Pages

Cerpen: Membisiki Selimut


(…kring…kring..bunyi ring tone hp….)
“haloooo, kenapa Sin?”
“Ratih…(dengan nada terburu-buru) kamu ada di mana nih?”
“Di rumah kok, ada apa Sin?” ..sahut Ratih
“Entar gue jelaskan…ini gue menuju rumahmu naik Taksi Grab. Sekitar 15 menit lagi mungkin nyampe kesitu, jangan keluar dulu yak.”
“oke gue di rumah terus kok, gak keluar nih malam” balas Ratih
“oke thanks ya”

Berselang 20 menit taksi Grab yang kurang mengkilap itu tiba di depan rumah Ratih. Sinta turun dengan tergesa menekan bel di pagar. Ibu Ratih terburu keluar

“Ada Ratih tante? Ini Sinta”
“Oh iya nak, tunggu dulu tante ambil kunci pagar ya.”

Setelah pagar terbuka,
“Maaf harus dikunci ya, di kota ini kejahatan semakin menjadi-jadi.”
Ibu Ratih mempersilahkan Sinta naik ke lantai dua ke kamar Ratih.

“Lu kenapa sin?, mirip ABG yang kabur dari rumah?” tanya Ratih
“ Iya nih gue kabur dari ruko lewat pintu belakang”
“loh emang kenapa di ruko lu? Trus mobil kamu dimana?
“Mobil gue di depan ruko, biarin aja disitu aman kok. Gue yang ga aman nih. Gue hindarin Raka. Busyett dah, dia nungguin gue dari sore ampe malam gini.”

“Emang kenapa dengan Raka? Kirain lu pacaran” tanya ratih

“Busyet dah amit-amit. Gue udah bilang gue gak akan bisa jadi pasangan loe tapi dia insist akan buktikan perasaannya pada ague. Gue udah bilang gue lagi usaha di ruko sibuk ga sempat urus urusan gak penting seperti itu. Eh malah dia nungguin gue depan ruko sampai malam tiba. Gue kabur cin lewat belakang. Gue suruh aja Mang Pepen yang kunci ruko gua.”

“oalah..gitu to…” respon Ratih

“eh boleh gue minta minum air putih gak? Haus nih, skalian pinjam toilet kamarlu ya”
“Sip, oke tunggu dulu ya, ta ambilin sekalian buah pir di kulkas”

Tidak beberapa lama Ratih kembali ke kamar dengan ransum yang cukup buat Sinta, ada buah pear, pisang, roti plus meses, air putih dan susu cokelat. Cukup mengganjal rasa lapar di lambung.

“Sin, cukup ga segini nih makan minum? Kalau kurang bilang ya. Masa di rumah gue lu kelaparan.”
“Wah makasih, cukup banget kok, tapi AC lu kurang dingin yak atau batin gue yang panas? Hahaha” seloroh Sinta.

“Eh gue bermalam disini yak, pinjam baju tidur lu. Besok pagi gue balik ke rumah naik grab lagi.”
“Oke sin, atur aja” jawab Ratih

“Eh tapi boleh kepo gak, kenapa lu ga suka Raka? Kan semua hal yang perempuan cari ada sama dia, mapan, tampan, body berotot, harum dll?” tanya Ratih

“Iya dadanya kotak-kotak, perutnya berisi roti-roti. Begitu gambarnya di Instagram waktu dia fitness. Tapi hanya badannya saja yang berotot, otaknya gak. Hahaaa”

“Dia terlalu mainstream, seperti pria urban metropolis pada umumnya. Muka mulus seperti takut debu, potongan rambut mirip idola bola, lagu favorit hanya mengikuti yang trend saja, imajinasi romantis terbatas hanya duduk berdua ditemani pemain biola dan lilin mirip dongeng romantis kota Venice. Tipikal kelas menengah ngehe manja, Membosankan!”

“bayangkan di umur dia yang mau menyentuh 30 masa menyukai musik EDM. Pernah dia menjelaskan dengan semangat betapa bagusnya lagu Alan Walker “faded”. Itu memperlihatkan rendahnya kualitas seni dia. Alan Walker hanya cocok buat ABG yang belum banyak pengalaman tentang musik. Sering gue lihat di jalan raya ABG yang belum ada jati diri memakai jumper tulisan AW. Gak bisa gue bayangkan dia sepertinya sama dengan ABG itu cuman beda kelas, dia mapan, ABG itu tumitnya kering.” Ucap Sinta.

“Hahaha…jahara kamu Sin, masak ia cowok cool seperti dia kamu samakan dengan kids zaman now” kata Ratih

Cool? Raka itu artifisial, gerakannya tidak natural. Dia tipe laki-laki yang mengetahui banyak kelebihan di dirinya seperti muka tampan, senyum manis, body bagus dan sebagainya. Karena dia sadar betul dia cakep maka gerakannya tidak ada yang natural. Pernah sekali ada hal yang amat lucu yang mestinya ia tertawa terbahak-bahak, tetapi ia menahan tawanya di depan gua hanya karena dia takut semua giginya kelihatan. Apa yang bisa kamu harapkan tipe lelaki seperti itu? Waktu makan di restoran dia sangat memperhatikan takaran gizi, model perfeksionis yang takut perutnya gembul sedikit. Padahal makanan untuk kebahagiaan, mana bahagia di restoran menu banyak hanya makan salad buah!”

“Iya juga sih, mengerikan juga yah. Ia tahu bagaimana memperdaya wanita” balas Ratih

“Nah itu dia. Dia itu cocok buat perempuan yang lelah miskin dan hobi pamer kekasih di sosial media dengan tidak punya pendirian. Dia cocok untuk wanita yang joget-joget di Bigo atau wanita berkawat gigi jalan menebarkan senyum "nafkahin aku om". Ia cocok dengan tipe perempuan mainstream juga” kata Sinta

"Raka itu ngakunya berbeda, ia senang travelling. Tidak tanggung-tanggung bukan hanya dalam negeri, ia keluar negeri, solo traveler. Dia pikir itu akan membuat gue terkesima terkagum-kagum. Namun gue ini bukan ABG yang foto ala kadarnya namun caption luar biasa yang mereka sendiri gak faham apa artinya. Terus terang gue gak senang solo traveler seperti itu. Bagi gue orang seperti itu hanya mencintai dirinya sendiri secara sangat berlebihan! Akibatnya tidak mampu menghargai orang lain dengan lebih baik dan tinggal lama di suatu tempat."

"
Raka juga tipe orang sombong. Dia pernah marah ketika gue berargumen. Dia marah karena dia sadar gue bener. Marah hanya bentuk self defense dia. Sama sekali gak humble."

“Tapi susah juga sih! Kamu itu Sinta punya semua yang cowok inginkan, cantik, kaya, setia, ramah, tapi hanya satu kekurangan kamu, kurang tinggi! Hahaaa” seloroh Ratih

“Asyemm..emang gue kurang tinggi, gak setinggi kamu., tapi gua juga ga pendek amat 160 cm lumayanlah Tapi gue pernah denger kalimat menjijikkan dari cowok yang ngejar gue, bahwa model gue gini sebenarnya dicari laki-laki karena mudah diangkat-angkat pada saat Making Love, WTF!” kata Sinta

“Gue hidup dari kecil hidup enak dan bokap nyokap udah siapin asset sampai anak gue nanti sama dengan dua kakak laki-laki gue. Gue ga butuh materi, kenyang gue dengan yang begituan. Gue butuh ketulusan! Sekarang gue nanya ama lu, kalau cowok deketin lu trus pada saat dia berkunjung ke rumahmu terus dia tau bahwa rumah itu nanti punya lu tiba-tiba sikapnya berubah dan tambah sayang sampai posesif, apakah lu ga ngeri?”

“Iya juga sih Sinta, amit-amit deh” jawab Ratih

“Raka itu player juga. Pernah gue dapat kabar dari temen deketnya, dia habis booking cewek di hotel tiga hari berturut-turut. Katanya dia stress gegara gue gak respon dia selama tiga hari. Dia pikir gue slingkuh ama cowok lain, trus dia balas dendam ama cewek lain. Dengan duit yang dia punya dan temennya dimana-mana dia bisa beli apa yang dia suka. Dan bayangin karena tuduhan dia ke gue, dia melakukannya dengan cewek lain. Dia itu tipe cowok umum, pria yang dijajah kelaminnya sendiri. Dan sepertinya dia bersemangat ngejar vagina gue” kata Sinta.

“Busyet dah, bernas kalimat lu” jawab Ratih

“Eh Sin, gue mau ngakak deh kalau ingat setahun lalu sebelum kita lulus kuliah lu nangis ga karuan karena putus ama tukang foto copy di fakultas kita, hahahaa. Diantara semua cowok keren yang ngejar lu, kok bisanya tukang foto copy itu yang buat kamu menderita patah hati? Hahaa aneh lu Sin.

“Iya gue bener jatuh cinta ama tuh orang, sampai sekarang gue belum bisa move on sebenarnya..huftt bayangin dia pacar paling lama gue, dua tahun bo!”


“Hahaha iya gue ingat lu curhat, lu pertama ga mau crita. Tapi gue tau lu orangnya ga bisa mendem sendiri kan, hayoo ngaku? Gue ingat lu crita pas semester lima lu ga sengaja mau foto copy novel Eka Kurniawan yang O karena lu kebelet baca dan malas beli. Eh accidentally lue jatuh hati ama doi yang notabene doi lebih tua 10 tahun dari lu. Hahaha epic!”

“Iya awalnya setelah doi mem-foto copy-kan novel itu, pas doi mau kembalikan novel dia nyeletuk “banyak kalimat bagus dalam novel itu dek misalnya: jangan sekalipun kau mau diperbudak manusia”. Ajib itu kalimat gue temuin pas gue baca novel monyet itu, ternyata doi suka baca.” Kata Sinta

“Di kampus kita itu terlalu banyak manusia dan semua manusia disana sibuk sendiri, sibuk untuk mau diperhatikan, gak mau memperhatikan, sibuk saling menjajah, penjajah kecil bersenyum simpul. Liat aja pertemanan kita hanya lingkaran kecil, meski teman angkatan kita banyak. Semua saling acuh tak acuh, beda dengan sosok tukang foto copy itu, mas Farid. Ketemu dia itu seperti menemukan berlian ditumpukan emas rombeng.”


“hahaha lebay kamu Sin” ucap Ratih

“Gak lah, klo gue lebay ga mungkin gue ama dia dua tahun pacaran kan? Setelah kejadian foto copy novel itu gue rajin foto copy apa aja termasuk silabus dosen kita yang gak pernah gue baca setelah foto copy."

"Gue faham itu norak tapi ada rasa ingin tahu yg ingin gue tuntaskan. Pertama, apa dia ngarang bebas atau tebakan beruntung di dalam novel itu, masa ia tukang foto copy hobi baca sementara temen kuliah kita jarang ada yang suka baca malah lebih suka chatting dan bolak balik melihat Instagram yang isinya itu-itu saja. Kalau temen kita kurang baca yah bisa dimaklumin lah dikit, nah ini ada juga dosen mata kuliah awal kita yang kurang vitamin bacaan, masa kalimat "saya berpikir maka saya ada" itu kata dia kalimat Plato, sinting kan!”


“Semenjak itu gue rajin foto copy apapun dan setiap gue habis foto copy pasti gue nanya, pernah baca novel apa aja mas? Dia jawab Dee Lestari, Pramoedya, Armijn Pane, Pulang, Milan Kundera – Ignorance, Eduardo Galeano Days and Nights of Love and War, Gabriel Garcia Marquez Love in the Time of Cholera, Leo Tolstoy A Confession, Orhan Pamuk Snow, Ernest Heemingway A Farewell to Arms dll.  Busettt beberapa novel baru gue denger. Tapi dia gak suka dengan novel populer seperti Harry Potter atau  kisah cinta-cintaan too good to be true seperti kesukaan anak alay itu Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-ayat Cinta,  Tere Liye, dll.”

"Beda banget pas gue nanya Raka, eh yang lu suka baca apaan? dengan mimik muka yang serius dan berpikir keras dia jawab Men's health, ...busyet dah ini tipe lelaki loyo, dikasi buku pasti dia loyo ngantukan. Lebih sering angkat barbel daripada angkat beban hidup!"


“Selain itu berbicara dengan Mas Farid sepertinya kita tidak dalam pertarungan kata-kata. Gak ada menang kalah, mengalir berisi. Tidak ada intimidasi. Walaupun ia tahu banyak, tetapi ia tidak menggurui. Ia membiarkan kata-kata gue terbang bebas. Ide-ide gue semakin kaya. Dan harus jujur dia yang merubah cara berpikir gue tentang dunia 180 derajat! Kejarlah apa passion mu dan usahakan bermanfaat buat masyarakat. Ajib, gue seneng banget!"


“Ini gak sama teman kita si Afran dan Tomi itu, yang masuk organisasi di doktrin ini itu terus meracau, membolak balikkan logika, merasa paling tau namun kekurangan pengetahuan, andalkan Wikipedia, lalu ternyata belakangan hari organisasi dia membentuk karakter dia yang mengembek pada kekuasaan, mau melengket bak kurap di tempat lembab pada pihak yang sedang berkuasa. Benci ilfil gue sumpah lihat dua temen kita itu. Retorika aja bagus padahal gila kuasa! Tipe koruptor masa depan.”

“Untuk kita anak hukum emang sebagian besar temen kita pada hedonis, mereka gak dapat teman diskusi yang cocok atau mungkin pikiran mereka sering dilatih malas” balas Ratih

“Iya emang gitu kenyataannya, mahasiswa kok mesum terus kerjaan sehari-hari. Pas diajak diskusi langsung lelah, pas eksperimentasi seks ama pacar langsung on fire. Heran gue ini mahasiswa apa rakyat di zaman Sodom & Gomorah” jawab Sinta.


“Eh pernah lu nge tes mas Farid, minjem uangnya Rp. 50 ribu di tanggal tua padahal di dompetnya sisa itu uangnya…hahaha gokil lu Sin” seloroh Ratih.

“Hahaha inget aja lu, dasar! Gue rasa itu romantis, bayangkan dia udah ga ada duit, belum gajian trus gue dipinjami duit Rp.50 ribunya, doi percaya gue gak ada duit. Padahal klo dia tau isi rekening gue, bisa pingsan dia. Hahaa”

“Pada awalnya mas Farid ga percaya bahwa diskusi hari ke hari meskipun banyak orang di tempat foto copy itu, di bangku depan tempat dia kerja, mendekatkan perasaan demi perasaan. Dia tipe cowok yang tau posisi. Dan ketika semuanya semakin sering, dia sadar dia berada pada rel yang salah dan mustahil.”

"Saat semuanya mulai melarut, dia terbentengi dirinya sendiri. Mas Farid memberikan gue novel Puthut EA Cinta Tak Pernah Tepat Waktu."

“Gue inget, ketika gue pertama kali keluar ama dia untuk makan bareng, mas Farid malah ngajak makan gado-gado dan minum es teh pinggir jalan. Sumpah seumur-umur gue dilarang jajan ama nyokap di sembarang tempat. Alhasil pulang kosan gue mencret cin. Hhaaahaa”

“Terus dia literally ajak gue jalan. Jalan kaki! jalan menuju tempat makan sate ayam. Betis gue kondekan. Mas Farid ngomong "kalau mau tahu karakter pasangan kita, ajak dia jalan kaki. Ajaibnya terbukti! Kalau si Raka boro-boro jalan kaki, naik tangga dua lantai aja dia pake lift.”

“Tapi dari hal-hal sederhana itu gue ngerti arti ketulusan, dia gak pernah minta apapun dari yang dia beri, malahan dia menolak setiap kali gue mau bayarkan. Mas Farid pernah bilang “ikhlas itu tidak terbatas, ketika ada orang yang berkata ia cukup ikhlas berarti ia tidak ikhlas pada intinya. Sama dengan sabar, sabar itu tidak terbatas, nah ketika ada orang yang mengatakan ia sudah cukup sabar berarti sebenarnya ia tidak sabar”.

“Lagian dia gak tau gue pake mobil dan sepertinya awal-awal dia gak mau tahu. Dia hanya tau gue cewek biasa yang suka baca, suka diskusi. This is it!”

“Dia ceritakan mimpinya, bahwa dia setiap hari menabung untuk membuka usaha foto copy sendiri jika modalnya sudah cukup, dia semangat untuk mimpinya yang kecil itu bagi sebagian orang. Walaupun tubuhnya rada kurus perutnya rada buncit mirip orang cacingan, tapi otak dia berotot luar biasa”

“Dari dia gue belajar, cowok yang kuat itu cowok yang berkarakter, tau apa yang ingin diusahakannya dan mengusahakannya sendiri tanpa mengandalkan orang lain.”

“Pikirannya pun mungkin sesekali ada nafsu karena normal apalagi melihat gue, tapi dia tidak pernah blak-blakan ingin bereksperimentasi seks dengan gue. Bahkan dia bilang “pacaran itu pemerkosaan dengan izin”.

"Gue pikir ada benarnya juga, pacar gue yang sebelum-sebelumnya pas ada kata jadian, besoknya-besoknya ia mulai sosor bibir, buka kancing satu persatu. Beda banget dengan mas Farid ini, meski ia tua, ia mampu menguasai kelaminnya tidak sebaliknya. Sekali gue membatin gue loncatin juga nih orang, lama banget hahaaa. Tapi semua terkontrol, pacaran sehat, keringatan bukan dari berbuat asusila tapi dari jalan kaki susur gang!”


“Malah dia yang nasehatin gue buat ambil kursus bahasa German kesenangan gue. Biar nanti setelah kuliah bisa dapet beasiswa ke German ke tempat filsuf hebat Hegel, Marx dll, padahal bokap gua bisa biayain sendiri klo gue mau.”


“Tutur bahasa mas Farid juga meninggikan perempuan, tidak sama dengan teman kerjanya Mas Anto yang asli Surabaya itu. Si Anto sering banget keluarkan kata cuk-jancuk. Emang bagi dia itu bahasa kebiasaan dia di Surabaya terkesan gahar, tapi bagi orang lain yang melihatnya itu rendahan, serendah alas kaki!”


“Tapi pas dia tau asli lu Sin, dia berubah banget kan?” tanya Ratih

“Iya, dia tahu diri gak ada masa depan gue di dia. Dia ga mampu. Dan kata-kata nyokap gue yang ngelukain dia pas dia datang bertamu di rumah gue “sanggup gak hidupi anak saya?”.  Padahal bokap gue sih setuju aja, soalnya bokap gua dulunya susah banget. Bokap mulai dari minus usahanya bukan nol, usaha jualan panci keliling gagal bokap coba lagi sampai sukses punya pabrik besi & baja.”

“Singkatnya bokap pernah susah, tapi nyokap kan nikahin bokap pas bokap mapan. Nyokap gak pernah susah, ga ngerasain penderitaan bokap dulu. Nyokap tau jadi. Dan seandainya bokap ga kaya mana mungkin Nyokap gua yang cantik jelita itu mau ama bokap. Pernah sekali nyokap gue cerita pernah dia dilamar anggota DPR RI yang janjikan harta tidak terbatas, tapi bokap datang mengatakan harta gue lebih halal daripada anggota dewan itu yang makan duit negara dan proyek. Nyokap luluh! Padahal sama! dua-duanya nawarin harta, dan nyokap emang suka bau duit banyak, bersin nyokap kalau terima recehan hahaaaa”

“terus Sin, dimana sekarang mas Farid?”

Dengan mengambil selimut yang sudah menutupi kakinya, Sinta berbaring lalu membisiki Ratih melalui selimut yang kini sudah sampai di kepala Sinta.

“Gue senang dan bahagia mengingatnya, gue mencintai dia melebihi raganya, gue lihat dia sebagai potret besar yang selalu menutupi potret kecil pria-pria yang mendekati gue, namun gue tidak tahu dia sekarang ada dimana….”


(The End)