Tulisan ini
mayoritas terstimulasi oleh dua hal, pertama kalimat teman disalah satu media
daring dan buku terbaru Ariel Heryanto (aktivis, pengajar dan penulis yang
produktif) yaitu Identitas dan Kenikmatan 2015, serta minoritas dari pengamatan
sehari-hari. Untuk stimulant yang pertama akan disebutkan pada akhir tulisan
ini dan untuk stimulan yang kedua akan disebutkan pertama kali. Data yang
digunakan sebagian besar bersumber dari buku tersebut.
Saat ini
kita hidup dizaman (yang secara pertama kalinya semenjak dunia ada) sangat membingungkan
dan kompleks. Hal ini tidak terlepas dari Revolusi IT paska perang dingin yang
sangat signifikan mempengaruhi segala lini kehidupan termasuk budaya. Oleh
karena itu tidak heran kiranya pamor kajian Budaya Pop-Populer (Pop-popular culture) dalam dekade
terakhir terlihat menanjak dan sepertinya tren kajian ini akan terus
berlangsung pada dekade kedepan terlebih di Indonesia.
Satu hal
yang membedakan kajian budaya popular dan kajian budaya yang lebih dahulu hadir
ialah titik bahasannya dengan idiologi. Kajian budaya popular yang abai
terhadap idologi akan terjatuh pada kajian budaya non popular. Beberapa tokoh prominent kajian ini seperti Stuart
Hall, Richard Hoggart, Raymond Williams, E.P Thompson, Paddy Whannel, para
tokoh Mazhab Frankfrut dan sebagainya (lihat John Storey 2015).
Perbedaan
konsep budaya “pop” dan “popular” yaitu “pop” untuk komoditas industrialisasi (industrialized)
bersifat top – down dan “populer”
untuk non-industrialized (bukan hasil
industrialisasi) relatif independen
serta terdistribusi-tersebar acak. Kategorisasi konsep tersebut juga sejalan
dengan konsep Chua (dalam Ariel, p.22). Sebagai contoh Hollywood sebagai pemasok komoditas sinema satu arah (top-down) berarti budaya “pop” sedangkan
pergelaran musik indie yang menjalin asa melalui crowdfunding disalah satu kota merupakan budaya “populer”. Permisalan
analogi komunikasi “pop” searah/monolog dan “populer” dialog. Permisalan
analogi produksi “pop” untuk model produsen, distribusi dan konsumen sedangkan
“populer” untuk model sebagai produsen sekaligus distributor sekaligus
konsumen. Seperti kata Anwar J. Rachman (2015) perbedaan model ekonomi populer
ini berpola demikian menjadi produsen sekaligus menjadi konsumen.
Kebutuhan
akan mengerti fenomena budaya manusia kontemporer dilingkup historis-geografis-ekonomi-sosial-politik
partikular secara sistematis membuat kajian ini multi-disiplin, hibrid, kompleks
dan padat serta kaya akan perdebatan untuk mendapatkan penjelasan yang
komprehensif dibandingkan justifikasi berbasis prasangka. Dalam nuansa
demikianlah nafas buku Ariel hadir tentunya dengan teks umum yang selalu muncul
dibuku yaitu “menyumbangkan sesuatu”.
Terdapat
tiga variabel utama yang coba dijelaskan dalam buku ini yaitu (1) post-islamisme,
(2) budaya layar (screen culture)
dalam kalkulasi lapis politis dan historis (yang juga menambah sub-variabel
etnis), dan (3) asianiasi. Tentunya analisa kelas dan dimensi historis juga dimasukkan. Ketiga
variabel tersebut membentuk identitas dan kenikmatan. Secara singkat berikut
tesa pokok yang disampaikan Ariel (2015) dalam bukunya terkait variabel
tersebut:
- Perdebatan fenomena islamisasi tidak dapat disimplifikasi dalam dikotomi Islamisasi vs Komersialisasi/Komodifikasi tetapi hendaknya dilihat sebagai dialektika antara bagaimana ketaatan beragama menemukan perwujudan dalam sejarah kapitalisme industrial Indonesia yang spesifik dan bagaimana logika kapitalis memberikan tanggapan (respon) pada pasar yang sedang tumbuh bagi revitalisasi dan gaya hidup islami (p.39).
- Analisa budaya layar (sinema, televisi, internet, media sosial) tidak dapat terlepas dari konteks politik – kekuasaan rezim berkuasa dilihat secara historis.
- Analisa Asianiasi (fenomena K-Pop) dalam pergeseran sosial kultural tidak dapat melepaskan diri budaya popular “Barat” misalnya dalam hal keterkaitan produksi.
Lagi
Galau? Like…
Tentunya
pembaca yang budiman familiar dengan fenomena like. Sesuatu fenomena
yang lucu, aneh dan semakin umum. Untuk
mencintai Rasul diharuskan “like” ini kekerasan teks! Jadi yang tidak like tidak
cinta Rasul. Padahal setahu saya resepnya sederhana mencintai menurut firman-Nya dan Nabi
“jalankan perintah, jauhi larangan”. Tidak ada perintah “like”, inikan hanya
tipu-tipu pemilik akun agar akunnya tetap “laku” di pasar. Tapi kenapa banyak
yang like ratusan sampai ribuan orang? pertanyaan yang terus mengemuka dan
sembari memikir apa gerangan yang terjadi lebih satu dekade awal abad 21 ini? Untuk
jawaban false consciousness sudah
pasti tetapi belum memuaskan, there must
be a complex one!
Belum lagi
novel-novel yang homogen, sinema yang plotnya berakhir diluar negri, kata-kata
bijak motivator menginvasi setiap lini (bahkan baju kaos), dan sebagainya, the world is going crazier than ever. Tentang
homogenisasi ini telah diperingatkan Franz Magnis S (2015) kapitalisme
kontemporer membentuk masyarakat homogen dan budaya semu hanya menjadi orang kalau kita membeli barang terakhir yang mereka lontarkan ke pasar, nir-makna, dan terlalu berfokus pada
diri sendiri. Terlalu berfokus pada diri sendiri ini misalnya pemikiran
individu yang tidak ingin berubah, keras kepala sekalipun hanya mengandalkan
nalar dan argumen acakadut ataupun justifikasi yang lemah. Terlalu otonom dalam
kekurangan.
Awal
pikir, dua hal yang mungkin menjadi landasan orang-orang yang melakukan
aktivitas Like tersebut (1) iseng dan
(2) kenyataan se desperate itu. Kalau
iseng mengapa teman dunia maya melakukannya hampir tiap hari, oleh karena itu
dugaan pertama salah/gagal – there must
be no iseng at all. Maka jatuhlah pada dugaan yang kedua bahwa kenyataan
memang menyedihkan.
Hal tersebut
diperkuat dengan informasi individu bahwa orang yang saya kenal melakukan daily like ini orang-orang yang belum
menemukan jodohnya sekalipun telah mendapatkan pekerjaan yang tergolong bagus
secara finansial (kelas menengah). Ada juga teman dari kelas pekerja yang
masalah perekonomian menjadi masalah utama percintaannya. Apakah hidup semenyedihkan
begitu seperti mitos Yunani Sisifus yang ditulis Camus? absurd! Ataukah
fenomena sosial ini hanyalah bentuk sublimasi individu untuk menguatkan dirinya
sendiri. Singkatnya, dugaan mengenai “galau” ini menguat dan sekali lagi
terjatuh pada psikologi sosial yang banal.
Setiap
risalah menemukan pembacanya. Jalan ke Gramedia untuk membaca gratis mempertemukan
pertanyaan-pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban memuaskan tersebut dengan
buku ini. Setelah membaca karya Ariel ini dugaan galau itu melemah digantikan
dengan analisa yang lebih luas “bukan galau biasa” lebih sistematis dan lebih
komprehensif serta reflektif.
Pemaparan
buku memperlihatkan fenomena adanya revitalisasi hidup gaya Islami dalam
industri kapitalis kekinian dan respon kapitalis itu sendiri. Ini adalah sebuah
proses yang berlangsung tidak hanya dalam lingkar domestik tetapi juga
dibelahan bumi lainnya (regional-internasional) seiring dengan perubahan
geopolitik dan perkembangan IT.
Meminjam dan
menyesuaikan konsep Asef Bayat, Ariel mencoba menerapkan untuk menganalisa
fenomena di Indonesia. Konsep Asef Bayat tentang “Post-Islamisme” dibangun oleh
serangkaian penelitian dan pengamatan perubahan politik dan kebudayaan di Timur
Tengah. Post-Islamisme bukan merupakan fase historis dalam pengertian mekanis
dan deterministik, bisa saja berlangsung bersamaan. Asef Bayat (dalam Ariel p.50) mencontohkan
kebangkitan bintang dakwah TV di Mesir Amr Khalid yang pada tahun 1999
menyampaikan 21 pelajaran per minggu di rumah-rumah keluarga terpandang
puncaknya 99 pelajaran pada bulan Ramadhan. Di Indonesia bintang dakwah ini
dimulai dari AA Gym dan seterusnya. Sampai-sampai kekinian ada penceramah yang
malah mirip stand up komedi dengan akting
yang mumpuni dalam sekian menit berubah dari riang ke tangis penuh air mata. Bayat
(p.53) lanjut menyebutkan bahwa di Iran, kelompok anak muda ditahan karena
memainkan musik dan membuat berisik ditempat umum. Kelompok musik underground dan rock berjaya di pesta-pesta tersembunyi. Sejumlah anak perempuan
dalam mengejar indvidualitas dan hasrat memiliki pacar kabur dari rumah –
jumlah mereka 60 ribu orang pada tahun 2002 banyak dari mereka berakhir
dikomunitas jalanan, penjara atau tempat penampungan. Untuk lebih jelas konsep Bayat
tentang Post-Islamisme yaitu sebuah kondisi dan sebuah proyek dapat dibaca
langsung dibuku ini.
Di Indonesa menurut Ariel (p.55)
status baru orang muda Muslim menemukan diri mereka sejajar dengan kelas
menengah lain diseluruh dunia dalam hal pendidikan, kecanggihan budaya,
kehormatan diri dan gengsi sembari tetap secara khusus membanggakan ketawakwaan keagamaan mereka. Ketaatan beragama ini dapat
membangkitkan berbagai macam tanggapan: perasaan unggul secara moral bagi
sebagian mereka, kerendahan hati yang penuh percaya diri dan tercerahkan, atau
sebuah sikap yang beralih-alih antara perasaan keunggulan moral dan kerendahan
hati.
Lebih lanjut generasi post-Islamisme
di Indonesia dibentuk oleh media (buku ini mengambil contoh besar yaitu
layar (sinema)). Pertempuran
sinematis terjadi film Ayat-ayat cinta (2008,
Bramantyo), Perempuan Berkalung Sorban (2009,
Bramantyo), Ketika Cinta Bertasbih. Ariel
menjelaskan pertempuran-pertempuran sinematis tersebut dengan gamblang baik
dari kapitalis produser, debat hangat seputaran fans novel maupun produk sinema
dan sebagainya. Untuk menunjukkan kontroversi dalam produksi sendiri misalnya
dengan mengutip blog Hanung Bramantyo (p.84):
“Membaca
novel Ayat-Ayat Cinta membuatku muak. Aku tidak tahan melihat karakter Fahri
yang too good to be true. Ganteng, pintar,
alim dicintai perempuan cantik secara bersamaan. Seolah begitu mudah perempuan datang
kepadanya tanpa sedikitpun Fahri aktif melakukan pendekatan. Aku tidak selesai
membaca novel itu…”
Sedikit
refleksi, novel itu begitu membahana dijamannya beberapa orang
yang mengkonsumsi novel itu berubah bentuk kepribadian dan identitas
terselimuti dengan karakter tokoh. Pernah terpikir ingin juga pergi ke Mesir
melihat keindahan alam sungai Nil, tetapi setelah dipikir-pikir, mengapa saya
mau ke Mesir? Sebagai orang yang tahu sedikit horizon konflik yang ada di Timur
Tengah, mending saya ke Enrekang menikmati alam, tenang, makan sayur tuttu' dan mandi bunyi-bunyi gigi
pagi-pagi. Orang Timur Tengah banyak yang kabur dari negaranya, mengapa saya mau
kesana? Dapat dikatakan Novel itu magis pada tahunnya. Habiburrahman El Shirazy
telah menerima bayaran dari penerbit Republika Rp.1,5 miliar dan bayaran
perbulan Rp.100 juta pada tahun 2007 (Kartanegara dalam Ariel p.83), atau
sekitar 40-50 kali lebih tinggi ketimbang rata-rata gaji bulanan seorang dosen
yang baru meraih Doktor.
Kesuksesan
itu membawa sinema-sinema lain berikutnya dalam gerbong yang sama muncul
ditahun-tahun berikutnya. Kritikus film Indonesia, Eric Sasono (dalam Ariel
p.57) mengatakan:
“Hampir
semua film yang bertema Islami pada masa pasca-Soeharto menganggap capaian pribadi sebagai perwujudan dari
ketakwaan. Capaian pribadi ini
dalam beberapa film berarti kemakmuran
ekonomi, sementara pada yang lainnya bermakna
pendidikan yang lebih tinggi. Seberapapun kuatnya ikatan kebersamaan dan
persahabatan yang menjadi latar belakang karakter-karakter dalam film tujuan
terpenting mereka adalah untuk mencapai pendidikan
yang tinggi atau menjadi kaya”
Selain layar tentunya hal lain dalam pembentukan identitas pop-populer ini yaitu novel, media sosial, aktor motivator, kurikulum (misalnya usahawan) dan sebagainya. Namun dibuku Ariel Heryanto membatasi lingkup pada media layar.
Untuk mengetahui tentang Asianisasi (gelombang K-pop) yang sedikit banyak mempenetrasi kebudayaan pop anak muda dapat langsung dibaca pada bukunya Ariel atau Chua Beng Huat (East Asian Culture, Analysing the Korean Wave,2008). Suatu gelombang budaya pop setelah J-Pop yang telah memulai sejak awal 1990an dan sekarang kehilangan daya dan pamor. Yang mengherankan fakta keras, Korea Selatan hanya berpenduduk 51,5 juta jiwa (tidak lebih banyak dari penduduk Provinsi Banten + Jawa Barat) dan luas 100 ribu km2 (tidak lebih luas dari Provinsi Kalimantan Barat) tetapi mampu menyihir banyak kawula muda melalui budaya layar.
Untuk mengetahui tentang Asianisasi (gelombang K-pop) yang sedikit banyak mempenetrasi kebudayaan pop anak muda dapat langsung dibaca pada bukunya Ariel atau Chua Beng Huat (East Asian Culture, Analysing the Korean Wave,2008). Suatu gelombang budaya pop setelah J-Pop yang telah memulai sejak awal 1990an dan sekarang kehilangan daya dan pamor. Yang mengherankan fakta keras, Korea Selatan hanya berpenduduk 51,5 juta jiwa (tidak lebih banyak dari penduduk Provinsi Banten + Jawa Barat) dan luas 100 ribu km2 (tidak lebih luas dari Provinsi Kalimantan Barat) tetapi mampu menyihir banyak kawula muda melalui budaya layar.
Galau Sejarah
Tidak lupa
juga Ariel mengantisipasi generasi yang tercabut dari akar sejarahnya. Dengan
memperlihatkan sinema digunakan sebagai alat propaganda penguasa dalam
menciptakan narasi sejarah versi resmi pemerintahan dictator Soeharto, buku ini
mengungkapkan sejarah perpolitikan dan idiologi berkuasa. Pemerintahan dictator
era Soeharto membutuhkan “hantu” yang terus menakuti sehingga kekuasaannya akan
terus terlegitimasi dan membentuk pola pikir. Seperti digunakannya saluran TV
nasional dalam pemutaran dan dikeluarkannya instruksi Negara seperti
Kep-16/KOPKAMTIB/4/1969 untuk pembentukan “Proyek film KOPKAMTIB” yang
bertanggung jawab membuat film documenter sebagai psywar (p.118). Dua film awal
yang disponsori Negara misalnya Janur Kuning (1979), Serangan Fajar (1981).
Menyusul film Penghkianatan G30 September (tontonan wajib sampai tahun 1999),
Penumpasan Sisa PKI di Blitar Selatan (operasi Trisula) (1986), Djakarta 1966 (1988).
Penjelasan mengenai kontroversi sinema membentang
dibagian isi buku ini sampai film kekinian The
act of killing (2012).
Beririsan
dengan itu, Ariel menjelaskan (p.44-45) pada tahun awal dekade 1990an Soeharto
beralih haluan secara radikal dalam strategi politiknya dengan secara aktif
mengajak kelompok-kelompok Islam dari berbagai orientasi ideologi untuk masuk
ke dalam pemerintahannya sebagai langkah darurat untuk menyelamatkan
kekuasaannya ketika gesekan dilingkar terdekatnya serta basis kekuasaannya
mencapai titik yang tidak terselamatkan lagi, serta mengancam tiga dekade
kediktatorannya. Pada dekade 1970an – 1980an rezim Soeharto melakukan
stigmatisasi terhadap kelompok Islam politis dan menindas segala bentuk
aktivisme Islam politik. Pada pertengahan dekade 1980an para perempuan pelajar
mendapatkan hukuman karena menggunakan jilbab disekolah negeri. Dua dekade
setelahnya (paska reformasi) semua berbalik baik yang berorientasi liberal
sampai ekstremis tumbuh subur dan regulasi dibeberapa provinsi mensyaratkan
pemakaian jilbab.
Komentar kecil ditujukan kepada penelitiaan Siahaan (dalam Ariel p.172) yaitu
ketika sekelompok mahasiswa (umur 20an) belum pernah mendengar pembunuhan massal
1965-1966. Ketika ditanya apakah cerita itu perlu disampaikan kepada seluruh bangsa
Indonesia, salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum menjawab “untuk apa? Jaman
Soeharto sudah berakhir.
Jawaban “untuk
apa?” ini menarik. Dari segi penelitian bisa saja data minoritas ini
sesungguhnya menggambarkan kuantitas yang lebih besar yang membentang dari Sabang
– Merauke. Harusnya ini dijawab dengan nalar yang sederhana saja “untuk apa?” yaitu
agar kita memiliki sejarah yang jelas demi jalan masa depan. Nalar sederhana
dengan cara populer bisa saja dikembangkan tidak perlu diskusi kopi dan rokok
sampai pagi ala aktivis, karena bagi mereka kebanyakan akan tidak tahan dengan
diskusi mengkrinyitkan dahi seperti itu. Generasi mereka dapat dikatakan tanpa
beban utang budi di orde Soeharto bahkan mungkin ada yang belum pernah nonton
film propaganda G30S/PKI, berbeda dengan orang yang mendapat jabatan ketika
jaman Soeharto atau hidup semasa kecil mengkonsumsi film propaganda tersebut
dan mengkristal dipikirannya. Jadi sebenarnya generasi yang berjalan mempunyai
peluang objektif dalam penilaian tetapi tidak menutup kemungkinan juga ignored.
Jika diibaratkan jaman Sukarno (tesa) - Soeharto (anti-tesa) - jaman ini/paska reformasi (sintesa). Sintesa yang sampai sekarang masih mencari dan bertarung bentuk.
Nalar
sederhana cara populer itu misalnya begini, sejauh ini kita mendapatkan dua
narasi sejarah yang berbeda, satu dari narasi sejarah bentukan Soeharto dan
satu narasi sejarah yang berada disebrangnya. Sekarang dari posisi pembunuhan
massalnya dulu ditekankan, misalnya apakah pembunuhan massal itu baik atau
buruk, benar atau salah? Tentu yang namanya pembunuhan massal apapun alasannya
tidak dapat dibenarkan. Nah sekarang, apakah pertikaian petinggi militer benar
atau salah, baik atau buruk? Penilaiannya situasional, misalkan begini intrik
petinggi militer atau dahulu dijaman kerajaan hal yang biasa terjadi. Misalnya
dibunuhnya Julio Caesar (Raja Kerajaan Romawi) sekitar tahun 44 SM oleh
konspirasi beberapa orang senat dan Brutus, apakah Brutus cs membunuhi semua
pendukung Julio Caesar sampai ke desa-desa? Tentu tidak. Untuk kasus Indonesia,
apakah benar pertikaian elit beberapa nyawa melayang dibalas dengan ratusan
ribu nyawa melayang juga? Apakah benar dan adil, tiba-tiba keluargamu didesa
dibunuh beramai-ramai hanya dikarenakan dikenakan pelabelan oleh Negara dan
menggunakan perpanjangan tangan rakyat membunuh rakyat secara massif dan
sistematis? Negara hadir melindungi rakyatnya, jika rakyat kecilnya
dibunuh-bunuh apakah Negara – pemerintah yang berkuasa itu benar dan baik?
Jawabannya tentulah tidak. Genosida tetap genosida, akan sama ceritanya dengan dictator
Polpot di Kamboja (1975-1979) atau Slobodan Milosevic (1995) yang menggelorakan
nasionalisme untuk membunuh muslim Bosnia dan lain-lain, cerita yang sama apa? Pembunuhan
massal, kejahatan kemanusiaan. Sejarah harus jelas mengakui keburukan itu
dengan dagu terangkat harus mengakui itu kejahatan kemanusiaan. Apakah benar
membela pemimpin yang melakukan itu dan mengatakan itu sesuatu yang patut
dilakukan? Secara jelas tidak. Piagam
Medinah saja yang dibuat Nabi Muhammad S.A.W (622 M) melindungi yang berbeda
agama dalam teritorialnya. Masa sudah sama warna kulit, sama bahasa, sama
agama, cuman berbeda waktu nyoblos partai atau menerima bantuan dari salah satu
parpol dibunuh secara massal, logikanya apa?
Meskipun
dalam metode sejarah terdapat fallacy apabila
menilai masa lalu menggunakan kondisi kekinian tetapi hal ini berhubungan
metode populer saja dalam menyampaikan kegenerasi yang kedepannya akan semakin “putus”.
Lalu pelabelan bahwa yang membela sejarah non-resmi berhubungan dengan
kegiatan “laten” “antek” itu lain soal (meskipun tuduhan datang bersamaan). Pertama
akui dulu bahwa pembunuhan massal itu dosa besar bangsa dan sejarah buruk
pemimpin pemerintahan yang berhasil bertahan 3 dekade setelahnya. Agar tidak
galau lagi mengenai sejarah. Kelas menengah disindir kelas menengah diharap, harapan tetap jatuh dikelas menengah dikarenakan lebih punya energi untuk mengurusi hal non ekonomi dibandingkan kelas bawah.
Taat Online
Kembali ke
masalah like, setelah mengetahui
sedikit, maka terang benderanglah “bukan galau biasa” yaitu generasi yang
mengkonsumsi budaya pop dan sedang dalam proses revitalisasi gaya hidup Islami dalam
industri kapitalis kontemporer. Dilain
sisi para kapitalis juga berespon memanfaatkan hal ini. Sehingga adagium “kita
adalah yang kita konsumsi” menjadi terbukti. Taat dalam online agaknya akan
semakin menjadi-jadi baik generasi yang baru tumbuh (digital native), generasi digital immigrant ataupun generasi yang mapan
secara ekonomi. Taat dalam online (apapun kepercayaannya) menjadi identitas dan kenikmatan disaat
bersamaan ia menjadi ekspresi kelas. Semakin bunglonlah manusia.
Oh iya,
harga buku Ariel Heryanto Rp.60.000 di Gramedia. Tentu worthy untuk dibeli dibandingkan membeli 1 pan pizza yang ujungnya
berakhir di Toilet (just kidding,
jangan terlalu serius).
Untuk yang
terakhir, teman menuliskan disalah satu media sosial “selamat siang, sudahkah
anda mengupload kata-kata bijak yang didahului kata “terkadang” “ada saatnya”
hari ini?
Tak ada nyinyir, hanya satir.
Malang 20 Maret 2016
Pk. 03:30 WIB
Buku
Ariel Heryanto, Identitas dan
Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, 2015
Chua Beng Huat (editor), East Asian
Culture: Analysing Korean Wave, 2008
Franz Magnis Suseno, Agama,
Keterbukaan dan Demokrasi: Harapan dan Tantangan, 2015
John Storey, Cultural Theory and Pop Culture: An Introduction 7th Edition, 2015
#identitasdankenikmatan
#fenomenaposislam
#gayahidupkekinian