Pages

Sebuah Refleksi Ujian Akhir Nasional


Postingan di kompasiana, beberapa bulan lalu


Sebuah Refleksi Ujian Akhir Nasional “Merayakan Keter-kekangan Pengetahuan“



Sebuah Refleksi Ujian Akhir Nasional
“ Merayakan Keter-kekangan Pengetahuan “

“ Ujian nasional “ sebuah frase ini mirip sebuah mantera sihir, yang mampu menyihir berjuta “manusia” yang terseragamkan dalam ikatan identitas “pelajar” institusi pendidikan yang dinamai sekolah di negeri kita tercinta ini. Frase ini merupakan sebuah grand narasi yang tercipta dari struktur yang menekankan pada hal yang hanya muncul di permukaan, layaknya sebuah  budaya display suatu produk dengan nilai jual tanpa menggali lagi lebih dalam pengetahuan berada pada posisi dimana dan untuk apa. Menjadikan “bisnis sebagai dasar pengetahuan permukaan”.  Nampaknya penggalian ilmu pengetahuan menjadi sangat pragmatis saat-saat ini, dimana katanya semua manusia dalam grand narasi nya hidup dalam era modern.



Apa yang anda bayangkan atau ketahui tentang “Ujian Akhir Nasional” ?, anda yang pernah melaluinya pasti memiliki kecapan sejarah, garis-garis pengalaman yang mempunyai rasa tersendiri. Ujian untuk keluar dari sekolah lebih “berat” dari ujian untuk masuknya. Dalam bayangan kita sebagi “produk” keseragaman struktur Pendidikan Nasional pastilah kita mempunyai bayangan-bayangan “ujian nasional” yang hampir sama khususnya yang mengecapnya di abad 21 (maklumlah kita merupakan “produk”) walaupun ada yang sedikit berbeda tidak menjadi masalah besar, karena sangat tidak nyaman untuk mendeterminasi bayangan anda.



Mari membayangkan, Setelah terdengar frase “Ujian Akhir Nasional” pergerakan otomatis otak kita mengarah kearah “angka” sebagai pola standarisasi kelulusan, “masa intensive belajar”, “kegelisahan menghadapi ujian”, “pengawas ruangan”, “kecurangan-kecurangan”, “pengumuman nilai”, “pawai bermotor”, “coret-coret baju” dan “masa kebingungan lanjut kemana”.



Mari mengurai kasus ini, “angka” yang biasanya menjadi “momok” menakutkan bagi para “pelajar” maupun staff institusi sekolah terkait, secara hirarki dari kepala sekolah sampai  guru-gurunya. Pola ini ternyata menimbulkan reaksi-reaksi pragmatis walaupun tujuan awalnya adalah standarisasi yang ingin menimbulkan kesadaran rasional invidu untuk meng-upgarde kemampuannya.



Salah satu reaksi pragmatis dari pola “angka sebagai standarisasi”, sekolah (lembaga bimbingan belajar melihatnya sebagai peluang meraup rupiah lebih) membuatkan apa yang mereka fokuskan sebagai “masa intensive belajar” dengan pengerjaan soal-soal terdahulu menjadi prioritasnya dengan harapan ada soal yang keluar nantinya “mirip” dengan soal yang di bahas baik dari modelnya sampai ke narasinya. Dengan pola ini, maka kita berhak mensimbolkan bahwa di luar “masa intensive belajar” merupakan “masa tidak intensive belajar” atau tidak terlalu seriuslah, meskipun kata intensive ini merujuk pada penambahan jam belajar, kualitas pembahasan soal, tambahan gaji guru dsbnya. 



Bagaimana jika kita membalik logika ini, 3 minggu sebelum ujian akhir belajarnya lebih relaks tetapi diluar 3 minggu itu “belajar intensive” atau dengan kata lain “belajar intensive” mempunyai durasi yang panjang ketimbang “belajar non intensive”.


Masih seputaran “standarisasi berupa angka” yang merupakan biang keladi dari reaksi pragmatis institusi, ternyata standarisasi ini membuat para kepala sekolah dan segenap squadnya menjadikan ajang ini sebagai ajang mencari ataupun mempertahankan suatu hal yang bernama “citra” (lagi-lagi display).  Mendikotomikan, “citra” sebagai sekolah terbaik (berarti ada yg terburuk), lulusan terbaik (berarti ada yg terburuk), dan sebagainya yang ujung-ujungnya adalah pusat sanjungan jatuh ke kepala “kepala sekolah” dan bisa meng-upgrade profilnya. Dari proses berpikir seperti ini muncullah cara-cara untuk menggapainya, “intensive belajar” ada yang mengatakan inilah positifnya walaupun pernyataan ini masih sangat lemah sampai “kecurangan-kecurangan” yang bernada sedikit minor (negatif). 



Jika “kepentingan” menjadi tolak ukur untuk melihat perkara ini, semua pola tersebut dapat di benarkan demi pengejaran kepentingan masing-masing. “kecurangan individu/kelompok” cari soal/jawaban sebelum ujian (kebocoran soal/jawaban yg terjadi hampir tiap tahun), nyontek dalam ruangan kelas  “ketakutan karena ada jawaban “salah-benar” dari pilihan soalnya,  “kecurangan terorganisir” pihak sekolah yang memberikan bantuan jawaban kepada murid-muridnya biasanya pada secarik kertas yang beredar dalam kelas dsbnya.  “Jika sampai banyak yang tidak lulus, bukan hanya pelajar yang memikul beban tapi institusi sekolah “citra sekolah anjlok” (kepala sekolah & perangkatnya)” kira-kira begitulah narasinya, sehingga persoalan dari pola pragmatis yang sama akan terulang dari tahun ke tahun (menjadi siklus bahkan menjadi siklus siklikal).




“Angka”, perdebatan akan hal ini akan terus menarik, karena narasi ini yang dipakai institusi sekolah untuk menjudge lewat labelling seseorang “pintar - bodoh”. Kejam, mungkin kata inilah yang pantas dipakai untuk menghantam seseorang yang menggunakan narasi “angka” untuk menghabisi seseorang dengan kata “bodoh”, mengkerdilkan manusia dan menambah beban psikologis yang dari kecil apabila ia dapatkan maka “narasi ‘bodoh” ini akan terbawa sampai ia beranjak besar sampai tua bahkan. 



“bodoh-nakal-tak tau aturan” merupakan menu paketan yang biasa seseorang terucapkan terutama bagi sosok yang dianggap mulia/sumber kebenaran mutlak “guru” yang menjudge siswanya yang berlaku tak seperti apa yang dia harapkan. Padahal fakta sejarah memberi pelajaran kepada kita, pengetahuan mengalami kemajuan berarti ketika manusia berada pada “posisi tidak setuju dalam sebuah narasi/wacana besar” yang dianggap sebagai kebenaran yang membelenggu dan dalam proses pencapaiannya manusia melakukan hal-hal di luar aturan orang “normal”. Kadang dengan sederhana melihat langit, bintang, air dsbnya memunculkan pemikiran kompleks, pertanyaan-pertanyaan lalu memunculkan penjelasan-penjelasan atasnya.




Jika kita mau sedikit “fair” dalam kehidupan ini, bahwa setiap manusia terlahir potensial dan berbeda-beda, justru itu akan menjadi kekuatan apabila ia mendapatkan instrument untuk mengasahnya "on the right place". Pertanyaan yang kita bisa ajukan untuk mereka yang sering menjudge “pintar-bodoh”, apakah anda yakin orang yang anda katakan “pintar” itu menjadi orang “pintar yang baik” kedepannya, melihat fakta sejarah korupsi di negeri ini rata-rata lahir dari orang yang semasa kecilnya ter-konstruk “pintar” di sekolahannya. Apakah anda akan terus melahirkan manusia-manusia destruktif / korup seperti ini? Yang berjalan di atas rel yang anda ciptakan bernama “aturan baku pengetahuan”. 



Penyeragaman yang dilakukan institusi bukan nya mau menyadarkan bahwa kita egaliter tidak ada pembedaan (yang biasanya nampak oleh display pakaian), tetapi justru di arahkan ke ranah penyeragaman idea atau pikiran. Gambar 2 gunung, matahari ditengah, jalan raya, sawah dan burung-burung terbang di awan tampaknya akan tetap kita lihat dari dulu sampai tahun-tahun kedepan sebagai gambar “bebas” yang diseragamkan dijanji mendapatkan nilai tinggi, menggunakan logika ini gambar “bebas yg baik dan bernilai bagus (represitas melalui nilai), para murid awal SD sangat takut untuk menggambar selain gambar yang saya sebutkan diatas ciri-cirinya. 



Pasti anda lebih tahu sebabnya mengapa anda menggambar itu sejak kecil, syukur-syukur kalau anda dengan jujur mengatakan bahwa anda pernah menggambar lain dengan mendapatkan nilai yang “jelek” dan anda bangga terhadapnya. Belum lagi anda belajar matematika dsbnya dgn harus menuliskan diketahui (diket), penyelesaian (penye) dan sebagainya. Kontroversial “upacara”, LKS dsbnya. Sistem hirarki “rangking” sebagai model dini sikut-menyikut tahap awal doktrinisasi kepada “pelajar” kita, yang dari sudut pandang yang lain, untuk mencapai “posisi” anda harus diatas yang lain, ironis. Dikotomi ilmuwan mana yang”exacta” dan mana yg social “non-exacta” yg ujungnya membuat narasi, pelajar bidang exacta akan terlihat lebih “pintar” dari non exacta. Padahal ilmuwan dulu tidak mendikotomikan dirinya sendiri ke dalam 2 ilmu yang sekarang nampaknya berbeda itu.




D-day, (pengumuman nilai ujian akhir), ada yang bersorak kegirangan mendapat predikat  “lulus” berdasarkan standarisasi angka dan ada yang bersedih ketika mendapat predikat “tidak lulus”. Para pensedih ini tiba-tiba memikul beban psikologis yang cukup berat, kepada dirinya sendiri, kepada keluarganya, sangsi  social dsbnya. Kenapa sekolah menghalangi siswanya untuk lulus ? ; “akan ada ujian susulan”, kenapa buang2 energi untuk ujian susulan? instrument dengan wacana/narasi “meningkatkan kualitas SDM” ini sangat lemah jika hanya menggantungkan ke salah satu tolak ukur bernama “angka standarisasi nasional”. Sementara, Di belahan kehidupan yang lain justru standar gizi masyarakat pada umumnya (menengah ke bawah) berada pada posisi mengenaskan, Mie instan sudah menjadi makanan pokok (Sebagai informasi saja, Indonesia mengimpor lebih dari 100% gandum, yang artinya selera makanan sebagai bentukan instrument bisnis). Ekonomi menengah ke bawah dalam semakin tahun semakin mengenaskan, sementara pemerintah kita dengan lucu-lucunya sangat giat membantu “asing” untuk masuk menanamkan kukunya di negeri kita ini.




The Option
Dan masih banyak lagi kekacauan-kekacauan yang ditimbulkan dari “narasi/wacana besar” yang membutuhkan legal formil dari intitusi bernama sekolah. Setelah menemukan masalah-masalah saatnya kita pelan-pelan saja membahas masalah ini. Kita Khatamkan dulu essensi maupun substansi dari “pengetahuan” dan “belajar”. Untuk mensimplistikkan, menurut saya pribadi, “belajar” merupakan sebuah proses dari keingin tahuan, mencari jawaban atasnya dan setelahnya memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang lain. 



Menikmati proses “menjadi tahu” merupakan suatu yang luar biasa atau dengan narasi  besarnya “kehausan” akan pengetahuan akan menjadi proses pembelajaran yang sangat luar biasa. Jika desire ini datang akan ada reaksi-reaksi luar biasa mengikutinya bahkan tanpa “piala” sekalipun. Untuk menumbuhkan ini adalah kata “cinta” yang bisa dijadikan pemancing, cinta akan suatu hal, cinta akan mata pelajaran yang ingin selalu ingin tahu (seperti layaknya kekasih yang ingin terus mencari tahu kondisi pasangannya). Metode research dalam segala hal, bisa membantu merangsang minat pelajar yang tidak berbasis pada “represitas ujian” dan sebagainya.




Menemukan metode-metode yang lain dengan tujuannya menyelami pengetahuan lebih dalam mengantar ke inti, tidak hanya bersibuk ria dengan membahas permukaannya saja (simbolik), merupakan tugas kita semua. Karena hanya dengan pengetahuan kita dapat merayakan kemenangan, bebas dari kungkungan dan kemajuan. Bukan hanya merayakan kemajuan berbasis “perkembangan teknologi yg modern” yang justru mengantarkan manusia dalam kemajuan mencari pengetahuan dalam perjalanan yang amat sangat lambat, tetapi merayakan pengetahuan dengan kesibukan kenikmatan menyelami pengetahuan itu sendiri. Semoga tulisan ini membantu memancing pemikiran kita bersama ke arah pengetahuan itu sendiri. Semoga Bapak/Ibu guru sebagai front line berhadapan kepada pelajar bisa menyadari pentingnya hal ini, dan mengembangkan metode-metode selanjutnya, jangan terkungkung dengan narasi-narasi simbolik termasuk buku pegangan sekolah, anda berhak mempertanyakan dan mencari jawaban atasnya. Semoga generasi lahir tercerahkan.









Jogjakarta 15 April 2012

No comments:

Post a Comment