Pages

Dosen point of view Vs Mahasiswa Baru circumstances



Dosen point of view Vs Mahasiswa Baru circumstances

Mata si dosen
Sore ini tiba-tiba teringat beberapa pernyataan seorang senior yang sekaligus seorang dosen ilmu sosial tentang kegelisahannya dalam proses pentransferan pengetahuan dalam sistematika institusi kepada mahasiswa. Aturan main dalam institusi pendidikan formal perguruan tinggi yakni mengikuti alur runtut. Pembagian dan porsi mata kuliah baik “beban” kualitas dan kuantitasnya dilakukan step by step. Tidak ada jalur bypass/memotong dalam permodelan tersebut. Oleh karena susunan mata kuliah dan kompositnya (metodologi, pembagian waktu (berapa kali mengajar), tujuan pembelajaran dan sebagainya) di buat dengan berbagai pertimbangan (psikologis dan sebagainya) berstruktur order/urutan.

Bisa saja dosen A melakukan transformasi secara cepat kepada mahasiswa, membicarakan yang “berat” dan menyeluruh “berat” (se-isi kepala dosen) dalam waktu/tempo singkat di awal perkuliahan kepada mahasiswa, tapi apakah itu  perlu? apakah itu tidak membuat generasi instan ? apakah itu tidak membuat beban puncak di “lugunya” subjek yang baru mengalami perubahan status SMA ke perguruan tinggi tersebut ? apakah seluruh mahasiswa dalam ruangan itu mampu mencernanya ? ataukah nanti justru menimbulkan kelas-kelas (cepat tanggap, lambat loading dsbnya) mengingat sebuah kelas terdapat plularitas yang tinggi ?  singkatnya apakah itu layak dan benar ?

Ilmu sosial dan ilmu eksak berbeda dalam beberapa segi, walaupun di awal-awal sejarah pengetahuan keduanya ini bukan sesuatu yang terpisah. Tetapi kita tidak membicarakan konteks itu, kita membicarakan konteks universitas yang dari awal kelahirannya telah memperkenalkan divisi/pembagian. Dengan melangkah lebih cepat tanpa harus mulai dari beberapa abad silam, kita membicarakan pembagian-pembagian itu dalam institusi pendidikan kontemporer dengan serangkaian aturan main vertikal (nasional-lokal). Dikotomi ilmu ini (sosial-eksak) seharusnya bukan dimaknai dua hal yang saling berlawanan (anti-) misalnya sosial berarti anti-eksak/tidak eksak. Pembagian itu hanyalah kategorisasi untuk membuat titik fokus masing-masing. Disini saya tidak membicarakan "gelar" atau serangkaian lainnya. Walaupun di tingkat advance/lebih lanjut misalnya telah membicarakan himpunan yang lebih luas masing-masing ilmu membutuhkan ilmu yang lain dalam membedah sesuatu permasalahan yang lebih kompleks apalagi yang berhubungan dengan manusia-kumpulan manusia-masyarakat dengan berbagai kerumitan konteksnya masing-masing

Kita mengenal Akrit Jaswal seorang anak dari remote area di India kelahiran 1993 yang ber IQ 146 telah melakukan operasi ringan pertama di umur 7 tahun. Prodigy child ini sangat piawai dalam mendalami ilmu kedokteran dan mengkhususkan dirinya menjadi ahli kanker yang bercita-cita mulia menyelamatkan penderita kanker secepat mungkin. Misi idealis ini sangat mulia (dan semua berdoa atas kemajuannya) tetapi ketika ia besar kelak dan mendapati dirinya berhadapan dengan pasar dimana akan mendapati hambatannya sendiri jika tetap berposisi sebagai pure scientist. Walaupun tidak menempuh jalur formal/institusional Akrit mampu “melahap” ilmu pengetahuan yang begitu digemarinya sejak kecil. Sebuah kombinasi bakat alam, pemberian Tuhan, suplai buku, supporting environment dan sebagainya. Ataupun prodigy yang lain semisal Jack Andraka juga dalam bidang penelitan kanker, Nobert Wiener yang meraih gelar PhD dengan disertasi logika Matematika pada usia 18 di Harvard, Wiliam Sidis sebagai mahasiswa termuda yang masuk Harvad pada usia 11 dan ahli matematika, untuk seni kita mengenal Ludwig Van Beethoven dan sebagainya.

Jika menggunakan dikotomi sosial-eksak secara kaku dalam domain institusionalis tentu kita melihat sangat sedikit pemikir ilmu sosial ataupun filsuf yang dapat berakselerasi secepat itu (umur biologis) < 20 tahun. Ilmu sosial membutuhkan serangkaian proses evaluatif baik bermodel self reflection, fenomenologi, kolektivis, pembacaan, penelaah dan pemahaman konsep dan serangkaian mekanisme pencocokan dengan realita ataupun  realita yang akan ia konstruksi jika ia mendapati adanya gap das sein-sollen. Secara singkat dan sederhana masing-masing dari input – process – output – counter output maupun tesa- anti tesa – sintesa, koreksi sintesa dsbnya memiliki fasenya masing-masing. 

Tetapi ini tidak hendak melihat adanya divisi pengetahuan dalam domain institusional lebih superior daripada yang lain. Tentunya hal yang menggelikkan apabila penarikan kesimpulan dari analog diatas yaitu sosial lebih superior daripada eksak karena tidak ada yang mampu mencapai puncak atau setengah puncak dalam periode singkat dalam sosial. Jikapun ada, apa standar/ukuran menguasai ilmu sosial itu misalnya hubungan internasional, antropologi, sosiologi dsbnya? Ilustrasi tersebut hanya memberikan sedikit gambaran bahwa model penghapalan/sesuatu yang baku semacam manual yang biasanya melekat dalam proses ilmu eksak terbuka besar peluang untuk mengakselerasinya asalkan fokus ke satu titik. Sementara ilmu sosial dimana proses evaluatif menuntut pra-kondisi yang tidak jarang melelahkan dan membutuhkan waktu. Kemudian ilustrasi tersebut membicarakan orang dalam himpunan yang kecil (prodigy child) sedangkan konteks yang dibicarakan jauh lebih banyak secara kuantitas atau dalam himpunan yang lebih besar.


Mata si mahasiswa
Saya menggunakan fenomenologi memakai sudut pandang orang pertama. Waktu awal kuliah dulu (tahun 2003) terus terang saya baru mengetahui Jerman pernah terbagi dua sewaktu perang dingin (maklum dari IPA). Sekaligus saya juga baru mengetahui ternyata ada istilah, konteks dan kurun waktu perang dingin tersebut. Proses belajar ini saya dapatkan pada awal sekali masuk kampus dalam serial diskusi yang terkesan “dipaksakan”. Tapi tak mengapa, dipaksa dalam konteks itu ternyata mengasikkan. Sewaktu pertama masuk, seakan semuanya tampak seperti timbunan dengan ketidaktahuan sama sekali harus memulai dari mana dan yang parahnya apa yang akan dipelajari sebenarnya.

Kemudian datang segerombolan informasi – istilah yang tidak pernah tuntas, rigid, runtut dan sebagainya berjejalan tanpa henti mulai dari filsafat ilmu, regionalisme, hukum internasional dan sebagainya yang diproduksi dalam serial non-kelas. Entah saya yang lambat loading atau materinya yang terlalu banyak menurut kadar saya waktu itu menghasilkan output tidak terlalu memuaskan. Dan siklusnya berulang-ulang berjejalan tanpa sama sekali memunculkan serial evaluatif dan pengetahuan yang terstruktur ditambah dengan proses perkuliahan yang mengecewakan. Di ruang yang lebih luas banyak hal diluar substansi yang meng-distract konsentrasi terutama hubungan sosial (pertemanan, percintaan dll). Syukurlah periode itu belum banyak terdistraksi oleh perkembangan teknologi sebutlah media sosial dan gadget-gadet yang mengangkat narsis di titik ekstrimnya.


Anggaplah ilustrasi kejadian miris itu sebagai seburuk-buruknya sampling. Sampling yang dikategorikan mahasiswa dengan informasi sangat minim dikepalanya. Meskipun satu contoh tersebut tidak dapat merepresentasikan semuanya (IQ yang lemot atau bagaimana) persoalan itu real/nyata. Dan jika akumulasi masalah itu tidak terurai dengan jelas dan terang, niscaya proses itu akan repetitif di objek yang berbeda.

Paradoks manusia di era informatika:
Seolah-olah dapat mengetahui segala sesuatunya dengan jelas, cermat, menyeluruh tanpa disiplin belajar yang teratur, sistematis, step by step, serangkaian pencocokan dengan realitas, proses evaluative dan sebagainya, saya rasa itu sangat bermasalah dan bahanya terjatuh pada solipsistik. Di lain sisi pengetahuan “ala kadarnya” di kepala kita tertahan ditempat/tidak berkembang sementara disisi lain kita merasa cukup dengan “isi” kepala kita itu. Sekali lagi saya rasa itu masalah. Bukankah ini suatu pertanda prematur nihilis epistemological, saya menyebutnya nihilis hipster.


Yuk mari belajar lg.....


21 Maret 2014, 6:04 PM
Jogja di bawah pohon, nyari wifi

Penjelasan singkat beberapa konsep kunci Pierre Bourdieu


Penjelasan singkat beberapa konsep kunci Pierre Bourdieu

Capital
Bentuk-bentuk Capital/modal. Capital dapat mempresentasikan dirinya melalu tiga bentuk penyamaran fundamental, yaitu:
1. Economic capital :
Seketika dan secara langsung dapat dikonversi ke bentuk uang dan dapat dinstitusionalisasi  dalam bentuk property right.

 2. Cultural Capital:
Dapat dikonversi, dalam kondisi tertentu, ke economic capital dan dapat dinstitusionalisasi dalam bentuk kualifikasi pendidikan.
Misalnya : kualifikasi pendidikan nantinya dipergunakan u/ mencari kerja sesuai dengan kualifikasi dan menghasilkan modal ekonomi. Artinya modal kebudayaan (misalnya berupa pendidikan) dapat dikonversi menjadi modal ekonomi.

3. Social Capital :
Terbuat dari kewajiban-koneksi sosial, yang dapat terkonversi dalam kondisi tertentu menjadi economic capital. Modal sosial dapat di-institusionalisasi/terlembagakan dalam bentuk gelar kebangsawanan atau keningratan (Bourdieu: 1986).

Disini Pierre Bourdieu memberikan titik tekan untuk bentuk cultural capital.  

Cultural capital/modal kebudayaan dapat eksis/hidup/hadir dalam tiga bentuk, yaitu:
1. In embodied state/ Dalam mewujudkan keadaan.

Perwujudan kapital, kekayaan external terkonversi menjadi bagian integral seseorang, menjadi sebuah habitus. Dalam kondisi ini tidak dapat secara langsung ditransmisikan (tidak seperti uang, barang-barang pribadi, gelar dsbnya) melalui pemberian , warisan, pembelian atau pertukaran.

Dalam mewujudkan keadaan, berlaku sebuah proses dan membutuhkan waktu. Oleh karena itu hubungan antara modal ekonomi dan modal kebudayaan tercipta melalui mediasi waktu yang diperlukan untuk melakukan akusisi terhadap bagian integral seseorang.  Kondisi sosial atas transmisinya dan akusisinya lebih tersamarkan daripada modal ekonomi. Hal demikian cenderung berfungsi sebagai modal simbolik/symbolic capital.

Bentuk samar-samar pada diri seseorang menurut Bourdieu dapat terdeteksi melalui symbolic capital. Terpresentasi melalui pertukaran-pertukaran simbol dan simbolik. Seperti distingsi hukum Yunani yang membedakan inherited properties (ta patroa) dan acquired properties (epikteta). Cultural capital -> in embodied state -> symbolic capital merupakan epikteta (properti yang diperoleh/didapatkan) melalui serangkaian proses yang membutuhkan waktu mewujudkan keadaan personalitas.

2. In objectified state/dalam keadaan terobjektifikasi (benda-barang-objek)
 Dalam bentuk benda-benda/barang-barang hasil kebudayaan (gambar, buku, kamus, instrument dan sebagainya).

3. In institutionalized state/keadaan yang ter/dilembagakan
Sebuah bentuk objektifikasi yang harus diatur/dikelompokkan terpisah misalnya dapat dilihat pada kualifikasi pendidikan.

Gagasan cultural capital oleh Bourdieu dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan/posibilitas penjelasan dari unsur dimensi kelas sosial misalnya  berhubungan dengan kesuksesan akademik. Pada umumnya pendapat, melihat kesuksesan atau kegagalan akademik merupakan sebuah efek kecerdasan-bakat-ketangkasan di dalam teori human capital/modal manusia. Bourdieu menganggap pada keadaan tersebut terdapat persoalan kelas.

Berlalih ke habitus, doxa, field dan practice sebagai kunci alas konsep dan sebagai kosa kata populer karya Bourdieu.

Untuk memudahkan pemahaman marilah kita mengambil penjelasan Karl Maton (Karl Maton, 2008:49-65). Jika di-ilustrasikan penjelasan Karl Maton tentang habitus Bourdieu sebagai berikut :

Habitus <---> field = practice

Meskipun Maton menggunakan persamaan dengan formula agregasi (yaitu “+”) tetapi dalam penjelasannya saya melihat lebih tepat menggunakan tanda panah bolak balik yang mengilustrasikan relasi timbal balik.  Relasi timbal balik antara habitus dan field membentuk practice.  Field sebagai arena dan konteks sosial partikular tempat subjek berada. Habitus sebagai basis bagi agen dalam memahami hidup. Habitus berfokus pada bentuk tindakan, merasakan, berpikir dan keberadaan. Membawa seperangkat struktur agen dalam kondisi kekinian (present circumstances). Relasinya merupakan proses aktif dan berkelanjutan/ongoing. Habitus mempunyai struktur khusus tersendiri. Habitus pada agen tidak hanya menghubungkan masa lalu, kekinian dan masa depan tetapi sosial – individual, objektif dan subjektif dan struktur – agen. Habitus agen sosial berdialog dan berelasi dengan lapangan sosial/social field mereka membentuk praktek. Sekaligus ladang sosial dapat dipengaruhi oleh sekumpulan tindakan agen.
  
Sebagai analog selanjutnya misalnya pada permainan bola/football game. Dalam lapangan terdapat seperangkat aturan/regularities yang membentuk logika praktek/tindakan bagi pemain. Pemain-segala pihak-partisipan yang masuk dalam circumstances permainan (baik aktif-pasif) tersebut akan bertindak sesuai posisinya misalnya pemain di lapangan, wasit, penjaga karcis, penonton dan sebagainya.  Tetapi analog ini mempunyai kelemahan bahwa dalam certain regularities football game berbentuk tetap/fixed sedangkan pada lapangan sosial bermodel dinamis. Interupsi regularities dapat dilakukan agen yang aktif. Tetapi yang pasti di setiap field terdapat distingsi tersendiri baik itu aturan dan sebagainya meskipun terbuka juga relasi inter-field.


Jadi untuk menggunakan konsep serta pendekatan Bourdieu dalam menganalisa fenomena sosial yaitu peneliti lebih dahulu mengetahui habitus dari agen sosial serta praktek yang dijalankannya. Mengetahui komposisi, variabel-variabel, kondisi serta seperangkat aturan (baik tertulis maupun tidak) dalam lapangan/field sosial yang akan dianalisanya. Aturan yang tidak tertulis yang mendasari praktek/practice itu dalam kosa kata populer Bourdieu dikenal dengan terminologi Doxa. Hal tersebut bukanlah suatu tata urutan yang mana mendahului yang lain tetapi merupakan relasi timbal balik. Baik dalam tradisi sosiologi maupun politik dialektika struktur – agen menjadi dominan analisa dan tidak jarang terperangkap maupun terbatasi dalam dikotomi tersebut.
Doxa berkenaan dengan pre-refleksif pengetahuan intuitif yang dibentuk oleh pengalaman ke alam bawah sadar fisik dan kecenderungan relasional (Cécile Deer 2008:120). Doxa merupakan sebuah seperangkat kepercayaan fundamental tanpa harus ditegaskan/dinyatakan secara eksplisit (Bourdieu dalam Cécile Deer).


Kata doxa sendiri telah muncul dalam perbendaharaan kata Yunani misalnya pada Plato  yang kita ketahui bersama memberikan distingsi being dan becoming yang ekuivalen dengan distingsi form/kondisi dan phainomena/fenomena atau distingsi/perbedaan antara object of knowledge/objek pengetahuan (episteme) dan object of opinion/objek opini (doxa). Doxa dalam Plato berbeda dengan episteme dalam suatu perbandingan. Aristotle sendiri seperti yang kita ketahui bersama mengenai being sendiri dapat dianalisa menurut 10 kategorisasi yang dibuatnya (kualitas,substansi, kuantitas, waktu dll) misalnya distingsi potensial dan aktual being, esensial dan aksidental being dsbnya. Dalam kosa kata Aristotle doxa sendiri bersinonim dengan dogma. Melihat dua besar filsuf Yunani itu kemudian melihat maksud Bourdieu tentang doxa dapat dilihat titik potong yaitu dapat menjadi dogma disisi lainnya opini tidak membutuhkan penjelasan eksplisit.


Tulisan ini tidak bermaksud untuk tracing inter-tekstualitasnya dengan pemikir yang lain atau biographical sketch seorang pemikir Perancis lahir di desa kecil Denguin-Perancis pada 1 Agustus 1930 kuliah di École Normale Supérieure (ENS) masuk pada 1951 lulus bergelar sarjana filosofi pada 1955 and so on. Meskipun kosa kata konsep Bourdieu bukan hal yang baru misalnya habitualitait nya Husserl dan sebagainya. Melainkan hanya penjelasan sederhana konsep. Posisi Bourdieu sendiri dapat dilihat pada bukunya yang berjudul In other Words (essay toward a reflexive sociology) dimana ia menjelaskan posisinya serta inter-teksnya dengan pemikir yang lain. Dengan model buku Q & A (questions & answers) ingin menggambarkan habitat keilmuan berdasarkan kesejarahannya dalam mempelajari filsafat, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Seperti terdapat bagian dalam menjelaskan practice bahwa ia menjauhi Saussure yang bertendensi mekanis dan lebih dekat dengan Chomsky yang melihat practice itu aktif. Ataupun mengakui strukturalisme tetapi kemudian menegasikan dirinya terhadap golongan structuralism itu.


Lanjut ke Bourdieu, kemudian dengan tetap meletakkan kelas sebagai unsur analisa, secara sederhana dapat dilihat dalam pernyataan Bourdieu sebagai berikut (Bourdieu dalam Karl Maton) :

“Why does someone make pretty – bourgeois choices ? because he has a petty bourgeois habitus !”

Lensa habitus ini dapat menjadi titik potong antara sosiologi maupun psikologi tetapi tidak dapat terlalu jauh masuk kedalam psikologi yang tersentralisasi pada seseorang (baik kejiwaan, pikiran dan sebagainya). Terdapat limitasi yaitu agen yang terkonstruksi oleh seperangkat keadaannya (past, present, future) melalui serial dialog dan kejadian.  Dan keadaan itu sendiri juga mempunyai strukturnya. Kelas dan dominasi menjadi suatu yang tidak terpisahkan dalam komposisi bangunan konsep Bourdieu.


Symbolic Violence

Simbol merupakan game Bourdieu seperi yang kita lihat pada pembedaan capital. Kekerasan dalam lensa Bourdieu dapat berwujud kekerasan simbolik dimana korban/victims kekerasan berpartisipasi dan mengafirmasi dirinya dalam sistem yang menciptakan kekerasan tersebut. Akibatnya korban kekerasan simbolik akan sulit menemukan posisi dirinya sebagai seorang penderita dari sistem tersebut.

Misalnya dalam sistem meritokrasi pendidikan yang pada akhirnya membuat kelas-kelas tersendiri. Para partisipan dalam sistem yang tidak dapat mengikuti standar sistem akan mendapati dirinya termarginalisasi dari sekelompok yang lain. Akibatnya sistem memproduksi punishment atas mereka dengan pelabelan dan sebagainya. Efeknya bagi pelajar yang terbelakang tadi mengafirmasi kekerasan pada dirinya yang dilakukan berbagai agen atas simbol-simbol yang dilekatkan.  


Atau contoh ringan nan sederhana yang penulis sering sebutkan coba di ilustrasikan kekerasan pria pada wanita yang disimbolkan sebagai pacar/pasangannya (lapangan pacaran). Terlebih dahulu pria nya memberlakukan set/sekumpulan peraturan tidak tertulis yang diupayakan dilegitimasi dengan sejumlah narasi nantinya akan berefek masuk ke alam bawah sadar wanita (doxa) yang akan disubordinasinya. Selanjutnya ketika terdapat pelanggaran terhadap aturan main yang dibuat tadi si pria tadi melakukan kekerasan (baik verbal-non verbal) atas simbol pacar yang dilekatkan dengan kepemilikan/possession padahal aturan tersebut di buat-buat dan lemah. Transaksi simbol ini dengan partisipasi wanita korban akan sulit menemukan dirinya bahwa ia seorang korban kekerasan karena mengafirmasi bahwa ia layak mendapatkannya karena pelanggarannya. Pria nya memegang kekuasaan simbolik. Akibatnya adalah terperangkapnya oleh game dan tentunya ruining kehidupan korban.  Jadi game ini yang hendak dibongkar Bourdieu dengan melakukan zoom in partikel-partikel kompositnya sehingga bisa terlihat terang dan jelas. Penemuan masalah yang jelas akan berpararel dengan konklusi.


“ terlembagakan -> simbolisasi -> set aturan -> upaya & proses legitimasi -> afirmasi -> kekerasan simbolik”


Jika dilihat dari model kekerasan simbolik ini merupakan tradisi sosiologis yang khususnya membahas pelabelan. Tetapi Bourdieu menambahkan konstruksi kelas dan dominasi serta elemen-elemen lain pembentuknya. Menurut penulis, inilah konsep yang dapat dikembangkan dalam praktek Ilmu Hubungan Internasional baik unit analisa relasi inter-negara (inter-national), dalam negara (masyarakat-pembuat kebijakan), regional (hegemon-lemah) dan sebagainya. Misalnya melihat simbol yang dilekatkan negara berkembang oleh negara maju, penganut agama yang lain terhadap dominasi penganut agama yang satu, simbolisasi terorisme, simbolisasi authoritarian untuk justifikasi perang baik dalam humanitarian intervention, atau unit yang relatif mikro dalam relasi kelompok masyarakat dan sebagainya namun tentunya dalam lapangan Hubungan Internasional tidak dapat mengafirmasi unit analisa mini-mikro seperti ilustrasi pacaran diatas. Hal tersebut diluar aturan main umum. Heheee



Bourdieu sebagai ilmuwan sosial juga tidak lepas dari beberapa kritik baik terhadap bangunan pengetahuan (ontology,epistemology,metodologi) maupun personalitas. Untuk personalitas seperti tulisan Elizabeth Silva dan Alan Warde ( 2010:1) “undoubted self-confidence membuat beberapa kawan sociologist tidak bersimpati pada hasil karyanya.  Terkadang Bourdieu memunculkan reaksi emosional atas penilian negatif karyanya.” Bernard Lahire dalam Elizabet Silva dan Alan Warde menyatakan “seperti peneliti sosial kebanyakan/pada umumnya yaitu tuli terhadap semua pembuktian kesalahannya dan menolak mengakui pihak yang berlawanan dengannya (ibid).


Masih terdapat konsep yang lain yang belum dapat dijelaskan kali ini, maafkeunn yah.
Further reading
P. Bourdieu “masculine domination”
P. Bourdieu “class and classification”
P. Bourdieu “Homo academicus”
P. Bourdieu “The Algerians”
P. Bourdieu “Homo academicus”
P. Bourdieu “Practical reason on theory of action”
P. Bourdieu “Homo academicus”
P. Bourdieu “Social structure of economy
P. Bourdieu “Language and symbolic power”
P. Bourdieu “Reproduction and education”
P. Bourdieu “Free Exchange”
P. Bourdieu “in other words: essay towards reflexive sociology”
P. Bourdieu “The political ontology of Martin Heidegger”
P. Bourdieu “The logic of practice”
P. Bourdieu “On Television”
P. Bourdieu “Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste”
P. Bourdieu "the form of capital"


Introduction :
Karl Maton dan Cecile Deer dalam Michael Grenfell  (editor) “Pierre Bourdieu key concepts”
Jean Webb, Thony Schirato, Geof Danaher “understanding Bourdieu”
Richard Harker “introduction bourdieu”
Simon Susen, Bryan S. Tuner (Ed.) “The legacy of Pierre Bourdieu”





















Jogja, perpustakaan UGM 17-18 Maret 2014
*kesepian mencari jodoh, curcol heheeee

suatu sore di perpus

tiangnya kokoh dan berderet rapi,
rupanya cokelat dan terlihat kuno,
tetapi ia menjulang dengan kekuatan
memancarkan ia pernah kuat di jamannya

jika dihitung terdapat lebih dua puluh menjulang tinggi
sebuah tradisional yang mewah
sebuah keperkasaan arsitektur
dan kedamaian suasana

tapi apakah ia begitu sunyi
sedangkan dulu ia adalah pusat keramaian
dulu ia ramai bersuara, hilir mudik penuh tawa
kini kemegahan yang berhati sepi

walau ia dikelilingi orang-orang yg tampak baik
dan bunyi hewan yang menentramkan
tetap ia tak sesehat sebelumnya

ia tak bisa tersentuh sosok angkuh nan tamak
walaupun sekarang keadaanya seperti itu
ia ingin tersentuh kesederhanaan
dan gelora-gelora kemandirian yg berpihak banyak orang


kadang terpaku, mungkin ia terpenjara masa lalu
tapi itu bukan alasan untuk meremehkan yang lain

kadang terpaku, mungkin ia tidak mengenali dirinya dengan baik
tapi itu bukan alasan berbuat semena-mena

dari fondasinya yang kuat, muncul sesuatu yang istimewa
dari fondasi yang lemah, muncul sesuatu yang hanya tampak permukaan saja yang istimewa

sebuah kekokohan yang rapuh,












Jogja 12 Maret 2014
Perpustakaan UGM, sambil menikmati pemandangan gedung rektorat

Opini: Ekonomi Politik Keamanan Krisis Ukraina



Jogja-Terban, 1 Maret 2014
Ekonomi Politik Keamanan Krisis Ukraina                                                                                       

Dimensi Politik

Yanukovych dijatuhkan dari kursi kepresidenan pada 22 Februari lalu (naik menjadi presiden 2010) oleh impeachment Verkovhna Rada (parlemen unicameral/satu kamar Ukraina) dengan suara 328 dikarenakan tuduhan reaksi kekerasan menghadapi para pendemo di lapangan Maidan-Kiev. Yanukovych menjadi aktor politik pro-Rusia, menjauhi UE-AS dan NATO. Track record Yanukovych menjadikan ia sosok yang kontroversial semenjak masuk di beberapa posisi pemerintahan awal tahun 2000an. Beberapa kebijakan kontroversial sebagai Presiden misalnya menjadikan bahasa Rusia sebagai bahasa resmi kedua, sensor media dan pengurangan kekuatan oposisi dengan pemenjaraan pemimpin oposisi dari partai nasionalis “Fatherland” Yulia Tymoshenko pada 2011. Sentralisasi berlebih dengan pengurangan kontrol kekuasaan.


Pendemo yang kebanyakan etnis Ukraina menganggap Yanukovych dan lingkaran dalam pemerintahan melakukan kleptokrasi dan serangkaian fraud lainnya yang menyebabkan kondisi ekonomi memburuk. Sentimen anti-Rusia meningkat, sekitar 100 patung pemimpin revolusioner Lenin di jatuhkan di beberapa wilayah terhitung sejak Desember 2013 - Februari 2014. 

Oleksandr Turchynov bertindak sebagai presiden interim menggantikan Yanukovych dengan periode jabatan sampai pemilihan presiden 25 Mei nanti. Pada 27 Februari Arseniy Yatseniuk (salah satu pemimpin oposisi) terpilih menjadi PM dengan suara parlemen 371 dari 417. Yatseniuk beberapa tahun terakhir mengincar jabatan eksekutif tertinggi tetapi baru kali ini melalui tekanan sipil (demo) anti-pemerintah Yatseniuk mendapatkan posisi awal dari beberapa langkah kedepan yang direncakannya. Posisi Yatseniuk yang merupakan mantan menteri luar negeri membuka banyak peluang untuk membicarakan aliansi, Yatseniuk merupakan sekutu dekat Barat (Eropa Barat) dan AS.  

Kemungkinan besar presiden yang terpilih pada Mei nanti apabila keadaan masih ditangan anti-Rusia yaitu perempuan bernama Yulia Tymoshenko. Sehingga duet Tymoshenko – Yatseniuk memuaskan hasrat massa popular dan sekutu Barat. Untuk Ukraina secara umum oposisi naik menggantikan pemerintahan berkuasa ditengah jalan periode kerja merupakan hal yang biasa terjadi terutama sejak 2000an.

Dimensi Keamanan
Bagi Rusia, Ukraina sebagai negara tetangga “halaman” memainkan peran vital dalam geopolitik baik dimensi keamanan pertahanan dan ekonomi. Kehilangan sekutu elit pemerintahan sama dengan pengurangan grip. Reaksi Putin dan ahli strateginya menggunakan teknik fait accompli untuk mendapatkan persetujuan parlemen Rusia untuk menurunkan pasukan dengan pertama kali menyebar pasukan di Crimea (kota Sevastopol- Simferopol). 


Crimea merupakan wilayah Ukraina yang terpisah berada di laut hitam yang mendapatkan kerjasama khusus Ukraina-Rusia pada tahun 2010 (Presiden Yanukovych) untuk membentuk pangkalan armada laut. Relasi militer-militer Rusia-Ukraina di Crimea sejauh ini bersimbiosis oleh karena perubahan derajat politik di Kiev tidak serta merta merubah relasi di lapangan dikarenakan otoritas militer yang terbelah. Crimea berstatus republik otonomi dan daerah berpopulasi muslim terbesar di Ukraina, distribusi etnis Russia sebagai mayoritas menggantikan persentase Muslim Tatar yang tersingkir pada era Perang Dingin. Gelombang Muslim sendiri meningkat ketika daerah tersebut dikuasai oleh kekaisaran Ottoman. Komposisi etnis dimana Rusia dominan di wilayah ini dijadikan salah satu justifikasi penyebaran pasukan militer di Crimea untuk melindungi living space etnis Rusia. Sementara di ruang geografis lain dimana etnis Ukraina mayoritas, sentiment anti-Rusia terekskalasi.

Bagi sekutu Barat-AS-NATO, majunya jarak armada laut khususnya di laut Hitam jelas menambah ancaman terlebih Rusia ditangan Putin – Medvedev. Sebelumnya doktrin keamanan Rusia berubah terutama pos-Soviet. Semenjak Boris Yetlsin berkonflik dengan Duma pada 1993 dan beberapa konflik internal seperti Checen dan terutama naiknya Putin merubah doktrin militer Rusia baik terhadap CIS, Eropa Barat dan AS. Perubahan utama semenjak tahun 2000, NATO dijadikan ancaman eksternal dan bersifat aggressor sedangkan ancaman internal pada gerakan separtisme.


Bagi para penstudi Hubungan Internasional terutama yang berkonsentrasi pada kajian keamanan dan konflik memberikan model geopolitik yang dijalankan Amerika Serikat ini sebagai strategi Anaconda. Sebuah model pembatasan gerak geografis dengan serangkaian blokade yang dipraktekkan pada perang sipil Amerika era Lincoln. Bagi Sekutu Barat, ”melepaskan” Crimea dari Rusia yang akhirnya memberikan gerak mundur bagi Rusia merupakan suatu mekanisme pembatasan. Begitu juga membatasi ruang Rusia agar tidak memasuki Ukraina daratan demi keberlanjutan kubu oposisi di puncak kekuasaan.


Bagi Rusia sendiri, “melepaskan-memerdekakan” Crimea dari Ukraina merupakan opsi penting dari kondisi hilangnya grip di Ukraina daratan. Jadi selain show force­ - detterence yang diperlihatkan militer Rusia di Crimea, taktiknya adalah upaya preventif munculnya model Anaconda yang dipraktekkan Barat tersebut. Tentunya bagi Rusia kehadiran penguasa baru dengan membawa shield baru yaitu NATO akan mengancam pertahanan mereka karena hadir dihalaman belakangnya. Bagi Rusia ini bukan perimbangan kekuatan melainkan pelemahan kekuatan. Persoalan bukan soal subjek Rusia semata misalnya kekuatan Rusia hadir di halaman AS di Meksiko atau kehadiran pangkalan laut di Wales tentulah AS dan Inggris akan melakukan hal serupa. Namun perbedaan signifikan antara Rusia dan AS – Inggris adalah leaders really matter di Rusia. 


Barry Buzan (2003:43-4) dalam teori regional security complex mengatakan variabel proximitas geografis memberikan tekanan dan interaksi keamanan berdinamisasi, dan kondisi keamanan negara saling terkoneksi serta memberikan efek laanjut pada regional. Tentunya fenomena ekonomi-politik-keamanan regional Eropa Timur maupun Eurasia berkorelasi erat dengan fenomena perang dingin (Soviet-pos-Soviet). Perang Dingin tidak pernah reda hanya skala dan porsinya saja yang fluktuatif dan model pergeseran bipolar ke multipolar.


Ketakutan bagi oposisi yang kini naik ketampuk kekuasaan Ukraina adalah lepasnya Crimea dan masuknya invasi sampai berjarak dekat dengan Kiev. Atau kejadian seperti di South Ossetia-Georgia pada Agustus 2008 dimana perang sepekan ini kurang terdengar di masyarakat umum dikarenakan hingar bingar Olimpiade Beijing berlangsung pada saat bersamaan.

Sejauh ini model Georgia dan Ukraina relatif sama yaitu menggunakan gerakan sipil (di Georgia revolusi Mawar pada November 2003), presiden tumbang, naiknya kubu pro-AS-Barat (presiden Shaakashvili) dan eratnya pertautan NATO dan salah satu ujung trajektorinya adalah Georgia menjadi negara hub (pipeline BTC) strategi migas sekutu setelah gagal mendapatkan Armenia. Tetapi dalam dimensi keamanan dan militer terdapat perbedaan signifikan antara Georgia dan Ukraina yaitu relasi militer-militer. Di Georgia sebelum tekanan sipil dalam revolusi para aparat militer telah mendapatkan pelatihan dari NATO atau secara singkat telah terdapat relasi militer Georgia-Sekutu. Sedangkan di Ukraina relasi militer berhubungan erat denga Rusia.


Dimensi Ekonomi
Para protestors  pada akhir November 2013 menggunakan momentum ekonomi yaitu terpuruknya kondisi ekonomi dan penolakan Yanukovych terhadap skema integrasi UE sebagai trigger disamping akumulasi masalah lainnya. Penolakan Yanukovych bukan persoalan idologi dan semacamnya tetapi penuh kalkulasi ekonomi. Dalam skema integrasi UE potensial nilai yang dihasilkan jika dikalkulasi tidak sampai mencapai 2 milyar US dollar sedangkan Kremlin menawarkan potensial nilai sebesar 15 milyar US dollar.

Kepentingan nasional Rusia dalam “menjaga dan merawat” Ukraina salah satu yang terbesarnya adalah suplai migas mereka ke Eropa Barat melalui jaringan pipa yang terbentang dari Siberia dan beberapa hulu lainnya ke German dan negara lainnya. Geostrategis pertahanan dan peletakan pangkalan armada laut di Crimea juga dapat dipandang dari sudut politik migas, yaitu sebagai upaya pengamanan jalur pipa baik yang sudah terinstal di Ukraina maupun yang diproposalkan. Seperti proposal South Stream konstruksi jaringan pipa rantai suplai Rusia menuju ke Yunani - Italia dan sebelah Barat sampai Austria melalui jalur laut Hitam menempatkan dimensi penting pertahanan Crimea. 

Jalur pipa yang telah terinstall dari Rusia sampai ke German via Ukraina merupakan hal yang krusial untuk diamankan. Perselisihan suplai energi ini akan merugikan milyaran dollar Rusia dan ketahanan energi di Eropa Barat seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Terlalu tingginya ketergantungan Eropa Barat akan suplai Rusia membuat power Rusia membesar. 

Hal inilah yang ditakutkan kedua belah pihak yaitu bagi sekutu Barat jelas Rusia semakin agresif. Bagi Rusia power bisa mengecil dikarenakan terbukanya peluang Ukraina meningkatkan tekanan ekonomi (misalnya toll fee migas, membatalkan proyek pengadaan armada dan perlengkapan militer dan sebagainya) yang mengundang pemain baru. Rusia menghawatirkan pemain migas sekutu Barat yang beroperasi di Laut Kaspia (Azerbaijan dan Kazakhstan) masuk menggantikan suplai Rusia ke Eropa Barat. Artinya sebagian kecil kartu yang jatuh akan berefek rentetan lebih besar.


Dalam periode ini informasi yang beredar sangat banyak. Beberapa diantaranya bermodel reportase yang menenggelamkam pembaca pada lautan permukaan. Dari reportase kita dibantu mendapatkan cerita jam per jam, hari per hari tetapi tidak dengan analisa. Dengan pengelompokan kepentingan masing-masing pihak kita dapat mengetahui lebih jelas dan terhindarkan dari macetnya proses berpikir dari tumpang tindihnya informasi. Media massa nasional modelnya hanya menyadur dari media internasional. Permasalahannya adalah media internasional ikut mengkonstruksi opini. Media merupakan domain operasionalisasi power kewacanaan.


Dalam hal ini penstudi hubungan internasional diharapkan mengetahui historitas, geopolitik Eropa Timur, aktor politik dan sebagainya untuk membangun analisa. Kepentingan maupun motif itu secara sederhana dapat dikelompokkan sebagai berikut: massa populer dan solidaritas mekanik bertautan dengan freedom – dignity maupun heorisme lainnya, penduduk mayoritas Crimea mendekat dengan Rusia (berpotensi referendum), muslim Tatar menolak Rusia, pemimpin oposisi duduk di puncak kekuasaan sehingga UE – AS – NATO lebih dekat kepada Ukraina melakukan reorganisasi modal baru, bagi Rusia berupaya mempertahankan Ukraina daratan jika kalah berfokus pada Crimea. 


Ada kemungkinan model perang Georgia berulang dengan konsekuensi Rusia kehilangan kekuasaan atas sebagian besar Ukraina dan terfokus pada Crimea. Tapi tampaknya skenario perang akan sia-sia bagi legitimasi Rusia yang sedang melorot drastis. Justru sebaliknya perang akan memberikan efek penguatan bagi oposisi sekaligus membuka jalan jaringan keamanan dan modal baru untuk masuk.

Skenario terlemah Rusia, adalah memberikan asistensi ekonomi sehingga Ukraina menjadi patner. Strategi bersabar (wait & see) jika keadaan tetap korup lima tahun kedepan terdapat peluang reverse ke kubu Rusia melalui jalur demokrasi prosedural. Semua aktor interplay saling head to head mengkalkulasi resiko dan strategi berdasarkan posisi organik masing-masing dan yang nampak dipermukaan ialah pemimpin negara. Yang terlihat nantinya hanya efek dari fenomena ini yaitu tekanan/saling ancam melalui jalur diplomasi, perdagangan dan sebagainya.


Pihak Barat selalu menarasikan self determination, standar ganda atas apa mereka lakukan di negara lain (Irak, Libya). Secara konsep tidak ada yang salah dengan itu dan tidak ada yang netral (either…or..). Untuk kasus Ukraina self determination akan sesuai kalkulasi mereka (sekutu Barat). Inti dari selimut kondisi ini adalah sebuah motif ekonomi melalui jalur politik yang membutuhkan pengamanan militer. Dan pihak yang paling menderita adalah masyarakat biasa.




 (Mi2n)