Pages

Perjalanan ke Kab.Bulukumba dan symptom Politik



Hari itu hari kamis tepatnya tanggal 19 Juni 2014, kebetulan saya dan beberapa orang melakukan perjalanan subuh (tepatnya jam 03:30 AM) dari Makassar ke daerah Bulukumba (daerah yang berjarak kira-kira 160 km dari Makassarr) untuk beberapa agenda termasuk FGD (diskusi kelompok terarah) dengan beberapa komunitas nelayan disana. Setelah melalui daerah Gowa yang cukup padat karena pasar “kaget”, melaksanakan solat Subuh di daerah Kab.Jeneponto akhirnya kami memilih beristirahat sejenak sekitar pukul 5:45 AM di kawasan Boyong – Kab.Jeneponto. Kawasan  bersantai ini cukup terkenal bagi pada pelaku perjalanan daerah “atas” dikarenakan warung yang cukup ramai membentang dengan aneka jajanan tradisional. The best gogos daerah “atas” ada ditempat ini, digabung dengan kopi panas, telur asin, songkolo hmmmm what a menu.


Di suatu meja tempat kami menyeruput kopi di subuh hari terdapat seorang bapak (usia kira-kira 45an keatas) yang juga sedang asoy menikmati hidangan. Bapak tersebut cukup friendly dengan hanya sedikit basa-basi saja cerita sudah terjalin dengan lancarnya. Karena bapak tersebut sepertinya orang yang tidak terlalu suka mendengar melainkan suka berbicara tentu tidak sulit mendapatkan atau mengorek informasi perihal dirinya. Orang model begini biasa dengan mudah terdeteksi dikarenakan cara dia berbicara dan menggiring opininya menjadi tema utama pembicaran dan antusias yang kadang berlebihan meski orang lain belum tentu tertarik.


Awal basa-basi disekitar topik tempat ini dan kegemaran dia melakukan perjalanan subuh hari ketimbang sore hari, dikarenakan ia pernah satu kali menyenggol kendaraan bermotor karena ngantuk. Setelah topik “istimewanya tempat ini” selanjutnya topik bergeser ke arah politik praktis terkait piplres, topik ini hangat sehangat kopi susu dan gogos subuh itu.


Dia bercerita pada mulanya ia seorang PNS di salah satu lingkup pemerintahan di kabupaten tersebut, tetapi tidak lama ini ia memilih meninggalkan pekerjaan yang menurutnya monoton itu beralih ke profesi kepala desa di salah satu desa yang jaraknya cukup jauh dari ibukota kabupaten. Tentu disini ada hal yang menarik yaitu disaat penduduk kabupaten yang biasanya sudah sangat mantap berprofesi PNS, dia malah meninggalkannya. Kemudian, dia mengutarakan bahwa kepindahan pekerjaan tersebut sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat. Dengan diksi yang lumayan teratur, bahasa Indonesia cukup baik walaupun sesekali tetap menggunakan bahasa Makassar, bapak ini mempunyai elemen baik sebagai organisatoris maupun juru bicara yang lumayan.



Kemudian komunikasi terus berlangsung, ia menceritakan bahwa beberapa temannya pada pemilihan caleg lalu terpilih menjadi wakil rakyat. Hmmmm sepertinya ujung-ujung sudah mulai kentara dalam pembicaraan ini mengenai tempat yang akan ia tuju. Tentu semakin menarik untuk membicarakan perihal dirinya dan obsesinya. Saya bertanya, “kan bapak belum lama ini menjadi kades, bagaimana dengan UU Desa yang nantinya setiap desa akan mengalir kira-kira dana sekitar > Rp.1 Milyar ?”, pertanyaan ini tentunya untuk pancingan saja. Ia pun menimpali “insya Allah kalau dananya ada, kita akan jalankan sesuai peraturan dengan melibatkan masyarakat secara keseluruhan biar manfaatnya juga merata”. Walaupun ini terdengar cukup normatif tapi lumayanlah meskipun nantinya kita tidak mengetahui apakah dana ini akan terpakai “umum” ataukah nyempil-nyempil “pribadi”.


Tetapi terlepas dari keraguan implementasi dari pernyataannya tersebut, ia menambahkan bahwa sangat penting bagi seorang kepercayaan rakyat untuk memperoleh legitimasi yang poin utamanya adalah berkerja. Pekerjaan itu menurutnya harus dimulai dari bawah (kosa kata politik “akar rumput”) dan betul-betul menyatu dengan masyarakat.


Tentu hal ini lebih menarik lagi, darimana pengetahuan mantan PNS tadi tentang politik praktis tereproduksi. Saya bertanya, “bukankah lebih baik di PNS saja yang penuh kepastian walaupun datar-datar saja, ketimbang “berjudi” masuk kedalam politik praktis ?”. Ia langsung menjawab, “nah disitulah resikonya”. Kemudian saya bertanya kembali “apa yang melandasi bapak mau ikut bersusah payah membangun jaringan dari bawah untuk nantinya mencoba peruntungan di legislative daerah ?”. Ia menjawab, “liat saja itu Jokowi, beberapa tahun lalu ia jadi Walikota Solo, kemudian naik setingkat dan luar biasa jadi Gubernur Jakarta dan sekarang bertarung menjadi Presiden, saya kira ini luar biasa.” Hmmm…rupanya hilir prereferensi aksi politik bapak ini yang merubah path kehidupannya adalah Jokowi.


Karena waktu sudah menunjukkan pukul 06:20 AM, saya berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke Kab.Bulukumba yang dituju.


----------
Kira-kira pukul 08:30 kami rombongan telah tiba di Kab.Bulukumba, setengah jam kemudian berangkat kelokasi pertemuan tepatnya di Kel.Bentenge. Sebelum acara dimulai yang pastinya penuh formalitas awalnya, tentu momen yang baik untuk bincang-bincang santai dengan nelayan yang sudah berdatangan.


Dari sekitar tiga orang yang sempat ngobrol-ngobrol ngalor ngidul sebelum acara dimulai, saya mendapat cerita lagi yang kira-kira modelnya sama dengan orang yang saya temui di kabupaten sebelumnya. Tapi kali ini nelayan tersebut menceritakan bukan dirinya melainkan koleganya yang sekarang sangat aktif di berbagai komunitas masyarakat.


Waktu saya bertanya tentang preferensi pilihan di pilpres posisi pilihan cukup bervariasi, dua orang di nomor dua, satu di nomer satu. Ketika saya menanyakan mengapa memilih nomer satu ia mengatakan bahwa orangnya tegas. Kemudian yang satu menjawab “kalo saya Jokowi pak, selain ada pak JK-nya, orangnya sederhana” kemudian yang satu menyeletuk “Jokowi pernah miskin pak” dengan nada yang semangat.

 ---------- 000 -------
Setelah acara selesai dan setelah makan siang, kira-kira pukul 12:00 kami rombongan bersiap-siap balik ke Makassar.  Sambil menunggu, setelah makan siang, saya berbicara santai dengan salah satu PNS yang berada dilingkup tersebut. Alangkah kagetnya ketika saya menyinggung tentang piplres dan hubungannya dengan politik lokal, orang tersebut berbicara tentang koleganya yang kira-kira semodel dengan cerita orang pertama yang saya temui di kabupaten sebelumnya.


Symptom Politik
Mungkin hanya “kebetulan” saja saya menemui orang yang berjarak jauh dari riuhan Ibukota Jakarta dan segala pekik masalahnya yang didalam perbincangannya menyebut Jokowi sebagai sesuatu yang istimewa. Terlepas dari kebetulan itu jika dimodelkan dari orang-orang lapis bawah yang saya temui terdapat suatu transisi yang nada-nadanya cukup positif bagi demokrasi procedural itu sendiri. Yaitu telah adanya persepsi masyarakat bahwa political path itu bukan kerjaan 2-3 bulan sebelum pemilihan umum legislative tetapi melalui jenjang karir yang bertahap. Walaupun hal ini juga mengandung efek sebaliknya, bahwa ada kecenderungan motivasi politik praktis mendeterminasi hubungan sosial dalam rangka pemupukan modal sosial mereka tetapi setidaknya ada suatu narasi baru yang ceritanya tidak melulu elitis dan berbasiskan uang.


Jika sekiranya cerita karir politik dari tiga orang berbeda tersebut (satu pelaku langsung, dua penutur) merupakan fenomena partikular, maka sayapun berhipotesa bahwa ini suatu gejala nasional dalam kasus partikular. Menemukan symptom nasional (membentang dari Sabang sampai Merauke) dalam symptom politik lokal. Efek inilah nantinya akan bertumbukan dengan kontestasi lokal dimana aktor politik berbagai level (baik Kepala Daerah sampai Kepala Desa) akan memberikan yang terbaik yang mereka punya untuk sesuatu karir politik yang bertahan dan menanjak.


Disamping itu tidak dapat dinafikkan antusiasme berkarir politik mempunyai rambu-rambu bahaya. Toh bagi penstudi ilmu politik yang selalu melihat setidaknya ada gerak-gerak sosial walaupun lambat, ini suatu hal yang lumayanlah. Antusiasme ini tidak sekedar pembahasan ekonomi didalamnya tetapi membuka dan membasahi imajinasi mereka bahwa ada kemungkinan-kemungkinan lain dibalik umumnya praktik-praktik “mahal” seorang politisi lokal. Apalah hal yang menggembirakan demokrasi prosedural ketika antusiasme publik naik, partisipasi publik naik berkorelasi dengan legitimasi dan kontrak sosial, “semangat” akan harapan, politisi berkarir selangkah demi selangkah “tidak instan” dan sebagainya.


Sekiranya saya cukup naïf mengatakan ada yang beda pada momen pemilu ini, ataukah kesadaran palsu saya akan semunya sebuah perubahan pelan ditengah keringnya pembahasan dan realisasi perubahan secara cepat satu dekade kedepan. Jika hal tersebut (ada yang beda) itu benar saya kira fenomena Jokowi memberikan sumbangsih yang tren-nya cukup positif mengalir dibeberapa kalangan, sumbangsih pada proses demokrasi itu sendiri di berbagai lapisan.


Sekiranya itu benar, terlepas si kurus itu (Jokowi) adalah media darling – produk media, hasil dari pencitraan media, seorang politisi instan yang dinaikkan oleh PDIP yang tak mau kehilangan momentum, “boneka” Megawati, tidak fasih bahasa Inggris dan anasir lain kelas menengah – atas pada dirinya, secara fair dan objektif ia membawa perubahan sedikit tapi berarti. Yang sering dipermasalahkan yaitu cepatnya jenjang karir politiknya bahkan sekelas Amin R. yang notabene pemilu 2004 berhasrat naik ke pucuk dengan luwesnya pengetahuan toh juga tidak mendapat suara signifikan dari aras bawah. Toh ibu-ibu tetap memilih SBY.  Mungkin “keirian” karir politik membuat beberapa mantan capres dulunya bersikap oposan kepada Bapak Kurus itu.


Karir politik si Kurus itu memang singkat misalkan kita bandingkan dengan Kanselir Jerman Angela Markel 

“powerful woman in the world” (aktif politik praktis pasca reunifikasi Jerman pada 1989-1990an terpilih menjadi Kanselir pada tahun 2005) atau Presiden  Brazil Dilma Roussef (aktif politik melalui jalur gerilya melawan dictator pada akhir tahun 1960an dan awal 1970an, terpilih menjadi Presiden pada 2010) tetapi apakah itu salah ?. Apakah ia harus “tabe-tabe” mendahulukan senior yang sudah melanglang buana di politik praktis lebih satu dekade terakhir.  Itu bukan game politik terbuka tetapi feudal yang terpelihara.


Sekiranya ia meninggalkan Jakarta bukan sebagai bentuk tidak tanggung jawab melainkan strategi sinkronisasi agar program yang ia dan ahok rencanakan cepat ter-klik dengan program nasional, mengakselerasi beberapa yang terhambat dan sebagainya. Sekiranya ia pencitraan dengan masuk ke gorong-gorong dan sebagainya yang di media internasional dijuluki “Mr. Fix it” layaknya tukang ledeng yang memperbaiki pipa rusak, toh ia melakukan hal-hal yang sebenarnya dasar dan sederhana dimana sedikitnya contoh pemimpin yang non-elitis dan membumi sekarang ini. Apakah media salah jika mereka terus membidik kamera pada pemimpin “nyeleneh” ini ?. Toh ini resiprokal, media mendapatkan hits berita. Jika fasih berbahasa Inggris menjadi indikatornya pastilah pak Gita Wiryawan pemenang atas semua kontestan, tapi apakah ia melengket di kelas bawah?.


Kali ini si Kurus akan melakukan pertarungan kelas terberat dalam karir politik praktis tertinggi sebagai pimpinan eksekutif melawan calon yang notabene “perkasa” dan pemarah itu. Kiranya pilihan masing-masing kita telah bulat dan semoga tidak memanas apabila kita berbeda, tetapi menurut saya, kita harus menolong agar si Kurus ini tetap bisa memberikan tren positif yang mengalir sampai jauh ke bawah.


Mungkin ia doa penduduk Indonesia yang jauh dari harapan, jauh dari akses, lama tidak terpedulikan, jauh dari analisa kompleks politik, jauh dari kemakmuran, jauh dari terang, jauh dari kekayaan imajinasi, jauh dari ibukota, TKI yang teraniyaya dan sebagainya. Ia bukan messiah ataupun ratu/raja Adil dengan sim-salabim semua beres adakadabbra kemiskinan 0% pada 2019.  Tapi ia orang yang dibutuhkan untuk suatu proses “patahan” demokrasi yang baik kedepannya. Apabila ia kelak kalah dalam pertarungan beberapa hari kedepan, anda tidak dapat memungkiri ia telah memberikan efek yang luar biasa dan demokrasi Indonesia sebagai sebuah sistem politik patut berterima kasih padanya.


Bantulah agar tren itu bisa tetap berlanjut, bergrafik menanjak dan menimbulkan efek-efek yang lain, salam Gogos.



Makassar, 8 Juli 2014, sehari sebelum pilpres…….

Foto jejeran perahu Nelayan di Kel.Bentenge - Bulukumba