Posisi duduk tak pernah terdesain
Semua terletak sesuai tanda alam dan jaman
Seperti nelayan yang melihat bulan
Diantara begitu banyak sorotan
Matamu menangkap aku dan akupun demikian
Mungkin kita memang ceroboh
Menawarkan pandangan dengan leluasa
Seperti kayu yang siap patah
Kita mencoba untuk merasa
Menit berjalan menit hal berulang
Meskipun matamu berspekulasi
Melihat kesana kemari
Tetapi pada titik tertentu, kita tetap menatap bersilang
Otak kita bereaksi
Memikirkan mimipi-mimpi
Adegan demi adegan selanjutnya
Yang penuh dengan kemungkinan ataupun nestapa
Tiba saat kau mesti patuh
Pada konsensus beranjak yang ditentukan teman,
Yang tak dapat kau cegah
Hanya interupsi kecil dalam hati yang terpendam
Tersadar kebahagiaan ini akan berlalu
Kau tetap menyisipkan pandangan
Disela-sela kesibukanmu meladeni pandangan temanmu dan membereskan segala sesuatu
Curi mencuri pandangan ini berseni
Ia bisa memaku lebih dalam ketimbang cinta pertama bersemi
Tak butuh penjelasan logis atas kejadian ini
Kita hanya menikmati
Adegan yang terbangun semenjak tadi
Tiba tiba mati suri
Kaku dan tak berisi
Kau dan aku memilih untuk menjadi pengecut,
Tak berani melangkah melangkahi batas
Menganggap hal ini adalah spekulasi
Dan bunga realitas
Kau berlalu dengan tertunduk,
Coba meyakinkan dirimu ini adalah ilusi
Mimpi yang harus kau singkirkan
Dan kembali normal
Ketakutan akan kemungkinan membuat kita tetap tak kemana,
Padahal kau tahu, telah kugantungkan asa
Semenjak pertama kita bertemu mata
Dikepalaku dan kuyakin juga dikepalamu,
Pandangan pertama begitu gembira
Layaknya gemuruh suara penonton konser ketika sang artis naik panggung,
Kini beralih kesuara staf kebersihan ketika konser telah usai
Hening,
Olive chicken, Jogja 27/4/2016
Este blog: " la participación de Conscientizaco contra la construcción social " Hati-hati ilusi - delusi ....
Adillah Sejak Dari Soundsystem!
Bertumbuh secara fisiologis, biologis dan
psikologis dalam ruang bernama Makassar era 80an akhir – 90an – awal 2000an,
sejak kecil saya terbiasa mendengarkan bunyi-bunyian yang keras dan memekakkan
telinga. Bunyi-bunyi itu baik berasal dari nyanyian pemuda lorong naas harapan,
pertengkaran, ketawa, perkelahian maupun dari seni pertunjukan. Seni
pertunjukan rakyat itu misalnya layar tancap, konser, bazar-festival musik dan
orkes dangdut.
Dimasa teknologi informasi belum mendikte
manusia itu (1990an), pengalaman melihat dan mendengar langsung merupakan
andalan dalam aktivitas sehari-hari. Orkes dangdut yang biasanya ramai pada
penghujung minggu (bisa terjadi serentak 2-3 tempat bersamaan) merupakan
hiburan tiada tara baik untuk kami para anak-anak, pemuda maupun orang tua.
Dimasa menulis surat (surat menyurat)
merupakan media komunikasi privat 2 insan, Orkes dangdut menjadi ruang sosial
tempat mengekspresikan segala sesuatunya sekaligus tempat produksi erotisme
kelas bawah. Beberapa orang menikmati liukan biduan dengan menelan ludah dan tidak
sedikit kreativitas penonton akan berusaha menonton dari bawah panggung dengan
pandangan kecil menembus celah-celah papan dengan resiko tersengat listrik yang
biasanya daya listrik didapatkan dari menyambung langsung dari tiangnya,
bayangkan betapa besarnya resiko daya sengatnya dibandingkan keuntungan melihat
paha!
Kami yang tumbuh dengan suasana seperti itu
tidak menganggap pertunjukan seni orkes dangdut hanya persoalan gembira ria
semata (momen bagi para pemabuk dan bagi para tukang yang baru menerima upah di
hari sabtu) tetapi juga sebagai ruang aktualitas. Ruang aktualitas itu kami
dapatkan biasanya pada saat rehat pemain orkes sekitar jam 10 malam.
Dijeda waktu itu, beberapa pemuda yang sedikit
bisa memainkan alat musik dan bernyanyi ala kadarnya (biasanya) diberi
kesempatan untuk mengisi kekosongan itu. Kesempatan ruang aktualitas dan
ekspresi yang tidak didapatkan sehari-hari itu tentunya akan dimanfaatkan
semaksimal mungkin.
Sejak diketahuinya akan ada orkes dangdut,
pemuda dilorong sudah mencari lagu sejak sore hari bermodalkan tape dan kaset lagu yang sering kusut
bahkan tak jarang pitanya putus! Karena pemuda-pemuda penyuka musik ini semakin
sering “manggung” 30 menit di ruang orkes dangdut itu, mereka semakin terbiasa menganalisa apakah soundsytem ini lumayan baik atau tidak.
Sederhananya, memberikan asahan pengalaman langsung non-formal terhadap instrumen
maupun bunyi-bunyian.
---
Dilain sisi ruang kota, festival musik yang cup-oriented dan bazar musik tumbuh
subur, bak kurap ditempat lembab, yang banyak menghasilkan pemusik penuh skill
dan sombong. “3 kupon 1 lagu, 5 kupon 2 lagu cess” ucapan panitia basar yang
biasanya duduk manis manja dimeja kecil untuk mendaftarkan para pemain band
yang ingin manggung ini.
Genre musik di bazaar juga berparel dengan
konsumsi musik yang lagi ngetrend misalnya grunge,
pop,rock, punk, funk, melayu, metal, ska, trash, black metal dll (waktu itu
post-rock belum familiar di tanah air apalagi di tanah daeng). Para
fans (biasanya ABG, sekarang mungkin berumur 30an tahun) yang dalam proses
mencari dan membuktikan jati dirinya akan sangat menghayati perannya, misalnya
para fans Ska akan membawa koper dan memakai dasi serta berjoget-joget khas
tanpa perlu sibuk berkamera dan tongsis. Suatu pemandangan yang menarik,
berkeringat dan indah untuk dikenang.
Semakin banyaknya ruang ekspresi dan
aktualitas seperti bazaar musik berparel dengan capacity building para pemusik baik dari instrumen sampai keluaran yang
dihasilkan soundsystem.
------
Disudut kota yang lain, bertebaran pula
festival musik. Perkembangan festival musik di kota kita ini juga sejalan
dengan tren nasional baik festival musik yang diselenggarakan label-record maupun program marketing perusahaan (rokok, dll). Dari
segi organisatoris, para penyelenggara ini merupakan kumpulan anak muda
ekspresif pada jamannya baik dalam payung universitas ataupun kelompok diluar
kampus. EO sering diidentikkan dengan anak gaul pada masa itu.
Festival musik (jadul) ini bermodel berbeda
dengan festival musik yang sekarang ataupun berada dinegara lain. Festival
musik yang berkembang era itu sangat berorientasi piala, seakan kompetisi skill
adalah segalanya bukan festival untuk merayakan beragamnya musik. Festival
jenis yang terakhir saya sebutkan itu (perayaan keberagaman musik-non kompetisi)
merupakan fenomena kontemporer di Makassar yang menunjukkan progress yang baik yang harus terus
dijaga.
Para pemusik yang telah membeli formulir
festival musik akan terus latihan mengasah skillnya di studio musik yang banyak
bertebaran. Untuk warna dan nuansa musikalitas, penonton festival musik yang keseringan
nonton dikala itu diajak untuk mengasosiasikan para penampil dengan artis
internasional-nasional seperti “mirip gaya mainnya Yngwie, Paul Gilbert, Nuno
Bettencourt, Slash, Eddie V.H, Kurt Cobain…”.
Bahkan beberapa band biasanya telah terlabel “pasti
ini Mr.Big mereka bawa, Guns N Roses, Nirvana, Van Halen, Yngwie, Metallica, Jamrud,
Power Metal, Extreme, Fungky Kopral,…”. Jati
diri band-band penuh skill ini tidaklah mandiri melainkan proses imitasi dari
pasar skill waktu itu yang tentu sarat dengan pemujaan terutama bagi maskulinisme
para lelaki.
Terlepas dari identitas yang dihasilkan
festival musik model jadul tersebut, ruang itu memberikan banyak pengetahuan
bagi pemusik tentang bagaimana istrumen dan keluaran yang dihasilkan soundsystem. Bahkan para pemusik semakin
sensitif apabila mereka merasa bunyi yang dihasilkan tidak maksimal. Biasanya
mereka menggerutu dalam hati atau curhat keteman-temannya tanpa mau memprotes
kepada panitia karena takut nilai mereka akan dikurangi.
Disudut kota yang lain, beberapa café mulai
memberikan pertunjukan musik top 40 misalnya
café Oris (pantai losari). Tetapi ruang bermusik serupa tidak bertumbuh banyak
karena pemain/actor yang terlibat dalam bermusik tersebut jumlahnya sangat
sedikit, yang hanya banyak ialah penonton gratis yang meluber sampai kejalanan
(setiap malam minggu).
-----
Kita harus berterima kasih kepada pelaku
reformasi, karena paska krismon 1997/1998 dan reformasi keterbukaan mulai
terjadi. Meskipun demikian perubahan kondisi ekonomi telah mengubah juga
produksi seni pertunjukan semisal orkes dangdut yang dulunya full band digantikan dengan electone yang membosankan itu demi
memangkas ongkos produksi. Akibatnya potensi musisi lorong tak lagi
mendapatkan ruang sebesar dulu. Mungkin, sekali lagi mungkin, ada korelasi yang akut antara mengecil dan menipisnya ruang ekspresi sosial dengan fenomena kriminalitas jalanan yang marak beberapa tahun belakangan ini.
Paska reformasi, konser-konser yang
mendatangkan artis nasional (identik dengan major label di Jakarta) semakin
sering diadakan. Para sponsorpun terus mendukung sebagai bentuk simbiosis
mutualisme mereka (marketing-event). Tidak jarang band lokal mencoba
peruntungan di Jakarta sebagai implikasi diskursus mainstream artis berhasil ialah artis nasional di Jakarta, yang
tidak jarang band lokal ini pulang dengan hasil mengecewakan.
Pada seni pertunjukan semisal konser, bintang
tamu (yang identik dengan artis nasional) semakin sering terlihat. Tetapi hal
yang tidak berubah seiring perubahan jaman ialah seni pertunjukan (perlakuan
serta mental). Opening band yang
biasanya band lokal sering tidak terpuaskan dan berakhir dengan gerutu. “Nasional
– daerah, tamu – lokal” membuat stratifikasi-kelas dikalangan pemusik. Stratifikasi
tersebut membuat efek berganda/multiple seperti
perlakuan sampai keluaran bunyi yang dihasilkan.
Band lokal seakan terlihat apa adanya
sedangkan pemusik Tamu/Nasional (yang biasanya salah diartikan artis, artist adalah seniman (semua seniman
adalah artist), bukan semata yang
sering muncul di TV) harus terlihat wah dan mewah. Kedua tipe ini harus
terlihat berbeda dengan cara membuat demarkasi yang jelas mana yang lokal mana
yang nasional. Salah satu demarkasi ialah keluaran bunyi yang dihasilkan ataupun dramatisasi "masuknya" artist di panggung.
Ditahun 2007, sebelum salah satu band
Nasional manggung, band kami menjadi salah satu band pembuka. Seorang teman
meminta agar keluaran bunyi yang dihasilan seimbang dan enak didengar, staf sound malah menyeletuk “jadi artist ko dulu
cess”. Suatu celetukan yang hanya bisa dibalas dengan mengelus dada. Padahal
yang diminta tidak juga selevel keluaran pemusik yang dibayar mahal tersebut, hanya
secuil modifikasi kecil saat itu.
Biasanya band yang terlepas dari permasalahan
ini ialah band yang mempunyai banyak kenalan terutama kepada orang dibelakang soundsystem. Tetapi apakah harus
mengandalkan modal sosial seperti ini? Tanpa didukung oleh “kesadaran” semua
pihak.
Band lokal terlihat berposisi dibawah
sedangkan nasional diatas. Seni pertunjukan musik terus memperlihatkan mental
lemah ini meskipun kita semua menyadari adanya set berbeda antara band tamu dan pendukung (mungkin kita terlalu
baik sama Tamu dan terlalu jahat sama penghuni).
Mental ini dapat kita samakan dengan mental
poskolonial yaitu mental yang tetap hidup dan kaku sebagai efek kolonialisme-penjajahan misalnya
inlander yang menanggap bangsa Eropa
lebih tinggi dan kita Melayu lebih rendah. Sederhananya, liat bule langsung
kagum (tanpa ada penjelasan logis mengapa harus kagum pada saat yang cepat?),
sebaliknya seberapapun kerennya sang Melayu tetap berada dibawah sang Bule.
Walaupun dibalut dengan tema yang kurang
lebih sama tahun ke tahun “dukungan lokal” dengan judul yang berbeda-beda tetapi
perlakuan kurang lebih sama. Alih-alih memberi ruang bagi seniman musik lokal,
perlakuan tidak banyak berubah.
Tentunya jika hal ini dulu hanyalah persoalan
sepele, sekarang merupakan persoalan yang tidak sepele lagi (harus diperhatikan) seiring dengan semakin
kritisnya masyarakat dan pemusik serta produksi pengetahuan dan informasi yang
semakin terbuka. Akibatnya kita meragukan tema-tema tahun ke tahun tersebut
tidak sejalan dengan implementasinya melainkan hanya kepentingan pihak terkait (terutama ekonomi).
Ataukah hanya sedikit orang yang mampu menghayati dan mengerti konsep serta tujuan
yang mereka lontarkan dan bangun tersebut. Yang harus diingat adalah menyelenggarakan pertunjukan seni ialah merupakan kegiatan seni itu sendiri bukan hanya memuaskan kepentingan ekonomi semata.
Akibat perlakuan seni pertunjukan semacam
ini, para penikmat musik terproduksi dan terpatri dalam sanubarinya (melebihi pikirannya) bahwa band
lokal memang “ecek-ecek” dan nasional memang “aduhai”. Hal ini saya amati
sampai beberapa tahun terakhir ketika ada acara musik (skala sedang-besar) yang
berkomposisi nasional – lokal. Tidak banyak perubahan yang terjadi dijaman
yang semakin kompleks ini. Untungnya gigs semakin ramai dan tidak tergantung
lagi pada modal yang besar sehingga terhindar dari kelucuan serupa 2 dekade
lalu sampai sekarang.
Padahal ini masalah sederhana, yang
berpresepsi seniman Nasional harus “wah” dari segi performance
dan keluaran bunyi hanya pihak organizer
lokal sendiri. Terkadang pemusik nasional justru sangat santai (yang penting keluaran bunyinya enak) seiring keseringan
mereka manggung dan menerima duit gede dimana-mana. Mereka tak meminta keluaran
bunyi band lokal ditekan. Jikapun ada seniman nasional yang meremehkan seniman
daerah, kita hanya bisa mendoakan agar mereka dapat wahyu dari mana saja dan
tersadar dari pengetahuan picik seperti itu.
Saya tidak mengetahui apakah ada hubungan
yang nyata antara tuntutan otonomi daerah yang marak pada awal 2000an dengan
tulisan saya ini sehubungan dengan band daerah. Saripati ini hanya didapatkan
melalui pengalaman reflektif dan mata penulis. Oleh karena itu kesalahan 100% milik penulis. Seperti kata ERK "Sebelah mataku yang mampu melihat bercak warna mempesona..tapi sebelah mataku menyadari gelap".
Hal serupa (mungkin) terjadi dibelahan daerah lain di Nusantara ini, oleh karenanya kita mengalami dan menghadapi masalah yang sama, beremansipasilah dan berubahlah!
Hal serupa (mungkin) terjadi dibelahan daerah lain di Nusantara ini, oleh karenanya kita mengalami dan menghadapi masalah yang sama, beremansipasilah dan berubahlah!
Saya hanya membayangkan hal sederhana dimasa
depan yaitu perlakuan dan keluaran bunyi artist lokal memuaskan dahaga serta menjalin komunikasi yang intim antara pemain
dan penikmat musik. Dimasa (secara total mungkin 1-2 dekade kedepan, benih
kesadarannya mulai terlihat sekarang) saya membayangkan tidak ada lagi sekat
lokal-nasional dalam seni pertunjukan, apapun itu!
Kata Pram, Adillah sejak dalam pikiran!
Kata saya menyangkut tema ini, Adillah sejak
dari soundsystem!
Mimin,
Jogjakarta, 17 April 2016, 16:40 WIB
#senipertunjukkanmusik
#MakassarDuludanKini
#MakassarDuludanKini
Subscribe to:
Posts (Atom)