Pages

Kita dan Tegangan

Tone kita rendah dan kenapa berubah meninggi
persis di kala beban puncak

perlu sesekali menyelidiki "beban" itu
mengapa ia memutari isi kepala dan memberatkannya
mungkin kita perlu tongkat sakti
memukulnya untuk home run sampai dia keluar dari arena

tegangan seperti tekanan bisa menyebabkan alterasi
memungkinkan masuknya elemen lain yang mengubah kondisi
menghasilkan efek sekunder menimbun dan melenyapkan primer kita tentang sebuah relasi

seperti perbedaan potensi tegangan yang menyebabkan petir
petir dari awan yang ingin segera menyapa daratan dengan kerasnya dan berlalu pergi

Pablo Neruda pernah berkata :
"mañana llena de tempestad / morning full of storm 
en el corazón del verano / in the heart of summer "

suatu kondisi cerah yang secara tiba-tiba berbadai

tapi harapan bukan tentang itu, 
ledakan yang kutunggu bernama kebahagian
seperti kata Gabriel G. Marquez yang baru-baru ini wafat 

"in which they often knew the sudden explosion of happines "

bukan ledakan yang menyakiti cinta
berpotensi erupsi dan menyemburkan lahar 
mematikan kehidupan sekitar 
bereaksi dengan gilanya 

tak ada jalur melambat
yang ada hanya melembut
berbagi dan menopang
mendorong dan tak berhitung
bersabar dan berusaha
kesulitan yang berpararel dengan kualitas

tak ada putus asa,
berputus asa hanya milik caleg yang kalah suara
bukan milik kita
yang beranjak perlahan meninggalkan muda


manisnya senyum manisnya harapan
sebuah simulasi hidup sederhana





Jogja  18 April 2014, 10:30 PM

Wacana lain tren politik Indonesia, memunculkan diskursus minor "The Others"

Wacana lain tren politik, memunculkan diskursus minor "The Others"

Di balik riuh gemuruh beberapa bulan terakhir tentang proses politik, di balik bisingnya suara knalpot yang melahirkan polusi suara semasa kampanye, di balik ingin muntahnya melihat propaganda parpol mengumbar kata “rakyat” di media massa sebagai upaya menarik massa, jika dimodelkan terdapat narasi dominan dan permukaan yang meluber. Narasi itu adalah riuh gemuruh tentang agensi/agen. Agen yang berlomba tampil di pucuk kekuasaan eksekutif seakan dapat mengobati Indonesia yang terluka parah ini dengan waktu singkat. Riuh perdebatan, pro-kontra pendukung agen menjadi santapan tiap hari di semua lini ruang publik dan menjadi dominan serta mainstream misalnya Capres X dari partai A orangnya begini bla, bla, bla dan sebagainya. Propaganda agen ini juga cukup lucu di media massa misalnya yang berbicara “menjadi otaknya Indonesia…..” apakah agen ini berpikir yang lain tidak berotak, untuk selevel ketua osis atau ketua kelompok saja tetap ada otak-otak lain yang mendeterminan. Apa mau menganggap yang lain tidak berotak, satu saja yang berpikir di Indonesia ini (presiden) yang lain hanya seperti mesin – pasif.


Dalam dimensi ilmu sosial persoalan Agen – Struktur merupakan persoalan yang mainstream. Perdebatannya cukup sederhana dan berulang “apakah agen dapat mendeterminasi, merubah struktur ataukah struktur yang membentuk,mengkonstruksi,mendeterminasi agen ?”. Pertanyaan ini menjadi pertanyaan basic yang selalu mengemuka dalam melihat habitat realitas sosial. Jawabannya pun bukan sesuatu yang kaku dan tersedia dalam satu jenis jawaban tetapi dapat terisi lebih dari satu jawaban dan kesemuanya mempunyai contoh. Apakah agen dapat mendeterminasi-merubah struktur ? jawaban dari pertanyaan sederhana ini yaitu “YA” banyak disediakan sejarah mulai dari perspektif teologi- mesianik, tokoh-tokoh revolusioner, diktator dan sebagainya. Pertanyaan kedua pun tidak kalah banyak contohnya dan inilah yang menjadi mayoritas “apakah struktur yang mendeterminasi agen?”.  jawaban “YA” dan contohnya sangat banyak mulailah dari mengetes dari diri anda sendiri. Secara sederhana jawaban dari kedua titik itu (agen-struktur) berpotensi mendeterminasi bolak balik tergantung “kuat-kuatan” dalam spasio temporal dan konteksnya masing-masing. Sejauh ia ranah sosial sejauh ia dinamis.


Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengulang pengulangan yang amat banyak jumlahnya tentang ke-Agenan tersebut yang akan menduduki kursi kepresidenan  mendatang dan saya yakin anda cukup banyak mengkonsumsi wacana itu dalam beberapa hari belakangan ini. Tulisan ini akan mengamati struktur politiknya saja. Tulisan ini masih berada dalam lingkaran pihak yang masih mau berdiskusi dengan demokrasi procedural melalui electoral sebagai jalan proses evolusi/setahap demi setahap. Ditengah keringnya realitas untuk sebuah revolusi satu dekade kebelakang dan satu dekade kedepan. Jika ada pembaca yang sudah denial dan ignorance fuck the system” tidak menyukai details mending tidak usah melangkah ke paragraph selanjutnya.

Sistem politik Indonesia

Saya tidak akan melangkah terlalu jauh kebelakang dengan romantisme pemilu 1955 di iklim parlementer, jumlah pemilih 43,1 juta jiwa, sistem campuran proporsional tertutup  dan sistem daftar, di ikuti lebih dari 30 parpol dan lebih dari seratus  perkumpulan serta calon perorangan, memperebutkan 257 kursi DPR dan 514 kursi dewan konstituante (dua kali lipat jumlah DPR), berbiaya Rp.480 juta dan dibawah payung hukum UU pemilu 7/1953 yang ditelurkan era kabinet Wilopo. Karena terdapat komposisi konteks tidak terlalu tepat untuk dicaplok pada masa sekarang misalnya pada 1955 TNI-APRI mempunyai hak memilih. Sedangkan puja-puji Barat waktu itu bukan tanpa maksud salah satunya agar kekuasaan Sukarno menjadi terbatas dan bisa tergantikan melalui demokrasi prosedural.

Batu sandungan yang cukup besar ditebalkan dalamTAP MPRS no.25/1966 belum juga dihapus malah dikuatkan terutama orde Soeharto. Blokade TAP MPRS no.25/1966 tersebut yang diturunkan dan ditebalkan di beberapa UU sampai sekaran ini membuat kita tidak dapat melihat spektrum balancing (left -middleleft-middleright-far right) di parlemen seperti yang terjadi di belahan region yang lain misalnya Eropa, Amerika Latin bahkan Jepang yang notabene sebagai kapitalis industrialis maju saja mempunyai  Nihon Kyōsan-tō atau Partai Komunis Jepang. Diktator orde Soeharto sebagai “cacat sejarah bangsa” jelas kita tidak perlu pelajari dengan seksama meskipun legacies masih cukup kuat tercangkok dan mencengkram.

Dalam beberapa tahun terakhir terutama paska reformasi partisipasi demokrasi procedural melalui partai politik terus mengalami penciutan. Penciutan maksudnya pengurangan dalam jumlah partai politik.

 UU no.2/1999 memberikan syarat pembentukan parpol (ini bisa dilihat pada pasal 2). Syarat keikutsertaan parpol dalam pemilu termaktub dalam UU no.3/1999 (Pasal 39) yaitu mempunyai pengurus di > 50% dari jumlah provinsi, dan > 50% jumlah kabupaten. Ditambah lagi dengan electoral threshold/parliamentary threshold dalam UU no.3/1999 yaitu 2% dari jumlah kursi DPR, 3% dari jumlah DPRD I & II sebagai syarat ikut pemilu selanjutnya.

Karena pada awal keikutsertaan partai belum dikenai ambang batas minimum parlemen dan bertepatan momentum keterbukaan-kebebasan menghela nafasnya kembali jumlah partai politik yang ikut berkontestasi bervariasi sangat tinggi yaitu 48 partai. Tentu seperti pernyataan sebelumnya dalam UU tersebut tetap ditubuhkan pelarangan komunisme/marxisme/leninisme dalam aktivitas parpol (UU no.2 pasal 16). Ini tidak mengherankan karena apparatus penjaga idiologi berkuasa masih dominan karena revolusi premature yang gagal justru melahirkan reformasi hanya menggeser pucuk/Agen tanpa banyak bicara terhadap struktur. Dan pelarangan serupa hadir di UU yang lain di tahun-tahun selanjutnya. Perspektif Marxisme masih dianggap “hantu” yang kehadirannya disimulasikan dapat merusak idiologi Pancasila, what a joke!!.

Berjalan tahun, alih-alih perampingan parpol dan stabilisasi iklim syarat-syarat pendirian parpol semakin diperberat. Melalui  UU no.3/2002 syarat partai diharuskan mempunyai kepengurusan 50% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi tersebut dan 25% dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota tersebut (lihat Pasal 2 (3)) (ketambahan kecamatan). Misalnya sekarang (2014) yang mempunyai 34 provinsi artinya setiap partai harus hadir di 17 provinsi (ini mirip angka rumah makan masakan Padang). Misalnya di Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 33 kabupaten/kota parpol harus hadir di 16-17 kabupaten/kota dan begitu seterusnya sampai kepengurusan ranting/kecamatan.  

Dari hasil pemilu 1999 dengan ambang batas minimum yang telah ditentukan dari 48 partai kontestan pada 1999 menciut menjadi 24 parpol kontestan pemilu 2004. Pemilu 2004 pula ajang menerapkan sistem proporsional  daftar calon terbuka (sebelumnya proporsional daftar calon tertutup dimana pemilih hanya memilih partainya saja, anggota legislatif di urutkan berdasarkan konsensus internal partai/closed-list system). Hal inilah yang digadang-gadang sebagai salah satu faktor pembengkakan biaya caleg yang akan bertarung karena litjen stelsel (pengenalan lewat gambar) menuntut caleg (terutama caleg karbitan) harus dikenali secara banyak dan cepat dalam dapilnya untuk meraup suara terbanyak dan gesekan sesama caleg dalam satu partai. Pemilu 2004 juga diperkenalkan  model DPD per provinsi (mirip senator di AS) sebuah model  sistem distrik berwakil banyak.

Sistem pemilu sendiri berdasarkan besaran daerah pemilihan terbagi dua yaitu distrik (single-member constituency) satu kursi pada satu daerah dan proporsional (multi-member constituency) lebih dari satu kursi pada satu daerah.  Berdasarkan pencalonan terbagi dua yaitu daftar tertutup/closed-list system dan daftar terbuka/open-list system.

UU No.12/2003 syarat parpol peserta pemilu ditambahkan mempunyai pengurus 2/3 (67%) dari seluruh provinsi, 2/3 dari jumlah kabupaten/kota, memiliki anggota minimal 1.000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk dari setiap kepengurusan kabupaten/kota (pasal 7). PT (Parliamentary Threshold) untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya (pemilu 2009) minmal 3% dari jumlah kursi DPR dan 4% jumlah kursi DPRD Provinsi dan Kota.

Kemudian untuk partisipasi perempuan ditubuhkan pada UU no.2/2008 kuota sebesar 30% dalam termin emansipasi gender (suatu pandangan gender liberal). Hal ini menjadi pintu masuknya banyaknya ibu-ibu pengusaha atau istri-istri pejabat yang kulitnya takut kena matahari sekonyong-konyong bicara politik dan rakyat. Tapi kita skip hal ini karena OOT dari tujuan penulisan lebih krusial dan substansial lagi tidak penting membahas kelucuan mereka. Dalam UU ini dosis pembentukan partai yaitu batas minimum kepengurusan 60% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi dan 25% dari jumlah kecamatan pada kabupaten kota (Pasal 3 poin d). Ini berarti dari 34 provinsi yang ada sekarang minimal hadir di 20-21 provinsi. Parpol kontestan pada pemilu 2009 juga menciut diperbandingkan dengan pemilu 1999 menjadi 34 parpol tetapi naik 10 parpol dari pemilu sebelumnya.

Mengapa jumlah parpol naik dari pemilu sebelumnya?. Dalam UU no.10/2008 disebutkan untuk PT minimum 2,5%  jumlah kursi DPR (pasal 202). Tetapi yang menjadi hal penjelas naiknya jumlah parpol adalah salah satunya peraturan mengendur (tentunya bukan sukarela melainkan melalui serial tekanan politik) untuk memperbolehkan parpol  yang memiliki kursi di DPR hasil pemilu 2004 untuk ikut dalam pemilu selanjutnya (pasal 316).

Berjalan tahun berjalan kegilaan menjadi-jadi (alih-alih perampingan, sistem multipartai sederhana dan stabilisasi tatanan agar kondusif). Melalui  UU no.12/2011 sebagai revisi UU no.2/2008 dosis semakin dinaikkan. Kepengurusan harus hadir  100% dari jumlah provinsi, minimum 75% dari jumlah kabupaten/kota dan 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota (Pasal 3). Ambang batas parlemen/PT pun naik 3,5% dari suara sah nasional untuk diikutkan dalam perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota tercantum dalam UU No.8/2012 pasal 208. Pada Agustus 2012 MK mengabulkan permohonan 22 parpol terkait judicial review dan memutuskan PT 3,5% hanya untuk DPR.  Akhirnya seperti sekarang ini hanya 12 parpol yang lolos verifikasi administrasi dan faktual dimana partai-partai yang tidak lolos memilih bergabung dengan partai besar yang lolos seperti sekitar 10 partai yang bergabung ke Hanura dan sebagainya. Dan 2019 digadang-gadang serentak dimana partai harus betul memasang pasangan Capres yang kuat  dikarenakan sulitnya kalkulasi suara berbasis pileg. 

Kepengurusan parpol (Pemilu: % Provinsi)
1999 : >50%
 2004 : 67%,
 2009 : 60%,
2014 : 100%

PT % DPR
1999 :
2004 : 2%
2009 : 2,5%
2014 : 3,5%

Modelling
Jika kita melihat perkembangan dari tahun pemilu tersebut maka dapat dimodelkan asumsi yang dikembangkan sebagai berikut :
1. Kerumitan yang dihindari. Banyaknya partai politik diasumsikan memberikan sejumlah kerumitan akibatnya para penggodok kebijakan menaikkan narasi adanya jumlah parpol ideal. Jumlah ideal tersebut terjadi dalam jumlah parpol yang tidak terlalu banyak. Kebijakan PT dapat dilihat dalam kerangka ini. Parpol semakin disaring dan mengarahkan parpol untuk berkoalisi dengan partai yang lebih besar akibat ketidakmampuan mereka berkompetisi.
2. Partai politik harus bermodel nasional.


Sistem politik di region lain
Memperbandingkan dengan negara-negara di Eropa mempunyai beberapa kelemahan komposisi. Pertama, historitas mereka tentang proses politik dalam demokrasi terbilang ditempa dalam perjalanan waktu yang cukup lama (old continent of democracy). Kedua, dari ranah ide/konseptual kesemuanya bertarung dengan cukup bebas, pemikir-pemikir top dunia dalam berbagai disiplin ilmu berdomain disana. Ketika, kesejarahan tentang perang dan kontestasi lainnya (misalnya awal industrialisasi/ekonomi politik ataupun kondisi sosial-budaya,behavior) mendeterminasi pembuatan model politik yang lebih adaptif. Ke-empat, perbedaan sistem (federalisme,monarki konstitusional, parlementer dan sebagainya) dan komposisi populasi. Tetapi terlepas dari ketidakseimbangan komposisi komparatif itu kiranya proses dan sistem politik mereka dapat dipelajari untuk sebuah proses yang belum final dan dalam proses menjadi di Indonesia.



Berikut ini data Josep M. Colomer tentang sistem electoral dan parlementer (2008:10-11).

Table 1.2 Electoral rules for the lower or first chamber

Country          Seats   Formula         Magnitude                Ballot              Threshold (%)

Austria            251      proportional               42                    open list                      4
Belgium          212     proportional              15                    open list                      –
Bulgaria          240      proportional               240                  closed list                   4
Cyprus            59        proportional              9                      closed list                   1.8
Czech Republic  200  proportional              8                      open list                      5
Denmark         175      proportional              12                    open list                      2
Estonia            101      proportional               9                      open list                     5
Finland            200      proportional               14                    open list                     –
France                         555      majority                     1          two single ballots                   12.5 runoff
Germany         656       proportional               656      two votes: list and single      5
Greece             300      proportional+bonus    5          open list                                  3
Hungary          386      mixed: proportional  10                     closed list                   –
                                    majority/plurality       1                      single                                     5
Iceland            63        proportional               33                    closed list                   –
Ireland             166      proportional                4          transferable preferential         –
Italy                 630      proportional+bonus    24                    closed list                  2
Latvia              100      proportional               20                    open list                      5
Lithuania        141      mixed: plurality          1                     single                          –
                                    proportional                70                    open list                      –
Luxembourg   60        proportional                15        open, cumulative                    –
Malta              65        proportional+bonus    5          transferable preferential         –
Netherlands    150      proportional               150                  open list                      0.67
Norway           169      proportional                9                      open list                      4
Poland             460      proportional                11                    closed list                   5
Portugal          247      proportional                11                    closed list                   –
Romania         346      proportional                8                     closed list                   3
Slovakia          150      proportional                38                    open list                      5
Slovenia          90        proportional                6                      open list                      4
Spain               350      proportional                7                      closed list                   3
Sweden           349      proportional                12                    open list                      4
Switzerland     200      proportional                8                      open, cumulative        –
United Kingdom 646 plurality                      1                      single                          –

Jika data Indonesia dimasukkan pada daftar tersebut,
Indonesia          560       proportional plular        7[1]                     Open list            3.5

(Magnitude: rata-rata jumlah kursi/distrik)

Table 1.3 Parliament and President

Country                      Parliament                             President

Austria                        weak bicameral                      elected
Belgium                      weak bicameral                     monarchy
Bulgaria                      unicameral                              elected, executive
Cyprus                        unicameral                              elected, executive
Czech Republic          weak bicameral                      parliament
Denmark                     unicameral                             monarchy
Estonia                                    unicameral                             elected
Finland                        unicameral                             elected
France                         weak bicameral                     elected, executive
Germany                     strong bicameral                     parliament
Greece                         unicameral                             parliament
Hungary                      unicameral                             parliament
Iceland                                    unicameral                             elected
Ireland                         weak bicameral                      elected
Italy                             strong bicameral                    parliament
Latvia                          unicameral                             parliament
Lithuania                    unicameral                             elected, executive
Luxembourg               unicameral                             monarchy
Malta                           unicameral                             parliament
Netherlands                weak bicameral                      monarchy
Norway                       unicameral                              monarchy
Poland                         weak bicameral                      elected, executive
Portugal                      unicameral                              elected
Romania                     weak bicameral                      elected
Slovakia                      unicameral                              elected
Slovenia                      unicameral                              elected
Spain                           weak bicameral                      monarchy
Sweden                       unicameral                              monarchy
Switzerland                 strong bicameral                     parliament
United Kingdom         weak bicameral                      monarchy

Jika Indonesia ditambahkan
Indonesia                      Bicameral                                 Elected, executive

Dari tabel itu ternyata tidak semua menerapkan PT misalnya Belgia, Finlandia, Hungaria, Iceland, Ireland, Lithuania, Luxemburg, Malta,Portugal, Swiss, UK. Jadi untuk penerapan PT skala tertinggi 5 skala terendah 0,6 dan yang tidak menerapkan PT mendapat contohnya masing-masing.

Yang menjadi titik bahas saya disini bukan oleh dinamisasi PT tetapi substansi dari kualitas partisipasi membentuk partai politik yang mewarnai spektrumnya. Secara vivid partai-partai di Eropa diberikan kelonggoran untuk tumbuh berdasarkan warna dan segmentasinya masing-masing dan berposisi idiologis yang jelas. Partai-partai tidak besar ini/minor atau tersegmentasi tersebut kali ini kita namakan niche partai. Hal tersebut untuk komparasi tentang eksistensi partai politik

Misalnya di Belanda, sekelompok masyarakat yang perduli/konsen terhadap sesuatu issu (apapun itu) dapat membuat partai politik. Misalnya partai yang konsen dengan hak-hak hewan/perlindungan satwa membentuk PvdD (Party for the Animals). Yang konsen terhadap isu -isu etik misalnya pelarangan aborsi, gay dan sebagainya membentuk partai konservatif berbasis agama, misalnya  Persatuan Kristen/Christian Union, SGP (reformed political party - Christian-right). Para pensiunan membentuk partai 50+ (pensioner's party).

Dan banyak pula partai yang tidak terepresentasikan di parlemen tetapi tetap eksis, misalnya CCDP, the greens, International Socialist, Islam democrats, LibDem, Libertarian Party, New Communist party of Netherlands, Party of the future, Party for the north, dll. Dan banyak pula partai yang telah ditutup sebagai partai. Di belanda ini jika sekelompok masyarakat konsen terhadap satu isu bersama misalnya saluran air kota, pertamanan dll jika mereka telah mencukupkan diri dapat membuat niche partai. Partai besar/mayoritas di Belanda ini ada VVD - liberal konservatif - tengah - kanan, dan partai buruh/PvDA - kiri-tengah.

Mengenai sistem politik di belanda-untuk pemerintahan monarki konstitusional. Raja/Ratu tidak mempunyai kekuatan riil politik tetapi menjadi simbol kenegaraan/kepala negara. Untuk parlemen bermodel bikameral/dua kamar- lower house/Tweede Kamer dengan pemilihan empat tahun sekali memperebutkan 150 kursi. Senate/Eerste Kamer-First chamber75 anggota dengan fungsi menerima dan menolak hukum/UU tanpa ada hak mengamandemen. Bersama-sama first and Second chamber mengangkat Staten Generaal/Estates-General.

Pemimpin eksekutif berupa PM (perdana menteri) tidak dipilih langsung, biasanya berasal dari parpol yang mempunyai kursi dominan di parlemen atau koalisi beberapa partai di parlemen. Sekarang yang menjadi PM adalah Mark Rutte dari partai liberal VVD / Volkspartij voor Vrijheid en Democratie/The people's Party for freedom and demokrasi yang konsen isu-isu liberal seperti liberalisme pasar, kebebasan individu, persaingan bebas dll. Walaupun sejak 1815 Belanda telah menjadi kerajaan berundang-undang/monarki konstitusional dan multi partai tetapi sejak tahun 1918 tidak ada satupun partai yang mampu merebut kursi mayoritas / lebih dari separuh kursi parlemen.

Misalnya lagi di German, negara yang menyebabkan perubahan konstalasi besar-besaran di Eropa dan di dunia ini (Perang Dunia II) secara sekilas pra dan pos-perang dunia bercirikan multi-partai. Kita tidak membicarakan dinamisasi per periode (German split dan reunifikasi), tetapi dalam strateginya kesempatan yang terbuka bagi partai-partai niche - minor untuk tumbuh tetap terbuka. Seperti partai niche Liga Petani Bavarian/ Bavarian Peasant League sebuah partai yang berbasis agrikultur (1870-1933).


Seperti partai hijau/Green Party yang terbentuk sekitar tahun 1970an di daerah German Barat baru berhasil menempatkan orangnya di jajaran gubernur negara bagian pada tahun 2011 atau berproses sekitar >40 tahun. Winfried Kretschmann terpilih di salah satu negara bagian terkaya di German yaitu baden-Würrtemberg (selatan barat daya German-ibukota Stuggart) yang notabene basis kubu terkuat partai konservatif. 

Awal munculnya di pucuk partai Hijau masuk dalam koalisi pemerintahan dengan partai sosial demokrat (red-green coalition) pada tahun 1998. Kala itu strategi pasifis (menolak kekerasan,perang dsbnya) yang biasanya menubuh pada partai hijau mengalami patahan dengan ikut mendukung pemboman NATO di Kosovo 1999 karena penilian konteks Serbia akan melakukan genocida terhadap etnis Albania di Kosovo. Jika melihat dari sudut padang realis konteks mendeterminasi agen dalam upaya membuat otoritas disituasi anarki.

Tokoh partai Hijau yang kental dan berpengaruh waktu itu Joschka Fischer yang kala itu di pemerintahan menjabat menteri luar negeri era Chancelor Gerhard Schorder (partai SPD) yang mengalahkan Helmut Kohl. Fischer yang merupakan tokoh populis mengangkat citra partai Hijau di daerah kelahirannya di Baden-Wurrtemberg sebagai salah satu variabel penjelas kemenangan partai Hijau di kandang konservatif atau daya agen mendinamisasi elektabilitas.


   

Baiknya kita melihat gambar yang disediakan Jae-Jae Spoon (2011:4) mengenai niche partai di parlemen di berbagai negara di Eropa





 










Jika dilihat gambar tersebut partai-partai niche bertarung regional. Perolehan kursi mereka di regional hanya 0.02% share. Partai kecil bersegmentasi paling banter mendapatkan 1-2 kursi. Jae-Jae Spoon yang menganilisis beberapa partai niche di Eropa mengatakan strategi survival partai niche ini adalah fokus kepada kelokalan dan menargetkan nasional seperti partai hijau di UK dalam merepresentasikan dirinya di Westminster. Partai Hijau cukup fleksibel untuk mendapatkan perhatian kalangan pelajar/terpelajar  misalnya target potensial voters di kota Norwich pelajar berkomposisi 13,6% dan penetrasi partai Hijau juga terdapat di kota Oxfordshire (2011:79,93,99). Okelah, sampai disini kita cukupkan contoh-contohnya.


Kembali ke Indonesia,  inventing new model

Data Jae-Jae Spoon menunjukkan secara empiris tidak ada alasan bagi partai besar untuk takut munculnya partai-partai niche berbasis regional. Dan oleh karenanya partai-partai besar yang akan memasuki parlemen pusat idealnya tidak menghambat dengan legislasi yang mereka buat untuk tumbuhnya partai-partai segmented berbasis kelokalan ini. Tetapi mengapa di Indonesia terjadi sebaliknya. Saya tidak akan terlalu sibuk mempersoalkan PT (Parliamentary Threshold) seperti kebisingan opini pada umumnya.

Jika kita memodelkan perkembangan satu dekade lebih terakhir yaitu perkembangan asumsi dari gagasan perampingan dan pengkerucutan parpol melalui sejumlah aturan. Stabilsasi proses politik di asumsikan jumlah  tidak terlalu banyak menjadi ideal. Atau sebaliknya semakin banyak parpol semakin tidak stabil. Yang saya pikirkan bisa saja dua dekade kedepan partai-partai semakin mengkerucut di jumlah parpol tidak lebih dari 5, 3 bahkan 2 ala Amerika Serikat.  Dalam sistem sekarang ini partai-partai kecil mau-tidak mau dipaksa untuk berkoalisi atau sama dengan menyerahkan kepentingan mereka untuk kepentingan yang lebih bervariasi dan saling tarik menarik.

Gagasan ini dapat kita balikkan untuk mengetesnya, apakah dengan sedikit partai akan lebih stabil ? Apakah anda akan mengulang model otoriter Soeharto yang mengutamakan kestabilan daripada partisipasi politik yang diamanatkan UUD 1945 ?. Jika mereka menganggap banyak partai potensial memunculkan ketidakstabilan maka hal yang sama kita dapat menyatakan tidak ada jaminan sedikit partai akan memunculkan demokrasi berkualitas, kestabilan jangka panjang dan agenda perbaikan bangsa lebih cepat terealisasi.

Gagasan saya disini dapat di-ilustrasikan sebagai berikut dengan berpegang pada kekhususan  geopolitik Indonesia sebagai Archipelagic terbesar. Geografis yang “lain” daripada yang lain ini membuat karakteristik sendiri Indonesia yang membutuhkan  kekhususan pembahasan. Jalur dan permsalahan yang jauh  dan  menyebar membuat keunikannya sendiri mengharuskan kita untuk menemukan model yang baik dan  manusiawi.

 Jika suatu komunitas masyarakat menghadapi persoalan yang sama maka seyogyanya mereka dapat membuat perkumpulan sebagai embrio partai. Misalnya komunitas petani agrikultur Sulawesi Selatan yang mendapatkan ketidakadilan membuat suatu partai tentunya dengan syarat misalnya jumlah keanggotaan 500 orang (syarat yang tidak memberatkan). Jadi partai segmented ini berasal dari bawah/basis/ akar rumput untuk merepresntasikan dirinya dan masalahnya. Organisasi politik partikular ini pasti terdapat persoalan universal di dalamnya. Universalisme dalam partikularisme. Misalnya penyempitan lahan, deforestasi dan sebagainya. Jika di dalamnya telah ada persoalan universal pastilah ada persoalan nasional. Misalnya petani di daerah Papua, Jawa, Sumatera dll merasakan hal yang sama, maka mereka dapat menumbuhkan komunikasi dalam jejaring dalam membuat kerjasama yang polanya bottom-up dan akhirnya organisasi petani dalam bentuk embrio maupun yang telah menjadi partai dapat berkecambah di daerah-daerah. Memulai dari daerah mengepung ibukota.

Bukan suatu partai petani yang membutuhkan modal besar bermula di Jakarta dan berjejaring di daerah-daerah. Kemunculan partai pola top-down membutuhkan alat partai yang perlu disokong modal dan memunculkan elit oligarki sehingga berpotensi menjadi partai borjuis seperti pada umumnya.

Ketika partai-partai niche ini belum (ingat: belum) mampu berjejaring nasional tapi paling tidak mereka dapat berkontestasi regional dan mendudukkan perwakilan mereka di level pemerintahan kabupaten/kota atau provinsi dan tidak pula berkoalisi dengan partai lebih besar lainnya hanya karena kalah suara. Eksistensi yang nampak di permukaan sudah merupakan salah satu nilai lebih. Dalam sistem ini saya membayangkan  All politics is local / semua politik adalah  lokal. Lokalisasi politik untuk mendapatkan orang-orang yang duduk di kursi lebih dekat dengan permasalahan basis dan bukan orang caplokan bersumberkan etno sentiment, modal, ketenaran dan sebagainya.

Pertanyaan sanggahan atas model ini dapat berbentuk, apakah mereka yang punya kasus partikular misalnya petani dan nelayan tidak mengadu saja pada partai yang sudah ada tanpa harus membentuk partai lagi ?. Jawaban atas sanggahan ini adalah meskipun organ-organ partai dan sayap partai ada yang mengadvokasi atau membidangi (misalnya buruh, miskin kota dll) tetapi untuk masuk dan permasalahannya di perjuangkan oleh wakilnya cukup sulit dan berliku. Mengingat banyak kepentingan yang dibawa seorang wakil dan kerja advokasi melalui jalur parlemen (kota/kabupaten/provinsi) untuk sebuah kasus partikular akan menemui hambatannya. Apakah lebih cocok sistem negara bagian ? tidak juga ini masih dapat dibungkus dalam desentralisasi yang lebih luas menyangkut kesiapan daerah menghadapi maslahnya masing-masing. Memperpendek rantai penangangan.




Kesimpulan


Gagasan inti dari hal-hal ini adalah memunculkan liyan/the other/ yang lain dari struktur politik sehingga pembicaraan lebih plural membahas substansi dan kualitas sehingga tidak terkungkung pada kekakuan sistem selama ini yang menyerah pada kerumitan dan menujukan kepraksisan. Ketika teknis mengalahkan kualitas dan substansi maka ia berada pada lingkaran-lingkaran yang memberi batasan pada dirinya untuk berdiam diri dan berputar-putar. Gagasan ini hendak membasahi kekeringan imajinasi tentang struktur dalam perpolitikan demokrasi electoral dan pro-marjinal-minoritas dalam sistem yang tengah menjadi/becoming di negeri ini. Bukankah orang-orang/penduduk yang hidup di wilayah dan rentang waktu Imperium Roma  (Senatus populusque Romanus / senat dan rakyat Roma) yang eksis > 4 abad kering imajinasi bahkan void bahwa suatu hari nanti ada model negara seperti sekarang ?. Toh sekarang bentuk negara semacam Indonesia ini eksis, yang umur demokrasi elektoralnya belum genap se-abad. Sejauh ia ranah sosial sejauh ia dinamis. 



Preposisi logis yang dibangun bukan silogisme melainkan tautologi. Tautologi merupakan preposisi majemuk yang mempunyai kebenaran di semua kemungkinan. Misalnya untuk hak partisipasi politik yang lebih luas (x1), berorganisasi membentuk parpol (x2), representasi yang lebih dekat (x3)...tiga elemen tersebut merupakan keanggotaan dari himpunan substansi demokrasi prosedural melalui elektoral (C) disimbolkan x1,x2,x3 ∈ C. C merupakan tujuan maupun hasil-hasil yang diharapkan, umum dan "benar". Model top-down yang seperti sekarang disimbolkan A, model bottom-up yang memunculkan partai niche di regional/provinsi dinotasikan B. 

A premis, B premis, C kesimpulan/tujuan maka tautologi nya yaitu ( A ∧ B ) ∨ ( A ∨ B) ⇒ C. Ketika di gabungkan, x1,x2,x3 ∈ C, ( A ∧ B ) ∨ ( A ∨ B) ⇒ C. Jadi kemunculan/eksistensi dan bertarungnya parpol dalam model bottom-up mempunyai nilai kebenaran yang sama dengan yang struktur mainstream.


Sedangkan potret dalam tulisan ini model top-down yang determinan membuat partai menjadi borjuis dan asalinya borjuis dilihat seperti optik kamera obscura dengan proyeksi terbalik bottom-up sehingga inisiasi politik berupa partai tidak hanya menjadi kendaraan tetapi ruang hidup basis dan berakar disana. Sekalipun ia berkecambah menjadi nasional (mempunyai organic di beberapa wilayah) ia tumbuh menjadi pohon yang kuat tanpa berpegang teguh dan mendasari dirinya pada kekuatan kapital. Potret terbalik yang ingin mengeliminasi struktur yang menyebabkan parpol menjadi Survival of the Fittest melainkan mengadvokasi existence dikarenakan eksisnya masalah.


Memampukan partai muncul di level kabupaten/kota dan provinsi tanpa harus bertarung di parlemen pusat. Semakin bervariasi parpol dan semakin jelas dan tegas idiologi yang dianut semakin baik hasil politik. Sehingga termin pelacur politik yaitu aktivis yang “dipaksa” "terpaksa" masuk kepartai besar dapat dikurangi porsi pembahasannya, pembahasan agen yang terlalu dilebihkan menutup pembahasan struktur dan aturan main itu sendiri.


Saran tulisan ini yaitu membuka kesempatan sebesar-besarnya kepada partai-partai niche untuk tumbuh berdasarkan segmentasinya masing-masing. Oleh karenya legislasi pengkerdilan parpol harus di eleminasi termasuk PT.  Jika mengikuti logika murni liberal apa yang disebut kompetisi bebas. Oleh karenanya aturan yang menghambat munculnya warna-warni spektrum politik lebih plural diharuskan diperkecil. Termasuk dan terutama menghapuskan peraturan diskiriminatif TAP MPRS 25/1966 sehingga partai memunculkan idiologinya dengan jelas dan akhirnya memunculkan spektrum balancing (far left- center left – green left – center right –  right-far right) sehingga semuanya menjadi jelas dan terang. Tetapi tidak melulu partai hijau ingin dikategorisasi dikotomi kanan – kiri misalnya Partai Hijau Inggris dan Wales (Lihat Jae-Jae Spoon Hal.52).

Tidak melulu di jalur aman abu-abu dimana semua berteriak Nasionalisme. Jika ingin mengelompokkan partai besar yang ikut berkontestasi sekaran ini (pemilu 2014) berdasarkan propaganda masing-masing yaitu   PDIP, (center-left/kiri tengah), Golkar, Demokrat, PAN, Hanura (center-right), PKB, PPP, PKS (right), Gerindra, Nasdem (saya bingung mereka dimana).
.
Ajaran Marxisme tentang determinasi ekonomi (eksploitasi kapitalis) yang selalu dinarasikan akan mengganggu idiologi Pancasila sudah lagu usang yang anasirnya dibuang jauh-jauh. Agar agen-agen politik bisa menunjukkan tempat ia berdiri dengan jelas/tidak multi tafsir. Sejauh partai politik beridiologi dan berkompetisi melalui program kerja pendidikan dan kesadaran politik masyarakat yang lebih jauh, plular dan dalam, partisipasi aktif dapat terwujud. Dalam sistem ini akan mengkonstruksi masyarakat yang tidak mudah percaya dan oleh karenanya tidak mudah diperdaya. Sistem ini menolak perampingan partai yang trajektori ujungnya akan membuat partai tidak lebih dari 10, 5, 3 bahkan 2 ala Amerika Serikat mengulang/reverse otoritarian Soeharto.


Yang kedua, Partai tidak harus menasional. Partai bisa tumbuh regional dan berkontestasi regional berdasarkan  isu yang menjadi konsen mereka. Sehingga agen-agen yang bergerak dalam domain tersebut dapat memperjuangkannya degan rantai yang lebih pendek dan posisi yang lebih jelas. Jadi secara teknis bisa saja satu provinsi memiliki partai dan nama caleg tambahan oleh karenanya surat suara diproduksi lokal. Hal ini bagian dari power substansi desentralisasi. Substansi partisipasi dan representasi politik harus lebih di utamakan daripada keluhan teknis. Dan para agen partai niche ini tidak membayangkan dalam waktu cepat tetapi prosesnya memakan waktu cukup bertahap. 


Besok 9 April 2014 adalah pemilihan calon anggota legislative. Mereka yang membuat legislasi. Sangat saya sayangkan sejauh mata saja surfing di wacana-wacana politik tidak satupun yang mengangkat diskursus lain ini kepermukaan. Mayoritas mengenai kepribadian, rekam jejak dan sebagainya seorang dan sekumpulan agen. Gersang, bising dan membosankan. Evolusi akan lebih lama daripada yang seharusnya bisa diakselerasi. 



Sumber Kutipan & Bacaan
Joseph M. Colomer (Ed.),Comparative European Coalition, 3rd edition,Routledge: New York,2008.
Jae-Jae Spoon, Political Survival of Small Parties in Europe, The University of Michigan Press,2011
Jungug Choi, District Magnitude, Social Diversity, and Indonesia's Parliamentary Party System from 1999
to 2009, Asian Survey, Vol. 50, No. 4 (July/August 2010), pp.663-683.
Charles Lees, Party Politics in Germany: Comparative politics approach, Palgrave: New York, 2005.






Penulis adalah pengamat demokrasi pemula,
penstudi Ilmu Hubungan Internasional
field of interest : Ekonomi politik Internasional, Energi Industri, Teori HI, komparatif politik, fokus kawasan : Eropa Timur, Eurasia, Amerika Latin




Jogja : 8 April 2013




[1] Jungug Choi, District Magnitude, Social Diversity, and Indonesia's Parliamentary Party System from 1999
to 2009, Asian Survey, Vol. 50, No. 4 (July/August 2010), pp. 663-683,hal.672. Karena jumlah daerah perwakilan majemuk pada pemilu 2014 sama dengan 2009 yaitu 77 maka hasil perhitungan Jung Choi masih layak dipakai. Choi berpendapat hukum Duverger masih valid yang memprediksi hubungan multi-partai dalam sistem Proportional Representation dengan menghitung rata-rata range/kisaran jumlah efektif parpol di setiap level distrik dari 4,4 sampai 8,5.