Pages

MENEGAKKAN TUSUK GIGI (CATATAN KECIL PROSES MAKASSAR BIENNALE 2015)



MENEGAKKAN TUSUK GIGI
(CATATAN KECIL PROSES MAKASSAR BIENNALE 2015)

Biennale
Biennale sebagai sebuah kosa kata tambahan dikamus otakku jujur baru bertambah belum lama ini, setidaknya setahun terakhir ini. Perjumpaan kata ini saya temui di Tanahindie – Kampung Buku dengan dialog-dialog damai terutama dengan K’Andan dan K’Jimpe. Kalau tidak salah ingat (catat: saya sering salah ingat) kata ini bunyi dan “mengganggu” rasa penasaran untuk lebih tahu pada awalnya sekitar akhir tahun lalu (2014). Hal tersebut menandakan bahwa saya ABK (Anak Baru Kenal) dan pengetahuan akan hal ini hanya ada di permukaan (tidak dalam).


Awal bunyi-bunyian kata ini tercantol dengan nama Ibukota yaitu Jakarta Biennale 2015 yang akan dilaksanakan akhir tahun ini (desember 2015) sampai awal tahun depan (januari 2016) di beberapa tempat yang tersebar di Jakarta (kampung, gedung tua Sarinah, dll) yang bertema “Maju Kena Mundur Kena”. Mirip judul sebuah film Warkop DKI yang pastinya tema JB itu berkonteks historis-sosio-politico-kultural.


Hal yang membahagiakan bahwa beberapa nama yang cukup familiar memainkan peran yang penting dalam acara itu seperti K’Jimpe (Kurator JB 2015), Qui-qui (artist JB 2015), Cora (artist JB 2015), Om Firman Djamil (artist JB 2015), Reza Enem/Gitaris TOD (artist JB 2015) yang berjejaring dengan aktor ibukota, penjaringan, daerah lain seperti Nobodycorp (Jogja) dsbnya serta seniman/artist internasional. Hal ini menandakan adanya ketersambungan dari rajutan antara aktor-aktor ibukota dan daerah yang pada akhirnya sedikit demi sedikit menggerus/meminimalisasi sekat nasional – daerah, inferior – superior, senior – junior dan yang lebih luas lagi internasional – nasional. Suatu keterkikisan mental dan prilaku poskolonialisme.


Secara literal kata Biennial berarti sesuatu yang terjadi dua tahun sekali. Kata ini diturunkan dari bahasa Latin yaitu Biennium. Kalau kata Triennials berarti tiga tahun sekali, Quadriennials berarti empat tahun sekali dan seterusnya. Jadi misalnya anda memprogramkan “Putus Biennial” berarti anda memprogramkan untuk putus dengan pasangan dua tahun sekali.


Rekam sejarah mencatat Biennial pertama kali diadakan di Kota Venice-Italia pada bulan April 1885 (abad 19) dan setelahnya ada Corcoran Biennial pada 1907 dan sebagainya. Biennial Event tidak tegak di ruang vakum. Ia melengket dengan konteks sosial ekonomi politik dan budaya pada zamannya ataupun maju mundur boleh jadi internasional atau domestik. Misalnya Biennial pertama di Venezia pada abad 19, yang pada abad itu bermunculan kota-kota besar yang notabene modern di Eropa, maraknya industrialisasi yang oleh karenanya kolonialisasi, bertumbuh dan membesarnya kelas menengah, populasi urban meningkat drastis, tekanan kota bertambah dan sebagainya. Italia sendiri pada waktu Biennial pertama tersebut memiliki beberapa koloni di Afrika, belum lagi jika dihitung negara-negara lain di Eropa yang memiliki daerah koloni tersebar diberbagai belahan dunia.


Setelahnya, ekonomi politik internasional tetap menyelimuti perkembangan Biennial ini mulai dari munculnya fasisme, krisis ekonomi dunia, perang dunia I dan II, perang dingin, berakhirnya perang dingin 1989/1990, globalisasi dan sekarang ini perubahan drastis bidang IT. Biennial kontemporer tetap berarena dalam lokasi urban sebagai medan pertempuran baik ideasional maupun materiil. Biennial terus mengirimkan sinyal-sinyal pesan lebih melalui seni. Misalnya Biennial 2006 di Singapura yang bertema “Belief” yang mengalamatkan struktur multi-relijius kota Singapura dan disaat bersamaan mengkritik kekuasaan “Uang” di Singapura yang waktu pelaksanaannya bertepatan dengan konferensi IMF. Men-display dan disaat bersamaan mengkritik merupakan pesan yang telah dikirim.


Makassar Biennale

Kembali ke domestik, kata Makassar Biennale pertama kali saya dengarkan juga di Kampung Buku saat mulai dihembuskan angin-angin informasi bahwa Biennale akan terjadi di kota ini. Tentunya hal ini menggembirakan sekaligus menyegarkan, ada pertarungan kreatif lagi bakalan terjadi di kota ini!

Pada awal Juni 2015 ketika menemani tim riset Koalisi Seni Indonesia di Makassar yang lagi melakukan riset seni, saya berkesempatan berkenalan wajah untuk pertama kalinya dengan Abi, salah satu tokoh utama man behind the scene MB 2015 di Fort Rotterdam dalam seri acara MIWF. Tidak lama berselang Pak Charles Esche, K’ Nirwan Ahmad Arsuka dan dosen Fakultas Sastra Unhas berbicara dalam seminar internasional di Aula Prof. Mattulada Unhas pada 5 Juni 2015 sebagai seri acara JB 2015 bertajuk kuliah umum.

Dari pemaparan Esche (pria kelahiran Skotland ini) saya mulai bisa menyusun perlahan puzzle-puzzle acara Biennale ini yang tidak lagi abstrak (seperti hanya membaca buku). Melalui presentasi K’Nirwan yang kuat dibidang sains dan kesejarahan tersebut saya mulai menemukan benang merah akar sejarah seni dan ketersambungan lintas zaman dengan pergelaran karya seni semisal Makassar Biennale terutama diskusi tentang Lukisan Praserajah di Leang-leang. Yang menurut diskusi tersebut usianya lebih tua banget dibandingkan penemuan serupa di Eropa. Untuk jarak umur bisa membaca tulisan Om Irfan Palippui disini. Tentunya selain itu akar sejarah literasi juga nampak di buku Lagaligo.


Kualitas diskusi dikolong gedung Fakultas Sastra tersebut memang sudah tersohor sejak lama misalnya waktu masih kuliah dulu. Pada saat itu kualitas diskusi sekali lagi begitu terasa. Diskusi yang melibatkan pemateri yang tadinya dalam ruang seminar berpindah lebih cair dan luas, terlibat aktif diskusi dosen-dosen, senior-senior yang lain dan juga ada Abi MB 2015. Satu pernyataan yang sempat saya ingat ketika Abi meminta pendapat K’Nirwan tentang perihal MB 2015, yang dari pemaparan terbayang sekelumit masalah yang pastinya berat dan besar, ialah “kasi jadi saja” saran K’Nirwan.


Ide-ide tentang perhelatan MB 2015 datang dari pergumulan teman-teman seniman di Jogja yang sedang melanjutkan studi. Jogja sekali lagi memberikan inspirasi tetapi bukan kiblat ! Argumen tersebut sering saya dengarkan ihwal ide-ide awal para penggagas acara ini.

Disuatu hari di bulan Ramadhan 2015, komunitas Malam Sureq mengadakan baca puisi di Kampung Buku. Saya hadir waktu itu tetapi bukan sebagai pembaca puisi tetapi penonton dan pencari buka puasa tentunya. Saat berbuka puasa tiba, Abi dan beberapa temannya serta seorang bule dari Amrik yang mengambil doktor dibidang Antropologi (kalau tidak salah) datang berkunjung di Kampung Buku. 

Saya memilih untuk berada di luar saja dengan obrolan ringan dan satu kelompok dibagian dalam sepertinya membahas sesuatu yang serius tandanya minimnya gelak tawa. Saat itu saya semakin sadar bahwa perencanaan perhelatan MB 2015 penuh halang rintang yang begitu tinggi dan banyak, medan pertempuran terbuka dimana-mana dan gesekan kesana kemari.


Tanahindie saat itu dipercaya menggawangi sekolah menulis untuk event MB 2015 tersebut bertajuk Kritik Seni. Suatu kepercayaan yang baik dalam hubungan antar komunitas. Para penulis juga semakin hari semakin tajam. Saya tidak banyak terlibat dalam proses itu. Misalnya awal penggodokan, saya meminta izin untuk membantu Kedai Buku Jenny di acara Musik Hutan. Dan setelahnya saya jarang aktif lagi, apalagi akhir-akhir semakin sering intens ditempat lain dikarenakan pengaisan rejeki untuk mengisi kuota data. Untuk hal itu, melalui tulisan ini, saya meminta maaf.


17 Oktober 2015
Tadi malam, malam 17 Oktober 2015 akhirnya proses berliku-liku tersebut menemui hari pembukaannya. Tentunya ada kegembiraan luar biasa bagi para pengusungnya dan tentunya juga kritik beruntun menyertainya. Mungkin dua hal tersebut suatu hukum alam sampai bumi berakhir mengenaskan serta bukan sesuatu yang aneh bin negatif.


Karya seni dipamerkan, seniman lokal mendapatkan ruang, acara berjalan, ide-ide terjewantahkan, opini bermunculan, penikmat seni menikmati, kritikus bersuara, panitia bekerja dan sebagainya merupakan komposit-komposit perhelatan ini. Sambil bersulang kopi hitam (tidak tahu siapa yang memesan milo dingin) disamping Socitiet De Harmonie/Gedung Kesenian Makassar, Kami merayakannya.


Saya tidak terlalu tahu menafsirkan karya, semisal contoh yang diberikan Esche ketika presentasi tentang seniman yang mengirimkan dan meletakkan sampah dari Eropa ke lokasi pameran seni di Korea (lupa antara Gwangju atau Busan Biennale) itu maknanya apa. Sependek penafsiran saya mungkin hal itu ingin menggambarkan Eropa selalu mengirimkan sampah ke Timur atau Timur jadi tempat sampah. Tetapi jika hanya mengirimkan sampah dan meletakkannya begitu saja sudah menjadi karya seni apalagi karya yang betul-betul dibuat siang dan malam.


Walaupun saya tidak tahu banyak tentang seni tetapi saya suka mengunjungi pameran seni, saya menikmati terutama seni instalasi seperti yang sering saya liat dipameran sewaktu kuliah di Jogja beberapa tahun lalu. Hak saya sebagai warga biasa yaitu menikmati seni terlebih gratis seperti menghirup udara. Makassar Art Gallery yang berada di fasilitas publik juga menambah ruang itu.


Sekarang (MB 2015) tak perlu jauh ke kota lain untuk melihat karya seni non-kanvas misalnya. Sekarang teman-teman pengusung, penggiat dan seniman MB 2015 telah merealisasikan idenya, telah membuka ruang dan memamerkan karya, maka kewajiban saya ialah mengunjunginya dan menunaikan hak saya bersamaan dengan itu.


Perselisihan terkait ide, anggaran, organisasi, hirarki, senior-junior, inside-outside serta institusi sebaiknya menjadi dialektika yang melahirkan ruang yang segar dalam nafas dialog zaman. Saya setuju dengan pernyataan S.B.Vogel “setiap edisi perhelatan Biennial mengsinyalkan sebuah proses perubahan yang kemudian diikuti transformasi sosial yang dramatis”.


Minimal perubahan dari dialektika para pihak yang berada dikonstalasi lingkar isu-isu ini. Saat ini saya sedang mengamati semua elemen ini dalam saat yang bersamaan, mengamati karya seni, proses, dialektika dan transformasinya.


Jaman dan ruang berkembang serta berubah melalui dialektika. Perubahan tidak bisa hadir dari kata-kata “iya” dan manut saja. Idiosinkretik anak muda generasi ini melahirkan udara segar yang kiranya dapat membantu menambahkan jiwa pada kota melalui seni. Apalagi sejarah menjelaskan kota kita ini Kosmopolitan sejak jaman kerajaan. Meskipun dalam kurikulum institusi pendidikan kontemporer, seni mengalami pengerdilan. Jelas sekali lagi jelas Makassar Biennale 2015 bukan hanya pergelaran seni semata, ia melebihi itu. Semoga semua pihak menyadarinya terutama panitianya. Harapannya eksistensi MB terus konsisten kedepannya.

Sebagai usulan kekaryaan Seni kedepannya sekiranya lebih banyak mengangkat tema-tema ekonomi sosial politik baik skala kota, nasional atau internasional mengingat sejarah event ini yang melengket dengan isu-isu tersebut selain estitika dan aliran seni itu sendiri.

Event dan membicarakan seni selalu mempunyai keindahannya sendiri. Sejenak menyelamatkan diri dari gerutu urban misalnya kemacetan yang membosankan yang tampil banyak dalam narasi sehari-hari padahal diskusi-diskusi dan opini perkiraan Makassar akan macet seperti saat ini telah terjadi satu dekade yang lalu. Sekiranya ini pendokumentasian dari mata saya sebelum semuanya menjadi artefak kota.


Kembali ke judul tulisan ini “Menegakkan Tusuk Gigi”, tentunya imajinasi yang rumit ketika satu tusuk gigi kita bayangkan kita tegakkan sendirian. Tetapi ketika ia mempunyai wadah – ruang berpijak semisal gabus maka tentunya hal tersebut mudah dilakukan.



Mestinya kita bergembira, bukan?
Overall, Saya pribadi angkat topi untuk semuanya.

Salam ceria,
Mimin
Makassar, 18 Oktober 2015



Beberapa karya seni yang dipamerkan

 (Penyebutan nama-nama diatas bukan untuk glorifikasi tetapi untuk menghadirkan subjek.)