Pages

Dosen point of view Vs Mahasiswa Baru circumstances



Dosen point of view Vs Mahasiswa Baru circumstances

Mata si dosen
Sore ini tiba-tiba teringat beberapa pernyataan seorang senior yang sekaligus seorang dosen ilmu sosial tentang kegelisahannya dalam proses pentransferan pengetahuan dalam sistematika institusi kepada mahasiswa. Aturan main dalam institusi pendidikan formal perguruan tinggi yakni mengikuti alur runtut. Pembagian dan porsi mata kuliah baik “beban” kualitas dan kuantitasnya dilakukan step by step. Tidak ada jalur bypass/memotong dalam permodelan tersebut. Oleh karena susunan mata kuliah dan kompositnya (metodologi, pembagian waktu (berapa kali mengajar), tujuan pembelajaran dan sebagainya) di buat dengan berbagai pertimbangan (psikologis dan sebagainya) berstruktur order/urutan.

Bisa saja dosen A melakukan transformasi secara cepat kepada mahasiswa, membicarakan yang “berat” dan menyeluruh “berat” (se-isi kepala dosen) dalam waktu/tempo singkat di awal perkuliahan kepada mahasiswa, tapi apakah itu  perlu? apakah itu tidak membuat generasi instan ? apakah itu tidak membuat beban puncak di “lugunya” subjek yang baru mengalami perubahan status SMA ke perguruan tinggi tersebut ? apakah seluruh mahasiswa dalam ruangan itu mampu mencernanya ? ataukah nanti justru menimbulkan kelas-kelas (cepat tanggap, lambat loading dsbnya) mengingat sebuah kelas terdapat plularitas yang tinggi ?  singkatnya apakah itu layak dan benar ?

Ilmu sosial dan ilmu eksak berbeda dalam beberapa segi, walaupun di awal-awal sejarah pengetahuan keduanya ini bukan sesuatu yang terpisah. Tetapi kita tidak membicarakan konteks itu, kita membicarakan konteks universitas yang dari awal kelahirannya telah memperkenalkan divisi/pembagian. Dengan melangkah lebih cepat tanpa harus mulai dari beberapa abad silam, kita membicarakan pembagian-pembagian itu dalam institusi pendidikan kontemporer dengan serangkaian aturan main vertikal (nasional-lokal). Dikotomi ilmu ini (sosial-eksak) seharusnya bukan dimaknai dua hal yang saling berlawanan (anti-) misalnya sosial berarti anti-eksak/tidak eksak. Pembagian itu hanyalah kategorisasi untuk membuat titik fokus masing-masing. Disini saya tidak membicarakan "gelar" atau serangkaian lainnya. Walaupun di tingkat advance/lebih lanjut misalnya telah membicarakan himpunan yang lebih luas masing-masing ilmu membutuhkan ilmu yang lain dalam membedah sesuatu permasalahan yang lebih kompleks apalagi yang berhubungan dengan manusia-kumpulan manusia-masyarakat dengan berbagai kerumitan konteksnya masing-masing

Kita mengenal Akrit Jaswal seorang anak dari remote area di India kelahiran 1993 yang ber IQ 146 telah melakukan operasi ringan pertama di umur 7 tahun. Prodigy child ini sangat piawai dalam mendalami ilmu kedokteran dan mengkhususkan dirinya menjadi ahli kanker yang bercita-cita mulia menyelamatkan penderita kanker secepat mungkin. Misi idealis ini sangat mulia (dan semua berdoa atas kemajuannya) tetapi ketika ia besar kelak dan mendapati dirinya berhadapan dengan pasar dimana akan mendapati hambatannya sendiri jika tetap berposisi sebagai pure scientist. Walaupun tidak menempuh jalur formal/institusional Akrit mampu “melahap” ilmu pengetahuan yang begitu digemarinya sejak kecil. Sebuah kombinasi bakat alam, pemberian Tuhan, suplai buku, supporting environment dan sebagainya. Ataupun prodigy yang lain semisal Jack Andraka juga dalam bidang penelitan kanker, Nobert Wiener yang meraih gelar PhD dengan disertasi logika Matematika pada usia 18 di Harvard, Wiliam Sidis sebagai mahasiswa termuda yang masuk Harvad pada usia 11 dan ahli matematika, untuk seni kita mengenal Ludwig Van Beethoven dan sebagainya.

Jika menggunakan dikotomi sosial-eksak secara kaku dalam domain institusionalis tentu kita melihat sangat sedikit pemikir ilmu sosial ataupun filsuf yang dapat berakselerasi secepat itu (umur biologis) < 20 tahun. Ilmu sosial membutuhkan serangkaian proses evaluatif baik bermodel self reflection, fenomenologi, kolektivis, pembacaan, penelaah dan pemahaman konsep dan serangkaian mekanisme pencocokan dengan realita ataupun  realita yang akan ia konstruksi jika ia mendapati adanya gap das sein-sollen. Secara singkat dan sederhana masing-masing dari input – process – output – counter output maupun tesa- anti tesa – sintesa, koreksi sintesa dsbnya memiliki fasenya masing-masing. 

Tetapi ini tidak hendak melihat adanya divisi pengetahuan dalam domain institusional lebih superior daripada yang lain. Tentunya hal yang menggelikkan apabila penarikan kesimpulan dari analog diatas yaitu sosial lebih superior daripada eksak karena tidak ada yang mampu mencapai puncak atau setengah puncak dalam periode singkat dalam sosial. Jikapun ada, apa standar/ukuran menguasai ilmu sosial itu misalnya hubungan internasional, antropologi, sosiologi dsbnya? Ilustrasi tersebut hanya memberikan sedikit gambaran bahwa model penghapalan/sesuatu yang baku semacam manual yang biasanya melekat dalam proses ilmu eksak terbuka besar peluang untuk mengakselerasinya asalkan fokus ke satu titik. Sementara ilmu sosial dimana proses evaluatif menuntut pra-kondisi yang tidak jarang melelahkan dan membutuhkan waktu. Kemudian ilustrasi tersebut membicarakan orang dalam himpunan yang kecil (prodigy child) sedangkan konteks yang dibicarakan jauh lebih banyak secara kuantitas atau dalam himpunan yang lebih besar.


Mata si mahasiswa
Saya menggunakan fenomenologi memakai sudut pandang orang pertama. Waktu awal kuliah dulu (tahun 2003) terus terang saya baru mengetahui Jerman pernah terbagi dua sewaktu perang dingin (maklum dari IPA). Sekaligus saya juga baru mengetahui ternyata ada istilah, konteks dan kurun waktu perang dingin tersebut. Proses belajar ini saya dapatkan pada awal sekali masuk kampus dalam serial diskusi yang terkesan “dipaksakan”. Tapi tak mengapa, dipaksa dalam konteks itu ternyata mengasikkan. Sewaktu pertama masuk, seakan semuanya tampak seperti timbunan dengan ketidaktahuan sama sekali harus memulai dari mana dan yang parahnya apa yang akan dipelajari sebenarnya.

Kemudian datang segerombolan informasi – istilah yang tidak pernah tuntas, rigid, runtut dan sebagainya berjejalan tanpa henti mulai dari filsafat ilmu, regionalisme, hukum internasional dan sebagainya yang diproduksi dalam serial non-kelas. Entah saya yang lambat loading atau materinya yang terlalu banyak menurut kadar saya waktu itu menghasilkan output tidak terlalu memuaskan. Dan siklusnya berulang-ulang berjejalan tanpa sama sekali memunculkan serial evaluatif dan pengetahuan yang terstruktur ditambah dengan proses perkuliahan yang mengecewakan. Di ruang yang lebih luas banyak hal diluar substansi yang meng-distract konsentrasi terutama hubungan sosial (pertemanan, percintaan dll). Syukurlah periode itu belum banyak terdistraksi oleh perkembangan teknologi sebutlah media sosial dan gadget-gadet yang mengangkat narsis di titik ekstrimnya.


Anggaplah ilustrasi kejadian miris itu sebagai seburuk-buruknya sampling. Sampling yang dikategorikan mahasiswa dengan informasi sangat minim dikepalanya. Meskipun satu contoh tersebut tidak dapat merepresentasikan semuanya (IQ yang lemot atau bagaimana) persoalan itu real/nyata. Dan jika akumulasi masalah itu tidak terurai dengan jelas dan terang, niscaya proses itu akan repetitif di objek yang berbeda.

Paradoks manusia di era informatika:
Seolah-olah dapat mengetahui segala sesuatunya dengan jelas, cermat, menyeluruh tanpa disiplin belajar yang teratur, sistematis, step by step, serangkaian pencocokan dengan realitas, proses evaluative dan sebagainya, saya rasa itu sangat bermasalah dan bahanya terjatuh pada solipsistik. Di lain sisi pengetahuan “ala kadarnya” di kepala kita tertahan ditempat/tidak berkembang sementara disisi lain kita merasa cukup dengan “isi” kepala kita itu. Sekali lagi saya rasa itu masalah. Bukankah ini suatu pertanda prematur nihilis epistemological, saya menyebutnya nihilis hipster.


Yuk mari belajar lg.....


21 Maret 2014, 6:04 PM
Jogja di bawah pohon, nyari wifi

No comments:

Post a Comment