Pages

Pudarnya Kemilau Perak Di Batua - Makassar




Assalamu alaikum….assalamu alaikum
(sahut kami dari luar pagar, setelah sekitar 3 menit terdengar sahutan)
“oh iya ada apa nak?”
“Bisa kami mewancarai bapak selaku pengrajin….?”
“oh iya tunggu sebentar”


Tampaknya kedatangan kami di suatu sore sekitar pukul 15:50 WITA tanggal 16/3/2015 itu “mengganggu” istirahat siang-sore bapak ini. Ini terlihat ketika raut muka bapak tersebut nampak, sepertinya beliau terbangun dari istirahat siang-sorenya. Konsekuensi bagi kami ya pastilah kena tegur. Tetapi setelah sahutan hangat itu kami dengar, legalah dugaan marah tersebut menjadi semangat optimistik kembali.

Setelah itu dibukakannya kami pagar, dipersilahkannya kami masuk dan duduk di teras. Kamipun mulai memperkenalkan diri dan tujuan kedatangan kami, beliau memperhatikan dengan seksama. Sempat kami berpikir akan mengeluarkan kertas “sakti” (kertas surat keterangan penelitian) kalau saja beliau masih meragukan atau was-was dua orang tak dikenalnya sekarang duduk di terasnya. Tetapi belum sempat kami mengeluarkan kertas, beliau menawarkan untuk masuk ke workshop dan melakukan aktivitas wawancara sekaligus melihat proses pembuatannya.


Peneliti Diperlakukan

Sebelumnya, bagi warga kota pada umumnya, rasa was-was, curigaan, sambutan dingin atau sampai pura-pura tidak mendengar ada orang menyaut di depan pagarnya adalah hal yang biasa. Saya tidak mengetahui apakah ini watak/kebiasaan orang kota dalam melihat sinisnya manusia baru yang dikenalnya ataukah sebuah sikap yang ingin memproteksi dari kejahatan-kejahatan perkotaan yang marak terjadi. Ataukah memang di kota Makassar kepercayaan dan kohesi sosial sudah sangat renggangnya.

Bagi periset lapangan pastilah hal ini (awal mengintroduksi diri pada orang yang baru) mempunyai seninya tersendiri yaitu teknik – pendekatan yang digunakan yang sangat situasional. Tidak jarang saya dikira peminta sumbangan, ada juga suatu waktu saya di-introgasi layaknya tahanan. Tapi tak apalah, ini memang yang harus dijalani. Inilah proses dan seninya, memperkenalkan diri membangun kepercayaan/trust building kepada narasumber. Ditolakpun buka suatu kata yang tabu dan baru.


Melanjutkan Interview

Tetapi keramahan bapak ini sesuatu, mungkin karena beliau sudah terbiasa ketemu dengan orang baru atau yang menjadi pelanggannya atau memang pembawaan/karakter yang terbuka/open sejak dulu. Citra yang pertama dari bapak ini menurut kami sangat kooperatif. Biasanya orang yang tidak kooperatif walaupun penuh skill/skillful apalagi di tambah ciri khas “koro-koroang” akan mendapati rejeki dan relasi yang terisolasi.

Sambil menyelesaikan pesanan perahu pinisi dari perak, kami dipersilahkan untuk bertanya dan mengamati. Wawancarapun berjalan mulus di dalam workshop ukuran sekitar 3 x 3 meter beralamat Jl. Borong Dalam RW 2 Batua.

Nama bapak ini ialah Makmur Dg. Serang. Beliau telah menjadi pengrajin perak sejak tahun 1975. “Sekitar tahun itu (1970an) boleh dikata 80% penduduk sini pengrajin emas dan perak. Semenjak krisis ekonomi dan turunnya Soeharto pengrajin mulai berkurang” kata Dg. Serang. Umur beliau sekarang 50an tahun, dapat dikatakan sebelum menginjak usia 20 tahun beliau telah menjadi pengrajin perak.

Beliau menjelaskan bahwa alat produksinya merupakan warisan dari pamannya/om seperti pompa, pipa dan gilingan. “Lebih dulu dari alat ini, dulu bukan pompa yang dipakai untuk menyolder tetapi ditiup pake timburung. Oleh karenanya setiap mau buat harus pake nafas panjang dulu” kelakarnya. “Dulu juga tidak pakai gilingan seperti ini (sambil menunjuk peralatan) tetapi dipakai palu-palu untuk menggepengkan perak. Dulu juga untuk kasi memanjang perak ditarik-tarik saja” kata Dg. Serang. Alih teknologi yang terjadi yaitu dari alat yang ditiup menjadi pompa untuk menyolder dengan bahan bakar bensin, palu-palu menjadi gilingan untuk menggepengkan perak dan terdapat alat untuk memanjangkan perak. Alih Teknologi yang sejak tahun 1970an – 1980an ini bagi Dg. Serang sudah mentok sampai disitu, tak ada kebaruan lagi.

Seingat beliau masa ke-perak-an dan ke-emas-an itu awal tahun 1990an. Mengapa dikatakan masa keperakan dan keemasan yaitu ditahun tersebut  banyak pesanan, oleh karenanya banyak pengrajin dan pengrajin dapat mengerjakan baik perak maupun emas. “Karena rame-ramenya masa itu terdapat perkumpulan walaupun tidak ada namanya. Saking banyaknya kerja dulu enak rame, tidak dirasa sampai larut malam” romantisme Dg. Serang.

Setahunya pengrajin perak di daerah ini (Borong Dalam RW 1-2, Batua) sekarang sekitar 10 orang. Tetapi jumlah pengraji emas lebih dari itu. Pengrajin emas biasanya mengerjakan produk kerajinan seperti cincin, giwang, bros dll. “Kendalanya kalo kerja emas harus mempunyai modal, kalo tidak punyya pilihannya kerja di Toko. Sekarang banyak yang kerja di Toko”, kata Dg. Serang.

Produk kerajinan yang dikerjakan Dg. Serang yaitu perahu pinisi dan rumah adat Tanah Toraja (walaupun kami melihat mirip dengan model rumah Bugis-Makassar) berbahan dasar perak. Untuk proses pengerjaannya dilakukan satu persatu (ekor, badan, layar dll) kemudian di rakit. Untuk membedakan produknya dengan produk lain, terdapat motif bunga dalam pinisi  yang disebut “kandaria”. Uniknya, kandaria ini mayoritas dibuat oleh perempuan. Dg. Serang menuturkan “dulu ada juga yang kerja perak dari Pulau Barrang Lompo dengan motif yang berbeda. Sekarang mungkin sudah tidak ada”.

Relasi Produksi

Relasi produksi dan pemasaran Dg. Serang bekerjasama dengan beberapa toko di Somba Opu dan Sulawesi. Untuk mensiasati kurangnya modal dan minimnya jangkauan pemasaran terbentuklah relasi produksi dan pemasaran tersebut. Pihak Toko memberikan bahan baku perak dan pemesanan. Dg. Serang bertindak sebagai penyuplai barang atau lebih mirip untuk istilah “tukang”.

Relasi Bos – Tukang ini merupakan relasi mutualisme dari situasi faktual yang dialami. Jika mendanai sendiri dan kemudian hanya dipajang di rumah sambil menunggu pembeli, putaran ekonomi Dg. Serang akan melambat bisa saja macet dan tidak bergairah. Sedangkan bagi pihak Bos – Toko mempunyai beberapa pilihan pengrajin. Tentunya market Toko lebih plural dan terbuka karena didatangi oleh pembeli (baik wisman – domestik).

Relasi ini dijaga baik oleh Dg. Serang karena pemesanan dari toko cukup rutin. Sewaktu kami mewawancarai, beliau sedang mengerjakan pesanan 15 buah miniatur pinisi yang berdimensi 30 cm dengan berat 140 gram/biji. Harga perak /gram sekarang ini disekitaran Rp.12 ribu – 13 ribu/gram. Jadi jika kita menghitung ongkos produksi dari bahan baku saja untuk menghasilkan satu produk miniatur pinisi dengan berat 140 gram dibutuhkan modal sebesar Rp.1,6 juta – Rp.1,8 juta. Berarti untuk pemesanan 15 buah dibutuhkan modal Rp.24 juta – Rp.27 juta. Dan ingat, itu baru bahan baku peraknya saja ! Untuk pemesanan jumlah banyak Beliau dapat memperkerjakan tukang lainnya yang berada di sekitaran rumah, tetapi itu kalau ada pesanan banyak.

Bagi sebagian orang khususnya penganut pengambilan nilai lebih/surplus value akan berkoar-koar meilihat narasi ini. Tetapi sabar dulu kawan, duduk ditempat dengan tenang, karena fakta dilapangan memang keras. Orang-orang harus bertahan hidup, menghidupi keluarganya dan tidak bisa mengilusi diri kemakmuran akan sampai cepat dimeja makan sambil berdiskusi tentang kerja. Seperti kalimat dalam novel Daniel Quinn “setiap orang punya teorinya sendiri-sendiri. Dunia dibuat untuk manusia bukan untuk ubur-ubur”. Ingat, ini bukan teorinya yang salah, tetapi kita melihat respon manusia atas keadaan faktual/realitasnya.

Tetapi tidak hanya dari Toko, Dg. Serang juga menerima pesanan dari pelanggan yang datang langsung ke rumahnya. Biasanya polanya sama dengan Toko, ada pelanggan yang memberikan bahan baku atau pola yang berbeda panjar dulu, bahan baku diadakan oleh pengrajin dan nanti lunas. Tentunya pola terakhir itu mengandung risks yang cukup besar bagi pengrajin yang harus berhubungan dengan pelanggan apalagi pelanggan baru. “Semenjak zaman batu ini (batu cincin) pesanan juga banyak yang ingin mengikat batunya dalam bentuk cincin berbahan dasar perak. Kelebihan bahan perak tidak membuat alergi tetapi harganya berkali lipat dari titanium” ucap Dg. Serang.

Disini kita melihat adanya segmentasi pasar yang berbeda. Untuk Toko mereka kedatangan pembeli yang mungkin dalam beberapa situasi tertentu seperti ingin cepat, mengejar pesawat di bandara, sedang jalan-jalan di sekitar pantai losari dan sebagainya. Sedangkan pelanggan yang datang langsung ke rumah beliau merupakan pembeli/pelanggan yang memang “niat banget” dan tahu alamat Dg. Serang. Kedua segmen pembeli ini merupakan dua kategori yang berbeda.



Nasional ke lokal

Bagi sebagian kita mungkin belum pernah mendengar informasi di atas bahwa daerah Borong Dalam – Batua dulunya merupakan sentra kerajinan Perak dan Emas. Mungkin sekali lagi mungkin tidak ada imajinasi kita tentang daerah di Makassar yang berbasis kerajinan. Mungkin akrab bagi kita dan sejarah kota yang berkembang dari kota pelabuhan yang biasanya minim sekali produsen tingkat satu hadir di kerumunan karena kerumunan mayoritas terisi oleh kaum broker, reseller ataupun enduser.

Coba pejamkan mata, singkirkan ingatan Makassar yang ada dikepala kita (macet, koro-koroang, berdebu, tidak sabaran, menorobos lampu merah, tidak mau diatur, borro dll) dan coba membayangkan Makassar jadi kota kerajinan. Maka timbul sesuatu yang baru. Pengrajin identik dengan orang yang sabar (susah menjadi pengrajin jika “kajili-jili”), menghargai detil serta karya, tidak ambisius, fokus, telaten, pola kerja manusiawi dan sebagainya. Nah, ini Makassar atau kota di Jawa ?, ternyata kita juga punya disini walaupun narasinya minor.

Oke stop khayalannya, karena saya tidak hendak mengajak anda terlalu lama menghayal.

Lanjut ke nasional, sebagian dari kita mungkin sudah tau ada sentra kerajinan perak di Kota Gede – Yogyakarta, Desa Batan Krajan – Mojokerto, Desa Celuk di Bali yang hasil produksinya sudah mengglobal (ke Eropa, Asia Timur dan sebagainya). Khususnya dua kota yang saya sebutkan yaitu Jogja dan Bali, pengrajin mereka beruntung karena daerahnya dibanjiri dengan wisatawan asing maupun domestik yang memilih berlibur baik dalam waktu yang lama ataupun singkat, atau juga para pelajar dari berbagai daerah. Ketersambungan produk mereka dengan pembeli luar daerah dan luar negeri berada dalam range yang dekat karena sentra kerajinan mereka didatangi oleh pembeli. Nah bagaimana dengan yang tidak di datangi ?, jawab sendiri.


Di Kendari - Sulawesi Tenggara kita juga tau ada motif perak Werk yang telah melegenda. Nah di Makassar ini kita juga punya, tugas selanjutnya bagaimana mengoptimalisasi hal ini ?. Langkah pertama yaitu kita harus tau dan perduli dulu bahwa kita punya pengrajin perak yang tidak kalah bagusnya dengan daerah lain.

Untuk data pengrajin lain (baik perak, logam dll) juga terdapat di Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah). Tidak ada kata lain selain menambah kuantitas dan kualitas pengrajin tentunya dengan adanya pembeli/pelanggan yang semakin rame. Lantas bagaimana meramaikan pelanggan ? ya masing-masing kita pasti sudah tau bagaimana masalahnya dan jawabannya sesuai peran dan posisi kita masing-masing. Misalnya siapa tau ada diantara pembaca yang suka terlibat di acara lovely Toraja bisa membawa produk beliau dan pengrajin lainnya ke acara tersebut. Permisalan tersebut mengandalkan pola kehadiran middle-man atau intermediary. Sudut stakeholders, sistem pendukung, pemerhati, akademisi dan lain-lain mohon dieksplore sendiri.


Sebagai bisik-bisik aja nih, gapura sentra kerajinan perak di pintu masuk daerah Kota Gede itu diadakan memakai dana CSR Bank BPD Yogyakarta pada 2009 lalu. Nah, kali-kali aja, ada diantara para pembaca yang bisa mencolek-colek pihak serupa di kota ini. Usul mengenai pelabelan kawasan sebenarnya juga mengandung masalah, sentra pengrajin perak sementara di dalamnya hanya terdapat sekitar 10 orang atau mungkin tidak sampai 5-10% populasi daerah itu. Tetapi tak mengapa, barangkali bisa memberikan multi efek baik yang berada di dalam maupun di luar  kawasan. Dan mengundang orang untuk kota Makassar sendiri yang ingin memesan souvenir ke pengrajinnya langsung sesuai dengan kebutuhannya.


Emas 1 kg

Sebelum saya mengakhiri, ada suatu cerita menarik lagi oleh Dg. Serang. Sewaktu Dg. Serang masih muda (lupa persis tahunnya), beliau dan omnya mengerjakan perahu pinisi yang terbuat dari ˃ 1 kg emas dengan dimensi panjang perahu 60 cm. Miniatur Pnisi dari emas tersebut dipesan oleh pemerintah (tetapi beliau tidak tahu pasti pihak pemerintah yang mana) dan diberikan kepadaa Soeharto ketika mengunjungi kota ini. Harga dulunya (ketika pinisi dikerjakan) per 1 gram emas 24 sebesar Rp. 23 ribu sekarang mencapai Rp.  500 ribu/gram. Nah jika 1 kg berapa harga sekarangnya ? ayo tebak.

Dalam termin populernya model seperti ini dapat disebut cinderamata atau hadiah tetapi dalam bentuk feodalnya kita menyebutnya upeti raja daerah/periperi untuk raja pusat/core. Sebuah praktek kekuasaan ekonomi politik membudaya atau setidaknya menjadi kebiasaan.

Kisah Sekitar

Terlepas dari cerita feodal itu, kita harus berbangga mempunyai pengrajin. Disela akhir wawancara kami, terselip rasa bahagia karena Dg. Serang telah mewarisi “ilmunya” kepada anak pertama dan ketiga.

Sulit dibayangkan jika pengrajin/manusia-manusia kreatif hilang, mayoritas beralih profesi ke pekerja kantoran yang pangsa pasar kerja di kota ini semakin kecil dan berjejalan di sektor jasa saja. Dan bagaimanapula manusia kreatif bisa muncul dan bertambah jika kota terlampau monoton dan serupa. Ekonomi kreatif bisa muncul dari manusia kreatif, selain itu jika polanya masih model relasi kantoran sama saja dengan ekonomi konvensional.

Cerita semacam ini agak sulit kita temui di media mainstream (seperti koran, TV lokal, berita digital dll) yang biasanya menjejali publik dengan informasi miris seputar praktek politik elektoral, perilaku birokrat, konflik Polri – KPK, kenakalan remaja, street crime, asusila ataupun berita sensional ala selebritis. Cerita ini diproduksi disekeliling kita, harus hirau saja dengan sekitar kita. Harapan tulisan ini sederhana, agar perak tetap berkilau dan tak redup digilas jaman dan perkembangan kota yang diluar kendali. Perak berkilaulah!!







 
 
 (foto kerajinan miniatur perahu dari perak yang telah jadi)


 Key words: Perak/silver, pengrajin/craftsman, Makassar