Jogja
28 june 2012
Materialisme – Dialektik–
Historisme
Dari buku Problem Filsafat Edisi Kolektor (bukunya Gun)
oleh Martin Suryajaya
“Materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis,
sedang dialektika adalah metode-nya” sedangkan “materialisme historis adalah
penerapan atau pengenaan materialisme dialektik ke alam sejarah
manusia”—demikian tutur Njoto dalam kuliahnya di tahun 1961.
Kedua
pernyataan tersebut dapat kita uraikan dalam tiga pokok pengertian:
materialisme, dialektika dan historisitas. Melalui uraian atas pokok-pokok ini
kita akan mengerti apa yang dimaksud sebagai “berpikir dengan pendekatan
materialisme dialektis dan historis”.
1. Materialisme
Seperti kita ketahui secara umum,
materialisme pada mulanya merupakan gugus pengertian bahwa materi (ikhwal
indrawi) adalah hakikat dari realitas. Marx merubah pandangan umum ini.
Baginya, materialisme macam itu hanya benar untuk materialisme klasik hingga
abad ke-18. Dalam Tesis pertamanya tentang Feuerbach, Marx menunjukkan pengertian
baru dari materialism.
Materialisme sebelum Marx hanya
memahami materi sebagai obyek indrawi belaka. Pengertian ini tak mampu
menyadari bahwa obyek-obyek material itu adalah juga hasil dari aktivitas
subyektif manusia. Sentralitas pada obyek ini dibalikkan oleh Marx dengan
menunjukkan peran sentral subyek, manusia, dalam konstitusi materialitas
hal-ikhwal. Dengan pendekatan yang dapat disebut sebagai “materialisme
subyektif” inilah Marx lantas dapat menunjukkan sesuatu, selain obyek material,
yang konstitutif terhadap realitas. Sesuatu itu tak lain adalah KERJA.
Pengertian Marx tentang
materialisme ini merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah pemikiran.
Pengertian ini pulalah yang, dalam tafsir Etienne Balibar, untuk pertama
kalinya mampu melepaskan materialisme dari idealisme. Selama materialisme hanya
berhenti pada primasi pada materi sebagai esensi realitas, maka materialisme
itu tak akan lebih dari “idealisme terselubung” (disguised idealism).
Berdasarkan konseptualisasi Marx yang baru, kini materialisme menjadi subyektif
dan terekspresikan dalam praktik konkret. Pembaharuan ini juga, bagi Balibar,
menghasilkan konsepsi baru tentang subyek, yakni persamaan “SUBYEK = PRAKTIK”.
Materialisme Marx adalah
pengertian bahwa keseluruhan obyek yang menyusun realitas ini tak lain adalah
efek dari aktivitas subyek. Dipahami dalam kerangka ini. Kenaikan harga sembako
tidaklah alami, begitu juga hutan-hutan yang jadi gundul di Kalimantan,
pemanasan global dan matinya seorang buruh pabrik. Semuanya adalah efek dari
konfigurasi aktivitas manusia yang tertentu.
2. Dialektika
Kita juga tahu bukan Marx yang
pertama kali berbicara mengenai dialektika. Sejak Platon, pemikiran filosofis
senantiasa dicirikan dengan sifat dialektis. Sokrates, junjungan Platon,
sendiri berfilsafat dengan dialektika, dengan dialog (ingat: asal kata Yunani
dari dialektika adalah dialegesthai
yang artinya “dialog”). Namun dari
Hegel lah Marx menimba pelajaran mengenai dialektika. Pengandaian dasar
dialektika Hegel adalah relasionalisme
internal.
Bagi Hegel, relasi determinasi resiprokal ini adalah pula relasi negasi resiprokal:
afirmasi (A), negasi (non-A) dan afirmasi pada tataran yang lebih tinggi atau
“negasi atas negasi” (non-non-A yang mencakup intisari A dan non-A). Inilah
yang biasanya kita kenal sebagai dialektika antara tesis-antitesis-sintesis. Dialektika inilah yang dimengerti Hegel
sebagai dinamika internal dari realitas dan pikiran.
Konteksnya adalah tuduhan yang
dilayangkan peresensi Jerman dan Russia atas buku Kapital. Dalam resensinya
mereka menyebut bahwa traktat tersebut dipenuhi oleh “sofisme” Hegelian”.
Terhadap tuduhan ini, Marx menjawab:
“Metode dialektis saya, pada
fondasinya, tidak hanya berbeda dari kaum Hegelian melainkan tepatnya
beroposisi dengannya. Bagi Hegel, proses pemikiran, yang ia transformasikan
menjadi subyek independen di bawah nama ‘Idea’, merupakan pencipta dunia riil,
dan dunia riil hanyalah penampakan eksternal dari idea. Dengan saya,
kebalikannya menjadi benar: yang-ideal tidak lain dari dunia material yang
direfleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk
pemikiran.
Bahwa Marx menolak dialektika Hegel sejauh itu dipahami sebagai glorifikasi atas apa yang eksis,
alias suatu justifikasi atas status quo.
Dengan demikian, selama dialektika Hegel
masih dipahami dalam pengertian bahwa segala yang riil (situasi penghisapan, sistem yang
merepresentasi rakyat dalam parlemen borjuis) niscaya rasional dan dengannya menjadi sah untuk eksis dan terus eksis,
maka dialektika Marx bukanlah dialektika
Hegel.
komentator seperti Louis
Althusser justru menekankan adanya patahan (coupure) radikal yang mengantarai
pemikiran Marx muda yang masih Hegelian dan pemikiran Marx lanjut yang
samasekali non-Hegelian.
Dialektika, sesuai dengan
pendapat Njoto, merupakan metode dari materialisme Marxis. Artinya, filsafat
Marx yang bertumpu pada konsepsi materialis—bahwa yang terselubung pada jantung
realitas sesungguhnya tak lain adalah praxis subyektif yang jadi material—hanya
dapat diekspresikan oleh satu-satunya metode yang cocok dengan karakter
materialis ini, yakni metode dialektika—sebuah modus di mana bendanya itu
sendiri tidak hadir dalam stabilitas yang diam, melainkan telah selalu dalam
gerak determinasi bolak-balik yang tak berkesudahan.
3. Historisitas
Kesejarahan merupakan tema
sentral dalam diskursus Marx. Kita sering mendengar tentang ramalan Marx
mengenai tatanan komunis dunia sebagai hasil evolusi dialektika sejarah.
Seolah-olah Malaikat Sejarah yang bekerja dari balik layar realitas tengah
merancang suatu Penyelenggaraan Ilahi bagi kaum proletar sedunia. Seolah-oleh
sejarah akan berpuncak pada suatu konflagrasi final antara yang-Baik dan
yang-Jahat, antara proletar dan borjuasi, dan akan berakhir dalam suatu surga
dunia komunis. Pandangan inilah yang dikenal sebagai historisisme, atau
pengertian bahwa sejarah dipimpin oleh suatu teleologi internal.
Skema Marx yang terkenal tentang
infrastruktur (Unterbau) dan suprastruktur (Überbau) dapat menjurus pada
historisisme: karena infrastruktur ekonomis mendeterminasi suprastruktur
ideologis, maka perkembangan realitas ekonomi lah yang menentukan pembebasan
politik dari kelas proletar yang terhisap. Pada akhirnya, tafsiran semacam ini
akan berujung pada suatu kepercayaan pada “keniscayaan historis” bahwa
kapitalisme akan tumbang dengan sendirinya karena kontradiksi internalnya
seperti dianalisis Marx dan kelas proletar akan menjadi satu-satunya kelas
sosial dunia. Namun pembacaan seperti ini abai terhadap relasi determinasi
timbal-balik yang menstruktur relasi antara subyek dan sejarah dunia yang
melingkupinya.
Memang benar bahwa konsepsi
materialis Marx yang bersifat subyektif, atau menekankan pada praxis, dapat
mengarah pada pengertian bahwa sejarah pun merupakan hasil bentukan manusia
dan, oleh karenanya, Marx terjatuh dalam historisisme.
Pembacaan historisis itu
berpegang pada sebaris frase kunci yang tidak berasal dari Marx melainkan dari
Engels, yakni “determinasi pada pokok terakhir”. Artinya, determinasi pada
pokok terakhir ada pada infrastruktur ekonomi. Terhadap tafsiran historisis
ini, Althusser juga mengajukan sanggahan. Ini dilancarkannya melalui elaborasi
konsep overdeterminasi (surdétermination), yakni relasi determinasi resiprokal
di mana pokok yang mendeterminasi ikut terdeterminasi oleh apa yang ia determinasikan
sendiri. Relasi overdeterminasi inilah yang bagi Althusser dimengerti Marx
dalam konteks relasi antara infrastruktur dan suprastruktur. Itulah sebabnya
Althusser dapat menulis: “Dari momen pertama hingga terakhir, jam sepi ‘pokok
terakhir’ tak pernah datang [the lonely hour of the ‘last instance’ never
comes].”15 Dengan demikian, tak ada historisisme yang esensial dalam pemikiran
Marx.
4. Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis
Setelah kita mencapai pengertian
tentang materialisme, dialektika dan historisitas dalam pemikiran Marx, kini
kita dapat beranjak menuju pemahaman akan materialisme dialektis dan
historis—atau apa yang kerap disebut sebagai MDH. Kita akan mulai dengan uraian
tentang asal-usul term. Tentang materialisme dialektis, term ini sendiri tidak
ada dalam corpus Marx-Engels: Marx hanya bicara tentang “metode dialektis”
sementara Engels tentang “dialektika materialis”.
Ekspresi “materialisme dialektis”
pertama kali dipakai oleh Joseph Dietzgen di tahun 1887, salah seorang kawan
koresponden Marx. Lenin lah yang mempergunakan term ini secara
sistematis—sesuatu yang, dalam Materialism and Empirio-Criticism (1908), ia
elaborasi dari karya-karya Engels. Sesudah Lenin, wacana Marxisme Soviet
terbagi oleh dua orientasi pemikiran: “dialektis” (Deborin) dan “mekanis”
(Bukharin).
Untuk mengatasi perdebatan yang
tak kunjung selesai di antara kedua kubu ini, Sekretaris Jendral Partai Stalin
mengeluarkan dekrit di tahun 1931 yang memutuskan bahwa materialisme dialektis
adalah sama dengan Marxisme-Leninisme. Lantas, pada tahun 1938, Stalin
menjalankan kodifikasi atas ajaran tersebut secara lebih lanjut di dalam
pamfletnya, Dialectical and Historical Materialism. Kodifikasi Stalin inilah
yang dikenal sebagai sistem diamat (singkatan dari dialectical materialism) dan
diterapkan di sebagian besar negara Komunis.
Koreksi penting atas kodifikasi
Stalin ini datang dari Mao Tse-Tung. Dalam esainya dari tahun 1937, On
Contradiction, Mao menolak ide Stalin tentang “hukum-hukum dialektika” dan justru
memberikan penekanan pada kompleksitas kontradiksi. Kontradiksi, dalam
pandangan Mao, tidak tunggal melainkan memiliki struktur ganda: di satu sisi
terdapat kontradiksi pokok, yakni kontradiksi yang tak dapat diperdamaikan
(misalnya, kontradiksi antara borjuis dengan proletar), dan di sisi lain
terdapat kontradiksi tidak pokok yang dapat diselesaikan dengan negosiasi
(misalnya, kontradiksi antara buruh dan petani). Dari penafsiran Mao atas
kontradiksi inilah nantinya Althusser mengelaborasi konsep overdeterminasi yang
tadi telah kita bahas secara singkat sebagai kritik atas pembacaan historisis
tentang Marx.
Apapun penafsiran para komentator
tentang materialisme dialektis dan historis, ada satu yang tetap, yakni bahwa
semuanya mengakui bahwa materialisme dialektis dan materialisme historis
merupakan ajaran yang internal dalam pemikiran Marx sendiri walaupun Marx tak
pernah menggunakan term-term tersebut secara sistematis. Oleh karena pembahasan
mengenai materialisme dialektis dan historis ini mengandaikan rekonstruksi atas
keseluruhan teks Marx, maka kami di sini hanya akan membatasi pada pengertian
tentang kedua term tersebut berangkat dari klarifikasi yang telah kita lakukan
atas term materialisme, dialektika dan historisitas.
Materialisme dialektis merupakan
cara berpikir Marx tentang realitas, yakni pengertian bahwa realitas tersusun oleh materi yang memiliki
relasi langsung dengan subyektivitas dan relasi ini pun bergerak dalam untaian
determinasi resiprokal. Dalam pengertian yang lebih sederhana, realitas
adalah efek dari mekanisme perjuangan kelas. Jika, mengikuti Njoto,
materialisme historis merupakan penerapan materialisme dialektis kepada
kenyataan yang menyejarah, maka materialisme historis dapat kita mengerti
sebagai gugus pemahaman tentang sejarah sebagai ikhwal yang tersusun oleh
determinasi resiprokal antar subyek dan antara subyek dengan materi obyektif.
Atau dalam arti yang dipermudah, sejarah adalah efek perjuangan kelas—sebuah efek
yang bergerak dalam arah ganda, kepada sejarah dan kepada kelas itu sendiri.
No comments:
Post a Comment