Pages

Cerpen: Membisiki Selimut


(…kring…kring..bunyi ring tone hp….)
“haloooo, kenapa Sin?”
“Ratih…(dengan nada terburu-buru) kamu ada di mana nih?”
“Di rumah kok, ada apa Sin?” ..sahut Ratih
“Entar gue jelaskan…ini gue menuju rumahmu naik Taksi Grab. Sekitar 15 menit lagi mungkin nyampe kesitu, jangan keluar dulu yak.”
“oke gue di rumah terus kok, gak keluar nih malam” balas Ratih
“oke thanks ya”

Berselang 20 menit taksi Grab yang kurang mengkilap itu tiba di depan rumah Ratih. Sinta turun dengan tergesa menekan bel di pagar. Ibu Ratih terburu keluar

“Ada Ratih tante? Ini Sinta”
“Oh iya nak, tunggu dulu tante ambil kunci pagar ya.”

Setelah pagar terbuka,
“Maaf harus dikunci ya, di kota ini kejahatan semakin menjadi-jadi.”
Ibu Ratih mempersilahkan Sinta naik ke lantai dua ke kamar Ratih.

“Lu kenapa sin?, mirip ABG yang kabur dari rumah?” tanya Ratih
“ Iya nih gue kabur dari ruko lewat pintu belakang”
“loh emang kenapa di ruko lu? Trus mobil kamu dimana?
“Mobil gue di depan ruko, biarin aja disitu aman kok. Gue yang ga aman nih. Gue hindarin Raka. Busyett dah, dia nungguin gue dari sore ampe malam gini.”

“Emang kenapa dengan Raka? Kirain lu pacaran” tanya ratih

“Busyet dah amit-amit. Gue udah bilang gue gak akan bisa jadi pasangan loe tapi dia insist akan buktikan perasaannya pada ague. Gue udah bilang gue lagi usaha di ruko sibuk ga sempat urus urusan gak penting seperti itu. Eh malah dia nungguin gue depan ruko sampai malam tiba. Gue kabur cin lewat belakang. Gue suruh aja Mang Pepen yang kunci ruko gua.”

“oalah..gitu to…” respon Ratih

“eh boleh gue minta minum air putih gak? Haus nih, skalian pinjam toilet kamarlu ya”
“Sip, oke tunggu dulu ya, ta ambilin sekalian buah pir di kulkas”

Tidak beberapa lama Ratih kembali ke kamar dengan ransum yang cukup buat Sinta, ada buah pear, pisang, roti plus meses, air putih dan susu cokelat. Cukup mengganjal rasa lapar di lambung.

“Sin, cukup ga segini nih makan minum? Kalau kurang bilang ya. Masa di rumah gue lu kelaparan.”
“Wah makasih, cukup banget kok, tapi AC lu kurang dingin yak atau batin gue yang panas? Hahaha” seloroh Sinta.

“Eh gue bermalam disini yak, pinjam baju tidur lu. Besok pagi gue balik ke rumah naik grab lagi.”
“Oke sin, atur aja” jawab Ratih

“Eh tapi boleh kepo gak, kenapa lu ga suka Raka? Kan semua hal yang perempuan cari ada sama dia, mapan, tampan, body berotot, harum dll?” tanya Ratih

“Iya dadanya kotak-kotak, perutnya berisi roti-roti. Begitu gambarnya di Instagram waktu dia fitness. Tapi hanya badannya saja yang berotot, otaknya gak. Hahaaa”

“Dia terlalu mainstream, seperti pria urban metropolis pada umumnya. Muka mulus seperti takut debu, potongan rambut mirip idola bola, lagu favorit hanya mengikuti yang trend saja, imajinasi romantis terbatas hanya duduk berdua ditemani pemain biola dan lilin mirip dongeng romantis kota Venice. Tipikal kelas menengah ngehe manja, Membosankan!”

“bayangkan di umur dia yang mau menyentuh 30 masa menyukai musik EDM. Pernah dia menjelaskan dengan semangat betapa bagusnya lagu Alan Walker “faded”. Itu memperlihatkan rendahnya kualitas seni dia. Alan Walker hanya cocok buat ABG yang belum banyak pengalaman tentang musik. Sering gue lihat di jalan raya ABG yang belum ada jati diri memakai jumper tulisan AW. Gak bisa gue bayangkan dia sepertinya sama dengan ABG itu cuman beda kelas, dia mapan, ABG itu tumitnya kering.” Ucap Sinta.

“Hahaha…jahara kamu Sin, masak ia cowok cool seperti dia kamu samakan dengan kids zaman now” kata Ratih

Cool? Raka itu artifisial, gerakannya tidak natural. Dia tipe laki-laki yang mengetahui banyak kelebihan di dirinya seperti muka tampan, senyum manis, body bagus dan sebagainya. Karena dia sadar betul dia cakep maka gerakannya tidak ada yang natural. Pernah sekali ada hal yang amat lucu yang mestinya ia tertawa terbahak-bahak, tetapi ia menahan tawanya di depan gua hanya karena dia takut semua giginya kelihatan. Apa yang bisa kamu harapkan tipe lelaki seperti itu? Waktu makan di restoran dia sangat memperhatikan takaran gizi, model perfeksionis yang takut perutnya gembul sedikit. Padahal makanan untuk kebahagiaan, mana bahagia di restoran menu banyak hanya makan salad buah!”

“Iya juga sih, mengerikan juga yah. Ia tahu bagaimana memperdaya wanita” balas Ratih

“Nah itu dia. Dia itu cocok buat perempuan yang lelah miskin dan hobi pamer kekasih di sosial media dengan tidak punya pendirian. Dia cocok untuk wanita yang joget-joget di Bigo atau wanita berkawat gigi jalan menebarkan senyum "nafkahin aku om". Ia cocok dengan tipe perempuan mainstream juga” kata Sinta

"Raka itu ngakunya berbeda, ia senang travelling. Tidak tanggung-tanggung bukan hanya dalam negeri, ia keluar negeri, solo traveler. Dia pikir itu akan membuat gue terkesima terkagum-kagum. Namun gue ini bukan ABG yang foto ala kadarnya namun caption luar biasa yang mereka sendiri gak faham apa artinya. Terus terang gue gak senang solo traveler seperti itu. Bagi gue orang seperti itu hanya mencintai dirinya sendiri secara sangat berlebihan! Akibatnya tidak mampu menghargai orang lain dengan lebih baik dan tinggal lama di suatu tempat."

"
Raka juga tipe orang sombong. Dia pernah marah ketika gue berargumen. Dia marah karena dia sadar gue bener. Marah hanya bentuk self defense dia. Sama sekali gak humble."

“Tapi susah juga sih! Kamu itu Sinta punya semua yang cowok inginkan, cantik, kaya, setia, ramah, tapi hanya satu kekurangan kamu, kurang tinggi! Hahaaa” seloroh Ratih

“Asyemm..emang gue kurang tinggi, gak setinggi kamu., tapi gua juga ga pendek amat 160 cm lumayanlah Tapi gue pernah denger kalimat menjijikkan dari cowok yang ngejar gue, bahwa model gue gini sebenarnya dicari laki-laki karena mudah diangkat-angkat pada saat Making Love, WTF!” kata Sinta

“Gue hidup dari kecil hidup enak dan bokap nyokap udah siapin asset sampai anak gue nanti sama dengan dua kakak laki-laki gue. Gue ga butuh materi, kenyang gue dengan yang begituan. Gue butuh ketulusan! Sekarang gue nanya ama lu, kalau cowok deketin lu trus pada saat dia berkunjung ke rumahmu terus dia tau bahwa rumah itu nanti punya lu tiba-tiba sikapnya berubah dan tambah sayang sampai posesif, apakah lu ga ngeri?”

“Iya juga sih Sinta, amit-amit deh” jawab Ratih

“Raka itu player juga. Pernah gue dapat kabar dari temen deketnya, dia habis booking cewek di hotel tiga hari berturut-turut. Katanya dia stress gegara gue gak respon dia selama tiga hari. Dia pikir gue slingkuh ama cowok lain, trus dia balas dendam ama cewek lain. Dengan duit yang dia punya dan temennya dimana-mana dia bisa beli apa yang dia suka. Dan bayangin karena tuduhan dia ke gue, dia melakukannya dengan cewek lain. Dia itu tipe cowok umum, pria yang dijajah kelaminnya sendiri. Dan sepertinya dia bersemangat ngejar vagina gue” kata Sinta.

“Busyet dah, bernas kalimat lu” jawab Ratih

“Eh Sin, gue mau ngakak deh kalau ingat setahun lalu sebelum kita lulus kuliah lu nangis ga karuan karena putus ama tukang foto copy di fakultas kita, hahahaa. Diantara semua cowok keren yang ngejar lu, kok bisanya tukang foto copy itu yang buat kamu menderita patah hati? Hahaa aneh lu Sin.

“Iya gue bener jatuh cinta ama tuh orang, sampai sekarang gue belum bisa move on sebenarnya..huftt bayangin dia pacar paling lama gue, dua tahun bo!”


“Hahaha iya gue ingat lu curhat, lu pertama ga mau crita. Tapi gue tau lu orangnya ga bisa mendem sendiri kan, hayoo ngaku? Gue ingat lu crita pas semester lima lu ga sengaja mau foto copy novel Eka Kurniawan yang O karena lu kebelet baca dan malas beli. Eh accidentally lue jatuh hati ama doi yang notabene doi lebih tua 10 tahun dari lu. Hahaha epic!”

“Iya awalnya setelah doi mem-foto copy-kan novel itu, pas doi mau kembalikan novel dia nyeletuk “banyak kalimat bagus dalam novel itu dek misalnya: jangan sekalipun kau mau diperbudak manusia”. Ajib itu kalimat gue temuin pas gue baca novel monyet itu, ternyata doi suka baca.” Kata Sinta

“Di kampus kita itu terlalu banyak manusia dan semua manusia disana sibuk sendiri, sibuk untuk mau diperhatikan, gak mau memperhatikan, sibuk saling menjajah, penjajah kecil bersenyum simpul. Liat aja pertemanan kita hanya lingkaran kecil, meski teman angkatan kita banyak. Semua saling acuh tak acuh, beda dengan sosok tukang foto copy itu, mas Farid. Ketemu dia itu seperti menemukan berlian ditumpukan emas rombeng.”


“hahaha lebay kamu Sin” ucap Ratih

“Gak lah, klo gue lebay ga mungkin gue ama dia dua tahun pacaran kan? Setelah kejadian foto copy novel itu gue rajin foto copy apa aja termasuk silabus dosen kita yang gak pernah gue baca setelah foto copy."

"Gue faham itu norak tapi ada rasa ingin tahu yg ingin gue tuntaskan. Pertama, apa dia ngarang bebas atau tebakan beruntung di dalam novel itu, masa ia tukang foto copy hobi baca sementara temen kuliah kita jarang ada yang suka baca malah lebih suka chatting dan bolak balik melihat Instagram yang isinya itu-itu saja. Kalau temen kita kurang baca yah bisa dimaklumin lah dikit, nah ini ada juga dosen mata kuliah awal kita yang kurang vitamin bacaan, masa kalimat "saya berpikir maka saya ada" itu kata dia kalimat Plato, sinting kan!”


“Semenjak itu gue rajin foto copy apapun dan setiap gue habis foto copy pasti gue nanya, pernah baca novel apa aja mas? Dia jawab Dee Lestari, Pramoedya, Armijn Pane, Pulang, Milan Kundera – Ignorance, Eduardo Galeano Days and Nights of Love and War, Gabriel Garcia Marquez Love in the Time of Cholera, Leo Tolstoy A Confession, Orhan Pamuk Snow, Ernest Heemingway A Farewell to Arms dll.  Busettt beberapa novel baru gue denger. Tapi dia gak suka dengan novel populer seperti Harry Potter atau  kisah cinta-cintaan too good to be true seperti kesukaan anak alay itu Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-ayat Cinta,  Tere Liye, dll.”

"Beda banget pas gue nanya Raka, eh yang lu suka baca apaan? dengan mimik muka yang serius dan berpikir keras dia jawab Men's health, ...busyet dah ini tipe lelaki loyo, dikasi buku pasti dia loyo ngantukan. Lebih sering angkat barbel daripada angkat beban hidup!"


“Selain itu berbicara dengan Mas Farid sepertinya kita tidak dalam pertarungan kata-kata. Gak ada menang kalah, mengalir berisi. Tidak ada intimidasi. Walaupun ia tahu banyak, tetapi ia tidak menggurui. Ia membiarkan kata-kata gue terbang bebas. Ide-ide gue semakin kaya. Dan harus jujur dia yang merubah cara berpikir gue tentang dunia 180 derajat! Kejarlah apa passion mu dan usahakan bermanfaat buat masyarakat. Ajib, gue seneng banget!"


“Ini gak sama teman kita si Afran dan Tomi itu, yang masuk organisasi di doktrin ini itu terus meracau, membolak balikkan logika, merasa paling tau namun kekurangan pengetahuan, andalkan Wikipedia, lalu ternyata belakangan hari organisasi dia membentuk karakter dia yang mengembek pada kekuasaan, mau melengket bak kurap di tempat lembab pada pihak yang sedang berkuasa. Benci ilfil gue sumpah lihat dua temen kita itu. Retorika aja bagus padahal gila kuasa! Tipe koruptor masa depan.”

“Untuk kita anak hukum emang sebagian besar temen kita pada hedonis, mereka gak dapat teman diskusi yang cocok atau mungkin pikiran mereka sering dilatih malas” balas Ratih

“Iya emang gitu kenyataannya, mahasiswa kok mesum terus kerjaan sehari-hari. Pas diajak diskusi langsung lelah, pas eksperimentasi seks ama pacar langsung on fire. Heran gue ini mahasiswa apa rakyat di zaman Sodom & Gomorah” jawab Sinta.


“Eh pernah lu nge tes mas Farid, minjem uangnya Rp. 50 ribu di tanggal tua padahal di dompetnya sisa itu uangnya…hahaha gokil lu Sin” seloroh Ratih.

“Hahaha inget aja lu, dasar! Gue rasa itu romantis, bayangkan dia udah ga ada duit, belum gajian trus gue dipinjami duit Rp.50 ribunya, doi percaya gue gak ada duit. Padahal klo dia tau isi rekening gue, bisa pingsan dia. Hahaa”

“Pada awalnya mas Farid ga percaya bahwa diskusi hari ke hari meskipun banyak orang di tempat foto copy itu, di bangku depan tempat dia kerja, mendekatkan perasaan demi perasaan. Dia tipe cowok yang tau posisi. Dan ketika semuanya semakin sering, dia sadar dia berada pada rel yang salah dan mustahil.”

"Saat semuanya mulai melarut, dia terbentengi dirinya sendiri. Mas Farid memberikan gue novel Puthut EA Cinta Tak Pernah Tepat Waktu."

“Gue inget, ketika gue pertama kali keluar ama dia untuk makan bareng, mas Farid malah ngajak makan gado-gado dan minum es teh pinggir jalan. Sumpah seumur-umur gue dilarang jajan ama nyokap di sembarang tempat. Alhasil pulang kosan gue mencret cin. Hhaaahaa”

“Terus dia literally ajak gue jalan. Jalan kaki! jalan menuju tempat makan sate ayam. Betis gue kondekan. Mas Farid ngomong "kalau mau tahu karakter pasangan kita, ajak dia jalan kaki. Ajaibnya terbukti! Kalau si Raka boro-boro jalan kaki, naik tangga dua lantai aja dia pake lift.”

“Tapi dari hal-hal sederhana itu gue ngerti arti ketulusan, dia gak pernah minta apapun dari yang dia beri, malahan dia menolak setiap kali gue mau bayarkan. Mas Farid pernah bilang “ikhlas itu tidak terbatas, ketika ada orang yang berkata ia cukup ikhlas berarti ia tidak ikhlas pada intinya. Sama dengan sabar, sabar itu tidak terbatas, nah ketika ada orang yang mengatakan ia sudah cukup sabar berarti sebenarnya ia tidak sabar”.

“Lagian dia gak tau gue pake mobil dan sepertinya awal-awal dia gak mau tahu. Dia hanya tau gue cewek biasa yang suka baca, suka diskusi. This is it!”

“Dia ceritakan mimpinya, bahwa dia setiap hari menabung untuk membuka usaha foto copy sendiri jika modalnya sudah cukup, dia semangat untuk mimpinya yang kecil itu bagi sebagian orang. Walaupun tubuhnya rada kurus perutnya rada buncit mirip orang cacingan, tapi otak dia berotot luar biasa”

“Dari dia gue belajar, cowok yang kuat itu cowok yang berkarakter, tau apa yang ingin diusahakannya dan mengusahakannya sendiri tanpa mengandalkan orang lain.”

“Pikirannya pun mungkin sesekali ada nafsu karena normal apalagi melihat gue, tapi dia tidak pernah blak-blakan ingin bereksperimentasi seks dengan gue. Bahkan dia bilang “pacaran itu pemerkosaan dengan izin”.

"Gue pikir ada benarnya juga, pacar gue yang sebelum-sebelumnya pas ada kata jadian, besoknya-besoknya ia mulai sosor bibir, buka kancing satu persatu. Beda banget dengan mas Farid ini, meski ia tua, ia mampu menguasai kelaminnya tidak sebaliknya. Sekali gue membatin gue loncatin juga nih orang, lama banget hahaaa. Tapi semua terkontrol, pacaran sehat, keringatan bukan dari berbuat asusila tapi dari jalan kaki susur gang!”


“Malah dia yang nasehatin gue buat ambil kursus bahasa German kesenangan gue. Biar nanti setelah kuliah bisa dapet beasiswa ke German ke tempat filsuf hebat Hegel, Marx dll, padahal bokap gua bisa biayain sendiri klo gue mau.”


“Tutur bahasa mas Farid juga meninggikan perempuan, tidak sama dengan teman kerjanya Mas Anto yang asli Surabaya itu. Si Anto sering banget keluarkan kata cuk-jancuk. Emang bagi dia itu bahasa kebiasaan dia di Surabaya terkesan gahar, tapi bagi orang lain yang melihatnya itu rendahan, serendah alas kaki!”


“Tapi pas dia tau asli lu Sin, dia berubah banget kan?” tanya Ratih

“Iya, dia tahu diri gak ada masa depan gue di dia. Dia ga mampu. Dan kata-kata nyokap gue yang ngelukain dia pas dia datang bertamu di rumah gue “sanggup gak hidupi anak saya?”.  Padahal bokap gue sih setuju aja, soalnya bokap gua dulunya susah banget. Bokap mulai dari minus usahanya bukan nol, usaha jualan panci keliling gagal bokap coba lagi sampai sukses punya pabrik besi & baja.”

“Singkatnya bokap pernah susah, tapi nyokap kan nikahin bokap pas bokap mapan. Nyokap gak pernah susah, ga ngerasain penderitaan bokap dulu. Nyokap tau jadi. Dan seandainya bokap ga kaya mana mungkin Nyokap gua yang cantik jelita itu mau ama bokap. Pernah sekali nyokap gue cerita pernah dia dilamar anggota DPR RI yang janjikan harta tidak terbatas, tapi bokap datang mengatakan harta gue lebih halal daripada anggota dewan itu yang makan duit negara dan proyek. Nyokap luluh! Padahal sama! dua-duanya nawarin harta, dan nyokap emang suka bau duit banyak, bersin nyokap kalau terima recehan hahaaaa”

“terus Sin, dimana sekarang mas Farid?”

Dengan mengambil selimut yang sudah menutupi kakinya, Sinta berbaring lalu membisiki Ratih melalui selimut yang kini sudah sampai di kepala Sinta.

“Gue senang dan bahagia mengingatnya, gue mencintai dia melebihi raganya, gue lihat dia sebagai potret besar yang selalu menutupi potret kecil pria-pria yang mendekati gue, namun gue tidak tahu dia sekarang ada dimana….”


(The End)





fragmen

Kadang-kadang berpikir di dunia ini mungkin ada banyak manusia yang dalam hidupnya kurang masalah. Karena kurangnya masalah itu, si manusia mencari-cari masalah mulai dari jam weakernya kurang keras untuk membangunkan pagi yang malas, headset tidak dual stereo, sepatu kurang empuk, parfum kurang wangi, model rambut, bosan untuk jalan-jalan hanya di Asia Tenggara dan lain sebagainya. Sementara di belahan bumi lainnya ada manusia-manusia yang masalahnya tak kunjung selesai. Justru semakin berjalan tahun masalah itu semakin kusut sementara daya tahan badan dan usia tidak bisa lagi menanggung beban-beban hidup itu.

Saya percaya manusia terlahir kuat, namun pada beberapa titik manusia tidak sekuat yang dibayangkan. Masalah mendera terus menerus dengan tingkatan yang lebih dari sebelumnya. Apabila hal ini didekati dalam cara pandang agama, maka jelas jawabannya Tuhan memberi cobaan kepada manusia untuk menguji kualitasnya. Semakin besar dan berat ujian semakin berkualitaslah manusia itu. Kira-kira seperti itu.

Apabila masalah ini didekati pandangan manusia secara sederhana saja, manusia berkualitas punya titik ketika ia tidak lagi membutuhkan pertambahan kualitas itu. Manusia perlu duduk diam sejenak, menghirup udara segar dan dalam sembari tersenyum, tidak lagi bahu-bahu kecil itu ditindis beban. Mungkin sembari menunggu perlahan maut menjemput, menarik segala kebahagiaan dunia, mempersilahkan gelap hadir selamanya.


Malang 20/3/2017


Mengurus Surat & Nomor Kendaraan (STNK, BPKB, Nopol) di Kota Malang

Suatu hari di bulan Februari 2017, penulis mengurus surat dan tanda nomor kendaraan di Samsat Kota Malang. Karena kendaraan yang penulis beli hanya memberi faktur pembelian, penulis mengusahakan sendiri pengurusan surat-surat tersebut. Hal ini memberikan penulis pengalaman yang bisa dibagi kepada pembaca sekalian.

Pada mulanya penulis mengira pengurusan surat-surat ini akan mengalami beberapa kendala atau hal umum yang ditakutkan orang kebanyakan yaitu "pungli". Karena penulis tidak memiliki KTP Malang (perantau), maka motor pun atas nama seorang teman. Oleh karena itu, penulis membuat surat kuasa pengurusan berhubung teman tersebut mempunyai beberapa kesibukan sehingga tidak berada di Kota Malang saat pengurusan terjadi.

Pukul 07:30 WIB penulis sudah berada di Samsat kota Malang Jl. S.Supriyadi (jalan yang menuju terminal Hamid Rusdi - Gadang). Kemudian penulis memarkir motor di antrian cek fisik. Terlihat sudah banyak motor mengantri. Para pembaca sebaiknya datang sebelum jam 8 (jam pelayanan buka) agar tidak berada dalam antrian yang panjang.

Eh iya, kalau teman perantau ingin terlebih dahulu mengecek alamat kantor Samsat sembari mencatat apa saja kelengkapan berkas pengurusan dan kebetulan waktu itu teman tidak mempunyai motor, teman pembaca bisa naik angkot yang pada kode angkotnya terdapat huruf "G" atau "H", seperti GML.

Berkas yang penulis bawa KTP (KTP asli teman & KTP penulis), faktur pembelian, sertifikat uji tipe, surat kuasa, dan tentunya jangan lupa bawa duit yah. Kalau pembaca lupa untuk memfoto copy berkas-berkas, jangan khawatir di lingkungan Samsat Kota Malang sudah terdapat layanan foto copy. Para karyawan foto copy ini sudah sangat berpengalaman, anda hanya menyebutkan tujuan pengurusan seperti roda dua (baru, perpanjang), roda empat (baru, perpanjang, dll), dan sekejap itu para karyawan menggandakan berkas anda sebanyak yang nanti anda perlukan. Fasilitas ATM pun berada pada kantor Samsat.

Setelah berkas digandakan selanjutnya menunggu layanan dibuka tepat pukul 08:00.

Loket Formulir & Cek Fisik

Pukul 08:00 teng loket pengambilan formulir cek fisik dibuka. Orang-orang yang sudah banyak menunggu dari tadi langsung menyerbu loket tersebut. Pada awalnya ada sekitar 6 orang bapak-bapak yang pura-pura lugu namun agresif nan oportunis langsung bergerombol di depan loket, sedangkan yang lainnya berusaha untuk tertib mengantri. Setelah beberapa orang yang mengantri meneriaki yang tidak tertib untuk mengantri, perlahan tapi pasti orang-orang mulai sadar pentingnya untuk tertib dan tidak memaksakan kehendak.

Lagi pula untuk hal ini anda tidak perlu untuk bergerombol seperti pembagian sembako di depan loket, karena setelah itu anda harus mengisi identitas di formulir yang memakan waktu (kurang lebih 5 menit) dan juga petugas cek fisik akan memeriksa kendaraan berdasarkan antrian kendaraan itu. Jadi biarpun anda mengambil cepat sambil menggeser orang lain sementara motor anda berada pada antrian belakang, tetap saja anda belakangan.

Pastikan anda membersihkan nomor rangka dan mesin yang akan diperiksa, anda lap dulu biar langsung digosok oleh petugas. Kalau kotor, petugas tidak akan menggosok, anda dulu yang melap biar nomor itu kelihatan jelas tidak seperti fosil  yang harus dieskavasi/digali di dalam tanah.

Setelah cek fisik selesai, anda memarkirkan kendaraan anda di tempat parkir untuk umum. Cek fisik memakan waktu sekitar 5-7 menit tergantung kesiapan motor anda untuk dicek.

Dalam Kantor

Kemudian dengan membawa berkas dan hasil cek fisik tadi anda kembali ke loket formulir dan masuk ke dalam kantor utama Samsat. Di bagian pintu depan, karyawati dengan ramah akan memberikan tanda pengenal berdasarkan keperluan anda yang harus anda pakai ketika masuk ke kantor utama, dan ingat tanda pengenal itu jangan dibawa pulang!

Dalam kantor kemudian penulis diarahkan ke bagian penomoran dan selanjutnya pada bagian pemeriksaan berkas untuk pengurusan BPKB. Berhubung ini pengurusan kendaraan baru, maka BPKB ini juga menjadi bagian yang penting dalam proses ini, tetapi pengurusan BPKB tidak Satap (Satu Atap) dengan kantor Samsat. Pengurusan BPKB lebih lanjut di Polresta Malang Jalan Jaksa Agung Suprapto, depan RSUD Saiful Anwar. Penomoran dan pemberian berkas dalam fase ini hanya memakan waktu sekitar 5-7 menit.

Penulis kemudian memesan layanan Go-Jek untuk mengantarkan ke Polresta Malang. Waktu itu menunggu pengemudi Go-jek lebih lama dari estimasi waktu urus berkas pada tahapan sebelumnya (menunggu driver 25 menit, urus berkas 5-7 menit). Pengemudinya minta maaf karena terjadi kemacetan di Gadang yang penulis tidak dapat memastikan kebenarannya. Tapi okelah bung, kita cuss ke Polresta.

Polresta Malang

Sampai di Polresta Malang, penulis diarahkan oleh Pak Polisi untuk ke bagian belakang kantor, tempat pengurusan BPKB berada. Dalam kantor pengurusan BPKB, petugas memberikan penulis formulir yang harus diisi. Setelah mengisi formulir, petugas memeriksa kelengkapan dan keaslian berkas. Setelah proses penelitian dilakukan (sekitar 10 menit), kemudian petugas mengarahkan untuk kembali ke Samsat kota Malang untuk melanjutkan pengurusan lainnya. Tidak ada pembayaran pada fase ini, pembayaran hanya satu kali pada kasir kantor Samsat.

Alangkah baiknya jika pengurusan BPKB ini satu atap dengan pengurusan dokumen lainnya, sehingga ada efisiensi jarak, meskipun secara teknis dan otoritas hal itu tidak mudah. Maaf Pak Polisi, penulis hanya usul, jangan dimarahi ya Pak. Untuk menunggu jadinya BPKB ini menurut informasi perlu waktu beberapa bulan. Bulan depan (Maret) penulis akan mengeceknya, dan memberitahukan kepada pembaca as soon as possible.

Dengan memesan Go-Jek kembali, penulis berangkat kembali ke Samsat Kota Malang. Kali ini driver datang on-time, lima bintang untuk bapak driver ini, terlebih bapak ini diperjalanan memberikan petuah kepada penulis perihal pencarian jodoh. Haduh pak!

Kasir

Kembali ke Samsat dan masuk ke ruang utama untuk melaporkan bahwa penulis sudah dari Polresta Malang, kemudian penulis diberikan nomor antrian untuk pembayaran. Untuk semua fase pengurusan disinilah fase yang durasi waktunya paling lama. Antri menjadi lama karena banyaknya orang membayar dengan masalah teknis berbeda-beda seperti uang tidak cukup (harus ke ATM lagi), uang dalam kantong lusuh, kebanyakan uang receh dll. Untuk kecepatan tangan kasirnya sendiri sebenarnya tidak butuh waktu lama untuk memberikan info berapa jumlah uang yang harus dibayarkan dan kasir menghitungnya.

Antrian di Ruang Tunggu


Saat antrian penulis tiba, kasir memberitahukan untuk kendaraan baru penulis harus membayar sebesar Rp.1.938.000 dengan detail Pokok BBN Rp.1.320.000, PKB Rp.198.000, SWDKLLJ Rp.35.000, ADM STNK Rp.325.000, ADM TNKB Rp.60.000. Untung uang penulis cukup, sek tarik nafas dulu.

Bukti pembayaran Pajak Daerah kemudian diberikan. Setelah dari kasir, penulis diminta untuk menunggu terbitnya STNK di ruangan yang sama. Jika dihitung waktu mengantri pada fase ini (antrian kasir 30 menit, STNK 10 menit), maka kurang lebih 40 menit penulis berada dalam ruangan ini.

Oh iya dalam ruangan ini tampaknya sudah didesain sebagai ruangan ramah ibu menyusui. Terlihat fasilitas ruangan menyusui di dekat ruang tunggu.

Ruangan untuk Ibu dan Bayi

Setelah itu penulis diarahkan ke bagian belakang kantor untuk proses pembuatan nomor polisi kendaraan. Setelah mencatatkan nomor dan nama pada buku registrasi, proses pencetakan plat nomor pun dilakukan. Sekitar 10-15 menit, clingggg plat nomor sudah berada di tangan.

Selesai

Pukul 11:00 keseluruhan proses ini berakhir. Penulis siap membawa pulang motor yang sudah beridentitas dan teregistrasi, bahagia.

Dugaan awal bahwa pengurusan ini mendapat kendala "non-formal" ternyata tidak terbukti. Dengan mengikuti alurnya dengan sabar, kita dapat mengurusnya dengan tertib. Ada kepuasan tersendiri mengurus perihal ini sendiri, sama beberapa bulan lalu ketika penulis mengurus SIM di Kota Makassar yang lulus dua tes (teori dan praktik) untuk dua SIM (A & C), menolak godaan jalur "singkat."

Sebagai seorang wajib pajak yang tergopoh-gopoh mencari uang di tempat lain dan kemudian meluangkan waktu disela-sela kerjaan untuk membawa uang itu dan membayarkannya ke negara, dalam keseluruhan pengurusan ini penulis merasa puas. Penulis kira motto Samsat Kota Malang "Kepuasan Anda Menjadi Tujuan Kami" telah terbukti. Selamat untuk sistem yang bekerja baik dan efisien di kantor Samsat kota Malang.


-------

Demikian testimoni penulis, jika ada pertanyaan mohon mengunjungi saja secara langsung kantor Samsat (jam 12 siang pelayanan sudah tutup) ataupun menelusuri lewat tapak maya di laman situs Samsat Kota Malang. Hari yang menjelang Sabtu malam ini penulis harus mandi dan bersiap-siap menyambut Sabtu malam dengan menghadap ke tembok dan meratap :D


Tunggul Wulung, Malang, 25 Februari 2017, Pk 18:00 WIB
Salam sejuk

#UrusSTNKmalang
#UrusBPKBMalang
#UrusNomorKendaraanMalang
#SamsatMalang

Terperangkap



Kita terperangkap zaman
Sang lemah yang coba melawan
Semangat menembus
Malah terhunus

Kita terperangkap alasan
Anak muda yang tidak lagi terbiasa lisan
Dibuai metafora
Menuai hampa

Kita terperangkap informasi
Tanpa klarifikasi
Meluncur deras
Menghujam manusia, lemas

Kita terperangkap masa lalu
Tanpa malu
Mengikis diri
Mendewakan rasa iri

Kita terperangkap kata
Proyeksi terbalik dari makna
Dari sesuatu yang tiada
Kamuflase yang berebut piala

Kita terperangkap kebaikan
Arogansi yang dihaluskan
Membinasakan kemanusiaan
Dalam penekanan kesalahan

Kita terperangkap kesuksesan
Mengejarnya tanpa kelelahan
Membuat kita kehilangan
Sejumlah pertanyaan



Malang,
Minggu 18/9/2016, 01:30 WIB
Mi2n Zul

Kekerasan Soeharto di Rumah


Menanggapi fenomena kekerasan dan para komentatornya misalnya kasus kekerasan guru terhadap anak murid (contoh Samhudi di Sidoarjo, Nurmayani di Bantaeng), penulis mencoba menyumbangkan suatu analisis. Penulis akan mundur sedikit untuk kemudian melihat gambaran makro. 

Teori yang coba penulis gunakan disini yaitu dari perspektif feminisme global yang menyatakan bahwa apa yang personal dan apa yang politis adalah satu, apa yang terjadi dalam ranah pribadi mempengaruhi (dipengaruhi) oleh tatanan yang lebih luas (Tong 2004, h.330).

Bukan kebetulan, beberapa pekan lalu penulis sempat membuat pengantar feminisme (disini) dan pada kesempatan kali ini penulis mencoba latihan mengaplikasikannya dalam bentuk analisis. Sekarang marilah kita memperhatikan dengan serius gagasan feminisme global tersebut dan kemudian membedah permasalahan di Nusantara ini.

Penulis akan mencoba “mempreteli” teori tersebut yaitu: (1) level analisa “tatanan yang lebih luas” akan coba diturunkan dari global ke level nasional, (2) penambahan variabel ekonomi politik dan kekuasaan.

32 Tahun

Sebuah fakta keras tidak terbantah bahwa sejak Supersemar dikeluarkan 1966, semua warga negara Indonesia hidup didalam goa rezim militer. Demokrasi menjadi pseudo. Politik elektoral yang pada umumnya disimbolkan “pesta” demokrasi dengan ciri multi-partai pun dikebiri jika dibandingkan keramaian partai pada pemilu 1955. Disiplin 2 partai dan 1 golongan karya (mulai dari pemilu 1977) memampukan kalkulasi militer terus berjaya dihadapan sipil karena secara suara golongan karya akan terus memenangi pemilu (setiap PNS wajib memilih golkar).

Sukarno memimpin demokrasi dengan kharisma individual yang secara kalkulasi politik susah disaingi. Berbeda dengan rezim Soeharto yang mengandalkan kekerasan dan terror militer untuk mengkonstruksi kharisma dan terutama melanggengkan kekuasaan.

Setelah sipil melemah dan kehilangan daya kontrolnya, militer menguat. Sendi-sendi kehidupan bernegara nyaris seluruhnya bernuansa militeristik, mengkonstruksi masyarakat maskulin sarat kekerasan. Tipe ideal/paripurna bernuansa militer mulai dari level atas (pemerintah, pejabat) sampai ke disiplin keluarga dan terus turun ke bio-politik individual misalnya citra laki-laki maskulin paripurna bercorak militer (cita-cita tentara, bela diri, bugar, berotot, berani, mengedepankan kekerasan fisik, dan sebagainya).

Kekerasan yang dibangun selalu berdalih untuk kebaikan. Seolah membuat diskursus umum bahwa tidak usahlah melihat proses (not process-oriented) tetapi lihatlah hasil (result-oriented).  

Dalam aras domestik/rumah tangga, kekerasan menjadi hal yang umum bukanlah aneh. Didikan keluarga dalam rezim itu mayoritas mengandalkan kekerasan alih-alih untuk kebaikan. 

Budaya kekerasan terkondisikan secara struktural baik melalui layar/TV-film (lihat Wijaya Herlambang, Ariel Heryanto) maupun diberbagai ranah (pendidikan, praktik keseharian). Film G30S/PKI yang pemutarannya dimulai pada tahun 1984 merupakan puncak gunung es display kekerasan  ini yang sampai merasuk ke desa-desa. Dipertontokan wajib dalam ranah domestik/rumah tangga, divulgarkan didepan anak-anak bau kencur. Mempolitisasi warna dan simbol.

Beberapa konstruksi kekerasan tersebut semakin mensolidkan diskursus negara bahwa kekerasan semata untuk kebaikan. Publik semakin yakin dan mempertebal kepercayaan bahwasannya kekerasan identik dengan kebaikan dan metode penyelesaian masalah. Sehingga genosida ratusan ribu manusia Indonesia se-ras, se-bahasa, se-rumpun hanya beda preferensi politik pada kurun 1965-1966, dan beberapa kasus lainnya semisal DOM, penculikan aktivis dan sebagainya menjadi hal yang dimaklumi dan dibenarkan bagi mayoritas yang mempercayai kekerasan untuk kebaikan.

Bagi mayoritas orang akan menutup matanya terhadap proses genosida tersebut, dan pada saat bersamaan mencari alasan kebaikan apa yang didapatkan dari membunuh ratusan ribu teman sebangsa tersebut. 

“Keutuhan NKRI” menjadi kata sakti. Ketakutan NKRI akan bubar merupakan ketakutan artifisial yang terus didongengkan agar membuat ilusi seolah-olah jika tidak ada pembunuhan massal maka pemerintahan atau NKRI akan rusak. Doktrin militer ini terus ditiup menciptakan terror dalam konteks psy-war, sesuatu yang diperlukan oleh militer agar terus berkuasa. 

Hiperbola tingkat dewa ini diyakini mayoritas orang bahkan mengalahkan keyakinan bahwa gerakan separatisme yang telah dulu ada (misalnya DI TII, PRRI, PERMESTA 1945-1950an) tidak lebih berbahaya, massif, rapi dan terstruktur dibandingkan pemberontakan salah satu Partai (PKI) di era 1965 tersebut.

Padahal jika ingin dilhat secara internal, ditingkatan elit PKI sendiri keputusan “menyingkirkan” elit militer bukanlah konsensus partai - aksi partai melainkan gerakan “tambahan” individual Aidit semata (lihat John Roosa). Namun dampak gerakan tambahan orang yang jarang kalah debat  ini, Aidit, melampaui titik optimal imajinasinya. Bagi mayoritas orang, nyawa beberapa elit militer sepadan dengan pembalasan ratusan ribu-jutaan orang yang dibunuh setelahnya. Secara matematika inipun sulit diterima akal sehat, 7:500.000 jiwa? 


Rezim Soeharto tegak diatas dosa-dosa kekerasan genosida tersebut. Rezim otoritarian dapat terus hidup dengan membuat khayalan-khayalan. Penting bagi mereka yang berdosa dan sedang melanggengkan kekuasan mengkonstruksi ke militer dan sipil bahwa dosa tersebut bukanlah sebuah dosa tetapi sebuah kebaikan. Yah, sebuah kekerasan untuk kebaikan, kebaikan para elit berkuasa dan pihak yang diuntungkan.

Jangankan memprotes dan bersuara lantang, menganalisa hal serupa dalam rezim otoritarian militeristik seperti itu taruhannya nyawa. Tentu hal tersebut akan menciptakan kedamaian, kepatuhan dan kestabilan semu yaitu membungkam narasi minor dengan teror. WNI pada rezim itu mudah terkena cedera rahang jika berbicara kritis tentang penguasa. 

Sekarang jawablah pertanyaan ini dengan nurani “apakah benar melakukan pembunuhan?, terlebih pembunuhan massal?”. Jika jawabannya masih “iya” berarti kita masih sakit.

Ada satu pertanyaan bagus yang ditulis pada abad ke 16 dari Machiavelli yang dapat dikontekskan dengan rezim otoritarian milieteristik Soeharto yakni “apakah yang lebih baik dicintai daripada ditakuti atau ditakuti daripada dicintai?”. Jawaban Machiavelli atas pertanyaan itu yakni tidak bisa keduanya ada secara bersamaan atau dipersatukan. Penguasa/pangeran lebih aman untuk ditakuti daripada dicintai (Machiavelli, The Prince hal.79). Rezim Soeharto aman dan tegak melalui jawaban Machiavelli itu yakni ditakuti. 

Contrast
Cerita Plato tentang orang yang hidup di goa dan melihat cahaya tentu cerita yang masyur. Cahaya itu bagi penulis bukannya sesuatu yang dinantikan dan tiba-tiba kita mengharapkan masa depan yang penuh cahaya. Cahaya itu bagi penulis ialah sebuah kontras atas gelap dalam goa (tentunya selain penjelasan bayangan dalam goa, realitas semu dllnya).

Tentu orang yang hidup dizaman kerajaan Romawi tidak pernah terpikirkan akan ada bentuk negara republik berdaulat hanya atas dasar konsensus saling mengakui (tidak dalam nuansa kekerasan) seperti sekarang ini (perjanjian Westphalia penanda retakan). Begitu juga kasus ini, setelah sekian lama kekerasan nampak mapan dan nyaman, zona nyaman itu terkontraskan dengan gagasan yang mempermasalahkan kekerasan tersebut. 

Setelah sekian lama kekerasan tidak dipersoalkan dan diperlakukan lazim, tiba masanya kekerasan dipersoalkan dan diperlakukan tidak lazim. HAM hanya menjadi pintu masuk, secara substansi ialah diinginkannya sesuatu yang berbeda dibandingkan rezim Soeharto, suka tidak suka zaman akan bergerak menuju kemanusiaan.

Dampak dari pola domestik era rezim otoritarian masih terasa sampai kini. Kita dikelilingi oleh orang-orang pemarah yang lahir dari budaya kekerasan, lahir dari konstruksi masyarakat maskulin yang diupayakan rezim otoritarian untuk menjustifikasi kekerasan-kekerasan bentuk lainnya. Memori kolektif ini (kekerasan) susah hilang kecuali munculnya kesadaran orang-orang bahwa masa lalunya agar tidak mengganggu lagi masa kini mereka.

Informasi agama-pun yang disorot/highlight perihal kekerasan misalnya hadis “memukul anak yang tidak solat” dengan kemudian menekan anjuran persuasif non kekerasan lainnya. Padahal ayat pertama yaitu ajakan tentang membaca, memperkenalkan pentingnya cinta ilmu. Adakah ajakan yang menggunakan kekerasan? Kalau menggunakan kekerasan berarti bukan lagi suatu ajakan tapi ancaman. Adakah pemikir dan scientist masyur Islam yang mengembangkan pengetahuan bukan berbasis cinta dan haus akan ilmu?

Ketidaktenangan seperti ini membuat budaya kekerasan tampil seolah menjadi basis pengetahuan di dunia pendidikan di Indonesia. Jadi kita terlatih sejak orde otoritarian menerima pendidikan bukan berdasarkan ajakan kepada rasa haus dan cinta kepada pengetahuan itu sendiri, melainkan kekerasan berpengetahuan untuk memburu indikator nilai bagus (result oriented) sarat puja puji. Pendidikan yang tidak berfokus, semua setengah-setengah baik kognitif mapun nilai dan prilaku. Justru pada beberapa aspek proses-proses menumbuhkan kebaikan tidak dinilai penting selain hasil akhir. Presepsi keliru yaitu mempresepsikan pendidikan serupa dengan skor pertandingan bola (hasil akhir).

Akibatnya secara maskulin para pelajar ini berfisik keras tetapi loyo/lemah ketika harus berpikir dan beranalisa keras, serta pada bagian tertentu akan menghalalkan segala cara. Kita lebih sering diberi ketakutan daripada kecintaan.

Pendidikan gaya rezim seperti itu hendak membuat negara Sparta dibandingkan Athena.

Kembali ke judul tulisan “Kekerasan Soeharto di Rumah” secara sederhana penyebutan Soeharto bukan sesuatu personal melainkan konteks rezim dan sistemnya. Dan “di rumah” merupakan ranah terbawah kekerasan termanifestasi secara individual dan keluarga yang terkondisikan dan lazim dibawah rezim. 

Kekerasan aras domestik bukanlah sesuatu konspirasi (ada sutrada, pemain utama dll) melainkan suatu konstruksi dan praktek diskursus dominan dimana dia hidup dan berkembang biak serta mempunyai efek menyebar dan tahan lama, kekerasan struktural dan non-struktural, fisik maupun verbal.       

Reflektif

Manusia yang lolos hidup di Indonesia dalam perubahan rezim otoritarian ke reformasi tentulah orang yang terpilih karena mereka merasakan kontras hadir dimana-mana (kekinian pada revolusi IT) dan melihat perpindahan millenia. Terpilih bukan hanya itu, mereka juga lolos tes survival ketika dihadapkan dengan serangkaian jaring kekerasan baik di rumah/keluarga, pergaulan, premanisme jalanan, narkotika, pendidikan dan sebagainya. Tentulah lebih baik lagi ketika mereka merefleksikan pribadinya dalam melihat fenomena sekarang tidak melalui jalur akumulasi kemarahannya meskipun mereka banyak masalah.

Saya yakin perlakuan masa kecil orang-orang di rezim otoritarian bukanlah sesuatu yang khusus-partikular tetapi terdapat kekerasan yang berlaku nasional. Jadi tentu sangat lucu ketika kita mengomentari atau berusaha menganalisa kekerasan dengan melakukan perbandingan pribadi kemudian membuat argumen tampak maskulin seolah-olah andalah yang paling menderita semasa kecil anda, karena kita dulunya mayoritas diperlakukan sama!

Tentu ada shifting yang sangat besar dari budaya kekerasan (violence-based culture) ke budaya berlandaskan cinta/lebih persuasif (love-based culture, culture of peace). Selain berusaha menekan ego sektoral maupun individual kita, kita diharuskan memikirkan dan merekonfigurasi ulang kehidupan sosial yang sama sekali berbeda.

Dan tentu juga rumit ketika love-based culture kita berdirikan sendiri tanpa menganalisa serta menyokong factor-faktor lain misalnya kemampuan ekonomi (kebutuhan hidup), ruang berekspresi, pekerjaan, kemiskinan, keadilan, jaminan sosial dan sebagainya. Yang kesemua komponen tersebut memampukan meredakan atau mengurangi tekanan sosial ekonomi kepada individu sehingga secara psikologi individu-individu menjadi sehat.

Beban dan tekanan hidup individu terkadang berat mulai dari permasalahan perekonomian, domestic-keluarga, lingkungan dan sebagainya. Sehingga tindakan seseorang bukan hanya terjadi karena kondisi partikular semata misalnya seorang guru yang  tidak menyukai anak muridnya, atau anak murid yang tidak menghormati gurunya. Tetapi ada proses tekanan yang terjadi pada orang-orang  ini diberbagai ranah dan kekerasan menjadi luapan tekanan-tekanan tersebut. Jika begitu kondisinya maka perlu untuk mengurangi tekanan-tekanan tersebut dan menyempurnakan sosialisasi.

Saya biasanya hanya mempertanyakan metode kekerasan, apakah memang harus metode seperti itu ataukah malah kekurangan metode? Tidak bisakah metodenya diperhalus, diajak ngobrol dan diberikan cinta sehingga memori jangka panjang akan lebih banyak tertimbun cinta kasih daripada kekerasan dan kekecewaan. Saya hanya mengerti bahwa mungkin cara mendidik seperti itu metodenya turun temurun.

Tetapi adakah suatu formula fix metode untuk mencetak manusia yang baik dan paripurna? Koruptor hebat dulunya anak berprestasi dan sebagainya. Artinya tidak ada jaminan sama sekali indikator keberhasilan masa sekolah menjadi proyeksi dirinya baik. Karena ini yang dihadapi manusia tentulah beragam bukan robot. Struktur serta ranah partikular dimana anak itu kelak berprofesi dan sebagainya akan sangat berpengaruh pada dinamikanya.

Dengan analisa yang saya paparkan, saya hendak melampaui pertanyaan seperti itu dengan melihat fenomena kontemporer kekerasan merupakan efek rembesan masa lalu, kemudian berusaha untuk tidak mempartikularkannya-membahasnya kasus per kasus.

Karena membahas kasus per kasus khusus akan menemui cerita yang multivarian diranah berbeda pula misalnya pendidikan (sekolah, kampus), keluarga (KDRT, verbal), kekerasan dalam berpacaran sampai kekerasan struktur negara yang kurang memperhatikan ekonomi rakyatnya (misalnya lapangan pekerjaan sempit dsbnya).

Yang mungkin lebih diwaspadai yaitu upaya penggiringan opini romantisme-nostalgia otoritarian dengan memanfaatkan feed-back atas respon berita. Ditambah lagi saat ini terlihat purnawirawan militer dilingkar eksekutif terus berakrobatik mengintervensi sipil. 

Dan perlu diingat pada era perang dingin fenomena militer mengawal kapitalisme terbujur dari belahan barat ke timur dunia (Amerika Latin sampai Asia Timur) membentuk crony capitalism. Dan mohon maaf disaat kapitalisme sudah tahap lanjut, otoritarian seperti itu tidak terlalu dibutuhkan lagi. Lagian aktor lama sudah pada kaya raya, mau nyari apalagi pak/bu? Jika saat ini mau dijadikan salam perpisahan (sebagai penanda patahnya/berubahnya generasi), bolehlah, tapi jangan lama-lama ya pak/bu.

Mau kembali ke goa? Mohon maaf saya pribadi tidak mau. 

Mohon maaf lahir dan batin, happy Eid 1437 H semoga generasi lahir lebih baik.




Malang 6 Juli 2016