Penjelasan
singkat beberapa konsep kunci Pierre Bourdieu
Capital
Bentuk-bentuk
Capital/modal. Capital dapat mempresentasikan dirinya melalu tiga bentuk
penyamaran fundamental, yaitu:
1.
Economic capital :
Seketika
dan secara langsung dapat dikonversi ke bentuk uang dan dapat
dinstitusionalisasi dalam bentuk property right.
2. Cultural
Capital:
Dapat
dikonversi, dalam kondisi tertentu, ke economic
capital dan dapat dinstitusionalisasi dalam bentuk kualifikasi pendidikan.
Misalnya
: kualifikasi pendidikan nantinya dipergunakan u/ mencari kerja sesuai dengan
kualifikasi dan menghasilkan modal ekonomi. Artinya modal kebudayaan (misalnya
berupa pendidikan) dapat dikonversi menjadi modal ekonomi.
3.
Social Capital :
Terbuat
dari kewajiban-koneksi sosial, yang dapat terkonversi dalam kondisi tertentu
menjadi economic capital. Modal
sosial dapat di-institusionalisasi/terlembagakan dalam bentuk gelar kebangsawanan
atau keningratan (Bourdieu: 1986).
Disini
Pierre Bourdieu memberikan titik tekan untuk bentuk cultural capital.
Cultural
capital/modal kebudayaan dapat eksis/hidup/hadir dalam tiga bentuk, yaitu:
1.
In embodied state/ Dalam mewujudkan
keadaan.
Perwujudan
kapital, kekayaan external terkonversi menjadi bagian integral seseorang,
menjadi sebuah habitus. Dalam kondisi
ini tidak dapat secara langsung ditransmisikan (tidak seperti uang,
barang-barang pribadi, gelar dsbnya) melalui pemberian , warisan, pembelian
atau pertukaran.
Dalam
mewujudkan keadaan, berlaku sebuah proses dan membutuhkan waktu. Oleh karena
itu hubungan antara modal ekonomi dan modal kebudayaan tercipta melalui mediasi
waktu yang diperlukan untuk melakukan akusisi terhadap bagian integral
seseorang. Kondisi sosial atas
transmisinya dan akusisinya lebih tersamarkan daripada modal ekonomi. Hal
demikian cenderung berfungsi sebagai modal simbolik/symbolic capital.
Bentuk
samar-samar pada diri seseorang menurut Bourdieu dapat terdeteksi melalui symbolic capital. Terpresentasi melalui
pertukaran-pertukaran simbol dan simbolik. Seperti distingsi hukum Yunani yang
membedakan inherited properties (ta
patroa) dan acquired properties (epikteta). Cultural capital -> in embodied state -> symbolic capital merupakan
epikteta (properti yang
diperoleh/didapatkan) melalui serangkaian proses yang membutuhkan waktu mewujudkan
keadaan personalitas.
2.
In objectified state/dalam
keadaan terobjektifikasi (benda-barang-objek)
Dalam
bentuk benda-benda/barang-barang hasil kebudayaan (gambar, buku, kamus,
instrument dan sebagainya).
3.
In institutionalized state/keadaan
yang ter/dilembagakan
Sebuah
bentuk objektifikasi yang harus diatur/dikelompokkan terpisah misalnya dapat
dilihat pada kualifikasi pendidikan.
Gagasan
cultural capital oleh Bourdieu
dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan/posibilitas penjelasan dari unsur
dimensi kelas sosial misalnya
berhubungan dengan kesuksesan akademik. Pada umumnya pendapat, melihat
kesuksesan atau kegagalan akademik merupakan sebuah efek
kecerdasan-bakat-ketangkasan di dalam teori human
capital/modal manusia. Bourdieu menganggap pada keadaan tersebut terdapat
persoalan kelas.
Berlalih
ke habitus,
doxa, field dan practice sebagai kunci alas konsep dan sebagai kosa kata populer karya
Bourdieu.
Untuk
memudahkan pemahaman marilah kita mengambil penjelasan Karl Maton (Karl Maton,
2008:49-65). Jika di-ilustrasikan penjelasan Karl Maton tentang habitus Bourdieu sebagai berikut :
Habitus <---> field = practice
Meskipun
Maton menggunakan persamaan dengan formula agregasi (yaitu “+”) tetapi dalam
penjelasannya saya melihat lebih tepat menggunakan tanda panah bolak balik yang
mengilustrasikan relasi timbal balik. Relasi
timbal balik antara habitus dan field membentuk practice. Field sebagai
arena dan konteks sosial partikular tempat subjek berada. Habitus sebagai basis bagi agen dalam memahami hidup. Habitus berfokus pada bentuk tindakan,
merasakan, berpikir dan keberadaan. Membawa seperangkat struktur agen dalam
kondisi kekinian (present circumstances).
Relasinya merupakan proses aktif dan berkelanjutan/ongoing. Habitus mempunyai struktur khusus tersendiri. Habitus pada agen tidak hanya
menghubungkan masa lalu, kekinian dan masa depan tetapi sosial – individual,
objektif dan subjektif dan struktur – agen. Habitus
agen sosial berdialog dan berelasi dengan lapangan sosial/social field mereka membentuk praktek.
Sekaligus ladang sosial dapat dipengaruhi oleh sekumpulan tindakan agen.
Sebagai
analog selanjutnya misalnya pada permainan bola/football game. Dalam lapangan terdapat seperangkat aturan/regularities yang membentuk logika
praktek/tindakan bagi pemain. Pemain-segala pihak-partisipan yang masuk dalam circumstances permainan (baik
aktif-pasif) tersebut akan bertindak sesuai posisinya misalnya pemain di
lapangan, wasit, penjaga karcis, penonton dan sebagainya. Tetapi analog ini mempunyai kelemahan bahwa
dalam certain regularities football game berbentuk
tetap/fixed sedangkan pada lapangan sosial bermodel dinamis. Interupsi regularities dapat dilakukan agen yang
aktif. Tetapi yang pasti di setiap field terdapat
distingsi tersendiri baik itu aturan dan sebagainya meskipun terbuka juga
relasi inter-field.
Jadi
untuk menggunakan konsep serta pendekatan Bourdieu dalam menganalisa fenomena sosial
yaitu peneliti lebih dahulu mengetahui habitus
dari agen sosial serta praktek yang dijalankannya. Mengetahui komposisi, variabel-variabel,
kondisi serta seperangkat aturan (baik tertulis maupun tidak) dalam lapangan/field sosial yang akan dianalisanya. Aturan yang tidak tertulis yang mendasari
praktek/practice itu dalam kosa kata
populer Bourdieu dikenal dengan terminologi Doxa.
Hal tersebut bukanlah suatu tata urutan yang mana mendahului yang lain
tetapi merupakan relasi timbal balik. Baik dalam tradisi sosiologi maupun
politik dialektika struktur – agen menjadi dominan analisa dan tidak jarang
terperangkap maupun terbatasi dalam dikotomi tersebut.
Doxa berkenaan dengan pre-refleksif
pengetahuan intuitif yang dibentuk oleh pengalaman ke alam bawah sadar fisik
dan kecenderungan relasional (Cécile Deer 2008:120). Doxa merupakan sebuah seperangkat kepercayaan fundamental tanpa
harus ditegaskan/dinyatakan secara eksplisit (Bourdieu dalam Cécile Deer).
Kata
doxa sendiri telah muncul dalam
perbendaharaan kata Yunani misalnya pada Plato
yang kita ketahui bersama memberikan distingsi being dan becoming yang
ekuivalen dengan distingsi form/kondisi
dan phainomena/fenomena atau
distingsi/perbedaan antara object of
knowledge/objek pengetahuan (episteme)
dan object of opinion/objek opini (doxa). Doxa dalam Plato berbeda dengan episteme
dalam suatu perbandingan. Aristotle sendiri seperti yang kita ketahui
bersama mengenai being sendiri dapat dianalisa
menurut 10 kategorisasi yang dibuatnya (kualitas,substansi, kuantitas, waktu
dll) misalnya distingsi potensial dan aktual being, esensial dan aksidental being
dsbnya. Dalam kosa kata Aristotle doxa
sendiri bersinonim dengan dogma. Melihat dua besar filsuf Yunani itu
kemudian melihat maksud Bourdieu tentang doxa
dapat dilihat titik potong yaitu dapat menjadi dogma disisi lainnya opini
tidak membutuhkan penjelasan eksplisit.
Tulisan
ini tidak bermaksud untuk tracing inter-tekstualitasnya
dengan pemikir yang lain atau biographical
sketch seorang pemikir Perancis lahir di desa kecil Denguin-Perancis pada 1
Agustus 1930 kuliah di École Normale
Supérieure (ENS) masuk pada 1951 lulus bergelar sarjana filosofi pada 1955 and so on. Meskipun kosa kata konsep
Bourdieu bukan hal yang baru misalnya habitualitait
nya Husserl dan sebagainya. Melainkan hanya penjelasan sederhana konsep.
Posisi Bourdieu sendiri dapat dilihat pada bukunya yang berjudul In other Words (essay toward a reflexive sociology) dimana ia menjelaskan posisinya
serta inter-teksnya dengan pemikir yang lain. Dengan model buku Q & A (questions & answers) ingin
menggambarkan habitat keilmuan berdasarkan kesejarahannya dalam mempelajari
filsafat, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Seperti terdapat bagian dalam
menjelaskan practice bahwa ia
menjauhi Saussure yang bertendensi mekanis dan lebih dekat dengan Chomsky yang
melihat practice itu aktif. Ataupun
mengakui strukturalisme tetapi kemudian menegasikan dirinya terhadap golongan structuralism
itu.
Lanjut
ke Bourdieu, kemudian dengan tetap meletakkan kelas sebagai unsur analisa,
secara sederhana dapat dilihat dalam pernyataan Bourdieu sebagai berikut
(Bourdieu dalam Karl Maton) :
“Why does someone make pretty – bourgeois choices
? because he has a petty bourgeois habitus !”
Lensa
habitus ini dapat menjadi titik
potong antara sosiologi maupun psikologi tetapi tidak dapat terlalu jauh masuk
kedalam psikologi yang tersentralisasi pada seseorang (baik kejiwaan, pikiran
dan sebagainya). Terdapat limitasi yaitu agen yang terkonstruksi oleh
seperangkat keadaannya (past, present, future) melalui serial dialog dan kejadian. Dan keadaan itu sendiri juga mempunyai strukturnya.
Kelas dan dominasi menjadi suatu yang tidak terpisahkan dalam komposisi
bangunan konsep Bourdieu.
Symbolic Violence
Simbol
merupakan game Bourdieu seperi yang
kita lihat pada pembedaan capital. Kekerasan
dalam lensa Bourdieu dapat berwujud kekerasan simbolik dimana korban/victims kekerasan berpartisipasi dan
mengafirmasi dirinya dalam sistem yang menciptakan kekerasan tersebut.
Akibatnya korban kekerasan simbolik akan sulit menemukan posisi dirinya sebagai
seorang penderita dari sistem tersebut.
Misalnya
dalam sistem meritokrasi pendidikan yang pada akhirnya membuat kelas-kelas
tersendiri. Para partisipan dalam sistem yang tidak dapat mengikuti standar
sistem akan mendapati dirinya termarginalisasi dari sekelompok yang lain.
Akibatnya sistem memproduksi punishment atas
mereka dengan pelabelan dan sebagainya. Efeknya bagi pelajar yang terbelakang
tadi mengafirmasi kekerasan pada dirinya yang dilakukan berbagai agen atas
simbol-simbol yang dilekatkan.
Atau
contoh ringan nan sederhana yang penulis sering sebutkan coba di ilustrasikan
kekerasan pria pada wanita yang disimbolkan sebagai pacar/pasangannya (lapangan
pacaran). Terlebih dahulu pria nya memberlakukan set/sekumpulan peraturan tidak tertulis yang diupayakan
dilegitimasi dengan sejumlah narasi nantinya akan berefek masuk ke alam bawah
sadar wanita (doxa) yang akan
disubordinasinya. Selanjutnya ketika terdapat pelanggaran terhadap aturan main
yang dibuat tadi si pria tadi melakukan kekerasan (baik verbal-non verbal) atas
simbol pacar yang dilekatkan dengan kepemilikan/possession padahal aturan tersebut di buat-buat dan lemah.
Transaksi simbol ini dengan partisipasi wanita korban akan sulit menemukan
dirinya bahwa ia seorang korban kekerasan karena mengafirmasi bahwa ia layak
mendapatkannya karena pelanggarannya. Pria nya memegang kekuasaan simbolik. Akibatnya
adalah terperangkapnya oleh game dan
tentunya ruining kehidupan korban. Jadi game
ini yang hendak dibongkar Bourdieu dengan melakukan zoom in partikel-partikel kompositnya sehingga bisa terlihat terang
dan jelas. Penemuan masalah yang jelas akan berpararel dengan konklusi.
“ terlembagakan -> simbolisasi -> set aturan -> upaya & proses legitimasi -> afirmasi ->
kekerasan simbolik”
Jika
dilihat dari model kekerasan simbolik ini merupakan tradisi sosiologis yang
khususnya membahas pelabelan. Tetapi Bourdieu menambahkan konstruksi kelas dan
dominasi serta elemen-elemen lain pembentuknya. Menurut penulis, inilah konsep
yang dapat dikembangkan dalam praktek Ilmu Hubungan Internasional baik unit
analisa relasi inter-negara (inter-national),
dalam negara (masyarakat-pembuat kebijakan), regional (hegemon-lemah) dan
sebagainya. Misalnya melihat simbol yang dilekatkan negara berkembang oleh
negara maju, penganut agama yang lain terhadap dominasi penganut agama yang
satu, simbolisasi terorisme, simbolisasi authoritarian untuk justifikasi perang
baik dalam humanitarian intervention, atau
unit yang relatif mikro dalam relasi kelompok masyarakat dan sebagainya namun tentunya dalam lapangan Hubungan
Internasional tidak dapat mengafirmasi unit analisa mini-mikro seperti
ilustrasi pacaran diatas. Hal tersebut diluar aturan main umum. Heheee
Bourdieu
sebagai ilmuwan sosial juga tidak lepas dari beberapa kritik baik terhadap
bangunan pengetahuan (ontology,epistemology,metodologi) maupun personalitas. Untuk
personalitas seperti tulisan Elizabeth Silva dan Alan Warde ( 2010:1) “undoubted self-confidence membuat
beberapa kawan sociologist tidak bersimpati pada hasil karyanya. Terkadang Bourdieu memunculkan reaksi
emosional atas penilian negatif karyanya.” Bernard Lahire dalam Elizabet Silva
dan Alan Warde menyatakan “seperti peneliti sosial kebanyakan/pada umumnya yaitu
tuli terhadap semua pembuktian kesalahannya dan menolak mengakui pihak yang
berlawanan dengannya (ibid).
Masih terdapat konsep yang lain yang belum dapat dijelaskan kali ini, maafkeunn yah.
Further reading
P.
Bourdieu “masculine domination”
P.
Bourdieu “class and classification”
P.
Bourdieu “Homo academicus”
P.
Bourdieu “The Algerians”
P.
Bourdieu “Homo academicus”
P.
Bourdieu “Practical reason on theory of
action”
P.
Bourdieu “Homo academicus”
P.
Bourdieu “Social structure of economy”
P.
Bourdieu “Language and symbolic power”
P.
Bourdieu “Reproduction and education”
P.
Bourdieu “Free Exchange”
P.
Bourdieu “in other words: essay towards
reflexive sociology”
P.
Bourdieu “The political ontology of
Martin Heidegger”
P.
Bourdieu “The logic of practice”
P.
Bourdieu “On Television”
P.
Bourdieu “Distinction: A Social Critique
of the Judgement of Taste”
P. Bourdieu "the form of capital"
P. Bourdieu "the form of capital"
Introduction
:
Karl
Maton dan Cecile Deer dalam Michael Grenfell
(editor) “Pierre Bourdieu key
concepts”
Jean
Webb, Thony Schirato, Geof Danaher “understanding
Bourdieu”
Richard
Harker “introduction bourdieu”
Simon
Susen, Bryan S. Tuner (Ed.) “The legacy
of Pierre Bourdieu”
Jogja, perpustakaan UGM 17-18 Maret 2014
*kesepian
mencari jodoh, curcol heheeee
No comments:
Post a Comment