SEKILAS TENTANG : RUSSIA FOREIGN
POLICY
Russia sebagai negara terbesar di dunia dengan luas 17 juta
km² merupakan negara yang menjadi aktor
dominan dalam global stage khususnya pasca
perang dunia ke II dengan rivalitas idiologi pemerintahan dan pembangunan
terhadap Amerika Serikat dalam sentrum bipolarism.
Memasuki abad 20, kondisi negara mengalami perubahan-perubahan signifikan yakni
berubahnya sistem pemrintahan negara dari Monarki ke Republik Sosialis yang nantinya menjadi cikal bakal kekuatan yang
menentukan politik internasional. Menganalisa foreign policy pada Rusia
serta negara-negara pecahannya yang tersebar pada area Eropa Timur, Balkan dan
Eurasia merupakan sesuatu yang cukup rumit mengingat peran Russia di berbagai
ranah politik dunia yang cukup sentral sama halnya dengan peran Amerika Serikat
di panggung dunia.
Foreign policy sendiri banyak dijelaskan oleh perspektif
Realisme yang mempunyai asumsi dasar sistem politik dunia sifatnya anarki serta
konfliktual dan negara sebagai aktor dominan. Menurut Raymond Arond foreign policy is constituted by
diplomatic–strategic behaviour, and international relations takes place in the
shadow of war ( (Martin
Griffiths 2009, 5).
Morgenthau menjelaskan bahwa para pemikir seperti TThucydldes, Machiavelli, Richelieu,
Hamilton, or Disracli memahami sifat alamiah dalam politik internasional pada survival dan power (H. J. Morgenthau 1947, 43).
Melihat keanekaragaman determinan dalam foreign policy Morgenthau menjelaskan:
“The foreign policy of a country is
determined by many different factors, of which the form of government and
domestic policies are two and, as 'history shows, not the most decisive ones...
Continuity in foreign affairs is not a matter of choice but a necessity; for it
derives from geography, national character, tradition, and the actual
distribution of power, factors which no government is able to control but which
it can neglect only at the risk of failure. Consequently, the question of war
and peace is decided in consideration of these permanent factors, regardless of
the form of government under which a nation happens to live and of the domestic
policies it happens to pursue at a certain moment of history” (H. J. Morgenthau 1947, 62).
Karena
aktor negara memerlukan power,
Morgenthau menjelaskan bahwa the struggle
for power mencakup diplomatic
ceremonial dan display of military
force. Sementara elemen dari kekuatan nasional yang mendukung kebijakan
suatu negara terdiri dari geografi, natural
resources, industrial capacity, military preparedness, population, national
character, national morale, the quality of diplomacy (H. J. Morgenthau 1948). Pembagian epoch dari foreign policy Rusia
menurut dapat dibagi menjadi 2 masa besar yang pertama tahun 1917 –
1980 (Era Lenin, Stalin, Kruschev. Brezhnev) Sosialist Soviet Union Era dan
1989 – sekarang (Gorbachev, Yeltsin, Putin – Medvedev) post-Soviet Union Era .
Dalam
kondis domestik yang berhubungan dengan fluktuatif idiologi terdapat perbedaan
dalam masa 1917-1980 tersebut, hal ini mempengaruhi struktur hubungan luar
negeri dari Russia, shifting domestik
terlihat cukup signifikan ketika Stalin menggantikan Lenin. Tulisan ini akan
ringkas menjelaskan trajektori foreign
policy Russia abad 20 dan abad 21 akan dijelaskan dengan titik berat era
Putin.
V.I Lenin (tenure 1917-1924)
Kejatuhan rezim kekaisaran Tsar Nicholas II ditandai beberapa
kejadian domestik maupun luar negeri. Kekacauan keadaan politik, pemerintahan,
ekonomi dan sosial dalam negeri seperti “kekalahan” Russia dalam perang melawan
Jepang (1905) yang diakhiri dengan penandatanganan Treaty of Porstmouth (1905) , peristiwa Bloody of Sunday (Januari 1905), keadaan ekonomi dan tentara perang
dunia pertama yang memburuk mengakibatkan lemahnya kondisi dan kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintahan Nicholas II.
Hal ini dimanfaatkan oleh
berbagai friksi politik domestik salah satunya oleh konsolidasi yang luar biasa
oleh Vladimir Ilyich Lenin (Bolsheviks-Russian
Social Democratic Party) seorang Marxist yang menterjemahkan karya Marxist
ke dalam ranah praksis revolusi. Oleh
sebab itu kebesaran nama Lenin tercipta di golongan Marxian seluruh dunia
sehingga terkadang memunculkan termin Marxist-Leninist yang cukup berpengaruh
terhadap keadaan perpolitikan dunia. Revolusi Oktober 1917 oleh massa yang
dipimpin oleh Lenin dan beberapa tokoh kiri lainnya merupakan titik puncak bagi
kejatuhan rezim Monarki Tsar Nicholas II walaupun pada Oktober 1905 Tsar Nicholas II telah
menandatangi afirmasi kebebasan sipil (October Manifesto) tetapi keadaan negara
yang memburuk karena sedang ikut dalam perang dunia I dan menguatnya soliditas
gerakan revolusi merupakan perfect timing
bagi kejatuhan rezim Tsar.
Penataan Republik Sosialis di era Lenin pada masa menemui
banyak hambatan karena friksi-friksi politik domestik dan urusan luar negeri yang
masih dalam masa perang dunia. Untuk foreign
policy Lenin menghentikan keterlibatan Soviet dalam perang dunia I (1918)
dengan penandatangan damai dengan German dalam treaty of Brest-Litovsk (March 1918) dengan tujuan lebih fokus
untuk membangun dan rekonfigurasi struktur ekonomi dan negara seperti yang
dicita-citakan. Treaty tersebut
mendapatkan respon buruk bagi friksi politik oposisi Bolshevik yang akhirnya menambah kekacauan dalam negeri Soviet
sampai ke civil war (Bolshevik (red
army)– anti Bolshevik (white army)), dianggap kelemahan Lenin karena
mengafirmasi kemerdekaan beberapa negara (Finlandia, Estonia, Latvia, Belarus,
Ukraina dan Lithuania).
Joseph Stalin (tenure 1928-1952)
Setelah kematian Lenin 1924, terjadi perebutan tampuk
kekuasaan oleh para elit diantaranya Trotsky dan Stalin yang akhirnya diperoleh
Stalin yang sejak 1922 menjabat General
Secretary of the Communist Party. Soviet di bawah Stalin merupakan era panjang
kediktatoran dan dari segi pembangunan ekonomi, tata negara dan lainnya
terlihat berbeda jauh dengan yang dicita-citakan Lenin sebagai negara Sosialis.
Politik luar negeri era Stalin merupakan foreign
policy yang aggressive dan ingin
menunjukkan power Russia dalam segala bidang dengan aksi terror sekalipun
seperti pendirian gulag 1930. Pada
tahun 1940 menduduki Lithuania, Estonia,
Latvia, Maldovia, Ukraina sebagai upaya membesarkan kembali dari segi geografis
kekuasaan USSR.
Keikut sertaan dalam perang dunia II (1941-1945) dan kemudian
memukul mundur German yang berakhir pada pemenangan sekutu (dua besar AS,
Inggris) merupakan momentum Stalin untuk meneruskan ambisinya dalam rangka
memperluas peran dan kekuatan Soviet di panggung internasional. Konfrensi Yalta
(1945)oleh 3 besar pemimpin negara (F.D Rosevelt, Winston Churchill dan Joseph
Stalin) sekaligus USSR mendapatkan
Sakhalin dan Kuril Islands, dan pembagian wilayah German dalam perjanjian
Postdam yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Blok Timur – Eropa Timur
semakin menegaskan kekuatan Stalin yang sangat diperhitungkan.
Post-World War II memberikan ruang yang besar untuk kebijakan
Stalin dalam membentuk imperium berdasarkan retorika Sosialis-Komunis ala
Stalin berivalitas dengan Blok barat dengan sistem
liberalism-capitalism-demokrasi. Perang dingin sendiri ditandai dengan terbagi
duanya Blok (Timur-Barat) setelah perang dunia II dengan berbagai macam model
persaingan seperti perlombaan senjata, dukung mendukung rezim di negara lain
dengan paket bantuan, collective security-mutual
defense (NATO – Pacta Warsawa), persaingan intelejen (KGB) dan space (ruang
angkasa). Kebijakan luar negeri USSR era Stalin misalnya dukungan terhadap
perang Korea (1950) melawan Korea Selatan yang di back up oleh AS dan sekutu,
pro-Zionist dalam dukungan separasi Palestine – Israel.
Nikita Khrushchev (tenure 1953 – 1964)
Setelah meninggalnya Stalin (Maret 1953), Nikita Khrushchev
naik ketampuk kepimimpinan sebagai kepala dari Central Committee (September 1953). Foreign policy era Khrushchev merupakan de-stalinization dengan
mencoba untuk melakukan perubahan-perubahan dari ofensifitas legacy oleh Stalin. Kerjasama membangun
model baru meninggalkan pembangunan ala Stalin oleh Joseph Broz Tito. Mendukung
perkembangan negara Vietnam di bawah Ho Chi Minh tetapi dari ekslasi yang
semakin luas Khrushchev mendukung diplomasi Vietnam Utara – Selatan dengan
mediasi UN. Mendukung Kuba di bawah Castro (1961) Tragedi perang missil nuklir Bay of Pigs berhasil dihindarkan dengan kerjasama/komunikasi
Kennedy dan Khrushchev, tentu hal yang berbeda terjadi ketika misalnya Stalin
masih menjadi pemimpin.
Hubungan dengan komunis
China (sino) oleh Mao Zedong memburuk karena perbedaan tafsiran dari ajaran
Marxist yang dianut. Karena Khrushchev menekankan pada “peaceful coexistence” maka dari foreign
policy Khrushchev ingin membuat citra/imaging baik dari perkembangan USSR
di bawah kepemimpinannya. Tetapi bagi domestik USSR khususnya para elit yang
masih bermental Stalinist seperti Brezhnev menganggap bahwa Khrushchev lemah
dan melemahkan USSR dimata dunia.
Leonid Brezhnev (tenure 1964 – 1982)
Khrushchev yang dianggap lemah dan reformis digulingkan dari
kekuasaan dari elit partai, Brezhnev seorang Stalinist menggantikan posisi
Khrushchev sebagai pemimpin. Foreign
policy Soviet dibawah Brezhnev kembali aggressive meskipun kondisi dalam
negeri khususnya ekonomi negara dan rakyat mengalami stagflasi dan kemunduran. Memutuskan
diplomasi dengan Israel, menolak usulan Lyndon B. Johnson untuk penyelesaian kasus
perang Vietnam, mempertahankan power di semua negara komunis khususnya yang
berada pada Blok Soviet melalui Brezhnev
doctrine, intervensi penuh di Afganistan. Untuk kerjasama pembatasan
senjata dalam upaya pengurangan arm race khususnya
ICBM, Brezhnev menandatangani SALT
I (Strategic Arms Limitation Treaty)
dengan presiden Richard Nixon pada 1972, SALT II (1979) dengan Jimmy Carter.
Mikhail Gorbachev (tenure 1985-1991)
Setelah kematian Brezhnev pada 10 November 1982 terjadi
pergantian kepemimpinan oleh Yuri Andropov (terpilih menjadi sekjen CPSU)
tetapi meninggal pada 9 February 1984, kemudian digantikan oleh Konstantin
Chernenko yang tiga belas bulan kemudian meninggal dunia (10 Maret 1985).
Mikhail Gorbachev kemudian terpilih menjadi sekertaris jenderal partai komunis
Soviet Union. Di bawah Gorbachev mulailah era baru bagi Uni Soviet dalam garis
perjalanan sebagai sebuah negara baik sistem pemerintahan, negara, idiologi
yang kemudian berefek domestik dan kebijakan luar negeri.
Gorbachev dianggap tokoh yang menghentikan perang dingin
sekaligus kemenangan blok Barat. Foreign
policy era Gorbachev untuk mengakhiri masa kediktatoran dan offensifitas
dengan program reformasi glasnost (restrukturisasi)
dan perestroika (keterbukaan).
Penghentian serangan di Afghanistan, unifikasi German, pembentukan sistem
pemerintahan Federalist di Soviet, pakta Warsawa dibubarkan, memberikan ruang
kemerdekaan (pecahnya USSR) negara-negara di kawasan Baltik (Estonia,
Lithuania, Latvia), kemerdekaan negara-negara di Eropa Timur (Ukraina, Belarusia, Polandia, Moldova,
Hongaria, pecahnya republic Yugoslavia), kemerdekaan negara di Eurasia
(Caucasus) Uzbekistan, Georgia, Azerbaijan, Kazakhstan, Kirghistan, Tajikistan,
Armenia, Turkmenistan, kerjasama OSCE (organization for security and
cooperation in Europe). Setelah
berakhirnya USSR menjadi Federatif Russia maka Russia memasuki babak baru dalam
transisi besar-besaran sistem kenegaraan. Gorbachev sendiri dikenal dengan
tokoh pencipta perdamaian dunia abad 20.
Boris Yeltsin (tenure 1991 – 1999)
Boris Yeltsin presiden Russia pertama di era demokratis melakukan
konsolidasi kedalam negeri untuk stabilisasi ekonomi (membuka diri,
mengintensifkan pasar, memasuki globalisasi, perbaikan ekonomi dalam
negeri,kesempatan berusaha), politik (pemilihan umum, demokratisasi), sosial
(perbaikan layanan sosial) dan keamanan (menghandapi seperatis Chechen) dan
internal lainnya. Foreign policy sebagai
cerminan politik dalam negeri yaitu diplomasi mendekatkan diri (ekonomi dan
hubungan perdagangan) ke “Barat”, mempertahankan “halaman belakang” dan
partnership keamanan dan ekonomi melalu CIS (Commonwealth Independent Nations
1991), bekerjasama dengan Iran,
Putin ........
Jogja 2 November 2012