Seri: Hey, Who are you ?
INTERPRETIF : ACTION
THEORIES
Melalu Intereksionisme Simbolik
(IS) menunjukkan jenis-jenis aktivitas manusia yang unsur-unsurnya memandang
penting untuk memusatkan perhatian dalam
rangka memahami kehidupan sosial. IS menekankan bahwa interaksi adalah proses interpretif dua arah. Salah satu
konstribusi utama IS bagi teori tindakan adalah elaborasi dan menjelaskan
berbagai akibat interpretasi terhadap orang lain terhadap identitas sosial
individu yang menjadi objek interpretasi.
Konstruksi Citra Diri “Self Image”
Pengaruh interaksionisme ini menggunakan pandangan bahwa menggunakan
interpretasi orang lain sebagai
kesadaran identitas kita. Tidak lain adalah produk dari cara orang lain
berpikir tentang kita. Kepribadian dikonstruksi dengan menggunakan
interpretasi.
Kita bertemu dengan banyak orang, semua menanggapi kelakuan kita
“sesuai” dengan simbolisasi yang kita bangun. Mereka mengintrepretasikan
perilaku kita sesuai dengan “bukti” yang tersedia dan kemudian mengambil
tindakan “bertindak”.
Contoh : Kemampuan siswa dipengaruhi oleh penilaian guru. Penilaian
guru terhadap citra, yang duduk di depan berprilaku “sopan”,”rajin”, “pintar “
dan “baik” sedangkan yang duduk dibelakang berkebalikannya. ( Fenomena ini
cukup status quo dalam mindset
pendidikan mirip dengan gambar gunung-gunung-sawah-matahari-jalan pada tingkat
dasar J)
IS berpendapat bahwa kerapkali yang menjadi persoalan bukanlah apakah
interpretasi itu benar, melainkan dampaknya terhadap penerimanya. Dalam hal
ini, sekalipun murid-murid berpotensi sama untuk maju tapi guru memutuskan
mereka tidak sama dan akibatnya mereka diperlakukan berbeda. Barisan depan di
dorong untuk terus rajin belajar, memvapai potensi tertingginya sementara yang berada di belakang (duduk barisan di
belakang) di awasi kelakuannya. Karena kata guru “ia/mereka kurang mampu”. Penilaian guru dikonfirmasi murid dan menjadi
kenyataannya. Ketidakadilan interpretasi ini mendorong “penerima” untuk
berafirmasi memandang dirinya.
( mirip
dengan kondisi mental negara/bangsa Indonesia, afirmasi terhadap kondisi label “terbelakang/tidak mampu”)
Akting
Sosial : penghadiran diri dalam kehidupan sehari-hari
Pengaruh orang lain baru separuh dari proses interaksi yang ditekankan
oleh IS. Jauh dari isu kepribadian manusia yang dikonstruksi secara pasif oleh
orang lain. IS menekankan peran aktif yang dimainkan manusia dalam penciptaan
diri sosial (social selves) mereka. Kemampuan interpretif kita memungkinkan
kita untuk memanipulasi interpretasi ini sesuai dengan pandangan kita terhadap
diri kita sendiri. Kita memainkan peranan dalam cara kreatif agar orang lain
berpikir dan berespons tentang kita menurut yang kita hendaki. Akibatnya kita
mengelola irama, respons-respons dengan cara menghadirkan citra kita sedemikian
rupa, menjadi aktor hkital diatas panggung kehidupan.
Ahli teori IS dengan penekanan
permainan kreatif ini adalah Erving
Goffman (Presentation of Self in everyday life (1969). Bagi Goffman dan
rekan-rekan interaksionis lainnya, sosialisasi biasanya adalah tentang
kemenangan kapasitas kreatif individu atas reaksi orang lain.
Teori Labelling merupakan
prespektif yang lahir dari IS ini. Teori labeling kurang tertarik pada
cara-cara di mana orang dapat mempengaruhi interpretasi orang lain tentang diri
mereka sendiri dibandingkan jenis-jenis interaksi di mana tidak ada kesempatan
tersebut. Teori Labeling terutama tertarik pada fakta bahwa manusia
kadang-kadang menjadi korban interpretasi atau label orang lain selama identitas sosial mereka dapat dipengaruhi
atau bahkan menenteng kehendak mereka. Akibatnya manusia kerap kali ber “putus
asa”, mengapa hal ini terjadi ? Mengapa kita harus menemukan diri kita sendiri
dalam situasi sosial dimana kita tidak bisa memanipulasi interpretasi orang
lain ?
Teori Labelling merupakan hal yang berlawanan dengan “citra diri
(self-image)”. Kadang-kadang kita dapat memprotes label yang salah tetapi
terhambat oleh para penafsir. Malahan
kadang-kadang protes tersebut sebagai konfirmasi maupun penegasan atas kepantasan label itu. Jika kita di diagnosis “sakit
jiwa” (dalam kondisi masyarakat
mainstream ini) oleh para penafsir
meski kita membantah bahwa kita-kita waras apalagi dengan situasi meninggi
seperti marah justru tidak lagi mempertegas bahkan memperbesar kemungkinan kita
dikirim ke rumah sakit jiwa. Karena katanya, “orang normal tidak akan bertindak begitu”. Akhirnya ketika kita mencoba
metode yang lain untuk meyakinkan kita tidak gila dengan bersabar dan tidak
menghiraukan tuduhan itu, berusaha se”normal” mungkin, kita tetap saja akan
dikonfirmasi sakit jiwa. Kata mereka, “tidak ada orang normal tenang-tenang saja
seperti itu.” (hahahahahaaa, para penafsir
sudah siap dengan segala kemungkinan respon kita)
Pembahasan
interaksionis klasik Goffman tentang perilaku mengumpulkan benda-benda buangan
(hoarding) pasien gangguan jiwa dalam
Asylum (1968) adalah contoh baik
tentang ciri-ciri pelaku “normal” tatkala label “abnormal” diterapkan. Segala
benda buangan seumpama potongan kain, karet, dan puntung rokok dikumpulkan dan
menjadi “milik berharga” sebagian pasien, dan mereka marah apabila benda-benda
itu diambil atau disingkirkan dari mereka. Dikatakan bahwa perilaku itu adalah
cerminan kecemasan yang mendalam dan ketidakstabilan emosi dalam diri pasien.
Goffman menentang
analisi itu, berpendapat bahwa analisis itu hanya cocok dari sudut pandang
orang di luar rumah sakit (normal) di mana benda-benda “tak berguna” itu selalu
ada dimana-mana. Tetapi di dalam institusi (pandangan pasien) benda-benda
buangan itu sangat sulit terlihat, berharga sehingga pantas apabila disimpan
dengan sangat hati-hati karena kurangnya privasi.
Teori Labelling
berpendapat bahwa kadang-kadang proses labell
itu berlebihan karena sang korban salah interpretasi itu tidak dapat
melawan dampaknya terhadap dirinya. Berhadapan dengan label yang diterapkan
dengan kuat, citra diri orang yang dilabel itu dapat runtuh. Seperti akibat labeling sebelumnya
“ketepatan/kebenaran” suatu label tidak
berarti apa-apa dibandingkan dengan kekuasaan dari dampaknya. Label tersebut
menjadi realitas baik penafsir (pe-label)
maupun yang dilabeli. Edwin Lemert (konstruksi sosial paranoia 1967) menyebut
istilah “persekongkolan label” dimana yang terlabeli sadar dirinya sedang
ditindas oleh suatu persekongkolan. Fakta bahwa inilah yang terjadi tidak akan
mempengaruhi orang-orang yang melabel menegaskan penilaiannya.
Teori Labelling
memandang hubungan antara orang yang membuat label dan yang dilabel di daerah
kehidupan sosial itu secara essensial adalah kekuasaan. Sebagai kebalikan dari
pandangan konvensional, korban adalah underdog
yang dibentuk menjadi kriminal, sedangkan pelaku kesalahan adalah overdog yang lebih berkuasa yang
menindas mereka yang tak mempunyai kuasa.
Teori labeling
berpendapat tentang “kejahatan” mencerminkan kekuasaan dalam masyrarakat.
Sesungguhnya konstruksi aturan hukum itu adalah tindakan politik. Misalnya
“eksploitasi buruh” dan menghisap mariyuana tetapi membayar pajak yang
besar. Posisi IS tidak hanya pada
definisi tindak illegal tetapi juga mempengaruhi penyelidikan tentang
kejahatan. Hampir semua kasus pencurian mobil dilaporkan ke pihak kepolisian
karena itulah satu-satunya cara untuk mendapat klaim kompensasi dari asuransi
tetapi kasus yang lain menunjukkan angka yang rendah karena kurang yakin atas
kemampuan/kemauan pihak kepolisian.
Sekali stereotyping diterapkan eksistensi label
tersebut meresap dalam diri dan menjadi bagian dari identitasnya sehingga
membuat aktivitas berbeda di masa depan menjadi sukar, karena para penafsir akan memperlakukannya seperti
labelnya (menjadikan label staus quo). Proses pemaksaan ini menjadi manusia
yang menyimpang karena reaksi orang lain
dikenal sebagai deviant amplification.
Etnometodologi
Etnometodologi
mendorong kasus teori tindakan, bahwasannya realitas sosial itu adalah kreasi
para pelaku hingga ke tapal batas. Secara harfiah etnometodologi berarti
“metode orang”. Sasarannya adalah mengungkapkan metode yang digunakan oleh
partisipan “warga” suatu tataran sosial untuk berkomunikasi. Minat ini berasal
dari fenemonologi (gerak bolak balik
subjek <-> fenomena) menekankan bahwa kejadian tidak memiliki makna
sendiri tetapi manusialah yang
membuatnya bermakna.
Etnometodologi
menekankan bahwa setiap situasi sosial itu unik, kata-kata yang diucapkan atau
tindakan yang dilakukan adalah indeksikal
artinya hanya pada kesempatan/waktu tertentu ketika mereka menggunakan. Pengetahuan akal
sehat jarak-jarak perbedaan persepsi orang lain tentang kejadian di dekatkan
dengan cara yang sama oleh pendengar-pendengar yang berbeda.
Harvey Sacks memberi contoh tentang hal tersebut. Misalnya
mendengar/melihat kalimat di bawah ini :
Anak itu menangis
Ibu menggendongnya.
Apa yang muncul di benak kita? asumsi yang kemudian muncul tentang dua
kejadian “ibu dari sang anak (menggendong anak itu karena ia menangis)”. Ini
membuktikan munculnya interpretasi yang sama dari pembaca/pendengar yang
berbeda-beda dan kemudian menjadikannya masuk akal.
n
(disadur, di tambah, paraphrase, edit, sensor dari P.Jones mengingat ada “content”
yg membutuhkan filter 141-167)
Korban-korban interpretasi. Merupakan kosa kata
yang mungkin agak hilang dari kosa kata kita. Konstruksi sosial ini didasarkan
logika umum yang coba di buatkan track/rel oleh keadaan status quo dengan
bermacam maksud. Keadaan “self image” bisa berkutub dua selain menyenangkan
bagi para penjaga status quo mainstream dia pun menjaganya. “Self-image” bagi
individu inilah lakon yang harus dijalankannya di panggung sandiwara ini,
kadang berusaha menolak/berontak tetapi akan menimbulkan kontraksi legitimasi
ataupun menciderai saraf karakter yang melekat akhirnya kehabisan
followers/pendengar/pengagum. Sebuah kesibukan personal yang melelahkan. Hal yang
lebih mikro bahwa label begitu kuat daya harmonisasi pembentukan mindset/interpretasi.
Sebuah karakter yang di bangun dan di bunuh pada saat yang bersamaan. Sebuah
konsekuensi fenomena dari masyarakat pemuja Cover dalam era masyarakat
ber-jejaring. “Socially constructed as a table, become a table forever.”
Tindakan memesis/menirupun merupakan suatu daya
kreasi terciptanya individu lebih lanjut disamping lakon yang harus dipakai
untuk sebuah posisi pekerjaan. Tidak jarang tanpa kita sadari kita menggunakan
logika, cara/istilah berbicara (intonasi/substansi), maupun gesture dari orang
yang kita idolakan, orang yang sering kita
lihat (bisa di TV,internet dsbnya), afirmasi subordinasi kita atas orang/kumpulan
orang yang berbicara pada kita (kekaguman tersembunyi) (baca: bayang-bayang) yang kadang
mereduksi identitas kita atau bahkan
jauh melampaui apa yang kita harapkan ketika berkomunikasi. Kita menjadi tidak
terkontrol dalam artian kita bukan kita yang kita kenal. it kills us beside they kill you with label.
Terkadang lucu juga membayangkan, seorang hakim
misalnya. Pada malam hari memakai baju “piyama” untuk tidur kemudian pada pagi
hari besiap ke kantor memakai baju “dinas” sebutlah PDH (pakaian dinas harian),
sebelum persidangan dimulai memakai “jubah”. Persidangan lokasi kursi diatur
sedemikian rupa, dihadiri seorang terdakwa, ada kelompok penuntut dan pembela
serta para audience yang datang dari bermacam arah, hakim itu mengetuk palu
untuk menentukan nasib terdakwa (memutuskan terdakwa dengan hukuman 2 tahun penjara
). Persidangan selesai ia pun kembali melepaskan “jubah” kembali terlihat PDH,
sesampai dirumah menggantinya dengan baju “kaos” makan dan bercanda bersama
kawan-kawan sejawat di ruang tamu sebelum beralih ke “piyama” untuk
beraktivitas di tempat tidur.
piyama –> PDH -> Jubah (kekuasaan menentukan nasib) -> kaos
-> piyama. Suatu sandiwara yang indah
bagi manusia ber piyama itu dan nasib yang kurang beruntung bagi pencuri becak
yang menjadi terdakwanya ditentukan nasib oleh si piyama super. Bertepuk
tanganlah atas sebuah keberhasilan…..
Tulisan ini bukan dalam rangka penyebaran semangat interpretatif subjektif, tetapi sebagai pengetahuan tambahan dimana logika mainstream bermain untuk emansipasi lebih lanjut, misalnya represi dalam normalisasi fenomena pendidikan dengan memakai fenomenologi ataupun level "se;f-image" yg menjadi penyangga kokoh konsumerism dan penyeragaman lainnya.
Kembali di sebuah malam di sebuah Juli di
sebuah tempat bernama jogja di sebuah tahun 2012 – with Coldplay – life in technicolor
No comments:
Post a Comment