Menanggapi fenomena kekerasan dan para komentatornya misalnya kasus kekerasan guru terhadap anak murid (contoh
Samhudi di Sidoarjo, Nurmayani di Bantaeng), penulis mencoba menyumbangkan
suatu analisis. Penulis akan mundur sedikit untuk kemudian melihat gambaran
makro.
Teori yang coba penulis gunakan disini yaitu
dari perspektif feminisme global yang menyatakan bahwa apa yang personal dan apa yang politis adalah satu, apa yang
terjadi dalam ranah pribadi mempengaruhi (dipengaruhi) oleh tatanan yang lebih
luas (Tong 2004, h.330).
Bukan kebetulan, beberapa pekan lalu penulis
sempat membuat pengantar feminisme (disini)
dan pada kesempatan kali ini penulis mencoba latihan mengaplikasikannya dalam
bentuk analisis. Sekarang marilah kita memperhatikan dengan serius gagasan
feminisme global tersebut dan kemudian membedah permasalahan di Nusantara ini.
Penulis akan mencoba “mempreteli” teori
tersebut yaitu: (1) level analisa “tatanan yang lebih luas” akan coba
diturunkan dari global ke level nasional, (2) penambahan variabel ekonomi
politik dan kekuasaan.
32 Tahun
Sebuah fakta keras tidak terbantah bahwa
sejak Supersemar dikeluarkan 1966, semua warga negara Indonesia hidup didalam
goa rezim militer. Demokrasi menjadi pseudo.
Politik elektoral yang pada umumnya disimbolkan “pesta” demokrasi dengan ciri
multi-partai pun dikebiri jika dibandingkan keramaian partai pada pemilu 1955. Disiplin
2 partai dan 1 golongan karya (mulai dari pemilu 1977) memampukan kalkulasi
militer terus berjaya dihadapan sipil karena secara suara golongan karya akan
terus memenangi pemilu (setiap PNS wajib memilih golkar).
Sukarno memimpin demokrasi dengan kharisma individual
yang secara kalkulasi politik susah disaingi. Berbeda dengan rezim Soeharto
yang mengandalkan kekerasan dan terror militer untuk mengkonstruksi kharisma
dan terutama melanggengkan kekuasaan.
Setelah sipil melemah dan kehilangan daya
kontrolnya, militer menguat. Sendi-sendi kehidupan bernegara nyaris seluruhnya bernuansa
militeristik, mengkonstruksi masyarakat maskulin sarat kekerasan. Tipe ideal/paripurna bernuansa militer mulai dari level atas (pemerintah, pejabat) sampai ke disiplin keluarga dan terus turun ke bio-politik individual misalnya citra laki-laki maskulin paripurna bercorak militer (cita-cita tentara, bela diri, bugar, berotot, berani, mengedepankan kekerasan fisik, dan sebagainya).
Kekerasan yang
dibangun selalu berdalih untuk kebaikan.
Seolah membuat diskursus umum bahwa tidak usahlah melihat proses (not process-oriented) tetapi lihatlah
hasil (result-oriented).
Dalam aras domestik/rumah tangga, kekerasan menjadi hal yang umum bukanlah aneh. Didikan keluarga dalam rezim itu mayoritas mengandalkan kekerasan alih-alih untuk kebaikan.
Dalam aras domestik/rumah tangga, kekerasan menjadi hal yang umum bukanlah aneh. Didikan keluarga dalam rezim itu mayoritas mengandalkan kekerasan alih-alih untuk kebaikan.
Budaya kekerasan terkondisikan secara struktural baik melalui layar/TV-film (lihat Wijaya Herlambang, Ariel Heryanto) maupun diberbagai ranah (pendidikan, praktik keseharian). Film G30S/PKI yang pemutarannya dimulai pada tahun 1984 merupakan puncak gunung es display kekerasan ini yang sampai merasuk ke desa-desa. Dipertontokan wajib dalam ranah domestik/rumah tangga, divulgarkan didepan anak-anak bau kencur. Mempolitisasi warna dan simbol.
Beberapa konstruksi kekerasan tersebut
semakin mensolidkan diskursus negara bahwa kekerasan semata untuk kebaikan. Publik
semakin yakin dan mempertebal kepercayaan bahwasannya kekerasan identik dengan
kebaikan dan metode penyelesaian masalah. Sehingga genosida ratusan ribu manusia Indonesia se-ras, se-bahasa,
se-rumpun hanya beda preferensi politik pada kurun 1965-1966, dan beberapa
kasus lainnya semisal DOM, penculikan aktivis dan sebagainya menjadi hal yang
dimaklumi dan dibenarkan bagi mayoritas yang mempercayai kekerasan untuk
kebaikan.
Bagi mayoritas orang akan menutup matanya terhadap
proses genosida tersebut, dan pada saat bersamaan mencari alasan kebaikan apa
yang didapatkan dari membunuh ratusan ribu teman sebangsa tersebut.
“Keutuhan NKRI” menjadi kata sakti. Ketakutan
NKRI akan bubar merupakan ketakutan artifisial yang terus didongengkan agar
membuat ilusi seolah-olah jika tidak ada pembunuhan massal maka pemerintahan atau
NKRI akan rusak. Doktrin militer ini terus ditiup menciptakan terror dalam
konteks psy-war, sesuatu yang
diperlukan oleh militer agar terus berkuasa.
Hiperbola tingkat dewa ini diyakini mayoritas
orang bahkan mengalahkan keyakinan bahwa gerakan separatisme yang telah dulu
ada (misalnya DI TII, PRRI, PERMESTA 1945-1950an) tidak lebih berbahaya,
massif, rapi dan terstruktur dibandingkan pemberontakan salah satu Partai (PKI)
di era 1965 tersebut.
Padahal jika ingin dilhat secara internal, ditingkatan
elit PKI sendiri keputusan “menyingkirkan” elit militer bukanlah konsensus
partai - aksi partai melainkan gerakan “tambahan” individual Aidit semata (lihat John
Roosa). Namun dampak gerakan tambahan orang yang jarang kalah debat ini, Aidit, melampaui titik optimal
imajinasinya. Bagi mayoritas orang, nyawa beberapa elit militer sepadan dengan
pembalasan ratusan ribu-jutaan orang yang dibunuh setelahnya. Secara matematika
inipun sulit diterima akal sehat, 7:500.000 jiwa?
Rezim Soeharto tegak diatas dosa-dosa
kekerasan genosida tersebut. Rezim otoritarian dapat terus hidup dengan membuat
khayalan-khayalan. Penting bagi mereka yang berdosa dan sedang melanggengkan
kekuasan mengkonstruksi ke militer dan sipil bahwa dosa tersebut bukanlah
sebuah dosa tetapi sebuah kebaikan. Yah, sebuah kekerasan untuk kebaikan,
kebaikan para elit berkuasa dan pihak yang diuntungkan.
Jangankan memprotes dan bersuara lantang,
menganalisa hal serupa dalam rezim otoritarian militeristik seperti itu
taruhannya nyawa. Tentu hal tersebut akan menciptakan kedamaian, kepatuhan dan
kestabilan semu yaitu membungkam narasi minor dengan teror. WNI pada rezim itu
mudah terkena cedera rahang jika berbicara kritis tentang penguasa.
Sekarang jawablah pertanyaan ini dengan
nurani “apakah benar melakukan pembunuhan?, terlebih pembunuhan massal?”. Jika
jawabannya masih “iya” berarti kita masih sakit.
Ada satu pertanyaan bagus yang ditulis pada
abad ke 16 dari Machiavelli yang dapat dikontekskan dengan rezim otoritarian
milieteristik Soeharto yakni “apakah yang
lebih baik dicintai daripada ditakuti atau ditakuti daripada dicintai?”.
Jawaban Machiavelli atas pertanyaan itu yakni tidak bisa keduanya ada secara
bersamaan atau dipersatukan. Penguasa/pangeran lebih aman untuk ditakuti
daripada dicintai (Machiavelli, The Prince hal.79). Rezim Soeharto aman dan tegak
melalui jawaban Machiavelli itu yakni ditakuti.
Contrast
Cerita Plato tentang orang yang hidup di goa
dan melihat cahaya tentu cerita yang masyur. Cahaya itu bagi penulis bukannya
sesuatu yang dinantikan dan tiba-tiba kita mengharapkan masa depan yang penuh
cahaya. Cahaya itu bagi penulis ialah sebuah kontras atas gelap dalam goa
(tentunya selain penjelasan bayangan dalam goa, realitas semu dllnya).
Tentu orang yang hidup dizaman kerajaan
Romawi tidak pernah terpikirkan akan ada bentuk negara republik berdaulat hanya
atas dasar konsensus saling mengakui (tidak dalam nuansa kekerasan) seperti
sekarang ini (perjanjian Westphalia penanda retakan). Begitu juga kasus ini, setelah sekian lama kekerasan nampak mapan
dan nyaman, zona nyaman itu terkontraskan dengan gagasan yang mempermasalahkan
kekerasan tersebut.
Setelah sekian lama kekerasan tidak
dipersoalkan dan diperlakukan lazim, tiba masanya kekerasan dipersoalkan dan
diperlakukan tidak lazim. HAM hanya menjadi pintu masuk, secara substansi ialah
diinginkannya sesuatu yang berbeda dibandingkan rezim Soeharto, suka tidak suka zaman akan bergerak menuju kemanusiaan.
Dampak dari pola domestik era rezim
otoritarian masih terasa sampai kini. Kita dikelilingi oleh orang-orang pemarah
yang lahir dari budaya kekerasan, lahir dari konstruksi masyarakat maskulin
yang diupayakan rezim otoritarian untuk menjustifikasi kekerasan-kekerasan
bentuk lainnya. Memori kolektif ini (kekerasan) susah hilang kecuali munculnya kesadaran orang-orang bahwa masa lalunya agar tidak mengganggu lagi masa kini mereka.
Informasi agama-pun yang disorot/highlight perihal kekerasan misalnya hadis
“memukul anak yang tidak solat” dengan kemudian menekan anjuran persuasif non
kekerasan lainnya. Padahal ayat pertama yaitu ajakan tentang membaca,
memperkenalkan pentingnya cinta ilmu. Adakah ajakan yang menggunakan kekerasan?
Kalau menggunakan kekerasan berarti bukan lagi suatu ajakan tapi ancaman. Adakah pemikir dan scientist masyur Islam yang mengembangkan pengetahuan bukan berbasis cinta dan haus akan ilmu?
Ketidaktenangan seperti ini membuat budaya
kekerasan tampil seolah menjadi basis pengetahuan di dunia pendidikan di
Indonesia. Jadi kita terlatih sejak orde otoritarian menerima pendidikan bukan
berdasarkan ajakan kepada rasa haus dan cinta kepada pengetahuan itu sendiri,
melainkan kekerasan berpengetahuan untuk memburu indikator nilai bagus (result oriented) sarat puja puji. Pendidikan yang tidak berfokus, semua setengah-setengah baik kognitif mapun nilai dan prilaku. Justru pada beberapa aspek proses-proses menumbuhkan kebaikan tidak dinilai penting selain hasil akhir. Presepsi keliru yaitu mempresepsikan pendidikan serupa dengan skor pertandingan bola (hasil akhir).
Akibatnya secara maskulin para pelajar ini berfisik keras tetapi loyo/lemah ketika harus berpikir dan beranalisa keras, serta pada bagian tertentu akan menghalalkan segala cara. Kita lebih sering diberi ketakutan daripada kecintaan.
Akibatnya secara maskulin para pelajar ini berfisik keras tetapi loyo/lemah ketika harus berpikir dan beranalisa keras, serta pada bagian tertentu akan menghalalkan segala cara. Kita lebih sering diberi ketakutan daripada kecintaan.
Pendidikan gaya rezim seperti itu hendak membuat
negara Sparta dibandingkan Athena.
Kembali ke judul tulisan “Kekerasan Soeharto
di Rumah” secara sederhana penyebutan Soeharto bukan sesuatu personal melainkan
konteks rezim dan sistemnya. Dan “di rumah” merupakan ranah terbawah kekerasan
termanifestasi secara individual dan keluarga yang terkondisikan dan lazim
dibawah rezim.
Kekerasan aras domestik bukanlah sesuatu
konspirasi (ada sutrada, pemain utama dll) melainkan suatu konstruksi dan praktek diskursus
dominan dimana dia hidup dan berkembang biak serta mempunyai efek menyebar dan
tahan lama, kekerasan struktural dan non-struktural, fisik maupun verbal.
Reflektif
Manusia yang lolos hidup di Indonesia dalam
perubahan rezim otoritarian ke reformasi tentulah orang yang terpilih karena
mereka merasakan kontras hadir dimana-mana (kekinian pada revolusi IT) dan
melihat perpindahan millenia. Terpilih bukan hanya itu, mereka juga lolos tes survival ketika dihadapkan dengan
serangkaian jaring kekerasan baik di rumah/keluarga, pergaulan, premanisme
jalanan, narkotika, pendidikan dan sebagainya. Tentulah lebih baik lagi ketika
mereka merefleksikan pribadinya dalam melihat fenomena sekarang tidak melalui
jalur akumulasi kemarahannya meskipun mereka banyak masalah.
Saya yakin perlakuan masa kecil orang-orang
di rezim otoritarian bukanlah sesuatu yang khusus-partikular tetapi terdapat
kekerasan yang berlaku nasional. Jadi tentu sangat lucu ketika kita
mengomentari atau berusaha menganalisa kekerasan dengan melakukan perbandingan
pribadi kemudian membuat argumen tampak maskulin seolah-olah andalah yang
paling menderita semasa kecil anda, karena kita dulunya mayoritas diperlakukan
sama!
Tentu ada shifting
yang sangat besar dari budaya kekerasan (violence-based culture) ke budaya berlandaskan cinta/lebih
persuasif (love-based culture, culture of
peace). Selain berusaha menekan ego sektoral maupun individual kita, kita
diharuskan memikirkan dan merekonfigurasi ulang kehidupan sosial yang sama sekali berbeda.
Dan tentu juga rumit ketika love-based culture kita berdirikan
sendiri tanpa menganalisa serta menyokong factor-faktor lain misalnya kemampuan
ekonomi (kebutuhan hidup), ruang berekspresi, pekerjaan, kemiskinan, keadilan, jaminan
sosial dan sebagainya. Yang kesemua komponen tersebut memampukan meredakan atau
mengurangi tekanan sosial ekonomi kepada individu sehingga secara psikologi
individu-individu menjadi sehat.
Beban dan tekanan hidup individu terkadang
berat mulai dari permasalahan perekonomian, domestic-keluarga, lingkungan dan
sebagainya. Sehingga tindakan seseorang bukan hanya terjadi karena kondisi
partikular semata misalnya seorang guru yang
tidak menyukai anak muridnya, atau anak murid yang tidak menghormati
gurunya. Tetapi ada proses tekanan yang terjadi pada orang-orang ini diberbagai ranah dan kekerasan menjadi
luapan tekanan-tekanan tersebut. Jika begitu kondisinya maka perlu untuk
mengurangi tekanan-tekanan tersebut dan menyempurnakan sosialisasi.
Saya biasanya hanya
mempertanyakan metode kekerasan, apakah memang harus metode seperti itu ataukah malah
kekurangan metode? Tidak bisakah metodenya diperhalus, diajak ngobrol dan
diberikan cinta sehingga memori jangka panjang akan lebih banyak tertimbun
cinta kasih daripada kekerasan dan kekecewaan. Saya hanya mengerti bahwa mungkin
cara mendidik seperti itu metodenya turun temurun.
Tetapi adakah suatu formula fix metode untuk mencetak manusia yang
baik dan paripurna? Koruptor hebat dulunya anak berprestasi dan sebagainya.
Artinya tidak ada jaminan sama sekali indikator keberhasilan masa sekolah
menjadi proyeksi dirinya baik. Karena ini yang dihadapi manusia tentulah
beragam bukan robot. Struktur serta ranah partikular dimana anak itu kelak berprofesi
dan sebagainya akan sangat berpengaruh pada dinamikanya.
Dengan analisa yang saya paparkan, saya
hendak melampaui pertanyaan seperti itu dengan melihat fenomena kontemporer kekerasan
merupakan efek rembesan masa lalu, kemudian berusaha untuk tidak mempartikularkannya-membahasnya
kasus per kasus.
Karena membahas kasus per kasus khusus akan menemui
cerita yang multivarian diranah berbeda pula misalnya pendidikan (sekolah,
kampus), keluarga (KDRT, verbal), kekerasan dalam berpacaran sampai kekerasan
struktur negara yang kurang memperhatikan ekonomi rakyatnya (misalnya lapangan
pekerjaan sempit dsbnya).
Yang mungkin lebih diwaspadai yaitu upaya
penggiringan opini romantisme-nostalgia otoritarian dengan memanfaatkan feed-back atas respon berita. Ditambah
lagi saat ini terlihat purnawirawan militer dilingkar eksekutif terus berakrobatik mengintervensi
sipil.
Dan perlu diingat pada era perang dingin fenomena
militer mengawal kapitalisme terbujur dari belahan barat ke timur dunia
(Amerika Latin sampai Asia Timur) membentuk crony capitalism. Dan mohon maaf disaat kapitalisme sudah
tahap lanjut, otoritarian seperti itu tidak terlalu dibutuhkan lagi. Lagian
aktor lama sudah pada kaya raya, mau nyari apalagi pak/bu? Jika saat ini mau
dijadikan salam perpisahan (sebagai penanda patahnya/berubahnya generasi),
bolehlah, tapi jangan lama-lama ya pak/bu.
Mau kembali ke goa? Mohon maaf saya pribadi
tidak mau.
Mohon maaf lahir dan batin, happy Eid 1437 H semoga generasi lahir lebih baik.
Mohon maaf lahir dan batin, happy Eid 1437 H semoga generasi lahir lebih baik.