“Ramadhan”
The month of rebel training
Memasuki bulan Ramadhan lagi,, merupakan suatu kesempatan yang
luar biasa dan sulit dilukiskan dengan kata-kata saking indahnya bulan ini,
apalagi bagi para manusia yang penuh dosa seperti saya ini,,heheee,,.. bisa
Ramadhan itu sesuatu.. #syukur walaupun kali ini jauh dari keluarga tercinta
terutama ibunda tersayang.
Rencana mau nulis apa yang jarang di dengar dari khatib2 mimbar tarwih atau jumatan " Ramadhan " the month of Rebel training,, ini bukan rebel cap terrorist ala konstruksi paranoid AS.
Rencana mau nulis apa yang jarang di dengar dari khatib2 mimbar tarwih atau jumatan " Ramadhan " the month of Rebel training,, ini bukan rebel cap terrorist ala konstruksi paranoid AS.
ya Ramadhaan bulan training
perlawanan
Biasanya "perlawanan" yg
dikumandangankan di mimbar atau media lainnya dengan main tema: emansipasi
individual dimana "personal" menghadapi gempuran nafsu terutama yang
melanda di subuh/fajar sampai maghrib. Proyek2 tanda tangan korupsi terjadi
dalam rentang waktu ini, dan sebelum tidur biasa manusia merenung merefleksikan
diri tetapi kemudian lupa lagi ke-esokan harinya, alias jahat kembali.
Berdialektik dan kalah.
- Dimulai dari individu:
penjelasan emansipasi individu ini saja
bisa dilihat dari sudut pandang perlawanan (baca: kesadaran:emansipasi), ketika
logika Capitalism dengan lokomotif Liberalnya menjadi mainstream dari
gerak-gerak kehidupan umat manusia di seluruh dunia dapat dengan mudah di
counter oleh emansipasi individu dalam Ramadhan ktika kita berhasil membaca
kondisi ramadhan dengan baik. Ramadhan more than words lah...
Untuk sekedar refreshing mengingat kembali
apa yg dilakukan Logika mainstream untuk mengkonstruksi kita (ide apa yang
dicangkokkan/successfully transferred) , berikut ini ada beberapa point :
-. Kehidupan dilandaskan logika transaksional,
Semua gerak-gerak diwakili
oleh transaksi, untung-rugi pun tak elak menjadi basis landasan kemudian
dikenal dengan model Rasional choice, Uang menjadi keterwakilan gerak-gerak,
profit (money) oriented, ide-ide transaksi ini menjadi sel-sel masyarakat yg
dijalankan oleh kita2 ini..hehehee. Lebih jauh lagi uang sebagai komoditas
(diperjual-belikan).
-.
Logika kompetisi
dengan berbagai macam narasi dari narator
konstruksi, kompetisi seperti meng-upgrade, inovasi bla bla bla bla.. ide
bidang eksakta ini (baca:penemuan/pengembangan teknologi/ manajemen bisnis)
cukup menyakitkan ketika berhasil mempenetrasi kepala individu-individu dan
berhasil menjadi mainstream dalam kehidupan sosial, kenapa ?? Logika ini
menutup (Baca;berhasil menyelubungi) bahwa manusia bukan mahluk sosial yang
bekerja sama tetapi ditekankan kerjasama untuk kompetisi yaitu logika sikut
menyikut demi kepentingan individu dalam skala proyeksi yg lain golongan.
Dalam kompetisi "kerjasama"
hanya "lip-service" saja tapi intinya anda bisa karena dia/mereka
jatuh. Anda diatas karena dia/mereka dibawah. Anda juara karena mereka kalah.
Menjadi penting dari transfer ide ini adalah kompetisi mengharuskan anda
merebut, menekan, mendahului dan sbagai-sebagainya.
Ketika saya menuliskan asumsi diatas dan
anda langsung mengcounternya dengan membayangkan logika kompetisi ala
game/permainan/olahraga berarti anda telah gagal memasuki wilayah ide ini dalam
konstruksi sel-sel kehidupan sosial dan turut meng-status-quokan logika
mainstream ini diranah praksis.
Kemudian kita jg harus memperhatikan
orang-orang yg kalah klo pun memaksakan memakai logika olahraga/game,, bagaimana
kondisi psiko-sosial orang-orang yang kalah itu, karena konstruksi sejarah
jarang menempatkan orang ke 2 dalam reputasi yang baik. Hanya pemenanglah no.1
yang di ingat sejarah. Tak pelak lagi logika ini akan menghapuskan nama-nama
prajurit biasa, yang mati di front terdepan dari perang. Sakit ya itulah kata
yg dapat mewakili...menyakitkan. Dalam psikoanalisis "sublimasi" tipu
ego menjadi panah paling tangguh dalam melesatkan rasa sakit itu ke arah yang
katanya "positif".
Akibat selanjutnya yang ditimbulkan dari
logika ini adalah individualistik.
Sedikit curcol: logika kompetisi ini juga
biasa masuk ke dalam shaf-shaf salat, demi menyempurnakan gerakan shalat
menyempitkan gerak yang disampingnya. Apakah harus berkompetisi (sikut
menyikut) … padahal tak satupun menyebutkan surga punya kuota, kalau level mah
ada berdasarkan kadar kualitas. Lagian penilaian milik yg MahaKuasa.
-.
Logika ukuran
Sebagai turunan dari individualistik
bahwa kita dibiasakan untuk mengukur dalam segala hal. Tampak sederhana tidak
ada masalah sosial dari logika ini tetapi bila dilihat lebih lanjut logika
ukuran/standarisasi ini adalah logika berjalannya industri. Bahwa segala
sesuatunya harus diukur/distandarisasi.
Ketika ini masuk ke ranah manajemen
industri tampaknya baik-baik saja (walaupun tidak), ini telah menjamur berakar
kuat (kurap terdalam) dalam kehidupan sosial. Misalnya coba saja mendeskripsikan kata "sukses" atau
"berhasil" di benak anda dalam sekejap muncul material-material (baca:benda-benda
dkknya) untuk ukuran sosial dimana anda akan menstandarisasi kata
"sukses" "berhasil" itu.
Permasalahan ukuran-ukuran
ini menjadi suatu agenda utama bagi para Kapitalis lokal/asing dalam
menciptakan simbol-simbol demi kepentingan bisnis (baca: reproduksi simbol).
Menghabiskan jutaan rupiah demi sebuah jam katanya “prestise”. Padahal
kesemuanya itu adalah "tipu-mata",
hanya di area ini mereka memainkan settingan atas nama selera/gaya hidup blab
la blaa dan tak pelak lagi para korban selera (konstruksi selera) lagi
mengalami kontrak persetujuan tak tertulis sebagai kaum defendernya/pembelanya
dalam segala kondisi sampai mati.
Selera dimengerti adalah ketidak
mengertian habisnya uang dalam jumlah yg banyak dalam membeli/memakai berbagai
bentuk tanpa menyadari apa perlunya (fungsi,nilai pakai) dari sesuatu. Nilai
pakai dikonstruksi sedemikian rupa untuk keperluan mengada-ada. Mereka menjawab
dalam satu format tunggal: Ini "selera" saya/gue/i, mampu kok,,”
paling banter "kualitasnya bagus", “makanannya enak” (ya iyalah
vetsin semua) ... padahal tujuannya cuman kenyang, nda lebih, entar juga keluar
sendiri, klo gak keluar2 malah jadi masalah... :D.
Sebagai contoh : kadang benda menjalankan
fungsi tipu-mata”sihirnya/mistisnya dalam pembentukan selera “atas pembelinya,
seolah-olah barang tersebut punya tangan atau magnet yg kuat sekali (biasanya
orang bilang chemistry atau kontak bathin) menarik anda dengan kagum ketika
anda melihatnya untuk kemudian membelinya
tanpa memperdulikan lagi harga dari nilai pakai yang seharusnya. (dalam
penjelasan yang lain kepelikan metafisika ala fetshisme). Yang paling parah
merekonstruksi bahwa benda tersebut natural ada, bukan hasil dari kerja-kerja.
Tipu-mata ini banyak bermain di
ranah-ranah inovasi, pembentukan budaya dulu baru kemudian penetrasi pasar
(barang), sebutlah inovasi motor ini motor itu, motor ini …produksi budaya
balap ala moto GP. Motor ini lebih kencang lebih blab la bla. Apakah betul
setelah memakainya anda akan melaju sekencang speedometer yang tertera disitu??
Klo tidak untuk apa, melebihi fungsi yang ia tawarkan sebagai sebuah motor,
jikapun anda mau balap, anda yakin bisa balap aman dengan kondisi objektif
jalan di Indonesia?? Gak takut dilindas truk??
Biasa orang mengatakan “wajar mahal karena
mereklah, bla bla bla “ terlalu sibuk dengan performance berusaha memuaskan
audience/viewer yg hanya melihat sepersekian menit bahkan detik saja,
selebihnya audience/viewer nda perduli. Pihak yg paling tersenyum dari kegiatan “ilusi” anda
adalah para penghasil simbol-simbol itu karena anda berhasil mentransfer
sejumlah uang kepadanya. Bagi mereka yg berkelebihan mungkin agak susah
merasakan ini, tetapi para korban selera yang berpenghasilan pas-pasan dengan
memaksakan selera ini memproduksi kerja kriminal bukan lagi untuk makan tetapi
selera. Menjambret untuk membeli baju seharga ratusan ribu atau hape yg bisa
bbman. Ataupun para working class terutama buruh, dari pagi sampai sore angkat
batu mempertaruhkan hidup dan otot akhir minggu gajian dan besoknya habis untuk
minum-minum dan membeli baju di toko A,B,C merek A,B,C. ß ini kecap
atau baju.. heheee
Kemampuan logika ukuran/standarisasi
sampai ke selera ini patut di acungi jempol karena "berhasil" menipu
secara masif dan dalam waktu penetrasinya tidak terlampau jauh dari era kita
sekarang ini (baca: era dimana globalisasi di-intensifkan pasca perang dunia
II). pertanyaannya lewat media mana...hehee saya rasa sudah tahu semuanya
ditambah diperkokoh oleh para aparatus defendernya.
Terkadang dalam hal konstruksi budaya budaya
sebutlah pernikahan, terkadang "ukuran-ukuran" ini menjadi barriers
pihak laki-laki untuk maju ke pihak perempuan..hehehehehee wkwkwkwk
-. dan masih banyak logika lainnya dalam
membentuk kesadaran semu. Apa yg dilakukan oleh Logika-logika ini adalah men
Setting hidup anda dari awal sampai mati nanti. Akhirnya satu menjajah yg lain
itu normal adanya.
Berikut ini ada beberapa dari ungkapan
untuk mempertahankan statusquo logika mainstream ini disamping aparatusnya berupa institusi pendidikan formal
“Kebutuhan
tak terbatas sedangkan alat pemenuhan kebutuhan terbatas” ß- gile
banget ini kalimat gan.. kira-kira kalimat ini mau memproduksi manusia jenis
apa ?? ya rakuspora / balalapora …pemakan semuanya. Padahal mati gak bawa
material apa-apa kita.
“talk less do more” ß ini bisa
dipakai apabila anda kerja untuk orang miskin, membuat program sosial dari
kelebihan uang anda, memperbaiki nasib bangsa, umat dengan cucuran keringat yg
luar biasa dsbnya kalimat ini bisa dipakai, tapi sayangnya ini kata2 selalu
dikumandangkan oleh para bisnisman kepada para pekerjanya, atau para supervisor
terhadap bawahannya. Nasib pekerja yg untung-untungan (untung bisa makan,
untung bisa hidup, untung bini bisa melahirkan dengan selamat dsbnya)
dipertahankan dan diserukan gak usah protes.. kerja saja. Mirip romusha, cultur
stelsel dsbnya. Di era sekarang eranya perusahaan para pengawas/mandor tidak
lagi memakai cambuk dalam arti tali cambuk yang nyata tetapi memakai istilah
KPI (Key Performance Index), para karyawan menghalalkan segala cara untuk
merebut ukuran2 KPI itu… heheheee
“be yourself” ß kira
nebak ini iklan apa?? Logikanya kita disuruh untuk menjadi diri sendiri
(katanya) dengan memakai produk yang sama. Lah dimana letak be yourself klo
kita sama. Dan dengan mudahnya kata2 ini untuk mempertahankan produk-produk
jualan membentuk kesadaran palsu. Katanya berbeda kok “model rambut sama.” Tak
pelak lagi “saya berbeda” kata yg paling banyak diucapkan. (iyalah ente ya
ente,, gak ada 2 nya di dunia ini, klo ada ya itu kembaran ente). yang jelas
kita manusia itu saja.
“Time is money” ß ini yg teraneh
(merekonstruksi umur manusia yg pendek dan penuh kefanaan, makanya harus
bersenang2 sedemikian rupa dan menimbun uang sedemikian rupa), tidak ada
afterlife di ungkapan ini.
“Modis” – upaya penyeragaman/ normalisasi.
Dalam ungkapan terkenal "memberi ganjaran bagi para pemalas dan
menghargai yang rajin" <--- gilee banget ini konstruksinya gan..wwkwkk
Dalam Ramadhan jika kita mau memakai dalil
agama dalam mengcounter hegemoni ideologi diatas ialah dengan melakukan logika
pembalikan atas semua logika yang ditawarkan dan beranak cucu itu. Hanya dengan
satu ayat singkat saja dapat menjelaskan bentuk perlawanan atas logika
mainstream itu, dalam surah At-takaatsur (1) أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (Al hakumuttakasyur) ya hanya satu ayat
ini maka runtuhlah semua logika mainstream yang ditawarkan kepada kita. Arti
surah itu "bermegah-megahan telah melalaikan kamu".
Di
"bermegah-megahan" logika mainstream itu bermain dengan sangat halus
sekaligus kasar dengan tujuan bisnis itupun karena mengkonstruksi selera yang
berujung pada pementukan kepentingan dan melahirkan gerak-gerak aksi/praxis
untuk mewujudkannya. Semacam gerak bolak balik (Selera <-> kepentingan
<-> aksi). Biasa terdengar, “ini ada budgetnya buatkan program apa saja
yang penting jalan dengan potongan …%”. Urusan performance diri berlebihan
merupakan “tipu-mata” yang melanggengkan logika mainstream ini berbasis
konsumtif.
Selera dipahami men"konstruksi
kenyamanan" , dan akibatnya "melalaikan kamu" lalai dalam arti
semuanya dari lalai beribadah (vertical primer) sampai keberhasilan untuk
mendistraksi perhatian atas kondisi yang timpang (horizontal primer). Ketika
tersadar (baca: emansipasi) dengan segenap kemampuan yang ada mencurahkan pada
perbaikan dari kondisi yang ada maka upaya logika mainstream untuk berakar di
pikiran kita bisa terputus tetapi jika “kelebihan materi” tidak bersumber dan
digunakan kepada yang baik/berhak, maka logika mainstream kembali memupuk dalam
pohon yang baru. Lalai juga bisa diartikan terlalu sibuknya kita memperhatikan
bungkusan daripada isi dari sesuatu. Bagaimana ternyata jika hanya bungkusan
semua?? Gak ada isi. ß doorprice
Dalam banyak penjelasan
upaya-upaya untuk menyadarkan ini sudah banyak ditulis para thinkers dan
writers baik barat maupun timur dalam wacana suprastruktur yang sama.
Klo di ilustrasikan upaya dari para
mainstream ini seperti kita diputarkan film terus menerus/cuci otak dengan
memakai kaca mata kuda dimana tidak diperbolehkan melihat ke sana kemari di
mitoskan dengan memberi batasan, awass ketika keluar batas akan masuk jurang
sini jurang sana.
- Dari fokus kesadaran individu ke emansipasi komunal/komunitas
Hanya di bulan Ramadhan
ekonomi mikro menggeliat ditengah sibuknya para ekonom level langit berdebat padahal
hanya bermain-main menjaga perasaan yang tidak real, apa itu menjaga
persepsi/sentiment pasar modal (orang-orang yg mau duit banyak dalam waktu
cepat tanpa kerja nyata), pasar virtual, financial tidak real/nyata/ hanya
konstruksi untuk hegemoni maintain sistem perputaran uang yang uangnya hanya
dilihat dalam bentuk digital naik turun, memutar uang dengan memberikan utang2
(sistem bank bekerja). Orang2 di negeri jauh-jauh sono bisa meremote
nasib-nasib jutaan manusia atas nama pasar. “Tanam besar, dapat besar, klo ada yang
aneh tarik saja uangnya, susah amat, yang ditanami stress minta ampun.” ß ini orang-orang carinya apa… astaga. Atas
nama penambahan modal perusahaanlah, itulah inilah, diberi pinjaman sama mata
duitan, ya jelaslah kacau.
Hanya di ekonomi skala
kecil (baca: pasar tradisional) yang menghidupkan dan merupakan kumpulan
orang-orang yang real/exist ketemu. Sayangnya setelah penjajahan kuno beralih
ke modern dimana logika mainstream diatas dipraktekkan institusi2 keuangan
penyangganya seolah menjadi penjaga yang siap memukul kapanpun di kritisi.
Para pemegang uang tak
segan mendermawakan uangnya, para pemuda-pemuda begitu solid dalam setting
kepanitiaan menyukseskan ramadhan dalam program-program, para pelaku dosa takut
membatalkan puasanya (self control), kebersamaan dalam keluarga begitu terasa,
dan sebagai-sebagainya.
Dengan menggunakan dalil
lagi, banyak sekali anjuran dalam tema keadilan untuk berdiri untuk kaum miskin
"stand for the poor" sebutlah kata-kata "shalat dan zakat"
berapa kali diulangi ataupun seruan larangan memakan hak orang lain terutama
kaum miskin. Khusus pada kata-kata “shalat dan zakat” yang rata-rata tertulis
bersamaan, menurut saya sebagai orang yg minim pengetahuan agama memiliki aspek
dan dimensi Vertikal dan horizontal yang sama sekali tidak bisa dipisahkan.
Anjuran “membela” yg
miskin, membela dalam arti yang luas mencurahkan segala kemampuan untuk membuat
perbaikan nasib dan sebagainya dari segala tindakan maupun profesi. Ketika anda
menjadi ekonom yang mempunyai akses untuk merubah ini itu harus jelas fokus
dari pembangunan yang anda bangun itu tujuannya untuk orang miskin, sekarang
malah terjadi pembalikannya dan cukup banyak para penjual negara ini
berkeliaran belum lagi tradisi “sunat” anggaran berakar pada birokrasi.. wadoww
kacau betull. Ketika jadi dosen setidaknya jangan membodoh2i mahasiswa dengan
merepetisi logika mainstream itu, berusaha sekuat tenaga untuk memunculkan
alternatif-alternatif mode yang tidak berpatronase pasar, lebih berorientasi
bagaimana nasib kaum miskin ini dsbnya. Dalam pendek kata tidak usahlah
menambah jumlah “apparatus” penyangga
mainstream itu.
Kesalehan individu mesti
tidak berdiam diri tetapi harus menunjukkan gerak, karena kapan terdiam ditepi sang ekskavator datang mengambil emas secara brutal. Sekarang katanya merubah kondisi
negara itu “Utopia”, tetapi nabi-nabi terdahulu bersama para pengikutnya
berusaha sekuat tenaga untuk merubah zaman bahkan peradaban. Jadi nostalgia
sejarah cukup banyak menyebutkan success story. Setelah terjadi emansipasi
individu keharusan menjadikan kelompok itu kuat dengan tujuan yg mulia.
Kesadaran “bersama” atau massa diperlukan. Biasanya muncul anekdot begini dan
cukup mengganggu “kita kan bukan Nabi” ß lah yg bilang lu nabi
siapa?? Dan parahnya kegagalan melihat kerja nyata massa/pengikut baik
semasa hidup ataupun setelah wafat Nabi, mereka terus mensyiarkan apakah kerja-kerja
itu patut dilupakan??
Kondisi terjadi sekarang
khususnya dinegara ini saking banyaknya orang “pintar” dalam menterjemahkan
pembangunan nyatanya kualitas dan kuantitas miskin itu meningkat. Kenapa bisa
begitu, ternyata “banyaknya” justru melahirkan faksi-faksi dan tidak terfokus
lagi objek nyata (masyarakat miskin) yang ingin di advokasi. They are success
to distract us sekali lagi pemirsa. Dalam hal ini “Al hakkumutakasyur” mengena
lagi difenomena ini.
Tengoklah masyarakat yg hidup dibawah jembatan
itu. Coba para pejabat itu diberi waktu sebelum buat program magang 1 minggu
saja tinggal bersama mereka, bukti dan kenyataan empiris tak pelak lagi mereka
merasakan apa itu Miskin, liat tatapan berjuta mata tanpa masa depan. Hidup tak
jelas, sanitasi berantakan dsbnya.
Kenapa agama menitik
beratkan pembelaan ke yg miskin, tentu saja bukan tanpa alasan, karena
selemah-lemahnya manusia dalm hal akses dan sebagainya adalah orang miskin.
Ketika sakit dan tidak punya uang berobat atau kerumah sakit, ketika lapar dan
tidak punya makanan, ketika lapar dan tereksploitasi, ketika malnutrisi, gizi buruk, lambat berpikir, pendek berpikir, ketika hujan tidak
mempunyai tempat berteduh, ketika tergusur, ketika hak dengan mudah diambil,
ketika direpresi tidak membalas, ketika pembodohan di langgengkan, ketika
pendidikan menjadi hak ekslusif, ketika tidur diemperan, , ketika voters diperjualbelikan, ketika membicarakan hak warga negara menjadi
sesuatu yang sakral, ketika ada/exist dalam jumlah yang besar semua dialamatkan
pada “Miskin”.
Dalam salah satu forum
kajian diskusi menyebutkan bahwa “Islam sangat menjunjung pendidikan dan
keharusan bagi kita untuk belajar” dengan nostalgia para penemu Islam seperti
Ibnu Sina, Ibn Rusyd, Ibnu Khaldun dsbnya betul mereka mampu melakukan
pengembangan pengetahuan berbasis eksperimental dan sebagainya dengan kondisi
objektif waktu itu ketika pendidikan belum dikomersialisasikan seperti sekarang
ini, dan dimana dunia waktu itu haus akan pengetahuan non komersil (socially
constructed) dan terpenting mereka bebas lapar. Pendidikan sekarang itu mahal
karena merupakan sebuah industri dengan manajemen perusahaan seperti
logika-logika mainstream. Seperti pabrik yang melahirkan cetakan-cetakan,
dimana cetakannya harus memberikan uangnya ke pabrik. Akan lebih senang rasanya
jika para intelektual tidak hanya memikirkan kesalehan individualnya tetapi
berhasil bersatu padu dalam emansipasi massa untuk melahirkan pendidikan yang
bisa di akses bagi semua kalangan (vertical dan horizontal bersamaan). Aspek
idesional/gagasan individualistic ini jangan sampai direpetisi dalam kerangka
kesalehan dan perburuan surga.
Cukup malu rasanya dengan
populasi yg notabene Islam terbesar sekaligus negara dengan simpul korupsi
paling ribet di dunia dibandingkan negara lain yang betul2 menservis/bekerja
untuk rakyat miskinnya, putar otak kiri kanan untuk melayani rakyatnya ditekan
asing kiri kanan atas bawah, diserang dari dalam oleh oportunis politikus-pengusaha
pro mainstream, (disini tidak diberikan ilusi welfare state ala skandiv).
Negara disini bukan ruang hampa tetapi ialah sekumpulan orang-orang (massa)
yang menjalankannya. Jika jual menjual kepentingan untuk bermegah-megahan
sampai kapanpun negara (massa) ini LALAI. Seperti para ustad/tokoh agama dsbnya
yang dimana lisan fasih dengan ayat-ayat tetapi tetap memakai logika mainstream
ke arah penumpukan materi-materi (bermegah-megahan), kenapa bisa begitu ??
tokoh agama juga manusia… jika tidak mengerti logika kondisi objektif yang
terjadi tetap saja dihegemoni.
Penutup, Arena pembuktian
Ramadhan bukan terletak pada bulan ini saja tetapi kekonsistensian terletak
pada bulan-bulan selanjutnya. Bulan ini bisa menjadi kesadaran palsu saja
ketika gagal mewujudkannya ke dalam gerak-gerak/praxis.
Seperti kata teman:
Bahagia itu sederhana, dalam kesederhanaan (emansipasi bermegah-megahan) ada
kebahagiaan. Untuk aksinya “Share your happiness to others (miskin/tidak mampu)’.
Karena hidup itu dinamis sampai titik kematian, ada kesempatan untuk merubah
diri.
Salam perlawanan, salam
Ramadhan
Stand for the poor
Mohon Maaf jika ada salah
menafsirkan berdasarkan pengetahuan agama yang minim dan contoh-contohnya yg ke kanak-kanakan.
Jogja 1433 H
No comments:
Post a Comment