Pages

Keindahan Ruang Ekonomi Ramadan

Bagaimana ekonomi mainstream (kapitalisme) membicarakan dan mengupayakan kesejahteraan dan perputaran ekonomi menggeliat bagi rakyat bawah? Pertanyaan ini dijawab dengan tidak jelas dan tegas dalam sistem perekonomian mainstream dalam hal ini kapitalisme yang menjadi sistem ekonomi global.

Palingan opsi jawaban yang disediakan yaitu berpola atas ke bawah (Top Down). Mulai dari adagium “gelombang pasang akan mengangkat semua perahu” ala Kuznet ataupun model trickle down effect (efek menetes ke bawah) dan spillover (meluber) yang polanya kira-kira “atasnya dulu beres nanti bawahnya akan basah dengan sendirinya”.

Dua besar aliran ekonomi mainstream yaitu ada intervensi pasar ala Keynesian dan kekuatan pasar ala Monetarist Friedman (neoklasik Adam Smith) juga buntu membahas pertanyaan serupa.

Panacea yang disediakan Keynesian yaitu adanya program-program padat karya yang nilai ekonominya akan dirasakan rakyat bawah (buruh, kuli, dan sebagainya) tetapi hal ini mensyaratkan adanya proyek-proyek yang harusnya terus berkelanjutan dan tanpa henti. Dari sini kelihatan sisi lemahnya karena bersandarkan pada proyek.

Sedangkan sisi lainnya kalangan monetarist yang mengakui super powernya pasar tidak menyediakan penjelasan komprehensif selain membiarkan pasar memainkan perannya sendiri. Tentunya yang dimaksud adalah pasar yang berskala besar (misalnya pasar komoditas dunia, mata uang dunia).

Ramadan
Selain dari sisi relijiusitas personal, Ramadhan dapat dilihat sebagai suatu spasio temporal (ruang temporer) yang memperlihatkan berbagai model keindahan dan keunikan. Salah satunya adalah ruang ekonomi.

Dalam 12 bulan setahun setidaknya terdapat 1 bulan yang secara signifikan mengubah normal pattern. Bulan Ramadhan memberikan pause system dari sistem reguler yang tidak memihak ke bawah.

Rekonfigurasi tidak hanya terjadi pada skala bawah saja, skala ataspun semisal industri pertelevisian harus memutar otak dalam menyediakan program acara agar tidak kehilangan penontonnya. Walaupun dapat dipastikan Ramadhan juga mampu menjauhkan orang dengan suguhan acara TV nasional karena memilih untuk menghabiskan waktu dengan lingkaran terdekat.

Rekonfigurasi terjadi dan ekonomi bawah hidup dan menggeliat. Walaupun inflasi secara laporan dan pemberitaan “menakutkan” tetapi justru dalam realitasnya menjelang Ramadhan dan di dalam bulan Ramadhan sendiri hal tersebut mendorong uang untuk berputar lebih cepat dan tidak “tinggal diam” di Bank dan minim ketakutan riil di masyarakat bawah. Tetap diupayakan tersedia menu “ayam goreng” pada sahur pertama. Diupayakan oleh anggota keluarga yang telah bekerja sebagai wujud sumbangsih kegembiraan kepada keluarga.

Tetapi apakah hal tersebut justru menjustifikasi pola konsumsi yang menjadi indikator pertumbuhan ?. Secara sekilas jawabannya memang “iya” tetapi secara mendalam bisa lebih dari itu ataupun berbeda.

Produsen kelas bawah seperti pembuat-penjual kue buka puasa, ruang ekonomi sekitaran mesjid, produsen kopiah, produsen sendal  dan sebagainya tumbuh subur. Produsen yang biasanya di bulan normal membutuhkan serangkaian perencanaan seperti izin bangunan, alat produksi yang lengkap, manajemen usaha yang handal dan sebagainya justru tidak terlihat order seperti itu dalam bulan Ramadhan.

Semuanya tiba-tiba saja membludak, membuka ruang-ruang ekonomi dimana saja mereka bisa tempati dan mau berusaha. Hal ini tidak memerlukan perencanaan proyek-proyek vertikal (pemerintah) misalnya membuat festival kuliner terpusat, gedung pasar tradisional yang diupayakan menjadi modern dan sebagainya.

Sirkulasi Uang 
Ruang begitu fleksibel. Walaupun pelaku ekonomi bawah muncul tampak serampangan tetapi itulah momentum mereka bertumbuh subur. Uang yang tadinya banyak beredar di kalangan menengah atas dengan cepat mengalir (bukan menetes dan meluber) ke bawah.

Pemandangan mobil mewah yang berbelanja di penjual kue kaki lima yang di bulan biasa sulit ditemukan, dengan mudahnya ditemukan pada ruang Ramadhan ini. Uang yang pada bulan biasa bersirkulasi pada usaha kelas atas (hotel, tempat hiburan, barang mewah dan sebagainya) terhenti sejenak dan berganti sirkulasi yang lebih berorientasi keluarga, kelas bawah dan reliji.

Para pemilik modal industri juga “dipaksa” untuk memberikan sebagian kenikmatan surplusnya untuk sedikit membahagiakan pegawai seperti insentif THR (Tunjangan Hari Raya), memberikan hak cuti dan sebagainya.

Namun tidak terhenti disitu saja, gerakan uang juga bersirkulasi di ruang-ruang kecil seperti kampung seiring dengan kebiasaan mudik yang dilakukan. Mudik selain membawa kegembiraan berkeluarga yang berdimensi sosiologis juga membawa sudut ekonomi yaitu menginjeksi kuantitas dan perputaran uang di desa, kampung atau kabupaten. Sekaligus memberikan nafas bagi kota untuk sedikit tidak hiruk pikuk.

Begitu juga untuk ruang ekonomi berdasarkan pembelahan Indonesia bagian Barat dan Timur. Jumlah uang beredar yang banyak beredar di Ibukota akan mengalir dan tersirkulasi ke tempat-tempat lainnya di luar Ibukota.

Uang yang terbawah dari ruang kota ke desa  atau kampung ini hadir dalam bentuk yang harmonis dan tidak dalam tensi yang meninggi seperti dana desa 1 milyar yang pastinya rentan konflik dan menggerus kohesi sosial di desa/kampung.

Kemakmuran
Membicarakan kemakmuran merupakan pembicaraan panjang dan melelahkan. Serangkaian eksperimentasi ekonomi sosial politik telah dilakukan berabad lamanya dan tidak kunjung memberikan perubahan yang cepat dan signifikan. Mungkin dalam teori bisa saja sangat solid tetapi dilapangan tergerus oleh kepentingan para pengambil rente berbagai level, berdaya koersif dan serangkaian fenomena ekonomi internasional yang diluar kendali nasional.

“Mengapa Negara Gagal” dalam buku Robinson dan Acemoglu menyalahkan institusi politik yang ekstraktif yang gagal menumbuhkan ekonomi inklusif. Sayangnya mereka juga gagal mengakui akutnya dan rumitnya ekonomi politik diatur dalam sebuah negara yang berkarakter khusus. Terlebih kepentingan manusia yang bermain dalam ranahnya saling mengupayakan mendapat kue ekonomi sekaligus posisi politik dalam nalar dasar kompetisi. Ditambah lagi gagalnya mereka dalam menganalisa ruang Ramadhan yang memberikan variasi dan nafas segar ekonomi politik.

Ramadhan memberikan serangkaian kontrol individu maupun kelompok yang menyatu dalam pause system tersebut.  Dorongan untuk mengontrol syahwat ekonomi politik lebih terjaga tanpa harus dikelilingi oleh serangkaian sangsi hukum positif. Secara kuantitas dan kualitas untuk serangkaian penyalahgunaan wewenang dan sebagainya bulan-bulan di luar Ramadhan jauh lebih berbahaya dari bulan Ramadhan itu sendiri.

Kemakmuran keluarga diminta penuh dengan syarat halalan dan tayyiban, zakatpun harus dikeluarkan dan serangkaian kebaikan-kebaikan yang mendorong kemakmuran di aras bawah. Ramadhan dapat dipotret dari berbagi sudut misalnya sosiologis, antroplogis, sosial budaya, psikologis maupun ekonomi politik.

Ramadhan mendorong manusia lebih berorientasi keluarga, menghargai yang sederhana, penuh dengan kontrol individu, kontemplatif, berorientasi kebaikan sosial dan keunikan ruang ekonomi yang dapat dipotret secara makro maupun mikro konteks Indonesia ini.

Suat ruang dimana kekuatan reliji di double injeksikan dengan halus ke berbagai ranah dan memberikan pemandangan yang unik nan indah.




*Opini ini pernah terbi di Koran Harian Fajar pada Ramadan 1436 H (Ramadan tahun lalu)

No comments:

Post a Comment