Commentaries on World Trade Report 2011
Topic : Dispute Settlement
WTO sebagai
organisasi yang mencoba mengatur
permasalahan yang paling kompleks di dunia yaitu perdagangan tentunya mengalami
banyak kesulitan karena mencoba memasuki dan mengatur semua sektor. Rezim WTO
sebagai manifestasi regulasi perdagangan dalam implementasinya menimbulkan
banyak problematika berpararel dengan dinamisasi kepentingan negara anggotanya.
Problem tersebut menyangkut interpretasi negara anggota atas regulasi dan
implementasi serta bagaimana konflik regulasi dari negara-negara anggota itu
diselesaikan melalui aturan main WTO. Dalam perihal konflik regulasi
perdagangan tersebut menimbulkan lagi berbagai permasalahan strategi untuk “memenangkan” kasus yang dihadapi.
Sementara dalam bidang regulasi menghadapi problematika seberapa jelas
(meminimalisasi bias pasal), tidak merugikan, kuat daya paksa
pasal-pasal/aturan hukum yang tertulis dalam regulasi WTO.
Secara
organisasional Dispute Settlement
Body(DSB) yang membawahi (vertical) appellate body dispute settlement panels, sejajar/horizontal terhadap general
council dalam WTO. Sementara pada top-level keputusan organisasi berada pada ministrial conference yang biasanya
bertemu setiap dua tahun sekali. Dispute Settlement System dimaksudkan
untuk memberi ruang hukum (juridiksi) pengaduan dan penyelesaian sengketa
apabila terdapat kebijakan negara atau
kasus tertentu yang dianggap menyalahi regulasi
WTO dan merugikan pihak lainnya.
Secara operasional
dispute settlement system tersebut
dimulai sejak terbentuknya WTO pada 1 Januari 1995 berdasarkan Marrakesh Agreement, tetapi pengalaman
tentang trade disputes telah ada
sebelumnya dalam payung GATT berdasarkan pasal XXII dan XXIII 1947. Metode
dari WTO dispute settlement yaitu
konsultasi/negosiasi, adjudication by
panels and the appellate body, arbitration, good offices (concolidation and
mediation). Dispute settlement process mulai dari phase konsultasi (Pasal.4), panel
established oleh DSB (Pasal.6), term
of reference (pasal 7) composition (pasal
8), Eksaminasi Panel ( dua pertemuan dengan pihak yang bersengketa (pasal.12), satu pertemuan dengan pihak ketiga(expert review group) (pasal 10), interim reviw stage (pasal 15.1,2), panel report issued to parties and DSB (pasal
12.8,9), DSB adopts panel/appellate
report (Pasal 16.1,4 dan 17.14), impelementasi (pasal 21.3,5), dispute over implementation (pasal
21.5), in cases of non implementation (pasal
22.2), retaliation (pasal 22, 22.3), possibility of arbitration (pasal.22.6
dan 22.7) (Bossche 2005:174,186,205).
Data statistik
menyebutkan (WTO Report 2011:86-7) dari tahun 1995 sampai 2010 negara yang
terbanyak menerima dan melakukan complain
adalah Amerika Serikat dengan jumlah komplein sebanyak 97 kali dan menerima
komplein sebanyak 110 kali/kasus, selanjutnya European Union (mengkomplein 82, dikomplein 70 kali/kasus), Kanada
(mengkomplein 33, dikomplein 16 kali/kasus), Mexico (mengkomplein 21,
dikomplein 14), India (mengkomplein 19, dikomplein 20 kali/kasus), China (
mengkomplein 7, dikomplein 21 kali/kasus), Argentina (mengkomplein 15,
dikomplein 14 kali/kasus), Jepang
(mengkomplein 14, dikomplein 15) dan Korea Selatan (mengkomplein 14, dikomplein
14).
Hal ini dapat
di-interpretasikan bahwa Amerika Serikat yang dalam historitas sebagai aktor
utama pemrakarsa organisasi perdagangan dunia untuk liberalisasi dalam
dasawarsa terakhir menunjukkan kebijakan negaranya yang mengandung banyak
asumsi menyalahi/tidak sesuai dengan hukum WTO. Negara-negara anggota mempunyai
peluang terbuka untuk mengajukan gugatan sesuai dengan takaran kemampuannya
untuk terus mengawal isu/kasus yang digugat. Amerika Serikat dalam hal ini juga
terkonstitusi oleh sistem yang di buat pada awalnya untuk menjaga liberalisasi
perdagangan tetap pada jalurnya dan berpararel pada kepentingan perdagangan dan
menjaga sharing nilai, norma, ide liberarisasi tetap hidup melalui
praktek-praktek perdagangan. Uni Eropa juga menunjukkan gejala-gejala yang
sama, yang pada mulanya (GATT) selain fungsi ekonomi (perdagangan) juga
berfungsi sebagai politik dalam konteks perang dingin atau perluasan idiologi
(sebagai strategi kerjasama untuk melemahkan USSR) tetapi kini lembaga WTO secara
perlahan-lahan menunjukkan bargaining
position negara anggota dapat melakukan gugatan dagang melalui mekanisme dispute settlement.
Dalam menghadapi
arus perdagangan yang semakin dinamis dari aktor-aktor yang lebih bervariatif
dibandingkan tahun 1980an dimana Asia-Australia-Latin Amerika menunjukkan
progressifitas yang tinggi memberi tekanan tersendiri kepada kebijakan
perdagangan Amerika Serikat. Selama tahun 2010 tercatat kasus yang mengkomplein
kebijakan perdagangan AS yaitu kasus
dengan nomor DS217 “
Continued Dumping and Subsidy
Offset Act of 2000” oleh Australia, Brazil, Chile, European Communities,
India,Indonesia, Japan, Korea and Thailand,
DS267 “United States – Subsidies on Upland Cotton” oleh Brazil, DS294 “Laws, Regulations and Methodology for
Calculating Dumping Margins (Zeroing)” oleh EC, DS322 “United States – Measures Relating to Zeroing and Sunset Reviews” oleh
Jepang, DS344 “United States – Final Anti-dumping Measures on Stainless Steel from
Mexico” oleh Mexico, DS350 “United States – Continued Existence and
Application of Zeroing Methodology” oleh European Communities, DS353 “United States – Measures Affecting Trade in
Large Civil Aircraft –Second Complaint” oleh EC (WTO Report 2011: 88-91).
Dalam
data tersebut dominan komplain terhadap Amerika Serikat terdapat pada bidang dumping. Secara sekilas dapat di-interpretasikan
bahwa pola-pola perdagangan lama (setelah perang dunia II) tentang kebijakan dumping ataupun anti-dumping masih menjadi konstruksi permasalahan yang terjadi
walaupun telah berada dalam era dimana peranan (material/immaterial) WTO
semakin vital dan era informasi teknologi sedemikian cepat. Kemudian dapat
di-interpretasikan lebih jauh bahwa masih terdapat upaya-upaya yang besar dan
kuat untuk melakukan kebijakan perdagangan dengan tujuan melindungi kepentingan
perdagangan dalam negeri tidak terkecuali Amerika Serikat dalam hal ini. Dengan
kata lain Amerika Serikat bertindak terkonstitusi oleh sistem/struktur yang ada, negara-negara lain sebagai kompetitor
memainkan fungsi besar sebagai pressure
group terhadap kebijakan perdagangan dalam negeri melalui institusi World
Trade Organization. Hal ini tidak hanya terjadi kepada founding fathers institusi perdagangan bebas seperti Amerika
Serikat tetapi negara-negara Uni Eropa juga mendapati permasalahan yang sama
dan kondisi tersebut telah berada melampaui skema awal perdagangan yang
dikonstruksikan. Masalah tersebut hendaknya tidak dinilai berkurangnya fungsi WTO atau kepentingan perdagangan negara-negara yang dikategorikan besar dalam neraca volume perdagangan tetapi merupakan persoalan teknis kebijakan mengenai perlakuan terhadap suatu komoditas yang diperdagangkan (kasus partikular yang sama sekali tidak merubah eksistensi maupun esensi organisasi).
No comments:
Post a Comment