In Memoriam Chavez
Nasionalisasi dan Venezuela abad 21
Kedaulatan
sumber daya alam suatu negara merupakan hal yang sifatnya kontroversial dan
paradoksial. Hal ini menjadi kontroversial ketika dibicarakan dalam rangka
negara sebagai subjek yang ingin mengelola baik secara sentral baik dalam
kebijakannya maupun dalam implementasi lapangan (produksi dan komersil). Aktor
negara tidak ingin melepaskan kedaulatannya terlebih dengan penggadaian sumber
daya alam kepada pihak asing sementara di satu pihak sistem internasional
berjalan anarki yaitu pengaruh negara besar terhadap negara lain mendeterminasi
sangat besar. Hal ini dapat ditelusuri rekam jejak negara tersebut dalam
“utang-utang” pembangunan.
Venezuela dalam
hal ini tidak terlepas dari permasalahan kontroversial tersebut. Berdasarkan data yang dikeluarkan badan energi Amerika
Serikat (EIA – US Energy Information Administration) bahwa Venezuela memiliki
211 billion barrels dan gas 179 trillion
cubic feet (Tcf) pada tahun 2011[1] maka kedaulatan energi dengan menjadikan industri
energi (minyak) sebagai penopang
kehidupan (kantong pemasukan) negara merupakan suatu potensial yang sangat
besar dengan catatan pengelolaan yang baik dan transparansi demi mencegah
tindakan korupsi sistemik yang justru kontra produktif dengan aksi
nasionalisasi sebagai manifestasi kedaulatan.
Tindakan nasionalisasi
dalam rangka memperoleh kedaulatan sesungguhnya sangat kontroversial jika dilihat
dari kacamata kepentingan perusahaan asing maupun elit borjuasi lokal yang “menginginkan”
eksistensinya dalam pengelolaan energi khususnya minyak di negara tersebut tetap bertahan dan
bahkan meluas (peran negara minimum). Jadi kepentingan para pihak yang
dirugikan membuat termin “nasionalisasi” menjadi sesuatu wacana yang kontroversial
karena dunia berjalan tidak seperti apa yang mereka kehendaki. Sementara wacana
yang ingin ditutupi bahwa terdapat hak luas bagi setiap negara untuk berdaulat
atas teritorialnya.
Nasionalisasi
dimengerti sebagai pengambilan alat produksi dan sumber daya yang berada di
tangan swasta asing oleh aparatus nasional. Nasionalisasi bertopang pada
tindakan negara, dapat dirundingkan dan dapat juga dilakukakan secara
revolusioner.[2]
Nasionalisasi dapat berarti perubahan atau asumsi kontrol atau kepemilikan dari
kepemilikan swasta ke negara.[3]
Dalam konteks nasionalisasi terdapat content
syarat yaitu kompensasi. Dalam ranah emansipasi perjuangan idiologi
nasionalisasi merupakan jawaban atas tantangan yang diberikan neoliberal dengan konsep keterbukaan,
peran negara minimun dan aliran modal bebas. Nasionalisasi merupakan bentuk
dimana negara memperlihatkan bargaining
positionnya menghadapi situasi anarki dari determinasi asing terhadap
kedaulatan negara sedangkan re-negosiasi masih merupakan bentuk dimana negara
secara eksplisit tidak terdapat keinginan untuk pengelolaan secara penuh tetapi
hanya menginginkan pembesaran pemasukan dan kepentingan lokal lainnya.
Kedaulatan
dan hak negara dapat dilihat pada konteks hukum ekonomi internasional, hal ini
diatur dalam CERDS (Charter of the
Economic Rights and Duties of States) (GA Res. 3281(xxix), UN GAOR, 29th
Sess., Supp. No. 31 (1974) 50) menyebutkan dalam Bab I mengenai ”Fundamentals of international economic
relations” prinsip kedaulatan,
integritas wilayah dan kemerdekaan politik.[4]
Kemudian tentang hak negara terdapat pada
article 2 butir 2 Each State has the right:
(a) To regulate and exercise authority
over foreign investment within its national jurisdiction in
accordance
with its laws and regulations and in conformity with its national objectives
and priorities. No State shall be compelled to grant preferential treatment to
foreign investment.
(b) To regulate and supervise the
activities of transnational corporations within its national jurisdiction and
take measures to ensure that such activities comply with its laws, rules and
regulations and conform with its economic and social policies. Transnational
corporations shall not intervene in the internal affairs of a host State. Every
State should, with full regard for its sovereign rights, cooperate with other
States in the exercise of the right set forth in this subparagraph;
(c)
To
nationalize, expropriate or transfer ownership of foreign property, in which
case appropriate compensation should be paid by the State adopting such
measures, taking into account its relevant laws and regulations and all
circumstances that the State considers pertinent. In any case where the
question of compensation gives rise to a controversy, it shall be settled under
the domestic law of the nationalizing State and by its tribunals, unless it is
freely and mutually agreed by all States concerned that other peaceful means be
sought on the basis of the sovereign equality of States and in accordance with
the principle of free choice of means.[5]
Menurut Ernst-U.Petersmann dalam Huala
Adolf pasal 2 tersebut merupakan pasal
kontroversial bagi negara-negara OECD. Alasan utamanya pasal tersebut
menyimpang dari hukum internasional dalam resolusi MU 1803 (XVII) tanggal 14
Desember 1962 mengenai “Permanent
Sovereignty Over Natural Resources”. Resolusi ini memuat hukum kebiasaan
internasional mengenai persyaratan appropriate
compensation (ganti rugi/kompensasi yang layak). Resolusi itu juga
membatasi kebebasan pemilihan hukum yang berlaku dan forum penyelesaian
sengketanya.[6]
Dalam proses ganti rugi terdapat dua teori yaitu teori Girvan berpendapat suatu negara yang menasionalisasi dapat menuntut
balik (counter claim) untuk meminta
ganti rugi karena akibat penderitaan yang dideritanya sewaktu masa penjajahan yang
dilakukan oleh negara dari warga negaranya yang dinasionalisasi terhadap negara
tersebut.[7]
Kedua, teori Allende menyatakan suatu
negara berhak mendapat pengurangan ganti rugi atas tindakan nasionalisasi
terhadap perusahaan asing yang telah memperoleh keuntungan yang berlebihan (excess profit).[8]
Jadi secara norma hukum internasional terdapat peluang bagi setiap negara untuk
melakukan nasionalisasi sesuai kebutuhan dan kepentingan negara tersebut dengan
hukum-hukum kompensasi yang diatur kemudian.
Nasionalisasi merupakan
sebuah keadaan yang telah lama ada seiring dengan terbentuknya nation diseluruh dunia pada umumnya
tidak terkecuali sejarah di Amerika Latin. Nasionalisasi dapat terjadi disemua
sektor dalam suatu negara dengan tujuan yang berbeda-beda. Nasionalisasi tidak jarang
menjadi siklus, dalam sejarah tercatat sektor yang telah di nasionalisasi pada
perkembangan selanjutnya beralih ke privatisasi dan berputar kembali (re-nasionalisasi)
ataupun sebaliknya. Hal ini sangat dideterminasi oleh banyak faktor selain
aktor (rezim berkuasa) diantaranya politik domestik (keadaan/kepentingan domestik
atas perusahaan yang akan di nasionalisasi), regionalisme, sistem politik
internasional, ketergantungan dan rezim ekonomi, globalisasi sampai ke
hegemoni.
Menyandingkan nasionalisasi dengan sosialisme
merupakan sebuah partikularitas dalam keseluruhan aspek yang terkait dalam mata
rantai motif kepentingan nasionalisasi itu sendiri. Tetapi jika dinilai dalam
konteks bahwa nasionalisasi menjadi sebuah proyek jangka panjang untuk
melepaskan diri dari ketergantungan (core-periphery)
yang disebabkan oleh arus keterbukaan asing (resep neoliberalisasi) dalam sisten kapitalisme global maka dalam konteks
itu kacamata idiologi dapat digunakan dimana sosialisme dan nasionalisasi
bertautan erat khususnya dalam konteks praxis
yang diterapkan oleh sejak dulu oleh Kuba serta Venezuela abad 21.
Tercatat dalam
sejarah negara-negara yang melakukan nasionalisasi yaitu Argentina (1918,1946-49,
1952,1958,1974,1980,2003,2012), Australia (1948), Bolivia era Morales
(2006-2012), Canada (1918,1944,1975), Chile era Salvador Allende (1972), Cuba
semenjak Fidel Castro (1966-1968) menasionalisasi semua sektor, Cekoslovakia
(1945,1948), Mesir (1956) Kanal Suez, Prancis (1938,1945,1946,1982), German
(2008), Yunani (1974,2011), Iceland (2008,2009), India (1949,1953,1955,1969,1973,1980,1972),
Iran (1953), Ireland (2007,2009,2010), Israel (1983), Japan (1906), Lithuania
(2011), Latvia (2008), Malta (1974), Mexico (1938,1982), Belanda (2008), New
Zealand (2001-2004,2008), Pakistan (1972), Polandia (1946), Portugal (1974,2008),
South Korea (1946), Soviet Union (1918), Spain (1941,1983), UK
(1868,1912,1916,1926,1933,1938,1939,1943,1946-1949,1951,1967,1969,1973-1977,1981,1984,1997,2001,2008,2009),
USA (1862-1863,1917,1939,1971,1976,1980,2001,2008,2009),[9]
Venezuela semenjak era Chavez sampai sekarang. Indonesia pun pernah
melakukannya dengan menasionalisasi de
Javache bank pada tahun 1951.
Kontroversial
dan paradoksial akan permasalahan ini mencuat ketika “kepentingan” mengarahkan
narasi “nasionalisasi” tersebut menjadi sesuatu yang sifatnya tabu dan
membahayakan. Jika sektor-sektor yang dinasionalisasi seperti Bank (keuangan),
infrastruktur maupun sektor lain diluar sumber daya alam dalam hal ini pertambangan
(minyak,gas dan bahan galian lainnya) maka termin “nasionalisasi” menjadi
sangat wajar serta lembut dalam artian “sangat bisa dilakukan”. Tetapi sangat
berbeda misalnya ketika sektor tambang yang menyangkut kepentingan pendapatan
negara dan asing dinasionalisasi khususnya
bagi negara berkembang.
Terminologi
“nasionalisasi” tiba-tiba menjadi sesuatu yang “tabu” dan “menakutkan” secara
psikologis dan kalkulasi politik, lebih jauh lagi memunculkan klaim-klaim
idiologi, kediktatoran, status quo
dan mistifikasi lainnya. Secara fundamental hal tersebut sangat lumrah terjadi dan
merupakan hak suatu negara dalam mengelola perekonomiannya sebagaimana
dijelaskan diatas pada aspek hukum internasional terlepas pada falsafah, ideologi
dan cita-cita ekonomi suatu negara. Hal
ini yang menjadi dasar keterkungkungan dan represif ide/pemikiran masyarakat di
negara-negara berkembang dan miskin di dunia sehingga jalan yang ditempuh tetap
berada pada sistem status-quo kapitalisme
dengan mencoba mengambil sedikit sekali celah dengan ilusi pertumbuhan
signifikan dalam arus neoliberalisme.
Semenjak terpilihnya Hugo Chavez menjadi
presiden melalui pemilu konstitusional 1998, presiden tersebut melakukan
perombakan besar-besaran dalam sistem kenegaraan baik dari segi pola sistemik
pemerintahan, pola subsitusi sektor strategis terhadap pembangunan sektor lain sampai
pada penyadaran hak konstitusi pada elemen grass
roots. Mengetahui masalah represi ide dan terror psikologis maupun terror
nyata yang dijalankan oleh sistem kapitalisme global maka Hugo Chavez
memberanikan diri sebagai mercu suar jalan pembangunan alternatif melawan arus status-quo neoliberalisme walaupun hal
itu secara sadar akan menemui banyak tantangan domestik dan internasional
sampai pada membahayakan keselamatan jiwa dan reputasi politik seperti reputasi
buruk Stalin di Rusia yang menjadi representasi kegagalan pembangunan model
sosialisme.
Belajar dari kegagalan Rusia dan negara
sosialis lainnya maka Chavez memulainya dengan penguatan substansi demokrasi
yaitu melakukan penyadaran hak-hak serta kewajiban negara, pemerintahan dan
rakyatnya yang dituliskan dalam konstitusi Bolivarian dan berupaya sekuat
tenaga untuk mengimplementasikannya. Dalam tulisan Diana Raby dalam
menggambarkan Venezuela “No country in
Latin America (and arguably in the world) has adopted a more proactive,
innovative, and controversial foreign policy than Venezuela in the last 12
years. The process proclaimed by Hugo Chávez as the “Bolivarian Revolution” has
brought far-reaching change to Venezuela itself, and has placed that country at
the center of international controversies and tensions that resonate far beyond
the Latin American and Caribbean region.”[10]
Program revolusi
Bolivarian yang dicanangkan Hugo Chavez setelah mengamendemen konsititusi (UUD)
pada tahun 1999 menjadi konstitusi yang substansinya pro rakyat dalam tulisan
Harnita Rahman beberapa program sosial (pendidikan, kesehatan, perumahan,
kredit dan pelatihan kerja) bagi masyarakat miskin yang dijalankan yaitu :
1. Menciptakan
3.000 sekolah Bolivarian yang baru, memasukkan 1.5juta rakyat ke
sekolah-sekolah gratis. Mendirikan Universitas Simon Bolivar untuk mayoritas
rakyat tidak mampu.Penyediaan buku teks, transportasi ke universitas dan
makanan gratis. Kerjasama demokratis staff universitas dan mahasiswa dalam
membuat kurikulum.
2. Membangun
jaringan air sehat, bersih dan segar.
3. Mission Identidad
merupakan sebuah program pembuatan tanda identitas (cedillas) bagi mereka yang
telah menetap di Venezuela selama 20-30 tahun namun tak dapat perlindungan hak
negara secara gratis.
4. Mendistribusikan
jutaan hektar tanah yang tidak digunakan (menganggur) untuk lahan pertanian bagi
rakyat tidak mempunyai lahan.
5. Mengganti
nama “Colombus Day” dengan nama “Invasion Day”.
6. Mission Mercal
yaitu membuka pasar makanan alternatif untuk rakyat miskin yang jauh lebih
murah (30% lebih murah dari toko-toko supermarket besar).
7. Membuka
1000 dapur umum untuk menyediakan makanan gratis untuk tunawisma.
8. Mission Vuelvan Caras
pemberian $600 juta kredit bagi petani kecil untuk membeli benih kentang.
9. Mission Bario Adentro
I dan II pembangunan pusat-pusat kesehatan gratis. Tenaga dokter 15.000 orang
didatangkan dari Kuba.
10. Pelarangan
pemilik pabrik PHK para pekerja. Mendukung pertumbuhan serikat-serikat buruh
demokratik yang kuat.
11. Pengakuan
terhadap pekerja domestik, memperbesar jaminan upah sosial bagi permanen bagi
rakyat yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (utamanya perempuan).
12. Memberantas
feminisasi kemiskinan dengan mendirikan BANMUJER (Bank Pembangunan Perempuan)
memberikan kredit bagi komunitas perempuan yang berproduksi.
13. Mendirikan
media telivisi alternatif (TV Sur) untuk
melawan propaganda imperialis.
14. Menstimulus
industrialisasi nasional dengan konsep “Endogenous Development” yaitu
pembangunan yang berdasarkan logika kerjasama dan humanis dengan melawan tendensi
individualisme kapitalistik ekonomi global. Seperti pembangunan Conviasa
(perusahaan penerbangan) dan Covetel (perusahaan telekomunikasi), Invenepal
(perusahaan kertas) yang kesemuanya di bawah kontrol kaum pekerja, dewan buruh
wakil otoritas tertinggi perusahaan dan wakil pemerintah secara langsung.
15. Meluaskan
solidaritas melawan imperialisme salah satunya dengan menggagas ALBA.
16. Misi Ciencia
(science) (2006) penyediaan perangkat
lunak gratis dan komputerisasi tingkat dasar di seluruh sekolah dasar.
17. Pada
bidang IPTEK Venezuela membuktikan independensinya melalui Latin American Free Software Installation Fair, mempromosikan
penggunaan piranti lunak open source.
Selain itu
beberapa program inovasi misalnya pendirian CONIBA (perusahaan nasional
industri-industri dasar) sebuah BUMN yang akan mengontrol 12
perusahaan-perusahaan industri baru yang akan menggantikan sebagian besar
produk impor yang bahan mentahnya dimiliki Venezuela. Di pertengahan 2006
Venezuela membangun pabrik-pabrik petrokimia, stasiun hidroelektrik di La
Vuettosa, jalan bawah tanah di Los Teques, pembangkit termoelektrik, teknologi
penerbangan, laboratorium dengan sistem analisa ultra-mikro, peralatan
elektroterapi, hidroterapi, defektologi, podologi, pabrik truk, kendaraan,
mesin pembajak dan penggali. Selanjutnya Harnita Rahman mengatakan bahwa Chavez
membangun jalan menuju masyarakat setara dan adil serta memberikan porsi besar
untuk rakyat miskin bukan untuk membuat mereka kaya tetapi membuat mereka
memiliki apa yang seharusnya mereka nikmati sejak dulu yaitu sumber daya alam
yang selama ini hanya didominasi oleh pemilik modal.[11]
Gerakan populis
pemerintahan Chavez dengan begitu banyak program pro rakyat mendapatkan
hambatan dari pihak lokal oportunis maupun orang-orang yang masih dilingkupi
dengan janji ilusi perkembangan dan kesejahteraan di bawah sistem kapitalisme
global dengan resep neoliberal sebagi
obat ampuh dari model pembangunan. Hambatan domestik dari program populis ini
secara nyata dan terang-terangan dapat dilihat pada percobaan kudeta yang gagal
pada April 2002 yang didukung oleh pembelot elit militer dan pimpinan oportunis
oligarki bisnis rezim lama Carmona. Dalam insiden tersebut sangat terlihat
konspirasi domestik yang melibatkan agitasi dari media serta pihak oportunis
lainnya dalam memenangkan isu secara psikologis dan intervensi internasional
terutama AS dalam mendukung munculnya pemerintahan baru menggantikan Hugo
Chavez.
Kebijakan
populis serta peran besar Venezuela dalam perpolitikan Amerika Latin membutuhkan
sokongan dana yang besar. Sebagai negara dengan kekayaan mineral berlimpah maka
kedaulatan dalam pengelolaan merupakan hal mutlak agar dapat menjalankan
distribusi kekayaan negara sebaik mungkin sebagaimana dicantumkan dalam
konstitusi Bolivarian 1999.
Distribusi
kekayaan diatur dalam konstitusi Bolivarian tentang Economic Rights Chapter VII, artikel 112:
“…El
estados promoverá la iniciativa privada, garantizando la creacion y justa
distribución de la riqueza, asi como la produccion de bienes y servicios que
satisfagan las necesidades de la
población…(… The State shall promote
private initiative, guaranteeing the creation and fair distribution of wealth,
as well as the production of goods and services that meet the needs of the
populace…).”[12]
Selanjutnya distribusi kekayaan tercantum kembali dalam
konstitusi pasal 117[13],
title VI Socio Economic System Chapter I pasal 299 – 310.[14]
Secara jelas undang-undang tentang PDVSA terdapat pada pasal 303 yang berbunyi
:
“For reasons of
economic and political sovereignty and national strategy, the State shall
retain all shares of Petróleos de Venezuela, S.A. or the organ created to
manage the petroleum industry,with the exception of subsidiaries, strategic
joint ventures, business enterprises and any other venture established or
coming in the future to be established as a consequence of the carrying on of
the business of Petróleos de Venezuela, S.A.”[15]
Analisa
kebijakan di Venezuela pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari konstitusi yang
dibuat secara demokratis (referendum) antara rakyat dan pemerintahan era Hugo
Chavez. Konstitusi merupakan sel dasar pemerintah dan rakyat bekerja, dengan
menghormati dan mengimplementasikan konstitusi dengan baik merupakan tolak ukur
bekerjanya pemerintahan pada relnya. Atas dasar inilah pendidikan politik atas
hak dan kewajiban pemerintah dan rakyatnya diperkenalkan sampai ke grass roots. Dalam pola pendidikan
politik itu diharapkan masyarakat menjalankan fungsinya sebagai partisipan (partisipatory) dan sebagai social control terhadap pemerintah
berkuasa. Hal ini terbukti ketika kekuatan loyalis dan rakyat yang sadar akan
konstitusi menggagalkan upaya kudeta terhadap Hugo Chavez pada april 2002.
Nasionalisasi
sebagai sebuah gerakan pembangunan era Chavez dilihat dari kacamata sejarah
bahwa setelah program ISI (industri subsitusi impor) gagal membawa pembangunan
signifikan pada dekade 1970-an di Amerika Latin secara merata disebabkan oleh
banyaknya faktor waktu itu, dan setelah Washington
Consensus menjadi jalan keluar krisis Amerika Latin ternyata pertumbuhan
hanya berada pada ring elit korporatokrasi, pertumbuhan hanya berada diatas
kertas statistik data release yang
tidak merepresentasikan kondisi masyarakat marjinal, pemerintahan dalam hal ini gagal menaikkan
derajat hidup masyarakat pada umumnya melalui distribusi kekayaan negara
terutama dari sektor energi dan pertambangan khususnya minyak. Cukup aneh rasanya
negara yang termasuk 5 negara terkaya sumber minyak dengan populasi hanya 29 juta
gagal mendistribusikan kekayaan negara, bandingkan dengan Canada yang berpopulasi
34 juta atau populasi di Russia sebanyak 140juta jiwa. Hal tersebut dapat dianalogikan
“makanan yang dibawa keluar rumah sementara pemilik rumah hanya pasrah melihat dan
parahnya hanya terbagi sisa makanan.”
Wacana
untuk menaikkan kembali terminologi ISI abad 21 oleh pemerintahan Hugo Chavez
menjadi sesuatu yang berkarakteristik baru dengan secara total merubah
kosntruksi negara yang selama ini berjalan. Mencegah munculnya korupsi
struktural, munculnya elit
korporatokrasi yang baru, birokrasi berbelit dan penyadaran agenda
bangsa kepada masyarakat (partisipasi politik aktif seluruh elemen masyarakat),
penguatan sel-sel pekerja/buruh merupakan suatu karakteristik ISI yang baru.
[1]
http://www.eia.gov/countries/cab.cfm?fips=VE&trk=p2
akses 15 juni 2012
[2]
Dieter Nohlen (ed.) “Kamus Dunia Ketiga” Jakarta:
Grasindo.1994. p.469
[3]
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/405796/nationalization
akses 19/6/2012
[4]
Huala Adolf.”Hukum Ekonomi Internasional”.Jakarta:RajaGrafindo
Persada.2003 p.185
[5]
“Charter of Economic Rights and Duties of States” Ein Projekt des Lehrstuhls
für Öffentliches Recht insb. Völkerrecht, Europarecht sowie ausländisches
Verfassungsrecht.Europa-Universität Viadrina, Frankfurt (Oder),
2002.http://voelkerrecht.euv-frankfurt-o.de
[6]
Op.cit Huala Adolf p.192
[7]
Ibid p.194
[8]
ibid
[9]
http://en.wikipedia.org/wiki/Nationalization
akses 20/6/2012
[10]
Gian LucaGardini & Peter Lambert (editor).2011.” Latin American Foreign Policies : Between Ideology and Pragmatism “. New
York:Palgrave Macmillan. p.159
[11]
Harnita Rahman. “Revolusi Bolovarian
Chavez: Langkah Nyata untuk Dunia Baru”.Jurnal Alternativa Vol.II
(Januari-Juni 2010). p. 61-65
[12]
“ constitucion de la republica bolivariana de Venezuela” impreso en la imprenta
nacional y gaceta official.caracas.febrero de 2010. p.209
[13]
Ibid p.211
[14]
Ibid p.315-320
[15]
ibid
No comments:
Post a Comment