisa jadi mirip euphoria Indonesia pada akhir 1980an dan awal 1990an dimana dikategorikan macan Asia, seolah-olah memasuki industrialisasi dan kemakmuran. Tetapi setelah krisis 1998 bangunannya luluh lantah dan tersisa semerawutnya masalah. Jika persoalan-persoalan masih sekitar itu-itu saja maka niscaya negara ini on the track to nowhere. Ibaratnya mobil rusak yang dipaksakan melaju, pilihannya perbaiki dulu atau langsung melaju, karena memilih kedua-duanya niscaya minim hasil. Dalam kontestasi idiologi pembahasan mengenai BUMN atau perpanjangan  tangan pemerintah relasi state-market masuk dalam model Keynesian.


Narasi moral-nilai kemanusiaan bukan hanya penting diajukan tetapi urgen karena semestinya kehidupan itu sendiri yang dilihat sebagai sesuatu yang eksis dan mengenai hak hidup orang banyak diatur dalam konstitusi dan itulah gunanya terbentuknya negara.  Dan para subjek yang melihat hendaknya tidak melihat masalah berdasarkan subjektivitas standar kecukupan hidup, akses ekonomi, akses teknologi, tabungan-penghasilan yang dipunya dengan melihat angka dua ribu rupiah sebagai nilai yang kecil.  Tentu sebutir telur yang pecah derajatnya berbeda oleh orang yang kulkasnya terisi makanan dibandingkan dengan orang yang menjadikan sebutir telur tersebut sebagai komplementer nasi untuk makan malam.



Jika kenaikan BBM bagi para ekonom akan menimbulkan short-term inflation, bagi masyarakat “short-term” itu waktu yang lama, jam demi jam, hari demi hari, lapar demi lapar. Hidup bagi rakyat kecil itu sekarang bukan satu-dua bulan lagi. Jika sekiranya kondisi ini dipertahankan dengan inflasi mendekati Ramadhan dan tahun ajaran baru maka double-inflation akan terjadi. Golongan menengah ke bawah akan terdorong ke bawah, dan golongan bawah akan semakin getir menghadapi hidup. Golongan menengah paspasan akan semakin sulit membiayai keluarganya/paritas daya beli melemah, jika masih ada tabungan, tabungan akan terkuras, properti akan terjual, jika telah habis akan mengutang yang membentuk masalah siklikalnya sendiri. Kenaikan kriminalitas oleh tekanan hidup akan menjadi-jadi.  Jika kondisi ini dipertahankan maka negara ini layaknya medan survive manusia untuk hidup dimana negara dalam keadaan absen. Tidak diperlukan teori super canggih untuk mengetahui basic needs manusia cukup makan, jaminan kesehatan, tempat tinggal dan keamanan serta sosialisasi bersama komunitas.



Untuk program bantuan tunai bukan persoalan uang Rp.150.000 itu berguna atau tidak tetapi bagaimana kemiskinan itu terpelihara. Belum lagi kriteria bantuan tunai mengandaikan ideal “seorang sehat bisa berjalan ke kantor POS mengantri” bagaimana dengan kaum tua, yang berpenyakit, yang tidak mempunyai ongkos, terpencil, tidak mempunyai tenaga ke kantor pos sementara untuk makanan depan rumah mereka sudah naik. Sepatutnya ambisius produktif-tidak produktif di hilangkan untuk melihat mereka yang tidak mempunyai akses terhadap ekonomi dan sebagainya. Sepatutnya rakyat kecil diperhatikan seperti manusia tidak dilihat seperti penyakit. Kontestasi idiologi di uji, jika kesemuanya ini di analisa dengan konsep sistem kelas maka tentulah kebijakan kali ini bukan milik kelas bawah. Akhir kata mengenai kebijakan kenaikan harga BBM dan program tunainya sekali lagi mengutip A.J Rahman, Ketika mereka mencoba-coba perduli terhadap masyarakat, lahirlah kebodohan yang sama sekali tidak perlu (Rahman 2012:4).














Jogja 26 Juni 2013
jika ingin mengutip data, hubungi penulis :)




KEPUSTAKAAN
E.Porter, Michael. The Competitive Advantage of Nations. New York: Free Press, 1998.
Galtung, Johan. "Violence, Peace and Peace Research." Journal of Peace Research, 1969: 167-191.
Kojeve, Alexander. Introduction to the reading of Hegel: Lectures on the Phenomenology of Spirit, trans. James H. Nicholas. London: Cornell University Press, 1980.
"MP3EI." 2011. www.depkeu.go.id/ind/.../MP3EI_revisi-complete_(20mei11).pdf (accessed 11 8, 2012).
Rahman, Anwar Jimpe. Hidup di Atas Patahan. Sleman: Insist Press, 2012.
Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal. Jakarta Selatan: Hasta Mitra, 2008.
Scott Burchill, Andrew Linklater et.al. Theories of International Relations. New York: Palgrave Macmillan, 2005.
Smith, Adam. Wealth of Nations. London: Elecbook Classics, 1998.
ZIzek, Slavoj. Violence. Profile Books Ltd, 2008.

SITUS (kesemuanya akses 25 Juni 2013)