ABSTRACT
This
paper attempts to make a short introduction about feminism. It contains some of
basic features about feminism. It starts with the general understanding of
feminism, the categorization and then the adoption in the three field studies as sampling (geography, cultural studies and international relations). In
the part of categorization is using Rosemarie Putnam Tong’s feminism
categories.
Key
words: categorization, feminism, introduction
“Whatever kind of life women choose,
there is always some remarkable in their behavior.”
F.Poullain
De La Barre, 1676
Pemandangan abad 19-20 memperlihatkan
feminisme berkembang serius. Sepanjang horison analisa
politik, sosial, budaya dan sebagainya sebelum abad itu meminoritaskan variabel perempuan dan kemudian kian dirasa perlu untuk terus
diadvokasikan. Narasi
besar historiografi dunia dianggap terlalu maskulin, tidak memberikan ruang
yang cukup untuk menganalisa peran, posisi, kondisi, pemikiran dan sebagainya untuk kaum perempuan. Bagi feminis ada kebutuhan untuk membentuk her-story selain his-story. Kata feminist (dalam bahasa Inggris) tercatat pertama kali digunakan
pada tahun 1880an
(Bryson, 2003).
Keterlibatan dan peranan
perempuan dalam dunia politik bukan hal baru. Beberapa sejarah partikular (misalnya Hypatia, Joan of
Arc, Cut Nyak Dien atau Rachel Carson (hanya menyebutkan
beberapa nama)) beperan dalam
pengeksklusifan perempuan dalam narasi besar namun dibagian kisah lain yang kuantitasnya
banyak perempuan menjadi korban yang tidak bersuara.
Jikapun ada analisa tentang perempuan hanya menjadi minoritas, tidak
menjadi fokus bahkan tidak jarang menjadi penggembira, bernafas misogyny ataupun ditulis dalam cara pandang laki-laki. Misalnya dalam epos yang ditulis oleh Homer, mayoritas epos ini mengangkat maskulinitas Zeus,
keperkasaan Achilles ataupun ambisi Agamemnōn dan beberapa tokoh lainnya, sementara perempuan digambarkan menjadi biang
masalah, keras kepala dan pengganggu terutama Helen. Bahkan perempuan selevel
dewi seperti Hera biasa dibentak dan harus pasrah. Bisa dibayangkan ketika
cerita itu direproduksi dimasyarakat pada zamannya yang bagi sebagian orang
menjadi justifikasi kesewenangan atas perempuan dan disisi lainnya korban
menyetujui/mengafirmasi kekerasan-ketimpangan atas dirinya (atau kekerasan
simbol dalam bahasa Bourdieu).
“Sabar putriku,
kita yang tinggal di olimpus harus
menyerahkan urusan kepada laki-laki meski
kita lebih sering menderita” kata Dione kepada putrinya Aphrodite (Homer, The
Iliad, 2011, 50).
Selain nafas maskulin patriarki pada kebudayaan
lampau, terdapat beberapa karya yang menjelaskan bahwa sistem matriarki
merupakan sistem awal sebelum sistem patriarki bermunculan (lihat J.J Bachofen
“Mother Right” 1861, Lewis H. Morgan “Ancient Society” 1877).
Feminisme merupakan suatu faham maupun
pemikiran yang meletakkan perempuan dan kondisinya disentrum kajian. Kajian perempuan baik dari segi identitas,
psikologi, opresi, kesadaran, etika, sistem nilai, posisi, peran, sistem
patriarki-matriarki dan sebagainya. Sedangkan kondisi yang
dimaksud ialah segala kondisi yang mengitari dan ranah
dimana perempuan itu berada seperti sosial, politik, ekonomi, budaya, masyarakat, konflik,
sastra, organisasi dan sebagainya diberbagai level (domestik, lokal, nasional dan
internasional/global).
Feminisme bukan ekspresi akumulasi kemarahan
dari dominasi pria ataupun
ekspresi penampilan semata namun merupakan sebuah bangunan
pengetahuan sistematis, sebuah pohon pemikiran yang beranting banyak. Aquarini P. Prabasmoro (dalam Tong 2004, xvii) berpendapat bahwa peta
feminisme memberi kesan feminisme sebagai sebuah pohon besar, bercabang-cabang,
setiap cabangnya mempunyai cabang lagi yang masing-masing menghasilkan bunga. Usia
menapaki kajian ini cukup tua seperti semangat literasi di Inggris abad 17
dalam The Gentleman’s Journal dan The Ladies Journal (Vivian Bosley dalam Barre 2002, 36).
Feminisme fase lanjut merupakan sebuah hasil proses
dari kesadaran berpikir yang melahirkan pandangan hidup, weltanschauung
dan aksi/gerakan. Seperti
peringatan yang disampaikan Bell Hooks (2000, 1):
“Simply put, feminism is a movement to end
sexism, sexist exploitation and oppression...It did not imply that men were the
enemy. By naming sexism as the problem it went directly to the heart of the
matter. As a definition it is open-ended. To understand feminism it implies one
has to necessarily understand sexism. Masses of people think that feminism is
always and only about women seeking equal to men. And a huge majority of these
folks think feminism is anti-male.”
Ackerly, Stern dan True (2006, 4) mengatakan feminisme tidak hanya mempelajari perempuan-gender secara ekslusif. Sama halnya negara,
konflik, institusi, keamanan dan globalisasi tidak dapat dipelajari tanpa
menganalisa gender.
Gender tidak dapat dipelajari tanpa
menganalisa subjek-subjek dan konsep-konsep tersebut. Menurut pengertian tersebut
artinya gender tidak dapat berdiri
sendiri/otonomi/di-isolasi sebagai satu-satunya hal yang dianalisa tanpa
menganalisa konsep-konsep yang berada diranahnya sebaliknya tanpa menganalisa gender tidak lengkap rasanya kajian
mengenai masyakat, suku bangsa, negara, sistem-sistem dan sebagainya.
Sekarang marilah membedah satu per satu
komposit persepktif ini. Terdapat dua pertanyaan yang dipertimbankan penting untuk menjelaskan introduksi yaitu: pertama, bagaimana penjelasan “perempuan” yang dimaksud
dalam feminisme secara umum?,
kedua, apakah
perspektif feminisme mewujudkan diri sebagai suatu yang tunggal ataukah multi variasi didalamnya? Kemudian untuk menunjukkan perkembangan akan diperlihatkan tumbuhnya adopsi perspektif dalam beberapa disiplin ilmu (sampling tiga disiplin ilmu).
Perempuan
Dibagian ini akan dijelaskan pandangan awal mengenai “perempuan” yang umum dalam feminisme. Perempuan dalam perspektif feminisme dalam pengertian yang umum dibedakan menjadi dua
yaitu (1) berhubungan dengan aspek biologis (biological determination) dan (2) berhubungan dengan
konstruksi (construction) baik
sosial, politik, budaya dan sebagainya. Perempuan dalam pengertian yang pertama
merupakan suatu kondisi yang fixed misalnya
haid, melahirkan dan sebagainya. Sedangkan perempuan dalam pengertian yang
kedua merupakan kondisi yang terkonstruksi seperti identitas (konstruksi
sosial), posisi, perilaku dan sebagainya. Analisa gender dalam perspektif feminisme secara umum memakai pengertian yang kedua.
Untuk memudahkan imajinasi coba perhatikan
kalimat berikut “laki-laki lebih
menggunakan nalar-logika dan perempuan lebih menggunakan perasaan”. Kalimat
yang cukup populer dipublik tersebut terkadang tertelan mentah-mentah. Apakah
kalimat tersebut didasarkan pada determinasi biologis atau sebuah konstruksi?
Secara cepat dapat dipastikan jawabannya ialah sebuah konstruksi.
Konstruksi psiko-sosial tersebut membuat
pengetahuan umum yang terstruktur yang dicarikan pembenaran (yang terkadang dibenarkan melalui wacana
biologis). Sehingga berefek pada kedua gender yaitu seolah-olah perempuan
kurang menggunakan nalar dan laki-laki kurang berperasaan. Padahal “the mind has no sex” ungkap De La Barre, seorang Kartesian, dalam
karyanya yang diterbitkan pada tahun 1670an (dalam Bryson, 2003). Pemikiran silang karut biologis dan psikologis ini usianya cukup
tua seperti terlacak dalam teks biologi milik Aristotle.
Dari kedua pembelahan tersebut (biologis dan
konstruksi) kita telah mendapatkan posisi ontologis dalam pengetahuan umum ini.
Dalam pengetian yang memakai aspek biologis, yang “ada” merupakan sesuatu yang statis dan inheren. Sedangkan
perempuan dalam pengertian konstruksi, yang “ada” merupakan sesuatu yang
di-ada-kan dan oleh karenanya dinamis.
Perlu dicatat bahwa penggunaan dikotomi
kategori sex dan gender digunakan pertama kalinya pada tahun 1950an dan 1960an yang
diperkenalkan oleh psikiatris dan staff medis lainnya yang bekerja dengan
individu intersex dan transexual untuk menjelaskan fenomena trauma
“mismatch”. Dalam penggunaan awal
tersebut identitas gender didefinisikan
sebagai “kesadaran” identitas yang dipunyai pada jenis kelamin yang berbeda. Gender didefinisikan sebagai kondisi
psikologis dan konotasi budaya (Howie, 2010:159).
Paska dikeluarkannya terminologi tersebut debat terkait sex dan gender terus berfkluktuasi bahkan tidak jarang menjadi teka-teki
filsafat diantara para pemikir. Debat
ataupun kontroversi sepertinya akan menjadi dialektika yang ditakdirkan seumur
bumi!
Spektrum perbedaan pandangan para pemikir
tidak dapat dilepaskan pada latar belakang ataupun induk semang paradigma pemikir tersebut
baik dari kalangan essensialis, eksistensialis, reflektivis, fenomenologis,
psikoanalitis, kritis, marxis, liberalis, poskolonialis, posmodernis,
postrukturalis dan sebagainya. Keberagaman ini tidak hanya terjadi pada
pembelahan dasar tetapi analisa selanjutnya pada konteks-konteks yang
meliputinya. Lebih jauh tentang
efek menyebarnya, revolusi informasi teknologi kontemporer
membawa perspektif ini melanglang buana menjalar dan menjangkau belahan dunia
manapun dengan generasi yang terus tumbuh dengan begitu banyak informasi dan pilihan.
Pelabelan feminisme
tidak mengenakkan bagi beberapa aktivis ataupun penganut feminisme tetapi
kategorisasi itu tetap diperlukan. Serupa pendapat Tong (2004,2) menjelaskan ketidakmenyenangkan tersebut
tetapi ia tidak dapat menghindari pengkategorisasian. Pengkategorisasian selain
berguna untuk pembelajaran juga berguna untuk melihat kecenderungan mayoritas
pemikiran dan tindakan seseorang/kelompok feminis walaupun seseorang/kelompok
tersebut mencoba menghindarinya dengan menjadi hybrid. Hal itu juga berguna dalam penilaian aksi/tindakan/praksis
dan stand point.
Keberagaman
Sekarang marilah menjawab pertanyaan yang
kedua, dapat dipastikan di dalam feminisme sendiri terdapat perbedaan-perbedaan
serta variasi yang tidak jarang mencolok dan konfliktual. Konfliktual bukan
hanya pada perbedaan pandangan dasar, analisa konteks tetapi juga terjadi pada
pertanyaan anak tangga selanjutnya semisal menjawab pertanyaan advokasi “apa
yang seharusnya dilakukan?, bagaimana hal tersebut diupayakan?”.
Keberagaman Feminisme
dalam versi Tong (2004) dibagi menjadi 8 yaitu:
- Feminisme Liberal
- Feminisme Radikal: Perspektif Libertarian dan Kultural
- Feminisme Marxis dan Sosialis
- Feminisme Psikoanalisis dan Gender
- Feminisme Eksistensialis
- Feminisme Pos-modern
- Feminisme Multikultural dan Global
- Ekofeminisme
Berikut ini akan
dijelaskan satu persatu secara singkat:
1.
Feminis
Liberal
Mari memulai dari
ujung, berhipotesa bahwa ujung dan tujuan feminisme liberal pada akhirnya identik dengan
tujuan dan ujung humanisme merupakan hal yang kontroversial (Tong 2004, 48). Tong
memperingatkan hal ini dikarenakan pada umumnya ujung wacana feminisme liberal
di-identikkan dengan humanisme.
Feminisme liberal identik dengan tuntutan hak menjadi setara disemua ranah. Pada masyarakat liberal klasik, Negara yang ideal dibayangkan semaksimal mungkin melindungi hak sipil disatu sisi dan seminimal mungkin mengintervensi individu disisi yang lainnya. Negara layaknya penjaga malam (nachwachterstaat/night-watchman state).
Feminisme liberal identik dengan tuntutan hak menjadi setara disemua ranah. Pada masyarakat liberal klasik, Negara yang ideal dibayangkan semaksimal mungkin melindungi hak sipil disatu sisi dan seminimal mungkin mengintervensi individu disisi yang lainnya. Negara layaknya penjaga malam (nachwachterstaat/night-watchman state).
Tong (2004,16-17) berpendapat
bahwa bagi kaum liberal yang berorientasi kepada kesejahteraan negara lebih
berfokus pada keadilan ekonomi kebebasan sipil. Kondisi ideal jika keseluruhan
sistem atas hak individu dibenarkan dengan nalar umum masyarakat yang adil akan
memungkinkan seorang individu menunjukkan otonominya. Semua membutuhkan tempat
yang memungkinkan indvidu melepaskan persona publiknya dan menjadi yang
sesunguhnya. Tetapi disisi lainnya, Tong juga memberikan komentar bahwa kondisi
lebih memprioritaskan hak daripada kebaikan memperumit analisa tentang masyarakat
yang adil.
Tong menyeleksi
pemikiran liberal berdasarkan karya Mary Wollstonecraf, John Stuart Mill,
Harriet Taylor Mill, Betty Friedan dan oranganisasi NOW (National Organization
of Women). Dari Wollstonecraft didapatkan narasi pokok perempuan dihambat (baik
secara nalar dan sebagainya) dikarenakan tidak dibiarkan dan mendapat kebebasan
untuk mengambil keputusan sendiri. Pendidikan yang setara menjadi tema pokok
tulisan feminis liberal abad 18 ini (Tong 2004, 18-19).
Pada abad ke 19 tema
pokok beralih pada hak politik dan kesempatan ekonomi yang setara. Tulisan Mill
(suami-istri) diantaranya Subjection of
Women, Early Essays on Marriage and Divorce, Enfranchisement of Women menjadi penanda jaman. Mill dan Taylor
(dalam Tong 2004, 23), yang juga berangkat dari pemikiran Wollstonecraft,
mengatakan bahwa jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual atau
keadilan gender maka masyarakat harus
memberikan perempuan hak politik dan kesempatan serta pendidikan yang sama seperti yang dinikmati oleh laki-laki.
Karya bapak
utilitarian ini, John S.Mill, membahana dijamannya dikarenakan konteks waktu
itu. Bryson mengemukakan dalam paruh abad ke 18 di Inggris situasi perempuan
belum ada kemajuan sejak hari Mary Wollstonecraft menerbitkan karya. Bryson
mengutip Evans menyebutkan bahwa dalam tahun pertama
publikasi, buku itu hadir dibanyak negara. Posisi dan aksi politik Mill juga
terlihat diparlemen ketika ia menjadi politisi pertama yang serius mengupayakan
perempuan harus memiliki hak memilih dengan mengamandemen 1867 Reform Bill (yang memberikan hak memilih
bagi kelas pekerja perkotaan) yang didukung oleh tanda tangan petisi sekitar 1.500
orang perempuan, meskipun dikalahkan 123 suara dalam House of Commons (Bryson
2003, 42,45,52).
Selanjutnya, pemandangan
feminis liberal pada abad 20 lebih menekankan kepada melanjutkan upaya Mill
masuk melalui jalur legal ditambahkan membuat organisasi. Legal, organisasional
dan institusional merupakan kata kunci trajektori feminis liberal abad 20.
Tong (2004,38) menjelaskan
pada tahun 1960an terbentuk beberapa organisasi seperti NOW (National
Organization for Women), NWPC (National Women’s Political Caucus) dan WEAL
(Women’s Equity Action League). Dalam organisasi (terutama NOW) terlihat debat
hangat antara feminis liberal dan radikal tentang isu hak seksual (hetero atau
biseksual). Betty Friedan (presiden pertama NOW) menampilkan diri sebagai
feminis liberal yang menentang sengit masuknya agenda utama pilihan seksual
tersebut kedalam tubuh dan tujan organisasi. “Isu keras dari revolusi ini
melibatkan pekerjaan dan pendidikan serta lembaga sosial yang baru, bukannya
fantasi seksual” tulis Friedan (dalam Tong 2004, 38). Dinamika organisasi
selanjutnya menurut Tong (2004, 39) bahwa organisasi tidak dapat mengklaim diri
untuk mengetahui semua yang perempuan inginkan melainkan hanya keinginan
sekelompok tertentu perempuan.
Sayangnya buku Tong
(yang digunakan disini) terbit tahun 1998 yang artinya tidak dapat memotret abad 21. Perlu diperhatikan
juga membaca buku Tong khususnya feminis liberal merupakan sejarah aktivitas feminis
di Amerika Serikat, tidak ditempat lain. Pemandangan abad 21 merupakan
trajektori dari nafas legal – institusional yang semarak dalam abad 20 dengan
penyebarluasannya secara global dan masif. Agenda feminis liberal menyebar ke
negara lainnya seiring juga kondisi ekonomi politik global yaitu kemenangan AS (mercusuar
faham liberalis-kapitalis) dalam perang dingin.
Untuk di Indonesia
sendiri, agenda liberal telah terlembagakan seperti kuota 30% perempuan di parlemen.
Jika indikatornya hanya sekitar ada atau tidak ada perwakilan perempuan tentu
30% tersebut dalam kategori berhasil. Tetapi masalahnya jaman bergerak sehingga
indikator juga tidak dapat berdiam diri tanpa melihat realitasnya. Retorika
kesetaraan dan perjuangan perempuan tidak dapat melepaskan diri dari kondisi
ruang partikular. Realitas berjalan dengan kondisinya sendiri (tidak manis)
sedangkan retorika seperti biasanya manis manja ditempatnya masing-masing.
Di Indonesia kuota 30%
tersebut tidak dapat diimajinasikan dan dimaterialkan sebagai all and open access bagi semua kaum
perempuan melainkan hanya untuk sebagian kecil perempuan khususnya bagi perempuan
yang mempunyai besaran modal ekonomi, politik, sosial, budaya, akademik dan
lembaga sehingga membentuk akses khusus. Bahkan dibeberapa titik justru
memperkuat politik dinasti (istri, keluarga pejabat, petinggi miiter) dan sekelompok
pengusaha yang pada upayanya tidak merefleksikan kepentingan perempuan
kebanyakan (misalnya hal kemiskinan, pendidikan, hak ibu dan sebagainya) tetapi
hanya untuk kepentingan partikular semata. Hal ini diperparah realitas politik
elektoral yang sangat mensyaratkan kepemilikan modal ekonomi yang besar dan
beberapa pertimbangan elektabilitas lainnya.
Hal tersebut jatuh
kepada kritik liberal pada umumnya yaitu realitas liberalisme hanya
menguntungkan dan menguatkan kelas dan kelompok tertentu saja sedangkan agenda reformis
melalui kebijakan/peraturan berjalan bak keong sementara diwaktu bersamaan para
aktor tetap menggandakan pendapatannya dan menguasai jalur untuk lingkarannya.
Seperti halnya efek air menetes tidak akan bisa memuaskan dahaga. Hal ini merupakan
suatu hal yang terjadi direalitas yang tidak dapat dimanipulasi. Seandainya ada
penelitian empirik maka kita akan bertemu pada satu kesimpulan yang sama, umum
dan mudah ditebak. Ini sama kontroversialnya dengan 12 tahun sebelum wafat, Adam
Smith bekerja sebagai komisioner bea cukai di Edinburg, sesuatu yang harusnya ia
eleminasi untuk perdagangan yang lebih bebas. Bukankah konsistensi antara ilmu
dan laku amatlah penting bagi seorang pemikir? apalagi notabene pemikir besar.
2.
Feminis
Radikal
Tong (2004,70)
berpendapat feminisme radikal terbagi menjadi dua yaitu: (a) radikal-libertarian
dan (b) radikal kultural. Tong mengambil teks karya Kate Millet dan Shulamith Firestone
sebagai representasi radikal libertarian dan teks karya Marilyn French dan Mary
Daly sebagai representasi radikal kultural.
(a)
Bagi
radikal libertarian akar masalah yaitu semua kontruksi merupakan bentukan
patriarki dan hal tersebut harus dihancurkan secara total. Hal ini berarti
merekonstruksi ulang baik pemikiran, atribut identitas, sistem nilai dan sebagainya
dalam masyarakat. Untuk melawan opresi pertama ialah dengan menyadari bahwa
perempuan tidak ditakdirkan pasif dan kemudian mengembangkan kombinasi apa
pun dari sifat feminis dan maskulin yang
paling baik yang merefleksikan kepribadian unik mereka masing-masing (Tong 2004,
72). Justifikasi fisiologi membentuk identitas hendaknya dirombak. Masa depan
yang diimajinasikan ialah masyarakat yang androgini.
Tong mengartikulasikan Millet menuliskan seks
adalah politik, terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan
paradigma dari semua hubungan kekuasaan. Akar opresi perempuan tertanam dalam
sistem patriarki. Idiologi patriarkal membesar-besarkan perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki agar
memastikan peran maskulin yang dominan sehingga mendapatkan persetujuan atas
opresi yang mereka lakukan. Millet memprotes banyak hal termasuk pornografi
yang layaknya iklan yang menyeragamkan citra bentuk tubuh perempuan (Tong 2004,
73,75) dan tentunya menginvasi imajinasi pria.
Firestone bergerak lebih radikal
dari Millet. Mengartikulasikan Firestone, Tong menyatakan penghapusan standar
ganda seksual yang diusulkan Millet adalah tidak cukup. Dibutuhkan lebih dari
revolusi biologis dan sosial untuk menghasilkan jenis pembebasan manusia ini:
reproduksi buatan (ex utero)
menggantikan reproduksi alami (in utero).
Firestone meletakkan kenikmatan erotis diatas segalanya sehingga eksperimentasi
seksual menjadi hal yang lumrah dengan membayangkan jika hal itu terjadi akan
membentuk surga dunia (Tong 2004, 77,78). Mungkin dari sinilah aktivitas yang
berorientasi pilihan hak-hak seksualitas erotis yang marak dalam abad 21
mendapatkan pijakannya.
(b) Terlihat
perbedaan signifikan antara radikal kultural dan radikal libertarian. Tong
mengartikulasikan Marilyn French menuliskan bahwa sifat tradisional perempuan
adalah lebih baik dari sifat tradisional laki-laki. Dengan menilik sejarah
manusia, perempuan berada pada tempat istimewa di dalam harmoni alam. Timbul
spekulasi bahwa pada manusia awal terbentuk sistem matrisentris karena ibu
memainkan peran utama didalam kegiatan keterikatan, berbagi, partisipasi harmonis dengan alam, yang
kesemuanya berorientasi pada kelangsungan hidup. Populasi manusia yang bertambah semakin menjauhkan dan
mengalenasikan manusia dari ibu bumi dengan mengembangkan teknologi
eksploitasi. Berbagai hal tersebut
memicu efek negatif seperti hasrat menguasai bukan hanya alam tetapi perempuan
yang diasosiasikan dengan alam. Untuk memasuki abad 21 French menyarankan untuk
mengintegrasikan nilai-nilai feminim kedalam masyarakat patriarkal seperti
kelembutan, cinta kasih, saling berbagi, saling menjaga setara dengan kendali
dan struktur, rasa memiliki dan status (Tong 2004, 80,81).
Melihat perempuan sebagai penjaga
keberlangsungan hidup manusia (baik awal maupun ultima) merupakan strategi
untuk meningkatkan rasa percaya diri dan superioritas perempuan yang selama ini
inferior dengan tidak serta merta meninggalkan relasi dengan alam.
Lebih jauh dari French, Daly
membenamkan lebih dalam nilai maskulin tradisional. Menurut Tong, Daly melakukan
transvaluasi nilai mengikuti Nietzche. Budak harus terbebas dari segala
belenggu. Perempuan yang diinginkan oleh Daly ialah wild female (perempuan liar/bebas) yaitu jika diibaratkan dengan
burung dalam sangkar, burung yang telah dicat berwarna warni oleh pemiliknya
diharuskan terbang bebas meninggalkan sangkar dan menghempaskan warna warni cat
yang bukan keinginannya untuk menampilkan kekuatan dan kecantikan yang asli.
Daly menolak istilah Tuhan (karena baginya kematian perempuan), homoseksualitas
(karena hal itu menghapuskan lesbian, istilah cinta sejenis juga tunggal), dan
androgini (istilah itu hanya memilin kata dan menghasilkan yang sama seperti
halnya John Travolta dan Farrah Fawcet-Majors direkatkan bersama). Daly sangat
mendukung kebebasan nafsu dalam ekperimentasi seksual karena tidak ada moral patriarkal yang akan
dapat menahan kekuatan dan gelombang vulkanik perempuan (Tong 2004, 86,87,93).
Menurut Tong, hal lain yang membedakan feminis
radikal libertarian dan radikal kultural adalah lesbianisme. Lesbianisme
benar-benar muncul sebagai isu dalam gerakan perempuan ditahun 1970an yang
pertentangannya dalam organisasi telah dijelaskan sebelumnya (pada organisasi
NOW). Hal lain yang membedakan selanjutnya adalah pandangan mengenai reproduksi.
Bagi kaum radikal libertarian, perempuan harus menggantikan modus alamiah
dengan modus artifisial (jika dimungkinkan melahirkan diluar biologis perempuan
untuk mengeleminasi kesakitan dan kemungkinan negatif lainnya) serta
mengoptimalisasi waktu dan energi produktif. Sedangkan bagi radikal kultural
beranggapan sumber utama kekuatan perempuan ada pada kekuatan mereka untuk
menghadirkan kehidupan baru (Tong 2004, 103,107). Menjadi ibu melahirkan
generasi mengisi bumi menjadi utama bagi radikal kultural sedangkan bagi
radikal libertarian tidak harus begitu.
(Pembaca
yang budiman, jika anda tergesa tinggalkanlah membaca, tunaikanlah kerja. jika
memungkinkan kembalilah kesini ketika waktu ada)
Lanjut……
3.
Feminis
Marxis dan Sosialis
Tong melakukan kategorisasi yang cukup aneh
pada bagian ini yaitu Marxis dan Sosialis. Pembedaan ini menurut Tong
didasarkan pada penekanan bukan pada substansi. Penekanan feminis marxis yaitu
pada poin kelas (classism) dan bukan
pada seksisme sebagai penyebab utama opresi perempuan. Sementara penekanan
feminis sosialis ialah kesalingterkaitan yang sangat rumit antara kapitalisme
dan patriarki yang dipengaruhi oleh beberapa pemikir seperti Louis Althusser
dan Jurgen Habermas. Meskipun terdapat perbedaan penekanan, menurut Tong,
mereka memiliki kesamaan pendapat yaitu opresi perempuan bukan hasil tindakan
sengaja dari individu melainkan produk dari stuktur politik, sosial, ekonomi
tempat individu itu hidup (Tong 2004,139).
Modus produksi masyarakat ditambahkan hubungan
produksinya menghasilkan suatu suprastuktur yang pada gilirannya menyangga
modus produksi. Karena itu, misalnya, orang Amerika berpikir dengan cara
tertentu mengenai kemerdekaan, kesetaraan dan kekebasan karena modus produksi
mereka adalah kapitalis. Salah satu teks mula yang membahas perempuan dan
keluarga menggunakan metode historis materialisme ialah karya Friedrich Engels
yaitu The Origin of the Family, Private
Property and the State (1845). Hal ini menjadi salah satu teks dasar feminism
marxis selain penambahan-penambahan dari feminis marxis lainnya seperti Jane
Flax yang menambahkan pentingnya juga melihat faktor reproduksi (Tong 2004, 141,152,154).
Untuk pemikiran feminis sosialis, Tong
mengambil contoh Iris Young. Young berpendapat (dalam Tong 2004, 179,180)
kategori yang melek gender seperti pembagian kerja bukan kelas. Kategori
ini mempunyai kekuatan mentransformasi teori feminis marxis menjadi feminis
sosialis yang mampu membahas seluruh kondisi perempuan. Dibawah kapitalisme, sebagaimana
ideologi itu ada sekarang, perempuan mengalami patriarki sebagai upah yang
tidak setara, pelecehan seksual ditempat kerja, pekerjaan domestik tanpa
kompensasi, dan dinamika perpecahan publik-pribadi (Tong 2004, 181).
Contoh lain yang disebutkan Tong ialah
pemikiran Alison Jaggar. Berbeda dengan Young, Jaggar menggunakan variabel
alienasi dalam penjelasannya. Kapitalisme mengalienasi manusia, menghilangkan
manusia dari manusia. Seorang ibu teralienasi dari tubuhnya bahkan anaknya
seperti buruh yang teralienasi dari produknya. Misalnya seorang perempuan
bersikeras menjadi sesuatu yang disenangi lelaki, tekanan besar kepada ibu dalam
hal anak karena hampir ibu tidak menerima ada bantuan. Dengan mengambil sedikit
psikologi sosial, motherhood masa kini
mengambil batas tegas antara ibu dan ayah yang dapat membuat anak melihat
ibunya bukan sebagai manusia tetapi sebagai objek yang kadang melakukan terlalu
banyak atau terlalu sedikit bagi mereka (Tong 2004,183,184,185).
Untuk alsan kesederhanaan, saya mencoba
menawarkan kategorisasi bagian ini seperti berikut: (1) feminis marxis
ortodoks, (2) feminis sosialis demokrat (3) feminis kritis. Untuk (1) dan (2)
perbedaannya ialah pada aksi atau advokasinya, sementara perbedaan untuk (3)
ialah titik tekan analisa. Perbedaan marxis ortodoks dan sosialis demokrat
ialah bagi marxis ortodoks tidak ada gerakan reformis misalnya melalui jalur
parlementer sementara bagi sosial demokrat menganggap masih ada secercah
harapan dan kesempatan melalui jalur legal parlementer untuk perjuangan.
Sedangkan perbedaan (3) ialah, feminis marxis ortodoks tetap percaya
determinisme ekonomi menjadi permasalahan yang patut disoroti secara dalam
sementara feminis kritis menitikberatkan analisa masalah pada suprastruktur. Dalam
hal ini karya Gramsci menjadi titik patahnya. Misalnya kita mengkategorisasi Clara Zetkin (salah satu motor gerakan hari perempuan internasional-8 maret)
seorang feminis maka Zetkin dapat dimasukkan subkategori
feminis sosial demokrat.
4.
Feminis
Psikoanalisis dan Gender
Ini adalah hal aneh
lainnya yang dilakukan Tong, membelah feminis psikoanalisis dan gender sebagai hal yang berdiri sendiri.
Menurut Tong feminis psikoanalisis dan gender
melingkupi pencarian penjelasan dasar atas cara bertindak perempuan yang
berakar dalam psike terutama cara berpikir yang merupakan proses akumulasi
pengalaman masa kecil. Feminis gender
(kadang-kadang disebut feminis kultural) cenderung berpendapat bahwa mungkin
ada perbedaan biologis dan juga perbedaan psikologis atau penjelasan kultural
atas maskulinitas dan feminitas perempuan (Tong 2004,190).
Ketika Freud mengintroduksi
psikologi (fenomena Oedipus kompleks dsbnya), efek lanjutnya kajian ini
mempengaruhi banyak cara pandang tidak terkecuali feminisme. Anak laki-laki
yang berkembang sempurna menurut Freud (dalam Tong 2004, 191) ketika ia menjadi
laki-laki yang menunjukkan sifat maskulin dan sebaliknya begitu pula dengan
perempuan. Dalam hal ini (versi Freud) terdapat “standarisasi” gender deterministik biologis, efeknya
kelainan dari standar yang telah ditentukan akan diposisikan menyimpang.
Betty Friedan, seorang
feminis psikoanalis, melakukan kritik atas teoritisasi psikologi Freud. Friedan
(dalam Tong 2004,197) berpendapat pengajegan seks dan hubungannya dengan aspek
psikologis tidak dapat diterima karena hal itu membuat perempuan dalam kondisi
pasif, reseptif, bergantung pada orang lain dan selalu mencari tujuan akhir
kehidupan seksual mereka yaitu “hamil”. Sementara Millet (dalam Tong 2004,198)
menyatakan bahwa konsep kecemburuan bukan determinisme biologis. Kecemburuan
terhadap penis merupakan contoh transparan dari egosentrisme laki-laki.
Dinnerstein (dalam
Tong 2004,205) mengidentifikasi 5 karakteristik hubungan gender masa kini yaitu (1) keposesifan seksual laki-laki yang lebih
besar dikarenakan ketidakmampuan mengatasi ibunya secara total dimasa lalu
sehingga ia membalasnya kepada istri atau kekasihnya, (2) pembisuan dorongan
impulsif erotisme perempuan, (3) perasaan bersalah yang lebih membebani
perempuan, (4) perempuan dipandang suatu benda sementara pria dipandangi
sebagai “saya”, dan (5) ambivalensi terhadap tubuh (kekecewaan atas
keterbatasan tubuh).
Feminis gender (terkadang disebut feminis kultural)
juga tertarik pada perbedaan psike perempuan dan laki-laki tetapi bedanya
feminis gender tidak menekankan
analisa pada perkembangan psike dalam masa perkembangan anak tetapi psikomoral.
Psikomoral yaitu perkembangan nilai-nilai seseorang. Menurut Kohlberg (dlam
Tong 2004,225) perkembangan moral terdiri dari 6 tahapan yaitu (1) orientasi
hukuman dan kepatuhan, (2) orientasi relativis instrumental, (3) kesesuaian
intrapersonal (menjadi anak laki-laki dan perempuan yang baik dan manis), (4)
orientasi hukum dan tatanan, (5) orientasi legalistik sosial kontrak, dan (6)
orientasi prinsip etis universial (model Kantian).
Giligan (dalam Tong 2004,226)
mengkritik perihal itu bahwa indikator penilaian Kohlberg tidak akurat mengukur
perkembangan moral laki-laki dan perempuan. Dengan melakukan penelitian kuantitatif
atas 29 perempuan hamil tentang aborsi atau tidak, Giligan menyimpulkan
(berdasarkan hasil penelitiannya) bahwa berapapun umur, apapun kelas sosial,
status perkawinan ataupun latar etnis mereka setiap perempuan ini memanifestasi
suatu cara berpikir tentang masalah
moral yang sangat berbeda dari laki-laki.
Pengkategorisasian “feminis
gender” oleh Tong dapat memunculkan kesan ambigu seiring sayap kata “gender” terlalu panjang dan lebar. Mengapa
tidak mengganti penamaan feminis gender
sebagai feminis psikoanalis moral atau feminis psiko-moral?
5.
Feminis
Eksistensialis
Sebelum pemakaian
kategorisasi feminis eksistensialis digunakan serampangan, sebaiknya terdapat
pengertian dasar yang dipahami bersama. Teks eksistensialis nantinya akan mengacu
pada teks Beauvoir dimulai dari Sartre yang terintertekstual dengan pemikir
sebelumnya seperti Heidegger, Nietzche, Kierkegaard, Berdyaev, Francis Ponge
atau Dostoyevsky. Menjelaskan istilah dan konsep menjadi penting agar terhindar
dari kesalahan maksud dan penggunaan.
Satu kalimat populer Satre
yang (mungkin) dapat menggambarkan eksistensialisme secara cepat ialah “eksistensi mendahului esensi (existence precedes essence)” (Sartre
2007, 22). Kalimat ini menjelaskan bahwa tidak ada esensi, yang ada hanya
eksistensi.
Eksistensi manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, tidak ada sesuatu esensial yang menubuh. Efeknya ialah rontoknya sifat alamiah/nature manusia karena menurut eksistensialis “sifat alamiah” itu sesuatu yang tidak ada.
Eksistensi manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, tidak ada sesuatu esensial yang menubuh. Efeknya ialah rontoknya sifat alamiah/nature manusia karena menurut eksistensialis “sifat alamiah” itu sesuatu yang tidak ada.
Tujuan dari
eksistensialisme ini ialah membangkitkan kesadaran “siapa kita” dan juga
memberikan pemandangan bahwa apa yang kita lakukan secara sadar dan nyata
membentuk “siapa kita”. Sartre (2007,22,23), bapak eksistensialis ini, menulis
“man is nothing other than what he makes
of himself…man is responsible for what he is”. Tentunya teks ini tidak
terkurung literal untuk pria semata tetapi juga untuk perempuan atau semua
manusia. Dapat diambil kesimpulan sederhana judul buku Sartre Existentialism is a Humanisn memberi gambaran
eksistensialisme bersentrum pada manusia itu sendiri/antroposentris.
Eksistensialisme
berusaha mengeleminasi penjelasan non-manusia atas manusia dan melawan
dehumanisasi. Selain memprovokasi untuk menganalisa masalah eksistensi, hal ini
juga memprovokasi kedalam tahap aksi/tindakan. Sesuatu hal yang perlu bagi
feminisme secara partikular (kesesuaian topik tulisan ini).
Tong berargumen (2004,
259) dari semua kategori yang diajukan Sartre, “Ada untuk yang lain” barangkali
adalah yang paling tepat untuk diterapkan dalam analisis feminis. Menurut
Sartre (dalam Tong 2004) hubungan manusia adalah variasi dari dua bentuk dasar
tema konflik; konflik antara kesadaran yang saling bersaing yaitu antara Diri
dan Liyan. Pertama, ada cinta yang pada dasarnya bersifat masokistik dan kedua,
ketidakpedulian, hasrat dan kebencian yang sifatnya sadistik. Penyatuan tanpa
pelarutan ini adalah mimpi yang tidak akan menjadi kenyataan.
Teks eksistensialis
yang implisit mengarah ke feminism dilakukan oleh Simone de Beauvoir dalam
karya Le Deuxieme Sexe/The Second Sex (1949).
Karya ini menjadi istimewa karena tidak hanya penjelasan yang kompleks mengenai
kondisi “ke-aku-an perempuan” tetapi juga tahun terbitnya hanya 4 tahun setelah
Perang Dunia II zona eropa berakhir dimana kondisi material (infrastruktur dsbnya)
dan immaterial (ide, psike) masih dalam lingkup rusak dan trauma.
Beauvoir berangkat dari ketidakpuasan
penjelasan perempuan yang dilakukan oleh ahli biologi, psikoanalisis Freud
maupun para ekonom Marxis (Tong 2004, 263), misalnya Beauvoir memuji sekaligus
memberikan kritikan terhadap penjelasan opresi perempuan dalam metode historis
materialis karya Engels (The Origin of
the Family).
Beauvoir berpendapat (2010, 185,188) penjelasan
Engels memberikan cahaya kebenaran penjelasan bahwa manusia bukan spesies
semata tetapi realitasnya terbentuk secara fakta historis ekonomi dan sosial namun
penjelasannya tidak memadai. Engels menjelaskan kesejarahan ini secara esensial
dari sejarah perubahan teknologi (modus produksi) yang awalnya (zaman batu) dua
jenis kelamin ini setara kemudian seiring perubahan produksi, kepemilikan,
pembagian kerja, keduanya (perempuan, pria) tidak setara lagi. Kesemuanya
berporos pada transisi dari rezim komunitarian ke kepemilikan pribadi tanpa
menjelaskan bagaimana hal tersebut bisa terjadi (tidak terdapat penjelasan
detail). Sama ketidakjelasan apakah kepemilikan pribadi sudah pasti menuntun
keperbudakan perempuan? Kemudian mengarahkan konflik jenis kelamin
(hirarki,patriarki) ke kelas.
Beauvoir melakukan eksplorasi dibagian yang biasanya
pemikiran/pendapat diberlakukan taken for
granted oleh kaum Marxis. Meskipun
simpulan akhir Engels begitu meyakinkan dan berwaktu panjang bahwa kesetaraan
akan terwujud apabila kesetaraan ekonomi terwujud lebih dahulu (masyarakat
sosialisme), Beauvoir tidak terburu-buru untuk sampai diujung tersebut
melainkan mengembangkan analisa pada prosesnya khususnya eksistensi yang bukan menjadi
fokus Engels. Bahkan pada kondisi ujung tersebut menurut Tong (2004,266)
perempuan sangat mungkin akan tetap menjadi Liyan dalam masyarakat sosialis
atau dengan kata lain perubahan ke masyarakat sosialis tidak serta
merta/otomatis merubah relasi perempuan dan laki-laki.
Menurut Tong (2004, 266,267), Beauvoir mencari
penjelasan yang lebih mengenai mengapa laki-laki menamai laki-laki sang Diri
dan perempuan sang Liyan. Beauvoir melakukan penelusuran mitos perempuan pada 5
pengarang laki-laki dimana perempuan direpresentasikan mencari naluri
kebinatangan murni dalam perempuan, menuntut perempuan untuk merefleksikan seksualitas
feminis, saudara sejiwa, menghubungkan dengan alam dan sesuatu yang
di-idealkan. Dalam setiap kasus terdapat hal fundamental yang sama yaitu
perempuan didorong untuk melupakan, mengabaikan atau menegasikan dirinya
sendiri. Perempuan diarahkan menjadi pelengkap laki-laki, menyelamatkan kekasih
mereka, mengorbankan tubuh mereka atau ringkasnya membentuk kepercayaan bahwa
perempuan yang ideal dipuja laki-laki adalah perempuan yang percaya tugas
mereka untuk mengobarkan diri menyelamatkan laki-laki.
Beauvoir (dalam Tong 2004, 271-273),
memperlihatkan tiga jenis contoh perempuan yang memainkan peran sampai ke
puncaknya yaitu perempuan pelacur, narsis dan mistis.
Untuk perempuan pelacur sangatlah kompleks (sebagai Liyan, objek,
eksploitasi) karena peran ia mainkan tidak hanya untuk kebutuhan ekonomi tetapi
juga penghargaan atas ke-Liyan-an yang ia dapatkan sebagai alat pemenuhan mimpi
laki-laki “kemakmuran dan ketenaran” beda halnya dengan istri atau kekasih. Hetaira (perempuan panggilan, atau
perempuan penghibur kelas atas dalam masyarakat Yunani Kuno) lebih mempunyai
banyak power dibandingkan perempuan
jalanan. Laki-laki lebih banyak membutuhkannya dibandingkan mereka membutuhkan
laki-laki. Tong memberikan contoh dari koleganya yang berpendapat bahwa perempuan
jenis itu lebih mempunyai kekuatan dan cara untuk meremehkan serta
mempermalukan laki-laki baik sebagai laki-laki ataupun intelektualitasnya.
Untuk perempuan narsis, eksistensinya merupakan hasil dari
ke-Liyan-annya yaitu merasa putus asa sebagai subjek karena tidak diperkenankan
terlibat dalam kegiatan mendefiniskan diri dan arena kegiatan femininnya
tidaklah memberikan kepuasan. Perempuan kemudian menjadi objek pentingnya
sendiri, mempercayai dirinya suatu objek – keyakinan yang ditegaskan kebanyakan
orang disekitarnya. Perempuan terpesona dan mungkin menjadi obsesif terhadap
citranya sendiri (wajah, tubuh, pakaiannya). Ia menjadikan dirinya sangat
penting karena tidak ada objek penting yang dapat diaksesnya. Ia menjadi
sintesis mustahil dari Ada untuk dirinya sendiri (pour-soi) dan Ada pada dirinya sendiri (en-soi). Pada akhirnya Ia terikat oleh kebutuhan untuk memenuhi
hasrat laki-laki dan selera masyarakat. Sedangkan untuk perempuan mistis,
Ia tidak dapat membedakan antara Tuhan dan laki-laki. Kesemua tragedi peran itu
bukanlah konstruksi oleh perempuan sendiri melainkan proses pengumpanan untuk
mendapatkan persetujuan dari dunia maskulin dalam masyarakat produktif. Tetapi
karena perempuan (seperti juga pria) tidak memiliki esensi maka ia dapat mendefinisi
ulang perannya. Tidak ada esensi feminitas yang abadi yang mencetak identitas
siap pakai.
Untuk emansipasi, Beauvoir (dalam Tong 2004, 274)
memberikan 4 strategi yaitu (1) perempuan bekerja, (2) menjadi intelektual, (3)
bekerja untuk transformasi masyarakat sosialis dan (4) mandiri. Tentu dalam hal
ini terlihat bagaimana Beauvoir tidak secara total menegasi Marxisme tetapi
bersepakat sebagian terutama tatanan masyarakat sosialis dibandingkan tetap
dalam kungkungan masyarakat kapitalis. Kalimat Beavouir yang banyak
menginspirasi feminis yaitu “one is not
born a woman, but, rather, becomes one”.
Tidak ada karya tanpa kritik, begitu juga karya
Beauvoir yang dihujani kritik. Elstain (dalam Tong 2004, 277) berpendapat buku
ini (The Second Sex) tidak dapat
diakses oleh mayoritas perempuan karena “imanensi dan transendensi”, “essensi
dan eksistensi”, “Ada bagi dirinya sendiri dan Ada pada dirinya sendiri” adalah
ide yang tidak muncul dari pengalaman langsung hidup perempuan tetapi abstraksi
spekulasi sang filsuf ketika duduk di kursi goyang. Beauvoir juga kecewa atas
pendapat sekolega eksistensialis yaitu Camus yang menganggap buku ini
penyerangan sangat naïf terhadap maskulinitas. Kemudian tanggapan dingin Partai
Komunis Lokal yang menganggap buku ini sebagai katalog bodoh dari keluhan
perempuan yang mengalihkan perjuangan kelas sesungguhnya. Tetapi diantara hujan
kritik itu, sebanyak 22.000 eksamplar terjual habis dalam minggu pertama
publikasi buku tersebut dan yang paling menyenangkan Beauvoir adalah antusias respondensi
pembaca melalui surat-surat yang diterimanya (Tong 2004, 279,280).
Ada satu pemikir perempuan lagi yang karyanya
cukup besar di abad 20 tetapi di dalam karyanya tidak menjelaskan feminisme secara eksplisit yaitu
Hannah Arendt. Karya Arendt lebih luas kepada politik. Memaksa memasukkan
Arendt kedalam feminisme hanya karena Arendt seorang perempuan akan membuat paragraf
ini menjadi paragraf terlemah ditulisan ini.
6.
Feminisme
Posmodern
Tong mengambil pemikir awal untuk kategori ini
yaitu trio Hélène Cixous, Julia Kristeva dan Luce Irigaray atau yang dibelahan
lain disebut kelompok feminisme postruktruralis. Tong (2004, 284) berpendapat
ketiga pemikir itu mengembangkan gagasan intelektualnya dari Simone de Beauvoir
(eksistensialis), Jacques Derrida (dekonstruksionis) dan Jacques Lacan
(psikoanalis). Dari Beauvoir mereka berfokus kepada “ke-Liyanan” perempuan,
dari Derrida mereka menyerang authorship,
identitas dan Diri sedangkan dari Lacan mereka mencoba menafsir kembali
pemikiran Freud.
Intertektualitas trio tersebut tidak terbatas
pada ketiga pemikir yang Tong sebutkan itu (Beauvoir, Derrida dan Lacan) namun terlibat
dengan banyak pemikir lainnya layaknya pemikir secara umum. Meskipun demikian Tong
berusaha mencari kesamaan diantara mereka dan ditemukanlah ketiga pemikir utama
yang menjadi pengembangan intelektual mereka. Intertekstual dengan teks pemikir
lainnya seperti contoh teks Irigaray yang terlibat dengan Marx ketika
berpendapat perempuan menjadi komoditas dalam sistem patriarki.
“The
society we know, our own culture, is based upon the exchange of women…In still
other words: all the systems of change that organize patriarchal societies and
all the modalities of productive work that are recognized, valued and rewarded
in these societies are men’s business. The production of women, signs and
commodities is always referred back to men. Marx’s analysis of commodities as
the elementary form of capitalist wealth can thus be understood as an
interpretation of the status of women in so-called patriarchal societies” (Irigaray 1985, 170,171,172).
Tong (2004,
295-299) mengartikulasikan Luce Irigaray yaitu Irigaray seorang yang berlatar belakang psikoanalis yang
berupaya membebaskan feminisme dari pemikiran filsafat maskulin termasuk
pemikiran Freud dan Lacan. Irigaray menambahi teori Lacan bahwa di dalam ranah
imajiner terdapat imajiner laki-laki dan perempuan. Berlawanan dengan Lacan,
Irigaray menolak memandang hidup perempuan dalam ranah imajiner sebagai keadaan
untuk ditangisi melainkan memandang dengan penuh kemungkinan yang sama sekali
belum tersentuh bagi perempuan. Pada saat ini segala yang diketahui tentang
yang imajiner didapat dari sudut pandang laki-laki. Dengan perkataan lain
satu-satunya jenis perempuan yang dikenal adalah “perempuan maskulin” tetapi
ada jenis lain yang juga harus dikenali yaitu “perempuan feminin” yaitu
perempuan sebagaimana dilihat perempuan. Apa yang menghalangi kemajuan
pemikiran perempuan di luar imajiner adalah konsep kesamaan yang merupakan
hasil pemikiran dari narsisme dan singularitas maskulin.
Irigaray (dalam Tong 2004, 297-298) menyarankan tiga
tindakan jika perempuan ingin mengalami dirinya sebagai sesuatu yang lebih
sekedar “limbah” atau “ekses” dunia maskulin yaitu pertama, menciptakan bahasa
perempuan dengan menghindari bahasa yang netral gender. Bukan hanya karena tidak ada yang benar netral tentang
segala sesuatunya melainkan secara moral sesat yaitu mencoba menyembunyikan
identitas pembaca/pendengar. Bahasa ilmu pengetahuan seringkali mengharamkan
yang subjektif dan seringkali bermaksud menyembunyikan identitas pelakunya.
Perempuan didorong untuk berbicara menggunakan kalimat aktif dan menghindari
keamanan yang semu dan ketidakotentikan yang sesungguhnya dari kalimat pasif.
Kedua, perempuan dapat menciptakan bahasa perempuan ketika perempuan
mengeksplorasi tubuhnya yang beragam, perempuan akan belajar memikirkan
pemikiran, menggunakan kata-kata dan melakukan tindakan yang cukup kuat.
Ketiga, perempuan dapat menjadi dirinya sendiri dengan melakukan peniruan yaitu
meniru tiruan yang dibebankan laki-laki kepada perempuan. Perempuan melalui
peniruan dapat membongkar efek wacana falosentrisme.
Ambivalensi dan kontradiksi terhadap dirinya
sendirinya menjadi sumber kritikan banyak pihak untuk Irigaray. Bagi Irigaray
kontradiksi dengan dirinya sendiri adalah bentuk perlawanan terhadap
konsistensi logis yang diperlukan dalam falosentrisme. Menolak untuk
ditundukkan bahkan untuk teorinya sendiri, Irigaray berupaya membebaskan
dirinya dari konsep falosentrisme yang disinyalir akan memeras makna teorinya
yang beragam (perbedaan yang menyenangkan menjadi kesamaan yang membosankan)
(Tong 2004, 299).
Untuk Hélène Cixous, Tong
(2004, 291-294) mengartikulasikannya sebagai seorang penulis yang
bereksperimen gaya sastra yang mengaplikasikan Derrida mengenai difference dalam tulisan. Cixous
mengkontraskan tulisan feminine (le’ecriture
feminine) dengan tulisan maskulin (litterature).
Tulisan maskulin/litterature dibanyak
tempat dianggap lebih bernilai dari tulisan feminim serta terbagi kedalam
oposisi biner yang merendahkan perempuan (seperti aktif-pasif, tinggi-rendah
dsbnya). Cixous menantang perempuan untuk menulis keluar dari dunia yang
dikonstruksi laki-laki untuk perempuan. Tulisan maskulin sangat membosankan,
terlalu hati-hati mengutarakan pemikiran di dalam struktur yang didefinisi dan
diberlakukan sangat ketat. Sebaliknya, tulisan feminin jauh dari membosankan,
mengalir, terbuka, lebih beragam, penuh variasi dan penuh dengan
kemungkinan.
Tong menyatakan (2004, 294) dengan membaca
tulisan Cixous dapat dirasakan optimisme dan keceriaan yang tidak ada baik pada
tulisan Derrida, yang berpendapat bahwa logosentrisme tidak terhindarkan, dan
pada tulisan Lacan, yang berpendapat bahwa falus akan selalu mendominasi.
Hasrat dan bukan nalar adalah alat pembebasan diri dari konsep tradisional
Barat yang membatasi.
Untuk Julia Kristeva, Tong menyatakan (2004, 299-302)
dibandingkan kedua pemikir lainnya
Kristeva yang paling kontroversial dengan secara eksplisit menolak kata
feminisme sebagaimana kata itu didefenisi oleh teoris dan aktivis di Perancis.
Meskipun demikian, tidak berarti dia menolak tujuan dan strategi feminisme.
Dengan menggunakan kerangka psikoanalisis Lacan, Kristeva mengkontraskan tahap
“semiotik” atau “pra-odipal” dengan tahap “simbolik” atau “pos-odipal”. Tatanan
simbolik merupakan tatanan penandaan atau ranah sosial terdiri dari dua elemen:
elemen semiotik (yang merembes melalui “daerah kekuasaan” pra-oedipal) dan
elemen simbolik (yang hanya ada di dalam tatanan simbolik). Elemen simbolik
adalah aspek penciptaan makna yang memungkinkan pembuatan argumen yang linear,
objektif dan sangat tunduk pada tata bahasa (yang simbolik adalah elemen statis
dalam tatanan simbolik). Elemen semiotik adalah aspek penciptaan makna yang memungkinkan
ekspresi perasaan. Elemen semiotik menghasilkan tulisan yang melanggar aturan
baik dalam sintaks ataupun tata bahasanya. Elemen semiotik merupakan elemen
penolakan yang diistilahkan sebagai “abjek” dalam tatanan simbolik. Orang yang
terbebas adalah yang dapat secara bebas bergerak diantara chaos dan tatanan, revolusi dan status quo, feminin dan maskulin.
Bagi Kristeva (dalam Tong 2004, 300) tulisan
“feminin” dari seorang laki-laki lebih memiliki potensi revolusioner
dibandingkan tulisan feminin perempuan. Tatanan kebudayaan lebih terganggu ketika
seorang laki-laki berbicara sebagai perempuan, dibandingkan ketika perempuan
berbicara sebagai laki-laki.
Walaupun tidak terdapat dalam tulisan Tong,
terdapat satu lagi pemikir yang dianggap perlu untuk diperkenalkan terkaif
feminis postmodern walaupun ia bukan berasal atau berdomisi di Perancis yaitu
Judith Butler. Akan dibahas dua hal yang penting dari Butler tentang
sumbangannya terhadap kajian feminisme yaitu Queer Theory/Teori Ganjil
dan teori performativitas/performativity.
Queer theory
merupakan teori yang membahas/mengkaji hal yang umumnya dianggap ganjil
misalnya penyuka sejenis (lesbian dan homo), transeksual dan sebagainya. Karya
Butler, Gender Trouble 1990, menjadi founding text dari Teori Queer. Butler beroposisi kepada rezim
kebenaran yang didalamnya telah ditentukan baik-buruk, salah-benar,
orisinal-tidak, termasuk pembelahan heterosexism dengan ketat.
Tujuan teoritisasi Queer untuk menciptakan,
membuka dan memberikan ruang bagi sesuatu yang eksis tetapi diperlakukan ganjil
pada umumnya. Teori Queer juga
sebagai bentuk kritik terhadap pemikir francofeministcentrism
yang pada umumnya telah menetapkan heteroseksual sebagai acuan dan abai
terhadap yang ganjil. Jadi teori ini mempertanyakan kestabilan teori yang
disusun berdasarkan alas pikir heteroseksual.
Terkait teori performativity, Butler mengembangkan teorinya dari teori J.L Austin 1962 yang membagi dua tipe bahasa yaitu: constative (bahasa deskripsi) dan
performatif (it brings something into
being/existence) (Storey 2015, 168). Bahasa constative menggambarkan yang ada (misalnya kelelawar bersayap) sedangkan
performatif membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada (misalnya ikrar
berpacaran dsbnya).
Sehingga menurut Butler gender tidaklah natural/alamiah tetapi melalui proses performatif
yaitu seperangkat regulasi, otoritas, validasi, rezim kebenaran dll yang
diproduksi sejak seseorang tersebut masih belia baik melalui pengulangan
bahasa, perintah, contoh, praktik dan sebagainya. Proses
pengulangan-pengulangan tersebut (menjadi laki-laki, menjadi perempuan) yang
memproduksi efek material disebut Butler sebagai konsep “citational accumulation and dissimulation” (Butler 1993, 12). Aktor atau komposit pengkonstruksi dikenal
sebagai apa yang disebut oleh Donna Harraway (dalam
Butler, 2007) “gender-making apparatus”.
Performativity berbeda dengan performance . Perbedaannya
ialah dalam performativitas tidak terjadi dalam konsep kemauan diri-voluntaris (Storey 2015, 169) sedangkan dalam penampilan (display) seseorang lebih mempunyai
pilihan dan dapat mengacu pada kemauan diri. Dari kedua teori tersebut (Queer
dan performativitas) tubuh subjek tidak lagi dalam kondisi stabil.
Selain pemikir yang disebutkan sebelumnya, feminis postmodern kemudian banyak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh postmodernis penting seperti Foucault, Lyotard atau Baudrillard.
Selain pemikir yang disebutkan sebelumnya, feminis postmodern kemudian banyak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh postmodernis penting seperti Foucault, Lyotard atau Baudrillard.
7.
Feminisme
Multikultural dan Global
Tong melakukan
pengkategorisasian untuk feminisme yang menganalisa budaya, ras dan kekhususan
partikular lainnya dalam kategori feminisme multikultural. Sedangkan feminisme
global ditujukan bagi feminisme yang menitikberatkan analisa perempuan
dibelahan dunia berdasarkan kondisi ekonomi politik yaitu negara dunia pertama
(negara maju) dan negara dunia ketiga (negara berkembang) atau sebagai efek
kolonialisme dan imperialisme. Dalam beberapa titik potong terdapat kesamaan
dengan pengkategorisasian feminisme poskolonialisme yang menitikberatkan
analisa pada efek yang diakibatkan kolonialisme baik budaya, sosial, ekonomi,
politik, kesusastraan dan sebagainya yang mengkondisikan perempuan.
Kedua
pengkategorisasian ini (feminisme multikultural dan feminisme global) terlihat
sebagai upaya mengantisipasi sudut pandang gender
blind yaitu buta gender dengan menganggap atau berpikiran bahwa kondisi gender-perempuan diseluruh dunia semuanya
sama/tunggal. Sementara realitas perempuan kulit putih, berwarna, hitam dll,
perempuan di negara maju, berkembang dan miskin, geografis (ibukota, daerah,
kota-desa), budaya, sistem politik dan sebagainya memberikan komposit
berbeda-beda pula untuk kondisi perempuan.
Dalam feminisme
multikultural terdapat istilah “multiple jeopardy” (bahaya berlapis) misalnya
yang harus dihadapi perempuan kulit hitam di Amerika Serikat. Opresi dapat dihasilkan dari rasisme + kelasisme +
seksisme. Menambahkan tiga variabel
tersebut, Patricia Hill Collins (dalam Tong 2004, 318) berargumentasi bahwa opresi
perempuan kulit hitam di Amerika Serikat tersistematisasi dan terstruktur
dengan tiga dimensi yang saling berhubungan yaitu (1) ekonomi (ghetoisasi dalam
pekerjaan), (2) politik (diskriminasi hak dan fasilitas), dan (3) ideologi (citra
pengontrol (perempuan hitam lebih rendah)). Namun hal ini tidak berarti bahwa
perempuan kulit putih bebas dari opresi. Kondisi opresi berlangsung cukup lama
meskipun cita-cita umum peleburan (melting
point) bangsa pendatang di Amerika “e
pluribus unum” (berbeda-beda tapi satu) terus dikumandangkan (Tong 2004, 311).
Sealnjutnya, feminisme
global berfokus pada hasil opresi dari kebijakan dari praktek kolonialis dan
nasionalis, bagaimana bisnis besar membagi dunia menjadi Dunia Pertama (the have) dan Dunia Ketiga (the have not). Feminisme global
memperluas variabel feminisme multikultural bahwa penyebab dan pengkondisian
opresi perempuan terjadi karena apa yang terjadi disatu bagian dunia seringkali
oleh apa yang terjadi dibagian dunia yang lain. Feminis di dunia ketiga lebih
menekankan kajian pada isu politik dan ekonomi daripada isu seksual. Hal ini
(tekanan kepada identitas, interpretasi seksual dll) seperti yang terlihat dari
filsafat feminis Perancis (Tong 2004, 330-331).
Bagi feminis global,
apa yang personal dan apa yang politis adalah satu. Apa yang terjadi dalam
ranah pribadi seseorang (termasuk yang terjadi di kamar tidur) mempengaruhi
(atau dipengaruhi) tatanan yang lebih luas. Banyak feminis global menghadiri
konferensi internasional dalam upaya menghapus garis arbitrer antara isu
perempuan dan isu politik, serta menjembatani jurang pemisah antara feminis
Dunia Kesatu dan Dunia Ketiga (Tong 2004, 330).
Tetapi didalamnya terdapat
ketegangan-ketegangan dalam upaya merajut harmoni para feminis global seperti
pro-kontranya terhadap agenda internasional yang melibatkan multi aktor (baik
negara maupun non-negara). Pada tahun
1975, PBB mendeklarasikan tahun 1975-1985 sebagai Dasawarsa Perempuan
(konferensi awal Mexico City 1975, konferensi tengah di Kopenhagen 1980,
konferensi akhir di Nairobi - Kenya 1985). Lebih dari 2.000 delegasi dari 140
negara menghadiri pertemuan terakhir itu. 13.000 delegasi berpartisipasi dalam
forum 85 yaitu konfederasi 157 LSM. Feminis global menyambut hangat agenda
tersebut tetapi terdapat kekwatiran yaitu terpinggirkannya isu perempuan oleh
isu politik dikarenakan beberapa hal yaitu: didukung oleh organisasi patriarkal
“PBB” menimbulkan banyak masalah, kepentingan perempuan terpinggirkan dan lebih
memperhatikan kepentingan Big Brother, isu
politik yang dibawa delegasi yang telah dipesan oleh pemerintah utusan mereka
cenderung lebih besar daripada isu perempuan (misalnya delegasi negara komunis,
Asia, Amerika Latin dan Afrika), naiknya isu zionisme, rasisme dan imperialisme
barat, klise politik dan pidato, pertikaian Timur-Barat dan Utara-Selatan.
Pemimpin delegasi Amerika Serikat,
Mauren Reagan, mengintisarikan Konferensi Nairobi sebagai “pesta hipokritas
politik dan ideologi” (Tong 2004, 334-335).
Tegangan intra-feminis
global juga ditambahkan dengan ketegangan inter-feminis global dan
multicultural dalam payung absolutisme etis versus relativisme etis dalam
mengkaji dan mengadvokasi masalah perempuan (lihat Tong 2004, 347-353). Dari sudut
ini dapat diperoleh pemandangan bahwa secara praktik dalam mengartikulasikan
feminisme terdapat tegangan-tegangan yang kadangkala tidak untuk diselesaikan
dalam bentuk suatu kesimpulan monolitik.
8.
Ekofeminisme
Dari penamaan saja
dapat dipastikan bahwa nafas environmentalism
coba di-injeksikan kedalam feminisme. Sebagai sebuah tindak lanjut pandangan
relasi perempuan dengan alam-bumi (mother
earth). Ekofeminisme merupakan sebuah varian feminisme yang menitikberatkan
analisa dan fokus perhatian kepada isu alam (lingkungan, ekosistem dan sebagainya).
Pandangan antroposentris (berpusat pada manusia) terkadang konfliktual dengan
bio/ekosentris.
Pada 1962 Rachel
Carson telah memperingati bahaya pengrusakan alam misalnya melalu limbah
beracun. Meskipun demikian istilah ekofeminsme belum ekspilisit pada teks
Carson. Istilah ekofeminisme muncul pertama kali pada buku berjudul Le Feminisme ou la mort tahun 1974 karya
Francoise d’Eaubonne, yang berargumen ada hubungan langsung antara opresi
perempuan dan opresi terhadap alam. Karen J. Warren memperluas gagasan tersebut
dengan menyatakan asumsi ekofeminisme (1) ada keterkaitan penting antara opresi
terhadap perempuan dan opresi terhadap alam, (2) pemahaman terhadap alam
menjadi penting untuk memahami opresi perempuan dan alam, (3) teori dan praktik
feminis harus memasukkan perspektif ekologi, dan (4) pemecahan masalah ekologi
harus menyertakan perspektif feminisme (Tong 2004, 361,366,367).
Adopsi Disiplin
Bertumbuhnya kajian
ini serta dipertimbangkan mempunyai banyak fungsi dan peran dalam membedah,
menganalisa maupun mengadvokasi realitas yang kompleks membuat kajian ini diadopsi dalam berbagai
disiplin ilmu. Berikut ini dijelaskan secara singkat tiga disiplin yang diambil
sebagai sampling untuk menunjukkan
perluasan kajian dalam berbagai ilmu yaitu geografi, cultural studies dan hubungan internasional.
a.
Geografi
Dalam geografi,
terutama geografi manusia (human-geography)
feminisme mendapatkan ruangnya. Disiplin yang pada mulanya ilmu bumi ini
berkembang dengan cara yang baik dengan juga memperhatikan apa yang ada di bumi
itu sendiri. Ilmu yang pertama kalinya hanya membahas penampakan bumi dalam
peta (kartografi) ini menjadi lebih humanis dengan menganalisa dan
memperhatikan manusia terutama hubungannya dengan ruang/spasial. Alasannya
sederhana yaitu Bumi dan Manusia merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan
karena sampai saat ini dalam kosmos yang rumit hanya planet Bumi yang dideteksi
mempunyai kehidupan kompleks dengan bermilyar tubuh-tubuh manusia yang hidup
maupun yang telah tertelan bumi. Oleh karena itu disiplin Geografi yang hanya
berdiam mengisolasi diri menatapi gejala alam dengan cara yang rumit, penuh
rumus dan canggih serta melupakan manusia itu sendiri akan terjatuh pada egoisme
disiplin ilmu yang luar biasa parahnya. Fakta objektif seperti itu membuat
pilihan memasukkan feminisme dalam geografi merupakan sesuatu yang melewati
perkara etis dan moralis.
Bacaan awal yang baik
untuk menemukan jawaban atas pertanyaan dasar “what has gender to do with geography? How is gender linked to
geography? yaitu pada karya Linda McDowell (1999), meskipun telah terdapat
beberapa karya pendahulu (seperti Gillian Rose 1993, jurnal Gender, Place and Culture, Society and Space).
Secara institusional keilmuan, asal mula kajian feminis diadopsi dalam keilmuan
geografi terlacak sejak tahun 1970an ketika kelompok studi terbentuk dalam British Professional Association – Institute
of British Geographers (sekarang tergabung dengan Royal Geographical Society) (McDowell
1999, 26,27).
Dalam hal geografi dan
feminisme, terjadi kontestasi feminisme dalam ruang. McDowell (1999, 10) menjelaskan
bahwa tujuan spesifik dari geografi feminis yaitu untuk menginvestigasi dan
membuat nampak serta menantang hubungan antara pembagiaan gender dan pembagiaan spasial, untuk membongkar hubungan mutual
diantaranya dan memproblematisasi hal yang tampak/kelihatannya natural/alamiah.
Pollock (dalam McDowell 1999, 12) geografi gender
memperhatikan sigfikansi tempat/ruang, lokasi dan keberagaman budaya, serta
menyambungkan isu seksualitas dengan nasionalisme, imprealisme, migrasi,
diaspora dan genosida. Maksud dari
seksualitas disini tidak diartikan literal seperti dorongan seks tetapi
perbedaan jenis kelamin.
Sejak secara
institusional telah terwadahi, karya-karya semakin bertambah seiring dengan
semakin seriusnya dan banyaknya para pengkaji geografi mengadopsi feminisme
(baik sebagai sudut pandang, variabel maupun objek analisa). Beberapa karya
tersebut misalnya S.R. Bowlby (1982), Domosh (1991),
Susan Hanson (1992), McDowell (1992), Lynn
A. Staeheli (2000), Kwan (2002) dan lain sebagainya.
b.
Cultural Studies
Dalam cultural studies, semaraknya
produk karya teks feminis ditahun 1970an
(terutama di Inggris dan Amerika Serikat) mendorong feminisme perlahan
tapi pasti memasuki kajian budaya sekaligus momen rupture dalam studi ini. Menggunakan metafora bernada satir
“pencuri yang menerobos masuk”, Stuart Hall (1992) menjelaskan fenomena
masuknya feminisme dalam studi ini “mengkhawatirkan” disatu sisi dan sulit
untuk dielakkan disatu sisi yang lainnya. Ketidakstabilan tersebut mengingatkan pendapat salah satu pendiri studi
ini yaitu Richard Hoggart (pendiri CCCS (Center for Contemporary Cultural
Studies) di Universitas Birmingham) yang pada tahun 1969 mengatakan bahwa
kajian budaya tidak memiliki basis disiplin yang stabil (Nelson 1992).
Sue Thornham
mengemukakan bahwa teks kunci dalam feminist
cultural studies di Amerika Serikat terletak pada karya Janice Radway yaitu
Reading the Romance pada tahun 1984.
Karya Radway tersebut mengkaji berbagai novel roman dan pembaca. Radway
melakukan pemisahan institusional atas karyanya yang jadi perebutan antara
kajian kesustraan dan ilmu sosial yang
telah ada. Pemisahan institusional tersebut berada dijalur feminist cultural studies. Selanjutnya pada
perjalanan yang belum final feminisme dan kajian budaya menjalin relasi yang
belum terselesaikan (Thornham, 2010).
c.
Ilmu
Hubungan Internasional
Terdapat kesalahan
menggambarkan feminisme dibeberapa karya teks Ilmu Hubungan
Internasional kontemporer di Nusantara ini. Kesalahan tersebut ialah
menggambarkan seolah-olah semua feminisme berepistemologi pospositivis dan feminisme
sesuatu yang tunggal.
Dalam buku Metodologi
Ilmu Hubungan Internasional: Perdebatan Paradigmatik dan Pendekatan Alternatif
(2015, 41,72) terdapat teks “…, semua aliran pospositivisme HI (teori kritis,
konstruktivis, posmodernis dan feminis). …feminis melihat ilmu sosial positivis
menyajikan sudut pandang laki-laki…”. Penggunaan tanda kurung tersebut menandai
kurungan terhadap feminisme. Kemudian mengambil kesimpulan tergesa-gesa mengenai
“positivis – sudut pandang laki-laki”.
Permasalahannya ialah
implikasinya terhadap metodologi. Jika feminisme dikurung dalam epistemologi
pospositivis maka penggunaan metode penelitian seperti mencari pola ajeg dalam
reduksionis data kualitatif beberapa sumber (kualitatif) atau penggunaan metode
kuantitatif, tidak dapat digunakan lagi dalam Ilmu Hubungan Internasional.
Jelas hal ini memasung dan menyempitkan sudut gerak kaum feminis yang sering
mengarahkan kajiannya terhadap advokasi kebijakan seperti feminis liberal atau
sosialis-demokrat dikarenakan metodologi seperti itu (kualitatif pola ajeg,
fakta empiris-objektif dan kuantitatif) merupakan andalan dalam melakukan
penelitian atau pengkajian.
Begitu juga dengan
teks Shaummil Hadi (2008, 233) yang berpendapat positivis identik dengan
objektifitas sehingga para positivis mengobjektifikasi dan mengempiriskan
perempuan mengacu pada perbedaan objektif-empiris antara laki-laki dan
perempuan sehingga kaum objektivis salah dan terjatuh pada kategori biologis
dan fisik semata. Tautologi dan otomatisasi semacam ini membuat argumen macet
dalam kesemrautan.
Hadi (2008, 234) juga
menulis “pada titik inilah, feminisme muncul sebagai salah satu pendekatan alternatif,
sebagaimana pendekatan pospositivisme lainnya…”. Gejala ini sama dengan gejala
pengurungan feminisme pada karya teks yang telah dibahas sebelumnya.
Sebelum menutup
pembahasan singkat mengenai feminisme, Hadi mengutip Smith dan Owen tentang
pembagian feminism. Namun terasa janggal atau kontradiktif ketika pada awal
paragraf tentang feminisme, Hadi mencoba untuk mengarahkan pembaca bahwa
feminisme adalah pospositivis (sesuai tema buku “Third Debate” yang tidak lain
merayakan kemeriahan pospositivis), menggambarkan kelemahan kaum
positivis-objektifis, sedangkan pada penutup penjelasan tentang feninisme
digambarkan pluralitas feminis yang disitu disebutkan: feminis liberal, feminis
marxis, feminis standpoint, feminis
posmodernisme dan feminis poskolonial (Hadi 2008, 238). Sulit untuk
membayangkan feminis marxis berepistemologi pospositivis, mengusung relativisme
sedangkan sejatinya marxisme berepistemologi positivis yang berkeyakinan
Darwinian dalam ekonomi politik (evolusi ekonomi), menjunjung kebenaran
objektifis universal dan empiris. Jika induk semang perspektif telah seperti
itu (marxisme-empirisme) maka feminis marxis pastilah juga positivis-empiris,
yang berbeda adalah tekanan analisa yaitu perempuan.
Pembonsaian feminisme
kedalam pospositivis sedikit banyak dikarenakan pengurungan dalam teks Yosef
Lapid “Third Debate” yang begitu semangat menggambarkan era pospositivis dalam
ilmu H.I. Seharusnya teks Lapid dilihat dalam konteks bergerilyanya kaum
pospositivis dalam memperkaya epistemologi dan metodologi dalam ilmu H.I. Tidak
dalam suasana satu pihak “memberangus” pihak yang lain ataupun menarik kesimpulan
sebagian menjadi keseluruhan. Semangat pospositivis era 1980an ini juga
didukung oleh perkembangan institusi serta diskursus (organisasi di Amerika, CCCS di Birmingham dsbnya) dan booming buku yang telah
nampak sejak 1970an oleh pemikir
posmodernis seperti karya Foucault, Lyotard dan Baudrillard
Ketidaktenangan/keterburu-buruan
serta pemandangan “macet” baiknya diurai dan dijelaskan dengan cara yang
sederhana dan pelan saja misalnya dengan menggunakan silogisme kategorial
sederhana yaitu jika salah satu premis menyatakan sebagian, maka kesimpulan
juga menyatakan sebagian.
Premis
1 (Mayor): Hujan pasti basah
Premis
2 (Minor): Sebagian daerah di Sulawesi Selatan hujan
Kesimpulan:
Sebagian daerah di Sulawesi Selatan basah atau Sebagian daerah di Sulawesi Selatan tidak basah (karena tidak hujan)
Justru
menjadi lucu ketika kesimpulan akhir: Semua daerah di Sulawesi Selatan basah
Mari gunakan dalam konteks
feminism dalam Ilmu H.I
Premis
1 (mayor): Feminisme masuk dalam Ilmu HI
Premis
2 (minor): Sebagian feminisme berepistemologi pospositivis
Kesimpulan:
Sebagian feminisme yang masuk dalam ilmu HI menggunakan epistemologi
pospositivis atau sebagian feminisme yang masuk dalam ilmu HI menggunakan
epistemologi non-pospositivis (positivis).
Menurut Christine
Sylvester (2004) karya trio Elsthain,
Enloe dan Tickner periode 1980an-1993 menjadi karya garda depan dalam
pengadopsian serta pengembangan feminisme dalam H.I. Karya tersebut yaitu Jean
Bethke Elstain 1987 “Women and War”, J. Ann Tickner 1992 “Gender in
International Relations Feminist Perspectives on Achieving Global Security” dan
Cynthia Enloe 1989 “Banana, Beach and
Bases: Making Feminist Sense of International Politics”. Kemudian pelebaran
sayap menganalisa organisasi internasional dilakukan Sandra Withworth 1994 “isu
gender dalam organisasi internasional” termasuk karya-karya Sylvester sendiri.
Karya Cynthia Enloe (1990) “Banana, Beach and Bases” secara
eksplisit mengalamatkan analisa gender dalam politik internasional. Perihal beach menjelaskan posisi dan peran
perempuan yang rentan bagi ketidakadilan dalam sektor pariwisata internasional
yang secara umum didukung oleh pemerintah. Perihal bases menjelaskan posisi dan peran wanita yang dijadikan “barrack
girls” di kamp militer diberbagai tempat. Perihal banana menganalisa posisi dan peran wanita yang sangat minim dalam
ekonomi politik pisang (mulai dari pengambil keputusan sampai pekerjaan bawah yang
kesemuanya sangat maskulin).
Komoditas pisang
merupakan komoditas andalan Amerika Serikat abad 20 sampai membuat kekisruhan
di Nikaragua ketika pada tahun 1954 presiden demokratis terpilih Jacobo Arbenz
dikudeta oleh junta militer pimpinan C.C Armas yang didukung oleh AS sebagai
rangkaian dari “Banana Wars” yang telah berlangsung beberapa waktu sebelumnya yang
kemudian membuat instabilitas berpuluh tahun di negara itu. Sehingga muncul
istilah “Republik Pisang” yaitu istilah yang menggambarkan republik yang tanah
dan jiwanya dikuasai oleh perusahaan asing dan hal tersebut didukung oleh
pemerintah (Enloe 1990).
Selain ekonomi politik
pisang, intervensi AS era itu dalam konteks perang dingin yaitu meng-install praktek liberal-kapitalis
melalui pemerintahan koalisi fase mula (pemerintahan junta militer agar
stabilisasi via terror memampukan disiplin praktek liberal-kapitalis dapat
terkontrol). Fase lanjut, pemerintahan koalisi model junta militer tidak begitu
dibutuhkan lagi ketika diskursus serta praktek liberal-kapitalis telah mendarah
daging dan ketergantungan (misalnya utang) telah dalam. Cerminan kasus ini untuk Indonesia kontemporer yaitu semestinya militer (purnawirawan dsbnya) tidak perlu lagi banyak mencampuri sipil karena tidak terlalu dibutuhkan lagi, berbeda dengan kontrol liberalisme kapital paska perang dunia ke dua. Ditambah bisnis para purnawirawan militer yang menikmati kontrol kapital telah jauh mapan dan berjejaring.
Setelah Enloe buku
signifikan dalam pembangunan feminisme dalam kajian H.I ialah buku karya
V.Spike Peterson dan Anne Sisson Runyan “Global Gender Issues” edisi pertama 1993
dan kedua 1999 (Zalewski 2010, 29). Kemudian pengembangan gagasan Judith Butler dilakukan oleh Lauran B. Wilcox dengan memproblematisasi dan menganalisa
tubuh. Dosen di Universitas Cambridge ini, Wilcox, berargumen bahwa secara kontemporer analisa perihal tubuh kian menjadi penting, focal point dan sentral dalam pembahasan praktek keamanan dan
Hubungan Internasional (Wilcox 2015, 2), terlebih dalam konteks terrorisme.
Sementara itu Lene
Hansen (2010, 20,21) mencatat, studi kuantitatif dalam H.I mengenai korelasi
level kesataran gender melalui komparasi negara yaitu dilakukan oleh Caprioli
2000, Caprolioli and Boyer 2001, Regan dan Paskeviciute 2003. Hubungan kausal
tidak langsung mengenai gender dan politik luar negeri (“gender gap” dalam
sikap politik luar negeri) dilakukan oleh Togeby 1994 dan Eichenberg 2003.
Studi komparatif mengenai surplus populasi laki-laki (aborsi selective di China dan India) dilakukan
Valerie M. Hudson dan Andrea Den Boer 2004. Studi kasus bagaimana norma gender
mempengaruhi kebijakan luar negeri (praktek evakuasi oleh organisasi
kemanusiaan di zona perang) dilakukan oleh Carpenter 2003, Finnemore dan
Sikkink 1998.
Penelitian positivis
misalnya True dan Minstrom 2001 yang menggunakan desain dataset untuk studi jaringan feminis transnasional yang
mempengaruhi perubahan kebijakan nasional. Indikator kuantitatif UNDP yaitu GDI
(Gender Developmnent Index) dan GEM (Gender Empowerment Measure) kemudian
dirancang untuk mengkomparasikan derajat kesetaraan gender antara negara-negara
(M. S. Brooke A. Ackerly 2006, 2,3). Dari pemaparan tersebut terdapat pemandangan beragam
dalam pengadopsian feminisme dalam Ilmu Hubungan Internasional yaitu
pospositivis dan positivis.
Penutup
Di Indonesia
kontemporer, feminisme lebih banyak di-intrepretasi, digosipkan serta dikhayalkan daripada
dipelajari. Meskipun klaim ini nampaknya berlebihan tetapi dengan mudah
didapati dalam perdebatan ruang publik. Sehingga nampaknya bahwa feminisme
sesuatu yang tunggal dan harus berhadapan diametral dengan nilai spiritual
(misalnya agama). Seolah menggiring bahwa tujuan feminisme manunggal adalah
mengeleminasi sistem nilai agama samawi.
Praduga seperti itu
tidak sepenuhnya salah jika mengambil varian feminisme radikal libertarian lalu
diperhadapkan dengan nilai ajaran agama misalnya tentang berpakaian. Aspek yang
mudah kelihatan/permukaan dengan mudah disulap menjadi sesuatu yang dalam
(seolah-olah hanya kebebasan berekspresi/otonomi tubuh yang penting
diperhatikan). Padahal untuk satu titik permukaan ini saja kedua hal tersebut
(feminis radikal libertarian – ajaran agama) mempunyai historitas masing-masing
sehingga muncul sistem nilai serta anjuran dan mempunyai imajinasi
masing-masing tentang dunia seperti apa yang hendak dicapai/dibentuk serta
dicegah. Misalnya semua mengambil tujuan memuliakan perempuan, bagi radikal liberaltarian
jalannya yaitu otonomi mutlak atas tubuh serta ekspresi sedangkan bagi ajaran
agama terdapat seperangkat anjuran. Kemudian satu pihak menyerang pihak lain
dengan mennggunakan indikatornya (indikator asing/alien bagi yang lain),
padahal masing-masing punya indikator yang sulit dikompromikan. Artinya
perbedaan indikator-indikator menjadi sangat penting diperhatikan dan bukan
untuk mensintesakan keduanya atau di-imajinasikan menghasilkan sebuah larutan hybrid.
Feminisme tidak hendak memberikan "kacamata kuda" untuk melihat keseluruhan wanita adalah baik dan sebaliknya laki-laki adalah jahat - tidak baik. Enloe (1990) implisit memperingatkan usaha mengkerdilkan studi feminisme dengan membesar-besarkan masalah ini dengan misalnya dengan menyebutkan beberapa aktor antagonis perempuan seperti Margaret Thatcer, Indira Gandhi dan Jeanne Kirkpatrick. Jikapun argumen ini digunakan untuk menyerang feminisme, Enloe juga berpendapat bahwa secara rasio dan kuantitatif laki-laki antagonis jumlahnya lebih banyak daripada perempuan antagonis dalam politik internasional. Feminisme memprovokasi untuk melihat lebih dalam fenomena yang terjadi.
Feminisme tidak hendak memberikan "kacamata kuda" untuk melihat keseluruhan wanita adalah baik dan sebaliknya laki-laki adalah jahat - tidak baik. Enloe (1990) implisit memperingatkan usaha mengkerdilkan studi feminisme dengan membesar-besarkan masalah ini dengan misalnya dengan menyebutkan beberapa aktor antagonis perempuan seperti Margaret Thatcer, Indira Gandhi dan Jeanne Kirkpatrick. Jikapun argumen ini digunakan untuk menyerang feminisme, Enloe juga berpendapat bahwa secara rasio dan kuantitatif laki-laki antagonis jumlahnya lebih banyak daripada perempuan antagonis dalam politik internasional. Feminisme memprovokasi untuk melihat lebih dalam fenomena yang terjadi.
Penulis berpendapat bahwa
untuk pengkaji/penstudi minimal terdapat dua level yang saling melengkapi yakni
makro-mikro agar mendapatkan keseimbangan. Para pengkaji fenomena makro agar
tidak kelihangan pengetahuan akan gambaran mikro, begitu juga sebaliknya, para
pengkaji mikro agar tidak kelihangan pemandangan makro. Atas asumsi pemikiran
seperti itu, nafas tulisan ini hadir. Pengantar singkat feminisme ini
diharapkan menjadi peta makro tanpa kehilangan jejak mikro dalam mempelajari hal
dasar feminisme.
Pencarian kata kunci
feminisme pada JSTOR (perpustakaan digital untuk jurnal akademik, buku dan
sumber lainnya) menunjukkan angka sejumlah 94.943 hasil. Jika dengan membaca
tulisan ini pembaca mendapatkan sedikit tambahan pengetahuan maka secara
eksplisit tujuan tulisan “remah-remah rempeyek” (diantara begitu banyak teks
tentang feminisme) ini tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Asruddin, Mirza Jaka Suryana, Musa
Maliki (Editor). Metodologi Ilmu Hubungan Internasional: Perdebatan, Paradigmatik dan
Pendekatan Alternatif. Malang: INTRAS Publishing, 2015.
Barre, Francois Poullain De La. Three
Cartesian Feminist Treaties. Chicago: The University of Chicago Press,
2002.
Beauvoir, Simone de. The Second Sex
trans.by Constance Borde, Sheila Malovany-Chevallier. New York: Vintage
Books, 2010.
Brooke A. Ackerly, Maria Stern, Jacqui True
(Ed.). Feminist Methodologies for International Relations. Cambridge:
Cambridge University Press, 2006.
Brooke A. Ackerly, Maria Stern, Jacqui True. Feminist
Methodologies for International Relations. Cambridge: Cambridge University
Press, 2006.
Bryson, Valerie. Feminist Political Theory:
An Introduction Second Edition. New York: Palgrave Macmillan, 2003.
Butler, Judith. Boddies That Matter.
New York: Routledge, 1993.
—. Gender Trouble. New York: Routledge,
2007.
Cary Nelson, Paul A Treichler, Lawrence
Grossberg. Cultural Studies. London: Routledge, 1992.
Domosh, Mona. "Toward a Feminist
Historiography of Geography." Transcations of the Institute of Britis
geographers, Vol. 16, No. 1, 1991: 95-104.
Enloe, Cynthia. Banana, Beaches &
Bases: Making Feminist Sense of International Politics. California: University
of California Press, 1990.
Fromm, Erich. Cinta, Seksualitas dan
Matriarki. Yogyakarta: Jalasutra, 2007.
Hadi, Shaummil. Third Debate dan Kritik
Positivisme Ilmu Hubungan Internasional. Yogyakarta: Jalasutra, 2008.
Hall, Stuart. "Cultural Studies and Its
Theoretical Legacies." In Cultural Studies, by
Cary Nelson, Paula A Treichler Lawrence Grossberg, 277-294. London: Routledge,
1992.
Hansen, Lene. "Ontologies,
Epistemologies, Methodologies." In Gender Matters in Global
Politics, by (Editor) Laura J. Shepherd, 17-27. New York:
Routledge, 2010.
Hanson, Susan. "Presidential Address:
Geography and Feminism: World in Collision." Annals of the Association
of American Geographers Vol.82, No.4, Dec., 1992: 569-586.
Homer. The Iliad of Homer terj. A. Rachmatullah.
Yogyakarta: ONCOR Semesta Ilmu, 2011.
Hooks, Bell. Feminism Is For Everybody:
Passionate Politics. Cambridge: South End Press, 2000.
Howie, Gillian. Between Feminism and
Materialism: A Question of Method. New York: Palgrave Macmillan, 2010.
Irigaray, Luce. The Sex Which is Not One
trans.by Catherine Porter and Carolyn Burke. New York: Cornell University
Press, 1985.
Kwan, Mei-Po. "Re-Envisioning GIS as
Method in Feminist Geographic Research." Annals of the Association of
American Geographers, Vol. 92, No. 4 , Dec., 2002: 645-661.
Lynn A. Staeheli, Patricia M. Martin.
"Spaces for Feminism in Geography." The Annals of the American
Academy of Political and Sociall Science Vol. 571, Sep., 2000: 135-150.
McDowell, Linda. "Doing Gender: Feminism,
Feminists and Research Method in Human Geography." Transactions of the
Institute of British Geographers, Vol. 17, No. 14, 1992: 339-416.
—. Gender, Identity and Place:
Understanding Feminist Geographies. Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1999.
S.R. Bowlby, T.Foord, S.Mackenzie.
"1982." Royal Geographical Society, 1982: 19-25.
Sartre, Jean Paul. Existentialism is a
Humanism trans. by Carol Macomber. London: Yale University Press, 2007.
Storey, John. Cultural Theory and Popular
Culture: An Introduction. New York: Routledge, 2015.
Sylvester, Christine. Feminist
International Relations: An Unfinished Journey. Cambridge: Cambridge
University Press, 2004.
Tong, Rosemarie Putnam. Feminism Thought:
Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. terj.A.P.Prabasmoro.
Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
Wilcox, Lauren B. Bodies of Violence:
Theorizing Embodied Subject in International Relations. Oxford: Oxford
University Press, 2015.
Zalewski, Marysia. "Feminist
International Relations: Making Sense." In Gender Matters in
Global Politics: A Feminist Introduction to International Relations,
by (Editor) Laura J. Shepherd, 28-43. New York: Routledge, 2010.
Lukisan Dadais, The Chinese Nightingale 1920 oleh Max Ernst
#feminisme #pengantar #kategorisasi
Makassar, 25 Juni 2016
Pukul 05:15 WITA
No comments:
Post a Comment