karena gagal naik di opini/artikel koran, maka dibeberkan saja disini,hehee
Rohingnya dalam
konstalasi politik internasional
Analisis konflik ini memakai Onion model (model yang melihat konflik
sebagai bawang yang memiliki lapisan-lapisan) yang lebih kompleks dari yang
diperkenalkan oleh Galtung dengan memposisikan bagian lapisan-lapisan (layers onion) sebagai tempat agent/aktor
(perspektif gerak bolak-balik subjek-objek) serta posisi dan kepentingan yang
terhubung agar dapat menjelaskan dimensi politik dan ekonomi pada saat yang
bersamaan. Mengupas bawang dari lapisan terluar sampai kedalam.
Pada area permukaan konflik
Rohingya ini menjadi isu sektarian semata (dimana Mayor menyerang minor) dengan
menggali sejarah dari kaum Rohingnya dan tahun pemerintah berkuasa.
Pertanyaanpun kita majukan selangkah mengapa diskriminasi minoritas Rohingya
“baru” mendapatkan perhatian
publik/dunia akhir-akhir ini. Dalam tulisan ini titik analisanya untuk menjawab
pertanyaan tersebut dan darinya diperoleh sebuah hipotesa awal bahwa konflik ini melebihi dari konflik sektarian maupun rasis semata tetapi
mempunyai dimensi politik dan ekonomi yang terhubung dengan konstalasi politik
internasional. Hipotesa itu dibangun oleh sub-sub hipotesa sebagai berikut
dengan tidak melihat trigger konflik
sebagai satu-satunya causalitas:
Lapisan permukaan :
sektarian/rasisme
Dari perspektif Mayoritas melihat minoritas
sebagai “threat” (ancaman). Seiring menguatnya sell jaringan komunitas
Rohingnya (ARNO dan ARU) baik dari fund maupun sinyalemen interkoneksi dengan
jaringan Taliban dan organisasi Islam radikal Asia Tenggara. Ancaman disini
disimulasikan seperti aktivitas Moro di Filipina. Narasi pun diperkuat dengan
mencoba mencari kesejarahan dan menyalahkan British
Settlement yang memberikan tempat bagi mereka yang berujung pada narasi
orang Rohingya bukan merupakan penduduk asli Burma akibatnya blaming
the victims. Konflik sektarian/rasis sebelumnya dan stigmasisasi Muslim
offensif memperparah konstruksi pemikiran mayoritas ini dan berdampak pada
tindakan yang diambil.
Dari perspektif minoritas
Rohingya mereka menginginkan hidup berdampingan dengan penduduk mayoritas
karena keberadaan mereka sudah ada sejak lama. Perjuangan minoritas ialah
mendapatkan pengakuan, perlindungan dan hak yang sama dengan mayoritas dalam
territorial Burma maka dari itu mereka membuat organisasi sebagai penyatu dan
berharap punya bargaining position
dengan berjejaring dalam menyuarakan hak. Dan adapun perjuangan membentuk
wilayah sendiri disinyalir segelintir elit politik.
Lapisan Pertengahan : Negara ( Junta vs Demokratis)
Perspektif Junta: Pemerintahan
Burma yang berbentuk Junta (dipimpin oleh militer) yang sekarang menduduki
posisi strategis di ASEAN berpresepsi internasionalisasi
issu ini mengancam legitimasi kekuasaan mereka sebagai pemerintahan resmi
negara dengan formasi Junta. Posisi ini tidak menguntungkan mereka, jika sampai
digulingkan maka kantong-kantong mata pencaharian mereka juga turut hilang
terkecuali memakai pola umum yaitu pihak pimpinan militer oportunis (berbisnis)
ber fusi kembali ke dalam pemerintahan demokratis (menjadi koalisi palsu untuk
mengamankan kepentingan).
Dengan Internasionalisasi issu ini maka Junta
semakin rentan untuk mendapat intervensi maupun pressure internasional. Jadi
dalam hal ini kepentingan Junta untuk melokalisasi issu menjadi perlu ataupun
dengan peredaman konflik dengan memperlihatkan pihak internasional mereka
bekerja keras untuk meredam konflik dengan cara mengundang organisasi
internasional untuk masuk dan mengawasi.
Perspektif demokrasi: Perjuangan
demokrasi di Burma di representasikan pada seorang tokoh Aung San Suu Kyi.
Dalam hal ini demokrasi mendapat celah ataupun momentum untuk membeberkan
kondisi objektif negaranya di bawah rezim represif militer Junta yang selama
ini bekuasa. Suu Kyi dilihat sebagai tokoh politik yang mempunyai massa (dalam
hal ini pihak Mayoritas) makanya dalam berbagai kesempatannya “tampaknya” Suu
Kyi tidak terlalu berpihak kepada minoritas dalam pembicaraannya karena
kekwatiran akan kehilangan simpati Mayoritas rakyat Burma ataupun kontra
produktif dengan perjuangan demokrasi yang dibangun. Dengan hadiah Nobel
tampaknya secara implicit internasional menaruh perhatian pada demokratisasi di
Burma kedepannya dan khususnya kunjungannya pertamanya ke Inggris.
Akan tetapi kohesivitas konflik
ini dapat menjadi komoditas politik Suu Kyi dalam mempromosikan kebaikan
demokrasi yang di usungnya ataupun reformasi palsu junta untuk meredam opini
internasional bahwa mereka melakukan perubahan dengan mengafirmasi tuntutan
internasional untuk mengakui dan menjunjung tinggi hak minoritas. Karena
politik begitu cair.
Lapisan Inti : Eksternalist ( China – ( AS – UK ))
Inti disini bisa diartikan yang
terbesar/terdalam/yang tidak kelihatan, ketika ekonomi bertemu politik. Dari energy perspective/oil politics kita dapat melihat
sesuatu dari arah berbeda. Kepentingan ekonomi ada dibelakang dan sifatnya
menyetir walaupun hal tersebut bukan menjadi satu-satunya faktor tetapi sangat
signifikan untuk melihat ke arah mana bola panas mengarah. Untuk Myanmar/Burma
sendiri khususnya Arakan yang menjadi region dimana di dalamnya konflik
terjadi, menurut Arakanoilwatch.org daerahnya mengandung 22.5 trillion cubic
feet (tcf) gas dan mineral berharga lainnya.
China dalam hal ini dihubungkan
karena kedekatannya (baik secara geografis maupun politik) dengan pemerintahan
Junta sebagai salah satu bukti perusahaan CNOOC (China memainkan peranan mayor
dalam industri migas di Burma). Dalam hal domestik Burma, mengganti Junta ke
Demokratis artinya menggeser posisi China ke koalisi demokrasi AS – UK (dan
sekutu yang lain (pro demokratis)) dengan konsesi asistensi pembangunan
demokratis (utang pembangunan) dan terutama untuk pengelolaan daerah
pertambangan migas dan non-migas dijanjikan lebih terbuka dan adil buat
masyarakat. Narasi ini menjadi jual-beli karena dilukiskan kondisi pemerintahan
Junta penuh fraud dan corruption. Kepentingan kebebasan
bersuara dan politik masyarakat domestik yang selama ini dibatasi bak bagai
gayung bersambut dengan demokrasi yang dijanjikan ini.
Untuk lebih luas lagi membaca
kepentingan ekonomi ini yang berusaha di kawinkan dengan politik sebagai suatu
tindakan yaitu menghadirkan para “pejuang demokrasi” (AS dan sekutunya dalam
hal ini UK (inggris) karena kedekatan sejarah dan konsesi perusahaan migas)
dalam konstalasi politik domestik Burma terutama pada bagian politik regional
Asia Tenggara merupakan suatu ancaman bagi China. Hal ini dilihat dari naiknya
tensi perebutan wilayah “Laut China Selatan” yang mengandung begitu besar
potensi minyak dan gas dimana China menjadi kekuatan oposisi besar bagi ASEAN
dalam menyelesaikan sengketanya berbasis normatif UNCLOS. Posisi “Laut China
Selatan” merupakan nilai ke ekonomian tingkat tertinggi dari ekspektasi
berperan lebihnya para hegemon dalam konstalasi politik Asia
Tenggara. Pendek kata dilemma domestik
Myanmar kini ada di dua arah jalan serupa dengan kondisi Indonesia 1998
(otoriter atau ke demokratis-neoliberal) dan siapa pemenangnya? kita dapat
melihatnya nanti tetapi jika dikalkulasi perubahan akan terjadi. Aksi
menunjukkan hegemony dengan
“membantu” salah satu pihak ini bukannya tindakan altruistic tetapi mempunyai kepentingan politik dan ekonomi besar
dan jangka panjang.
Membaca aspek transfer ide
sebagai bagian yang terkadang tidak terlihat oleh umum, yaitu: pertama, jika
reaksioner dari fundamentalis Islam dari berbagai jaringan yang dianggap
“terrorist” ini maka akan memperkuat discourse
moslem as terrorist tentunya ini akan berosonansi lebih luas dari yang di
kalkulasi yaitu selain penegasan diskursus semacam itu (stigmasisasi muslim)
akan memperkuat pendudukan negara-negara oleh pasukan koalisi seperti NATO
(eksistensi dipertahankan) untuk terus melaksanakan kebijakan paranoia
“terrorist” yang dimplementasikan di hampir semua negara sekarang ini tidak
terkecuali Indonesia. Untuk bargaining NATO
kita teringat oleh konflik south Ossetia 2008
lalu yang pas juga bertepatan Olimpiade di Beijing. Resonansi lebih luas dan lebar pun untuk negara dengan predikat pemimpin militer maupun ex militer cenderung tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, dalam hal ini misalnya Venezuela pemilihan 7 oktober mendatang.
Kedua, transfer ide akan semakin
menguatkan discource dalam termin democratic peace theory yang dianut baik regional maupun global.
Yaitu dibawah kondisi demokratis negara lebih stabil, konflik ataupun ancaman
perang negara dapat dikurangi. Akibatnya transfer ide pembenaran peperangan
atas nama demokrasi baik secara moral
dan etika terjadi. Demokrasi yang dipraktekkan negara-negara berkembangpun
terlalu banyak bermain di lapisan permukaan yaitu kebebasan berbicara dan
berpolitik secara emosional serta mengesampingkan partisipasi rasional aktif
rakyat untuk mengawasi masyarakat untuk mencegah keadaan social-economic injustice dan
mewujudkan distribusi kekayaan merata untuk mengurangi kemiskinan.
Sebagai solusi jangka pendek bagi
individu dengan keterbatasan ruang dan gerak bisa memberikan bantuan
solidaritas ke organ-organ sosial yang akan/telah masuk ke wilayah konflik untuk melakukan kerja sosial dan tim pemantau. Untuk
pemerintah pusat ataupun daerah selain “mengutuk” ialah memperbolehkan/menampung
para refugees/pengungsi dimanapun pengungsi berlabuh walaupun
dapat menimbulkan konflik lebih kecil tetapi demi kemanusiaan hal itu harus
dilakukan.
Tulisan ini untuk menambah daya
analisis wacana agar tidak terjebak apalagi sampai memproduksi embrio kebencian
kemudian menyalahkan “agama” karena tindakan ini merupakan suatu Fatalis.
Mengajak untuk tetap membaca kondisi objektif
lebih dalam dengan melihat aktornya dan struktur konfliknya terlebih
pada produksi konflik serta masalah sosial dan ekonomi lainnya. Keharusan untuk
meng counter narasi dominan “clash of
civilization” usaha membenturkan agama, mendekonstruksinya agar menjadi “Harmony of civilization” karena dunia
milik semua mahluk hidup dan essensi dari toleransi ialah Majority for minority (mayoritas melindungi minoritas/ kuat
melindungi yang lemah).
Adapun pemilihan konflik menggunakan Onion Model masih terdapat pilihan antara memakai iceberg atau piramida. Adapun Onion dipilih melihat
kondisi objektif publik yang terkesan terlalu fokus pada aktor pada outer
layer.
( Dalam onion model Galtung dibedakan antara outer layer: position,
Layer pertengahan: Interest, Layar inti : need. Tapi saya memodifikasinya dengan penentuan
layer berdasarkan Aktor apa yang dilihat oleh publik
(permukaan,pertengahan,inti), sedangkan position, interest, need tergabung dari
masing-masing layer dari aktor. Jika di analogikan satu layer misalkan
permukaan itu terkandung lagi layer tipis di dalamnya (position dan interest)
untuk teknis pemadatan tulisan dengan agar dapat menghubungkan analisa
perspektif aktor dengan ekonomi politik condition ). Mencoba mendialogkan masing-masing perspektif dengan tujuan viewers/pembaca mampu memilah dan menganalisa masalah sekaligus dapat memberikan simpulan-simpulan dalam waktu bersamaan.
Mohon Kritikannya.
Juli 2012.
No comments:
Post a Comment