Wacana lain tren politik, memunculkan diskursus minor "The
Others"
Di balik riuh gemuruh beberapa bulan terakhir tentang proses
politik, di balik bisingnya suara knalpot yang melahirkan polusi suara semasa
kampanye, di balik ingin muntahnya melihat propaganda parpol mengumbar kata
“rakyat” di media massa sebagai upaya menarik massa, jika dimodelkan terdapat
narasi dominan dan permukaan yang meluber. Narasi itu adalah riuh gemuruh
tentang agensi/agen. Agen yang berlomba tampil di pucuk kekuasaan eksekutif
seakan dapat mengobati Indonesia yang terluka parah ini dengan waktu singkat.
Riuh perdebatan, pro-kontra pendukung agen menjadi santapan tiap hari di semua
lini ruang publik dan menjadi dominan serta mainstream misalnya Capres X dari
partai A orangnya begini bla, bla, bla dan sebagainya. Propaganda agen ini juga
cukup lucu di media massa misalnya yang berbicara “menjadi otaknya
Indonesia…..” apakah agen ini berpikir yang lain tidak berotak, untuk selevel ketua osis atau ketua
kelompok saja tetap ada otak-otak lain yang mendeterminan. Apa mau menganggap
yang lain tidak berotak, satu saja yang berpikir di Indonesia ini (presiden)
yang lain hanya seperti mesin – pasif.
Dalam dimensi ilmu sosial persoalan Agen – Struktur merupakan
persoalan yang mainstream. Perdebatannya cukup sederhana dan berulang “apakah
agen dapat mendeterminasi, merubah struktur ataukah struktur yang
membentuk,mengkonstruksi,mendeterminasi agen ?”. Pertanyaan ini menjadi
pertanyaan basic yang selalu mengemuka dalam melihat habitat realitas sosial.
Jawabannya pun bukan sesuatu yang kaku dan tersedia dalam satu jenis jawaban
tetapi dapat terisi lebih dari satu jawaban dan kesemuanya mempunyai contoh.
Apakah agen dapat mendeterminasi-merubah struktur ? jawaban dari pertanyaan
sederhana ini yaitu “YA” banyak disediakan sejarah mulai dari perspektif
teologi- mesianik, tokoh-tokoh revolusioner, diktator dan sebagainya.
Pertanyaan kedua pun tidak kalah banyak contohnya dan inilah yang menjadi
mayoritas “apakah struktur yang mendeterminasi agen?”. jawaban “YA” dan
contohnya sangat banyak mulailah dari mengetes dari diri anda sendiri. Secara
sederhana jawaban dari kedua titik itu (agen-struktur) berpotensi
mendeterminasi bolak balik tergantung “kuat-kuatan” dalam spasio temporal dan
konteksnya masing-masing. Sejauh ia ranah sosial sejauh ia dinamis.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengulang pengulangan yang amat
banyak jumlahnya tentang ke-Agenan tersebut yang akan menduduki kursi
kepresidenan mendatang dan saya yakin anda cukup banyak mengkonsumsi
wacana itu dalam beberapa hari belakangan ini. Tulisan ini akan mengamati struktur
politiknya saja. Tulisan ini masih berada dalam lingkaran pihak yang masih mau
berdiskusi dengan demokrasi procedural melalui electoral sebagai jalan proses
evolusi/setahap demi setahap. Ditengah keringnya realitas untuk sebuah revolusi
satu dekade kebelakang dan satu dekade kedepan. Jika ada pembaca yang sudah
denial dan ignorance “fuck the system” tidak menyukai details mending tidak usah
melangkah ke paragraph selanjutnya.
Sistem politik Indonesia
Saya tidak akan melangkah terlalu jauh kebelakang dengan
romantisme pemilu 1955 di iklim parlementer, jumlah pemilih 43,1 juta jiwa,
sistem campuran proporsional tertutup dan sistem daftar, di ikuti lebih
dari 30 parpol dan lebih dari seratus perkumpulan serta calon perorangan,
memperebutkan 257 kursi DPR dan 514 kursi dewan konstituante (dua kali lipat
jumlah DPR), berbiaya Rp.480 juta dan dibawah payung hukum UU pemilu 7/1953
yang ditelurkan era kabinet Wilopo. Karena terdapat komposisi konteks tidak
terlalu tepat untuk dicaplok pada masa sekarang misalnya pada 1955 TNI-APRI
mempunyai hak memilih. Sedangkan puja-puji Barat waktu itu bukan tanpa maksud salah satunya agar kekuasaan Sukarno menjadi terbatas dan bisa tergantikan melalui demokrasi prosedural.
Batu sandungan yang cukup besar ditebalkan dalamTAP MPRS
no.25/1966 belum juga dihapus malah dikuatkan terutama orde Soeharto. Blokade TAP MPRS no.25/1966
tersebut yang diturunkan dan ditebalkan di beberapa UU sampai sekaran ini membuat kita tidak dapat
melihat spektrum balancing (left
-middleleft-middleright-far right) di parlemen seperti yang terjadi di
belahan region yang lain misalnya Eropa, Amerika Latin bahkan Jepang yang
notabene sebagai kapitalis industrialis maju saja mempunyai Nihon Kyōsan-tō atau Partai Komunis
Jepang. Diktator orde Soeharto sebagai “cacat sejarah bangsa” jelas kita tidak
perlu pelajari dengan seksama meskipun legacies masih cukup kuat
tercangkok dan mencengkram.
Dalam beberapa tahun terakhir terutama paska reformasi partisipasi
demokrasi procedural melalui partai politik terus mengalami penciutan.
Penciutan maksudnya pengurangan dalam jumlah partai politik.
UU no.2/1999 memberikan syarat pembentukan parpol (ini bisa
dilihat pada pasal 2). Syarat keikutsertaan parpol dalam pemilu termaktub dalam
UU no.3/1999 (Pasal 39) yaitu mempunyai pengurus di > 50% dari jumlah
provinsi, dan > 50% jumlah kabupaten. Ditambah lagi dengan electoral
threshold/parliamentary threshold dalam UU no.3/1999 yaitu 2% dari jumlah kursi
DPR, 3% dari jumlah DPRD I & II sebagai syarat ikut pemilu selanjutnya.
Karena pada awal keikutsertaan partai belum dikenai ambang batas
minimum parlemen dan bertepatan momentum keterbukaan-kebebasan menghela
nafasnya kembali jumlah partai politik yang ikut berkontestasi bervariasi
sangat tinggi yaitu 48 partai. Tentu seperti pernyataan sebelumnya dalam UU
tersebut tetap ditubuhkan pelarangan komunisme/marxisme/leninisme dalam
aktivitas parpol (UU no.2 pasal 16). Ini tidak mengherankan karena apparatus
penjaga idiologi berkuasa masih dominan karena revolusi premature yang gagal
justru melahirkan reformasi hanya menggeser pucuk/Agen tanpa banyak bicara
terhadap struktur. Dan pelarangan serupa hadir di UU yang lain di tahun-tahun
selanjutnya. Perspektif Marxisme masih dianggap “hantu” yang kehadirannya
disimulasikan dapat merusak idiologi Pancasila, what a joke!!.
Berjalan tahun, alih-alih perampingan parpol dan stabilisasi iklim
syarat-syarat pendirian parpol semakin diperberat. Melalui UU no.3/2002
syarat partai diharuskan mempunyai kepengurusan 50% dari jumlah provinsi, 50%
dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi tersebut dan 25% dari jumlah kecamatan
pada kabupaten/kota tersebut (lihat Pasal 2 (3)) (ketambahan kecamatan).
Misalnya sekarang (2014) yang mempunyai 34 provinsi artinya setiap partai harus
hadir di 17 provinsi (ini mirip angka rumah makan masakan Padang). Misalnya di
Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 33 kabupaten/kota parpol harus hadir
di 16-17 kabupaten/kota dan begitu seterusnya sampai kepengurusan
ranting/kecamatan.
Dari hasil pemilu 1999 dengan ambang batas minimum yang telah
ditentukan dari 48 partai kontestan pada 1999 menciut menjadi 24 parpol
kontestan pemilu 2004. Pemilu 2004 pula ajang menerapkan sistem proporsional
daftar calon terbuka (sebelumnya proporsional daftar calon tertutup
dimana pemilih hanya memilih partainya saja, anggota legislatif di urutkan
berdasarkan konsensus internal partai/closed-list system). Hal inilah
yang digadang-gadang sebagai salah satu faktor pembengkakan biaya caleg yang
akan bertarung karena litjen stelsel (pengenalan lewat
gambar) menuntut caleg (terutama caleg karbitan) harus dikenali secara banyak
dan cepat dalam dapilnya untuk meraup suara terbanyak dan gesekan sesama caleg
dalam satu partai. Pemilu 2004 juga diperkenalkan model DPD per provinsi
(mirip senator di AS) sebuah model sistem distrik berwakil banyak.
Sistem pemilu sendiri berdasarkan besaran daerah pemilihan terbagi
dua yaitu distrik (single-member constituency) satu kursi pada satu
daerah dan proporsional (multi-member constituency) lebih dari satu
kursi pada satu daerah. Berdasarkan pencalonan terbagi dua yaitu daftar
tertutup/closed-list system dan daftar terbuka/open-list
system.
UU No.12/2003 syarat parpol peserta pemilu ditambahkan mempunyai
pengurus 2/3 (67%) dari seluruh provinsi, 2/3 dari jumlah kabupaten/kota,
memiliki anggota minimal 1.000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk dari
setiap kepengurusan kabupaten/kota (pasal 7). PT (Parliamentary Threshold)
untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya (pemilu 2009) minmal 3% dari jumlah
kursi DPR dan 4% jumlah kursi DPRD Provinsi dan Kota.
Kemudian untuk partisipasi perempuan ditubuhkan pada UU no.2/2008
kuota sebesar 30% dalam termin emansipasi gender (suatu pandangan gender
liberal). Hal ini menjadi pintu masuknya banyaknya ibu-ibu pengusaha atau
istri-istri pejabat yang kulitnya takut kena matahari sekonyong-konyong bicara
politik dan rakyat. Tapi kita skip hal ini karena OOT dari
tujuan penulisan lebih krusial dan substansial lagi tidak penting membahas kelucuan
mereka. Dalam UU ini dosis pembentukan partai yaitu batas minimum kepengurusan
60% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi
dan 25% dari jumlah kecamatan pada kabupaten kota (Pasal 3 poin d). Ini berarti
dari 34 provinsi yang ada sekarang minimal hadir di 20-21 provinsi. Parpol
kontestan pada pemilu 2009 juga menciut diperbandingkan dengan pemilu 1999
menjadi 34 parpol tetapi naik 10 parpol dari pemilu sebelumnya.
Mengapa jumlah parpol naik dari pemilu sebelumnya?. Dalam UU
no.10/2008 disebutkan untuk PT minimum 2,5% jumlah kursi DPR (pasal 202).
Tetapi yang menjadi hal penjelas naiknya jumlah parpol adalah salah satunya
peraturan mengendur (tentunya bukan sukarela melainkan melalui serial tekanan
politik) untuk memperbolehkan parpol yang memiliki kursi di DPR hasil
pemilu 2004 untuk ikut dalam pemilu selanjutnya (pasal 316).
Berjalan tahun berjalan kegilaan menjadi-jadi (alih-alih
perampingan, sistem multipartai sederhana dan stabilisasi tatanan agar
kondusif). Melalui UU no.12/2011 sebagai revisi UU no.2/2008 dosis
semakin dinaikkan. Kepengurusan harus hadir 100% dari jumlah provinsi,
minimum 75% dari jumlah kabupaten/kota dan 50% dari jumlah kecamatan pada
kabupaten/kota (Pasal 3). Ambang batas parlemen/PT pun naik 3,5% dari suara sah
nasional untuk diikutkan dalam perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi dan
Kabupaten/kota tercantum dalam UU No.8/2012 pasal 208. Pada Agustus 2012 MK
mengabulkan permohonan 22 parpol terkait judicial review dan memutuskan PT 3,5%
hanya untuk DPR. Akhirnya seperti sekarang ini hanya 12 parpol yang lolos
verifikasi administrasi dan faktual dimana partai-partai yang tidak lolos
memilih bergabung dengan partai besar yang lolos seperti sekitar 10 partai yang
bergabung ke Hanura dan sebagainya. Dan 2019 digadang-gadang serentak dimana partai harus betul memasang pasangan Capres yang kuat dikarenakan sulitnya kalkulasi suara berbasis pileg.
Kepengurusan parpol (Pemilu: % Provinsi)
1999 : >50%
2004 : 67%,
2009 : 60%,
2014 : 100%
PT % DPR
1999 :
2004 : 2%
2009 : 2,5%
2014 : 3,5%
Modelling
Jika kita melihat perkembangan dari tahun pemilu tersebut maka
dapat dimodelkan asumsi yang dikembangkan sebagai berikut :
1. Kerumitan yang dihindari. Banyaknya partai politik diasumsikan
memberikan sejumlah kerumitan akibatnya para penggodok kebijakan menaikkan
narasi adanya jumlah parpol ideal. Jumlah ideal tersebut terjadi dalam jumlah
parpol yang tidak terlalu banyak. Kebijakan PT dapat dilihat dalam kerangka
ini. Parpol semakin disaring dan mengarahkan parpol untuk berkoalisi dengan
partai yang lebih besar akibat ketidakmampuan mereka berkompetisi.
2. Partai politik harus bermodel nasional.
Sistem politik di region lain
Memperbandingkan dengan negara-negara di Eropa mempunyai beberapa
kelemahan komposisi. Pertama, historitas mereka tentang proses politik dalam
demokrasi terbilang ditempa dalam perjalanan waktu yang cukup lama (old
continent of democracy). Kedua, dari ranah ide/konseptual kesemuanya
bertarung dengan cukup bebas, pemikir-pemikir top dunia dalam berbagai disiplin
ilmu berdomain disana. Ketika, kesejarahan tentang perang dan kontestasi
lainnya (misalnya awal industrialisasi/ekonomi politik ataupun kondisi sosial-budaya,behavior)
mendeterminasi pembuatan model politik yang lebih adaptif. Ke-empat, perbedaan
sistem (federalisme,monarki konstitusional, parlementer dan sebagainya) dan
komposisi populasi. Tetapi terlepas dari ketidakseimbangan komposisi komparatif
itu kiranya proses dan sistem politik mereka dapat dipelajari untuk sebuah
proses yang belum final dan dalam proses menjadi di Indonesia.
Berikut ini data Josep M. Colomer tentang sistem electoral dan
parlementer (2008:10-11).
Table 1.2 Electoral rules for the lower or first chamber
Country
Seats Formula
Magnitude
Ballot
Threshold (%)
Austria
251 proportional
42
open list
4
Belgium
212 proportional
15
open
list
–
Bulgaria
240 proportional
240
closed
list
4
Cyprus
59 proportional
9
closed list
1.8
Czech Republic 200 proportional
8
open list
5
Denmark
175 proportional
12
open
list
2
Estonia
101 proportional
9
open list
5
Finland
200 proportional
14
open list
–
France
555 majority
1 two single ballots
12.5 runoff
Germany 656
proportional
656 two votes: list and single
5
Greece
300
proportional+bonus 5
open list
3
Hungary 386
mixed: proportional 10
closed list
–
majority/plurality
1
single
5
Iceland
63 proportional
33
closed list
–
Ireland
166 proportional
4 transferable
preferential –
Italy
630 proportional+bonus
24
closed
list
2
Latvia
100 proportional
20
open list
5
Lithuania 141
mixed:
plurality 1
single
–
proportional
70
open list
–
Luxembourg 60
proportional
15
open, cumulative
–
Malta
65
proportional+bonus
5 transferable
preferential –
Netherlands 150
proportional
150
open list
0.67
Norway 169
proportional
9
open list
4
Poland
460
proportional
11
closed list
5
Portugal 247
proportional
11
closed list
–
Romania 346
proportional
8
closed
list
3
Slovakia 150
proportional
38
open list
5
Slovenia 90
proportional
6
open list
4
Spain
350 proportional
7
closed
list
3
Sweden 349
proportional
12
open list
4
Switzerland 200
proportional
8
open, cumulative –
United Kingdom 646 plurality
1
single
–
Jika data Indonesia dimasukkan pada daftar tersebut,
Indonesia
560 proportional
plular 7[1]
Open
list 3.5
(Magnitude: rata-rata jumlah kursi/distrik)
Table 1.3 Parliament and President
Country
Parliament
President
Austria
weak bicameral
elected
Belgium
weak bicameral
monarchy
Bulgaria
unicameral
elected, executive
Cyprus
unicameral
elected, executive
Czech Republic
weak bicameral
parliament
Denmark
unicameral
monarchy
Estonia
unicameral
elected
Finland
unicameral
elected
France
weak
bicameral
elected, executive
Germany
strong bicameral
parliament
Greece
unicameral
parliament
Hungary
unicameral
parliament
Iceland
unicameral
elected
Ireland
weak bicameral
elected
Italy
strong bicameral
parliament
Latvia
unicameral
parliament
Lithuania
unicameral
elected, executive
Luxembourg
unicameral
monarchy
Malta
unicameral
parliament
Netherlands
weak bicameral
monarchy
Norway
unicameral
monarchy
Poland
weak bicameral
elected, executive
Portugal
unicameral
elected
Romania
weak bicameral
elected
Slovakia
unicameral
elected
Slovenia
unicameral
elected
Spain
weak bicameral
monarchy
Sweden
unicameral
monarchy
Switzerland
strong
bicameral
parliament
United Kingdom weak
bicameral
monarchy
Jika Indonesia ditambahkan
Indonesia
Bicameral
Elected, executive
Dari tabel itu ternyata tidak semua menerapkan PT misalnya Belgia,
Finlandia, Hungaria, Iceland, Ireland, Lithuania, Luxemburg, Malta,Portugal,
Swiss, UK. Jadi untuk penerapan PT skala tertinggi 5 skala terendah 0,6 dan
yang tidak menerapkan PT mendapat contohnya masing-masing.
Yang menjadi titik bahas saya disini bukan oleh dinamisasi PT
tetapi substansi dari kualitas partisipasi membentuk partai politik yang
mewarnai spektrumnya. Secara vivid partai-partai di Eropa
diberikan kelonggoran untuk tumbuh berdasarkan warna dan segmentasinya
masing-masing dan berposisi idiologis yang jelas. Partai-partai tidak besar
ini/minor atau tersegmentasi tersebut kali ini kita namakan niche partai. Hal tersebut
untuk komparasi tentang eksistensi partai politik
Misalnya di Belanda, sekelompok masyarakat yang perduli/konsen
terhadap sesuatu issu (apapun itu) dapat membuat partai politik. Misalnya
partai yang konsen dengan hak-hak hewan/perlindungan satwa membentuk PvdD
(Party for the Animals). Yang konsen terhadap isu -isu etik misalnya pelarangan
aborsi, gay dan sebagainya membentuk partai konservatif berbasis agama,
misalnya Persatuan Kristen/Christian Union, SGP (reformed political party
- Christian-right). Para pensiunan membentuk partai 50+ (pensioner's party).
Dan banyak pula partai yang tidak terepresentasikan di parlemen
tetapi tetap eksis, misalnya CCDP, the greens, International Socialist, Islam
democrats, LibDem, Libertarian Party, New Communist party of Netherlands, Party
of the future, Party for the north, dll. Dan banyak pula partai yang telah
ditutup sebagai partai. Di belanda ini jika sekelompok masyarakat konsen
terhadap satu isu bersama misalnya saluran air kota, pertamanan dll jika mereka
telah mencukupkan diri dapat membuat niche partai. Partai besar/mayoritas di Belanda
ini ada VVD - liberal konservatif - tengah - kanan, dan partai buruh/PvDA -
kiri-tengah.
Mengenai sistem politik di belanda-untuk pemerintahan monarki
konstitusional. Raja/Ratu tidak mempunyai kekuatan riil politik tetapi menjadi
simbol kenegaraan/kepala negara. Untuk parlemen bermodel bikameral/dua kamar-
lower house/Tweede Kamer dengan pemilihan empat tahun sekali memperebutkan 150
kursi. Senate/Eerste Kamer-First chamber75 anggota dengan fungsi menerima dan
menolak hukum/UU tanpa ada hak mengamandemen. Bersama-sama first and Second
chamber mengangkat Staten Generaal/Estates-General.
Pemimpin eksekutif berupa PM (perdana menteri) tidak dipilih
langsung, biasanya berasal dari parpol yang mempunyai kursi dominan di parlemen
atau koalisi beberapa partai di parlemen. Sekarang yang menjadi PM adalah Mark
Rutte dari partai liberal VVD / Volkspartij voor Vrijheid en Democratie/The
people's Party for freedom and demokrasi yang konsen isu-isu liberal seperti
liberalisme pasar, kebebasan individu, persaingan bebas dll. Walaupun sejak
1815 Belanda telah menjadi kerajaan berundang-undang/monarki konstitusional dan
multi partai tetapi sejak tahun 1918 tidak ada satupun partai yang mampu
merebut kursi mayoritas / lebih dari separuh kursi parlemen.
Misalnya lagi di German, negara yang menyebabkan perubahan
konstalasi besar-besaran di Eropa dan di dunia ini (Perang Dunia II) secara
sekilas pra dan pos-perang dunia bercirikan multi-partai. Kita tidak
membicarakan dinamisasi per periode (German split dan reunifikasi), tetapi
dalam strateginya kesempatan yang terbuka bagi partai-partai niche - minor
untuk tumbuh tetap terbuka. Seperti partai niche Liga Petani Bavarian/ Bavarian
Peasant League sebuah partai yang berbasis agrikultur (1870-1933).
Seperti partai hijau/Green Party yang terbentuk sekitar tahun
1970an di daerah German Barat baru berhasil menempatkan orangnya di jajaran
gubernur negara bagian pada tahun 2011 atau berproses sekitar >40 tahun.
Winfried Kretschmann terpilih di salah satu negara bagian terkaya di German
yaitu baden-Würrtemberg (selatan barat daya German-ibukota Stuggart) yang
notabene basis kubu terkuat partai konservatif.
Awal munculnya di pucuk partai Hijau masuk dalam
koalisi pemerintahan dengan partai sosial demokrat (red-green coalition) pada tahun 1998. Kala itu strategi pasifis
(menolak kekerasan,perang dsbnya) yang biasanya menubuh pada partai hijau
mengalami patahan dengan ikut mendukung pemboman NATO di Kosovo 1999 karena
penilian konteks Serbia akan melakukan genocida terhadap etnis Albania di
Kosovo. Jika melihat dari sudut padang realis konteks mendeterminasi agen dalam
upaya membuat otoritas disituasi anarki.
Tokoh partai Hijau yang kental dan berpengaruh waktu itu Joschka Fischer yang kala
itu di pemerintahan menjabat menteri luar negeri era Chancelor Gerhard Schorder
(partai SPD) yang mengalahkan Helmut Kohl. Fischer yang
merupakan tokoh populis mengangkat citra partai Hijau di daerah kelahirannya di
Baden-Wurrtemberg sebagai salah satu variabel penjelas kemenangan partai Hijau
di kandang konservatif atau daya agen mendinamisasi elektabilitas.
Baiknya kita melihat gambar yang disediakan Jae-Jae Spoon (2011:4)
mengenai niche partai di parlemen di berbagai negara di Eropa
Jika dilihat gambar tersebut partai-partai niche bertarung
regional. Perolehan kursi mereka di regional hanya 0.02% share. Partai kecil
bersegmentasi paling banter mendapatkan 1-2 kursi. Jae-Jae Spoon yang
menganilisis beberapa partai niche di Eropa mengatakan strategi survival partai
niche ini adalah fokus kepada kelokalan dan menargetkan nasional seperti partai
hijau di UK dalam merepresentasikan dirinya di Westminster. Partai
Hijau cukup fleksibel untuk mendapatkan perhatian kalangan
pelajar/terpelajar misalnya target potensial voters di
kota Norwich pelajar berkomposisi 13,6% dan penetrasi partai Hijau juga
terdapat di kota Oxfordshire (2011:79,93,99). Okelah, sampai disini kita
cukupkan contoh-contohnya.
Kembali ke Indonesia, inventing new model
Data Jae-Jae Spoon menunjukkan secara empiris tidak ada alasan
bagi partai besar untuk takut munculnya partai-partai niche berbasis regional.
Dan oleh karenanya partai-partai besar yang akan memasuki parlemen pusat
idealnya tidak menghambat dengan legislasi yang mereka buat untuk tumbuhnya
partai-partai segmented berbasis kelokalan ini.
Tetapi mengapa di Indonesia terjadi sebaliknya. Saya tidak akan terlalu sibuk
mempersoalkan PT (Parliamentary Threshold) seperti kebisingan opini pada
umumnya.
Jika kita memodelkan perkembangan satu dekade lebih terakhir yaitu
perkembangan asumsi dari gagasan perampingan dan pengkerucutan parpol melalui
sejumlah aturan. Stabilsasi proses politik di asumsikan jumlah tidak
terlalu banyak menjadi ideal. Atau sebaliknya semakin banyak parpol semakin tidak
stabil. Yang saya pikirkan bisa saja dua dekade kedepan partai-partai semakin
mengkerucut di jumlah parpol tidak lebih dari 5, 3 bahkan 2 ala Amerika
Serikat. Dalam sistem sekarang ini partai-partai kecil mau-tidak mau
dipaksa untuk berkoalisi atau sama dengan menyerahkan kepentingan mereka untuk
kepentingan yang lebih bervariasi dan saling tarik menarik.
Gagasan ini dapat kita balikkan untuk mengetesnya, apakah dengan
sedikit partai akan lebih stabil ? Apakah anda akan mengulang model otoriter
Soeharto yang mengutamakan kestabilan daripada partisipasi politik yang
diamanatkan UUD 1945 ?. Jika mereka menganggap banyak partai potensial
memunculkan ketidakstabilan maka hal yang sama kita dapat menyatakan tidak ada
jaminan sedikit partai akan memunculkan demokrasi berkualitas, kestabilan
jangka panjang dan agenda perbaikan bangsa lebih cepat terealisasi.
Gagasan saya disini dapat di-ilustrasikan sebagai berikut dengan
berpegang pada kekhususan geopolitik Indonesia sebagai Archipelagic
terbesar. Geografis yang “lain” daripada yang lain ini membuat karakteristik
sendiri Indonesia yang membutuhkan kekhususan pembahasan. Jalur dan
permsalahan yang jauh dan menyebar membuat keunikannya sendiri
mengharuskan kita untuk menemukan model yang baik dan manusiawi.
Jika suatu komunitas masyarakat menghadapi persoalan yang
sama maka seyogyanya mereka dapat membuat perkumpulan sebagai embrio partai.
Misalnya komunitas petani agrikultur Sulawesi Selatan yang mendapatkan
ketidakadilan membuat suatu partai tentunya dengan syarat misalnya jumlah
keanggotaan 500 orang (syarat yang tidak memberatkan). Jadi partai segmented ini berasal dari bawah/basis/ akar
rumput untuk merepresntasikan dirinya dan masalahnya. Organisasi politik
partikular ini pasti terdapat persoalan universal di dalamnya. Universalisme dalam
partikularisme. Misalnya penyempitan lahan, deforestasi dan sebagainya. Jika di
dalamnya telah ada persoalan universal pastilah ada persoalan nasional.
Misalnya petani di daerah Papua, Jawa, Sumatera dll merasakan hal yang sama, maka mereka dapat menumbuhkan komunikasi dalam jejaring dalam membuat kerjasama yang polanya bottom-up dan akhirnya organisasi petani dalam bentuk embrio maupun yang telah menjadi partai dapat berkecambah di daerah-daerah. Memulai dari daerah mengepung ibukota.
Bukan suatu partai petani yang membutuhkan modal besar bermula di
Jakarta dan berjejaring di daerah-daerah. Kemunculan partai pola top-down membutuhkan
alat partai yang perlu disokong modal dan memunculkan elit oligarki sehingga
berpotensi menjadi partai borjuis seperti pada umumnya.
Ketika partai-partai niche ini belum (ingat:
belum) mampu berjejaring nasional tapi paling tidak mereka dapat berkontestasi
regional dan mendudukkan perwakilan mereka di level pemerintahan kabupaten/kota
atau provinsi dan tidak pula berkoalisi dengan partai lebih besar lainnya hanya
karena kalah suara. Eksistensi yang nampak di permukaan sudah merupakan salah satu
nilai lebih. Dalam sistem ini saya membayangkan All politics is
local / semua politik adalah lokal. Lokalisasi politik untuk
mendapatkan orang-orang yang duduk di kursi lebih dekat dengan permasalahan
basis dan bukan orang caplokan bersumberkan etno sentiment, modal, ketenaran
dan sebagainya.
Pertanyaan sanggahan atas model ini dapat berbentuk, apakah mereka
yang punya kasus partikular misalnya petani dan nelayan tidak mengadu saja pada
partai yang sudah ada tanpa harus membentuk partai lagi ?. Jawaban atas
sanggahan ini adalah meskipun organ-organ partai dan sayap partai ada yang
mengadvokasi atau membidangi (misalnya buruh, miskin kota dll) tetapi untuk
masuk dan permasalahannya di perjuangkan oleh wakilnya cukup sulit dan berliku.
Mengingat banyak kepentingan yang dibawa seorang wakil dan kerja advokasi
melalui jalur parlemen (kota/kabupaten/provinsi) untuk sebuah kasus partikular
akan menemui hambatannya. Apakah lebih cocok sistem negara bagian ? tidak juga
ini masih dapat dibungkus dalam desentralisasi yang lebih luas menyangkut
kesiapan daerah menghadapi maslahnya masing-masing. Memperpendek rantai
penangangan.
Kesimpulan
Gagasan inti dari hal-hal ini adalah memunculkan liyan/the
other/ yang lain dari struktur politik sehingga pembicaraan lebih plural
membahas substansi dan kualitas sehingga tidak terkungkung pada kekakuan sistem
selama ini yang menyerah pada kerumitan dan menujukan kepraksisan. Ketika
teknis mengalahkan kualitas dan substansi maka ia berada pada
lingkaran-lingkaran yang memberi batasan pada dirinya untuk berdiam diri dan
berputar-putar. Gagasan ini hendak membasahi kekeringan imajinasi tentang
struktur dalam perpolitikan demokrasi electoral dan pro-marjinal-minoritas dalam sistem yang tengah menjadi/becoming di negeri ini. Bukankah orang-orang/penduduk yang hidup di wilayah dan rentang waktu Imperium Roma (Senatus populusque Romanus / senat dan rakyat Roma) yang eksis > 4 abad kering imajinasi bahkan void bahwa suatu hari nanti ada model negara seperti sekarang ?. Toh sekarang bentuk negara semacam Indonesia ini eksis, yang umur demokrasi elektoralnya belum genap se-abad. Sejauh ia ranah sosial sejauh ia dinamis.
Preposisi logis yang dibangun bukan silogisme melainkan tautologi. Tautologi merupakan preposisi majemuk yang mempunyai kebenaran di semua kemungkinan. Misalnya untuk hak partisipasi politik yang lebih luas (x1), berorganisasi membentuk parpol (x2), representasi yang lebih dekat (x3)...tiga elemen tersebut merupakan keanggotaan dari himpunan substansi demokrasi prosedural melalui elektoral (C) disimbolkan x1,x2,x3 ∈ C. C merupakan tujuan maupun hasil-hasil yang diharapkan, umum dan "benar". Model top-down yang seperti sekarang disimbolkan A, model bottom-up yang memunculkan partai niche di regional/provinsi dinotasikan B.
A premis, B premis, C kesimpulan/tujuan maka tautologi nya yaitu ( A ∧ B ) ∨ ( A ∨ B) ⇒ C. Ketika di gabungkan, x1,x2,x3 ∈ C, ( A ∧ B ) ∨ ( A ∨ B) ⇒ C. Jadi kemunculan/eksistensi dan bertarungnya parpol dalam model bottom-up mempunyai nilai kebenaran yang sama dengan yang struktur mainstream.
Sedangkan potret dalam tulisan ini
model top-down yang determinan membuat partai menjadi borjuis
dan asalinya borjuis dilihat seperti optik kamera obscura dengan
proyeksi terbalik bottom-up sehingga inisiasi politik berupa
partai tidak hanya menjadi kendaraan tetapi ruang hidup basis dan berakar
disana. Sekalipun ia berkecambah menjadi nasional (mempunyai organic di
beberapa wilayah) ia tumbuh menjadi pohon yang kuat tanpa berpegang teguh dan
mendasari dirinya pada kekuatan kapital. Potret terbalik yang ingin mengeliminasi struktur yang menyebabkan parpol menjadi Survival of the Fittest melainkan mengadvokasi existence dikarenakan eksisnya masalah.
Memampukan partai muncul di level kabupaten/kota dan provinsi tanpa harus bertarung di parlemen pusat. Semakin bervariasi parpol dan semakin
jelas dan tegas idiologi yang dianut semakin baik hasil politik. Sehingga
termin pelacur politik yaitu aktivis yang “dipaksa” "terpaksa" masuk
kepartai besar dapat dikurangi porsi pembahasannya, pembahasan agen yang
terlalu dilebihkan menutup pembahasan struktur dan aturan main itu sendiri.
Saran tulisan ini yaitu membuka kesempatan sebesar-besarnya kepada
partai-partai niche untuk tumbuh berdasarkan segmentasinya
masing-masing. Oleh karenya legislasi pengkerdilan parpol harus di eleminasi
termasuk PT. Jika mengikuti logika murni liberal apa yang disebut
kompetisi bebas. Oleh karenanya aturan yang menghambat munculnya warna-warni
spektrum politik lebih plural diharuskan diperkecil. Termasuk dan terutama
menghapuskan peraturan diskiriminatif TAP MPRS 25/1966 sehingga partai
memunculkan idiologinya dengan jelas dan akhirnya memunculkan spektrum balancing (far
left- center left – green left – center right – right-far right) sehingga
semuanya menjadi jelas dan terang. Tetapi tidak melulu partai hijau ingin
dikategorisasi dikotomi kanan – kiri misalnya Partai Hijau Inggris dan Wales
(Lihat Jae-Jae Spoon Hal.52).
Tidak melulu di jalur aman abu-abu dimana semua berteriak
Nasionalisme. Jika ingin mengelompokkan partai besar yang ikut berkontestasi
sekaran ini (pemilu 2014) berdasarkan propaganda masing-masing yaitu PDIP, (center-left/kiri tengah), Golkar, Demokrat, PAN,
Hanura (center-right), PKB, PPP, PKS (right), Gerindra, Nasdem (saya bingung mereka dimana).
.
Ajaran Marxisme tentang determinasi ekonomi (eksploitasi
kapitalis) yang selalu dinarasikan akan mengganggu idiologi Pancasila sudah
lagu usang yang anasirnya dibuang jauh-jauh. Agar agen-agen politik bisa
menunjukkan tempat ia berdiri dengan jelas/tidak multi tafsir. Sejauh partai
politik beridiologi dan berkompetisi melalui program kerja pendidikan dan
kesadaran politik masyarakat yang lebih jauh, plular dan dalam, partisipasi aktif dapat terwujud. Dalam sistem ini akan mengkonstruksi
masyarakat yang tidak mudah percaya dan oleh karenanya tidak mudah diperdaya.
Sistem ini menolak perampingan partai yang trajektori ujungnya akan membuat
partai tidak lebih dari 10, 5, 3 bahkan 2 ala Amerika Serikat mengulang/reverse otoritarian
Soeharto.
Yang kedua, Partai tidak harus menasional. Partai bisa tumbuh
regional dan berkontestasi regional berdasarkan isu yang menjadi konsen
mereka. Sehingga agen-agen yang bergerak dalam domain tersebut dapat
memperjuangkannya degan rantai yang lebih pendek dan posisi yang lebih jelas.
Jadi secara teknis bisa saja satu provinsi memiliki partai dan nama caleg
tambahan oleh karenanya surat suara diproduksi lokal. Hal ini bagian dari power substansi
desentralisasi. Substansi partisipasi dan representasi politik harus lebih di
utamakan daripada keluhan teknis. Dan para agen partai niche ini
tidak membayangkan dalam waktu cepat tetapi prosesnya memakan waktu cukup
bertahap.
Besok 9 April 2014 adalah pemilihan calon anggota legislative.
Mereka yang membuat legislasi. Sangat saya sayangkan sejauh mata saja surfing
di wacana-wacana politik tidak satupun yang mengangkat diskursus lain ini
kepermukaan. Mayoritas mengenai kepribadian, rekam jejak dan sebagainya seorang
dan sekumpulan agen. Gersang, bising dan membosankan. Evolusi akan lebih lama
daripada yang seharusnya bisa diakselerasi.
Sumber Kutipan & Bacaan
Joseph M. Colomer (Ed.),Comparative European Coalition, 3rd edition,Routledge:
New York,2008.
Jae-Jae Spoon, Political Survival of Small Parties in
Europe, The University of Michigan Press,2011
Jungug Choi, District Magnitude, Social Diversity, and
Indonesia's Parliamentary Party System from 1999
to 2009, Asian Survey, Vol. 50, No. 4 (July/August 2010), pp.663-683.
Charles Lees, Party Politics in Germany: Comparative
politics approach, Palgrave: New York, 2005.
Penulis adalah pengamat demokrasi pemula,
penstudi Ilmu Hubungan Internasional
field of interest : Ekonomi politik Internasional, Energi Industri,
Teori HI, komparatif politik, fokus kawasan : Eropa Timur, Eurasia, Amerika
Latin
Jogja : 8 April 2013
[1] Jungug Choi, District Magnitude,
Social Diversity, and Indonesia's Parliamentary Party System from 1999
to 2009, Asian Survey, Vol. 50, No. 4 (July/August
2010), pp. 663-683,hal.672. Karena jumlah daerah perwakilan majemuk pada pemilu
2014 sama dengan 2009 yaitu 77 maka hasil perhitungan Jung Choi masih layak
dipakai. Choi berpendapat hukum Duverger masih valid yang memprediksi hubungan
multi-partai dalam sistem Proportional Representation dengan menghitung
rata-rata range/kisaran jumlah efektif parpol di setiap level
distrik dari 4,4 sampai 8,5.