Pages

Konstruktivisme / Constructivism



Konstruktifisme sebagai salah satu kerangka analisis dalam ilmu Hubungan Internasional


Perkembangan dalam mencari model analisis untuk dapat menganalisis fenomena hubungan internasional secara khusus dan ilmu sosial dalam domain yang lebih luas salah satunya terdapat dalam pendekatan analisa constructivism. Mungkin ada dari kita telah lama mengetahui konsep constructivism atau mungkin ada juga yang baru mengetahuinya setelah membaca tulisan ini. Constructivism sendiri telah banyak diperbincangkan dalam model pendekatan analisa hubungan internasional pasca perang dinigin berakhir.  Perspektif mainstream yang telah terlebih dahulu ada dan mapan sebagai teori seperti dominasi realis dan variannya neo-realis, maupun liberal-neoliberal (plularis) (rationalist) dalam pendekatan postivis terasa kurang untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional yang kian kompleks. Hadirnya constructivism akibat keadaan lack pada kondisi tersebut sekaligus melakukan pembedaan metateori dan advokasi dari teori mainstream. Jadi Constructivism disini sebagai complementary bagi para analis yang ingin menambah khazanah dalam melihat fenomena hubungan internasional yang terjadi karena adanya kondisi sebuah teori/analytical tool "terkadang" tidak mencukupi/membutuhkan komplemen demi lahirnya sebuah penjelasan yang komprehensif.


Meta-teori constructivism (Ontology, Epistemology, Metodologi)

Ontologi dari sebuah teori dan analisa menjadi penting karena dalam hal ini ontologi menjadi dasar dalam menjawab apa yang sebenarnya “ada” dan “exist” dari sesuatu. Ontologi diartikan teori tentang "ada". Constructivist berpendapat bahwa fenomena terkonstruksi baik dari segi aktor/agen maupun strukturnya. Anti-naturalis dan lebih tepatnya ingin banyak mengetahui apa saja yang menyusun konstruksi-kontruksi tersebut.  Jadi konsep “ada” merupakan konsep yang “diadakan” oleh karenanya sesuatu itu “ada”. Misalnya lahirnya institusi internasional tidak muncul secara natural/alamiah tetapi ia muncul karena ada aktifitas-aktifitas "pra-kondisi" dan ruang terjadinya. Fenomena sosial dilihatnya sebagai sesuatu dengan pola-pola tersebut dan hal yang menjadi penting adalah metodologi constructivism untuk menyelidiki apa sajakah yang merekonstruksinya, selanjutnya akan dijelaskan di bawah. 


Secara sederhananya penjelasan tentang sesuatu yang "ada/exist"

P1a/s,P2a/s,P3a/s,P4a/s,... ------------------> X, (X sebagai sesuatu "Ada"), yang kemudian "ada/exist" tersebut menjadi fenomena*

dimana P1,2,3 merupakan Pra-pra kondisi yang terdiri dari a=agen atau s=struktur. 



 
Misalnya sifat seorang "anak nakal/konfliktual/anarkis" bukan merupakan kondisi yang "ada" atau alamiah atau imanen (tertanam didalam/bawaan) ketika anak tersebut muncul ke bumi, tetapi identitasnya terkonstruksi oleh pra-pra kondisi (immaterial dan material). Begitu juga dengan kata "Indonesia" merupakan sesuatu yang bisa jelaskan arsitekturnya dan bukan sesuatu yang semulanya ada, tetapi karena konstruksi negara maka "Indonesia" itu ada.


Para pemikir konstruktifis yang bekerja dalam porsi besar membangun basis teori ini terdapat pada karya-karya Alexander Wendt dan Onuf, khususnya Onuf mengambil studi semantik dalam penulusuran metodologisnya dengan menarik filsafat bahasa Saussure, Wittgenstein dan Austin.





Epistemologis merupakan teori tentang pengetahuan itu sendiri. Constructivism ingin menjawab pertanyaan pengetahuan itu seperti apa dan sifatnya bagaimana. Epistemologi dari constructivist beranggapan bahwa karena persebaran yang begitu banyak (varian dan geografis) dan dinamisasi yang tinggi maka sangat sulit untuk memformulasikan tindakan agen ke dalam satu penjelasan tunggal dan menyeluruh. Seperti contoh budaya yang membentuk identitas aktor, budaya dalam hal ini sangat berbeda tipologi antara satu daerah dengan daerah yang lain. Begitu juga dengan kepercayaan, nilai-nilai maupun ide/pemikiran.  Dalam  level satu regionpun terdapat beraneka ragam karakteristik yang mempunyai ciri tertentu dan masing-masing mengkonstitusi/membentuk identitas aktor-aktor. Karena permasalahan ini maka metode falsifikasi tidak dimungkinkan dalam hal ini. Pengetahuan merupakan sebagaimana interpretasi atas/dari aktor-aktor dan struktur yang telah/sudah terkonstitusi. Model ini memperlihatkan kedekatan constructivism dengan metode interpretif dalam sosiologi untuk menganalisa konstitusi struktur tindakan (action theories**). Constructivism merupakan pengetahuan post-positivis.




Bangunan metodologi dari contructivist dalam menganalisa fenomena hubungan internasional yaitu menekankan pada analisa komposisi immaterial yang mengkonstitusi agen – struktur sedangkan kondisi material dilihat apa saja yang mendukung kondisi material itu bisa terlaksana/terjadi/bekerja. Misalnya contoh aktivitas material seorang dosen akan termanifestasi dengan baik dan mendapatkan pengakuan apabila ia berada dalam struktur (ruang) akademik ataupun hal-hal lain yang berhubungan dengan kapabilitasnya dan memperoleh pengakuan dari orang lain. Apabila aktor tersebut tidak dikenal oleh kondisi dimana ia berada maka aktivitas material dari seorang dosen itu tidak bekerja layaknya seperti biasanya dilingkungan yang mengenal dan mengkonstitusinya. Realis dalam pandangan ini menyatakan ketika seseorang kehilangan atas bekerjanya power dari orang tersebut terhadap orang lain, tetapi constructivist menghindari penggunakan termin power tersebut tetapi lebih menyukai penggunaan termin “konstitutif” atau “kontruksi sosial” sehingga kerangka arsitekturnya menjadi jelas.  




Constructivists berpendapat bahwa aspek immaterial (norma, ide, values) merupakan hal yang penting untuk menjadi fokus analisa sama pentingnya dengan aspek material. Ketika Neo-realis menekankan struktur material pada  balance of military power dan Marxian menekankan pada capitalis world economy, constructivists berpendapat bahwa sistem menyebarkan ide, kepercayaan dan nilai juga memiliki karakteristik struktur. Penyebaran ide, nilai dan norma tersebut mengkonstitusikan agen maupun struktur oleh karenanya melihat faktor-faktor penyusun tersebut menjadi penting untuk memahami fenomena. Berbeda halnya ketika realis dan liberal  yang lebih berokus pada strategi agen/aktor untuk mencapai kepentingannya.


Bagaimana dengan rasionalitas aktor/agen ? Karena pengetahuan aktor/agen didapatkan dari berbagai aktivitas immaterial (nilai, norma, ide) dan material yang kemudian mempengaruhi/mengkonstitusi agen, dalam hal ini metodologi analisa constructivist menfokuskan studi bagaimana kumpulan pengetahuan itu didapatkan (faktor immaterial) dan kemudian diterjemahkannya menjadi aksi/tindakan (aspek material) serta ruang,posisi dsbnya (struktur) yang mempengaruhi aktor/agen tersebut pada saat ia melakukan tindakan (manifestasi).




Kadang kalanya struktur mendistorsi aktor, ataupun aktor yang mendistorsi struktur. Hal ini dapat dilihat setelah manifestasi gerak aktor/agen tersebut apakah ia ikut dalam struktur yang ada ataukah ia justru yang menciptakan struktur baru. Misalnya contoh aktor mengkonstruksi struktur, pentingnya agen/aktor untuk mengkonstruksi kondisi dimana ia ingin menjalankan kepentingannya menjadi sesuatu hal yang krusial karena dengan terkonstruksinya kondisi/struktur maka agen/aktor akan bisa memanifestasikan tujuannya (menjadikan struktur “ada” dan diterima menjadi sesuatu yang “ada”). 


Seperti contoh aliran modal bebas, pemberlakuan formasi free-trade di semua negara dan regional "didorong" "diciptakan" agar transfer ide,values dan norma dari kaum  liberal dapat terus hidup/ada/exist baik secara imaterial maupun material (manifestasi) dan terutama bertahan lama karena legitimasi. Pihak yang sama tetapi dgn kutub/sudut yang berbeda mendorong strategi konstruksi sharing nilai totalitarian, proteksi perdagangan dengan formasi penguatan negara ala nasionalis (seperti strategi ISI - Industries Subtitution Import, nasionalisasi Industri, peran negara sentral dalam pembangunan) agar menjadi sesuatu yang "tak laku" "tidak sesuai zaman" "kegagalan masa lalu" "penuh resiko politik ekonomi" dsbnya. Strategi tersebut dengan mendorong narasi empirisme kegagalan ISI dan sebagainya kemudian mengradualisasi hal tersebut secara sistematis dengan menggunakan metode immaterial dan material agar dapat diterima dan menjadi pengetahuan umum/dunia serta common sense. 


Hal ini bisa terlaksana juga ditopang oleh moral force (seperti ini baik, itu buruk dsbnya) yang dikontruksikan agar menjadi legitimasi untuk bertahannya aktor (state-non state) pada struktur dan menjadi dominan, dalam liberalis non-state actors menjadi dominan. Secara essensial hadirnya (manifestasi) WTO sebagai institusi yang "menjaga" (ide/norma-immaterial) liberal dari hal-hal yang mengganggu eksistensinya seperti asupan moral menghindarinya proteksionisme perdagangan yang akan merugikan produsen dan berimbas pada pekerja serta perekonomian. 


Konstruksi nilai/ide liberal lainnya misalnya fungsi penjamin kelancaran gerak komoditas barang dan jasa sesuai diktum ekonomi liberal "perdagangan dan kemakmuran". Mengapa WTO menjadi penting tidak hanya ia nampak berupa fisik institusi, regime, organizational, relasi produsen-produsen ataupun produsen-konsumen dan sebagainya (material) tetapi menjadi ruang (domain) dimana ide/nilai/values (immaterial) liberal terutama ekonomi dapat terus terkonstruksi ada/exist dan bertahan lama serta tahan gempuran.



Analisa metodologi constructivism terhadap konstitusi norma, nilai, ide lainnya dapat digunakan seperti contoh kasus perang/intervensi politik di Libya atas nama demokrasi dan ekonomi liberal dalam bungkus Humanitarian Intervention. Unsur moral force yang dijalankan berhasil membuat aktivitas material dari agen mendapatkan legitimasi dan hidup walaupun dilakukan dengan cara yang sebenarnya tidak bermoral. 


Apa yang dilakukan agen/aktor pro-perang Libya yaitu membuatkan struktur kondisi yang tersusun atas nilai, norma dan ide bahwa otoritarian sesuatu yang salah, Libya dalam hal ini dipimpin oleh Qhadaffi secara moral, nilai dan ide menyalahi struktur kondisi pada umumnya yang berlaku dominan di dunia khususnya kebebasan manusia dan hak demokratis lainnya. Naiknya konstruksi di berbagai media yang membentuk wacana umum seperti zoom in hidup Qhadaffi yang penuh dengan wanita2, bergelimangan harta, anti-demokrasi dan sebagainya merupakan strategi bagaimana menyebarkan nilai-nilai pro-demokrasi yg berarti pro-penggulingan Qhadaffi mendapatkan justifikasi moral konstruksi common sense penduduk dunia.


Jika ingin menguji metoda tersebut dan kemudian falsifikasi maka coba kita pindahkan ruangnya/objeknya. Misalnya "citra" Qhadaffi anti-demokrasi dengan totalitarian, jika kita geser sedikit ke ruang/wilayah Timur Tengah/jazirah Arab maka struktur beberapa negara arab jauh dari aktivitas demokrasi. 


Qhadaffi yang dikelilingi kemewahan, jika digeser sekali lagi maka berapa banyak kemewahan "barang mewah" yang laku di negara2 Arab/petro-states lainnya yang menjadi lokasi favorit penjualan bagi produsen barang mewah dunia bertebaran disana. Lalu jika begitu dengan mempertahankan konstruksi yang sama, masalah Qhadaffi bukan sesuatu yang "khusus" dalam ruang timur tengah tersebut dan tentu saja tidak "ada" masalah. Dengan sedikit saja menggeser strategi konstruksi "citra" tersebut pada ruang yang lain/yg tidak terlalu jauh dari Libya, maka kita akan menemukan konstruksi nilai/ide maupun moral tersebut dibangun untuk kepentingan. Tapi ingat, konteks kepentingan memang menjadi nafsu para analis tetapi dalam konstruktivis ini lebih penting melihat, memeriksa, mendiagnosa, menganalisis bagaimana proses-proses konstruksi nilai/moral/ide/values terjadi-terjalin seiring dengan kondisi material yang dapat dilihat oleh indera kita sehingga masalah dapat ter-di adakan, sehingga muncul menjadi masalah.



Dalam pandangan post positivis  lainnya seperti kaum posmodernisme menganggap strategi tersebut berhasil untuk membentuk dan menaikkan narasi besar ke permukaan sehingga diterima oleh khalayak ramai dan kemudian menjadi sesuatu yang umum. Hal tersebut untuk membentuk legitimasi dan mencegah lemahnya/kejatuhan/krisis legitimasi narasi besar (lyotard:48).




Advokasi yang ingin diberikan constructivisme dalam hal ini ialah mempertajam analisa agen-struktur dalam fenomena hubungan internasional terutama dengan penolakan asumsi naturalistic.  Tendensi Wendt untuk membuatkan satu teori komprehensif dan menyeluruh tentang konstruktifisme mendapatkan kesulitan sendiri karena melihat pemikir dan para sarjana konstruktifis sesuai basis epistemenya merupakan kondisi yang sangat plural dan dinamis. 

Tendensi ini terjadi sama halnya pada kasus Waltz yang mempunyai cita-cita membuat teori Hubungan Internasional menjadi satu teori tunggal dan menyeluruh dengan adopsi berbagai macam ke dalam neo-realis struktrural. Advokasi ini muncul sebagai jawaban teori dominan realis dalam menggambarkan dunia dengan tesis konfliktual, anarki, power-survive, zero-sum dan sebagainya. Order/tatanan anarki konfliktual terjadi karena terkonstruksi oleh agen/aktor dan aktor juga terkonstitusi oleh stuktur-struktur yang levelnya lebih kecil/rendah tetapi berpengaruh, sedangkan realisme berpendapat order/tatanan konfliktual dan anarki sudah menjadi keadaan alami/natural seperti sifat alamiah konfliktualnya manusia.












 * ilustrasi buatan sendiri dan masih dalam proses penyempurnaan, ckckk
 **ada pada postingan lalu, heheee

No comments:

Post a Comment