Pages

Welfare State



Seri: Sekilas Mengenai
analis deskriptif dangkal dan tidak lengkap


WELFARE  STATE

Tentu sangat sering kita mendengar istilah ini / universally spoken, negara kesejahteraan / welfare state.  Untuk menyederhanakan pengertian, yaitu ketika negara memberbesar porsi untuk social expenditures nya. Belanja negara pasti mempunyai lembaga/institusi untuk mengelolanya. Social expenditures ini pada umumnya untuk sektor pendidikan, kesehatan, asuransi, public service, public housing, pension, program petani dan program sosial lainnya seperti transportasi, komunikasi, tunawisma, program negara pada kebijakan upah minimun.


Untuk mengukur seberapa jauh negara tersebut menggunakan konsep welfare state dapat di trace dengan melihat besaran social expenditures tadi dalam anggaran belanja negara ataupun paket regulasi perlindungan dan layanan sosial. Untuk memperbandingkan negara dalam hal social expenditures besaran di maksud bukan jumlah anggaran karena memperbandingkan negara dengan jumlah besaran anggaran tidaklah setara karena perbedaan income dan sebagainya, tetapi jumlah/total %(persenan) dalam belanja negara yg di investasikan untuk sosial. Ataupun dengan model komparasi yang umum dengan perbandingan %(presentase) dari GDP (tetap besaran %).


German dan Swedia memiliki angka yang besar dan cenderung stabil dalam bidang tersebut, tidak heran misalnya German sangat kental dengan pelayanan sosial/publik. Masih di Eropa ada UK, Spain ada jg yg disebut dengan Nordic, yaitu welfare state Iceland, Norwegia, Swedia, Denmark, Finlandia. Hampir di semua negara Eropa terutama Barat dan skandinavia. Di belahan bumi lain sebutlah Canada, US (saya masih ragu2 apakah pakai konsep welfare, itu US state formation apa sebenarnya, ckckk), Japan, Korea Selatan dan Australia.



Untuk pola umumnya untuk mengisi pos duit social expenditures nya memakai konsep pajak progressive dan mendistribusikannya ke pos-pos program sosial. German dalam hal ini negara dgn pajak progressive yang tinggi, maka tidak heran jarang pemain bola terkenal mau main di german, kerena pajak penghasilannya tinggi :D. Dapat dimengerti dari perjalanan sejarah negara ini selain tradisi intelektual yg sangat kuat serta pengalaman perang (NAZI tumbuh subur akibat “lemahnya dan absennya” negara dan keterbengkalainya masyarakat (kesenjangan sosial tinggi) Bismarck pun pernah mengaplikasikan welfare dalam bentuk yang mula dan dianggap sebagai pencetus.



Untuk krisis financial misalnya, paket bantuan yg selama ini ( baca: pasca PD.II) menjadi andalan untuk “mengatasi” “menunda/mengulur” krisis mengharuskan untuk meng “cut” besaran social expenditures sebagai prasyarat bantuannya. Dengan Logic sederhana dari paket bantuan, misalnya ketika “donor” meng injeksikan dana nya (bantuannya) sebesar 40% untuk anggaran belanja suatu negara, jika social expenditures ini menghabiskan 20% dr anggaran belanja maka mereka menganggap paket bantuan itu sia-sia, dalam kata lain tidak produktif. 


Produktif menurut logic mereka (sistem ekonomi mainstream) adalah pemakaian anggaran untuk sektor lain selain sosial yang akan mendatangkan sentiment positif dari investasi terutama pasar modal. Kecepatan dan jumlah uang masuk serta beredar menjadi indikatornya. Paket prasyarat ini masuk dalam termin disiplin fiskal (pemasukan dan pengeluaran negara). “Disiplin” disini selain mengatur ketat yaitu mengalih post-kan anggaran, bukan mengurangi secara keseluruhan besaran anggaran belanja (perlu dimengerti ada perbedaan logic “disiplin dan hemat”, jika individu kekurangan uang maka ia menghemat (mengurangi pengeluarannya), tetapi klo negara “menghemat” dengan mengurangi besaran secara kseluruhan maka perekonomian akan berjalan “slow”). Prasyarat lainnya seperti devaluasi, tax rate ada dalam termin moneter, deregulasi dan sebagainya. Ini penjelasan ekonomi mainstream. Jadi, ketika negara welfare state ini mengalami krisis financial dan mereka ingin mendapatkan "bantuan" bailout dsbnya program-program penyusutan persenan social expenditures dan sebagainya mereka harus lakukan sebagai prasyarat bantuan. Kalau IMF memakai sistem deregulasi ala Washington Consensus sebagai sebuah preskripsi ekonomi liberal (mainstream) untuk penyehatan keuangan suatu negara.



Termin
Hampir seluruh negara-negara di Eropa memakai model welfare state khususnya di Eropa Barat dan skandiv dan bahkan di seluruh dunia seperti disebutkan diatas dengan besaran persenan berbeda-beda dan besarannya fluktuatif  sesuai kondisi perkonomian negara. Di Eropa khususnya Barat dan Nordic menjadi percontohon karena dianggap paling berhasil menerapkan pelayanan sosial dan publik. Untuk negara-negara berkembang cenderung sulit bahkan sangat sulit mengingat struktur negara dan pemerintahan (aparatos dan birokratos) masih dalam berkutat masalah fraud and corruption etc. Program kacau apalagi implementasinya, sebagai proses hasil kawin capitalisme dengan struktur mental feodalisme, mental feudal dalam logic capitalism.



Bagi yang tertarik asal usul termin, mari kita mulai dengan penjelasan singkat:
Otto Von Bismarck (1815-1898)
Karena banyaknya yang biasanya memulai welfare dari start Keynes, maka kita tarik sedikit ke belakang dengan melihat track record Bismarck.  periode yang menjadi ajang unjuk gigi Bismarck (1862-90) PM Prussia, Membentuk kerajaan German 1871 (first cancellor). Pria ini menolak Free Trade dan menerapkan proteksi tariff seperti pajak import. Khawatir meluasnya sosialisme ( membuat Anti Socialist Laws 1878). Membuat program welfare state pertama di dunia pensions, asuransi kecelakaan, kesehatan dan asuransi pengangguran. Ini merupakan taktik untuk membendung sosialisme waktu itu. Kemampuan berdiplomasi dan menyatukan dapat lebih lanjut baca di Wikipedia saja ya..heheee.


Dari liberal approach mendesain program universal system of social protection yang bernama Social Democratic (SosDem-tengah "antara kiri dan kanan") dimana konsep Bismarckian sangat kental didalamnya kemudian hari kita mengenalnya “welfare system/state”. 


Selanjutnya termin “Anglo-Saxon Model” , welfare state yang mengikuti gaya United Kingdom. Keynesian model “kerjasama tripartite koalisi Buruh – Pemerintah – Pengusaha”. Pengusahaan upah buruh dan jaminan sosial lainnya agar mensupport kelancaran industrialisasi waktu itu. Negara/pemerintah hadir dalam menengahi kepentingan pekerja dan para kapitalis. Periode ini disebut embedded liberalism.  Sistem moneter diatur oleh lembaga (periode ke emasan pasca PD II -1970), kemudian ditinggalkan diganti ke Neoliberal (kembali ke ekonomi klasik (peran minimum negara) ditambah varian institusi/lembaga pemberi utang).  dalam tulisan lebih lanjut akan lebih di eksplore.







gambar diatas data 2011-12 dimana terjadinya krisis pada Eurozone dan berpengaruh pada fluktuasi persenan social expenditures. 






Perspektive : Tengah

Tengah dalam hal ini, tengah menuju ke kanan. Konsep ini merupakan bentuk kehadiran negara dalam wilayah publik. Meringankan beban publik terutama ketika terdapat financial problems yang cukup parah baik sifatnya individu terlebih negara.  Program ini sebagai usaha mengurangi kemiskinan dengan penyediaan program sosial dan pelayanan publik. Program ini merupakan upaya meredistirbusikan “lebih” si kaya/perusahaan ke masyarakat melalui progressive taxes (atau commonly speak "subsidi silang"). Program subsidi ke berbagai jenjang  baik itu jasa maupun barang. Mencoba mengharmonisasikan sistem capitalism dan tanggung jawab sosial.


Kendala yang dihadapi sifatnya makro, ketika neraca defisit, inflasi dan sebagainya mempengaruhi besaran anggaran terkadang mendilemakan pemerintah apakah meng "cut" anggaran belanja atau terdistorsi. Dengan pilihan "cut" mengurangi legitimasi dan berakibat socialprice yang mahal ataupun memilih legitmasi dengan anggaran belanja amburadul.


Selanjutnya apabila di baca dari perspektif ekonomi maka akan mengasosiasikan dengan model ekonomi Keynesian. Dimana negara mengatur kuat kebijakan moneter dan fiskal.


  Jadi tantangan sustain dari welfare khususnya negara-negara yang disebutkan diatas yaitu bagaimana menjaga kondisi ekonomi makro mereka dalam jejaring perekonomian global tetap sehat agar tetap mendapat besaran sosial expenditures yang di inginkan atau dengan kata lain me-minimalkan resikonya.  




Perspective: Kiri

Jika dimaksudkan kiri-tengah maka akan menemui istilah sosial demokrat dimana partai-partai beraliran sosialis yang moderat mengambil metode subsidi silang. Subsidi silang dimaksud sama dengan model diatas yaitu tax proggresive, mengambil lebih besar pada yang kaya dan menyalurkannya ke yang membutuhkan berupa jaminan sosial dan sebagainya.
 

Welfare state masih termasuk dalam Capitalism system. Jika ia masih merupakan bagian di dalamnya berarti masih membawa sifat-sifatnya dalam hal ini kontradiksi internal dari sistem itu. Bermasalah baik dari sistem ekonominya (basis/infra) dan juga masalah bagi suprastuktur. Negara tak lain masih merupakan kumpulan kelas dominan yang menjalankan kepentingan dominannya yang ditopang oleh apparatus negara dan apparatus ideologi  negara. Jikapun welfare berjalan itu sendiri tidak lain dari penopangan sistem capitalism dalam memproduksi tenaga kerja untuk mereka dan yang pasti kinerja kapitalis dalam akumulasi kapital akan terus bergerak mengeksploitasi dan dibenarkan. 


Jadi disini bukan permasalahan moral apakah pelayanan dan jaminan sosial itu baik atau buruk tetapi melihat lebih jauh lagi di belakang welfare ini terdapat struktur destruktif Capitalismenya yang siap menjadi ancaman tersendiri.


Bagaimana dengan reduksi kemiskinan? Secara struktur welfare state tidak dapat mengurangi kemiskinan secara signifikan dengan waktu yang lama karena cacat sistem tadi. Pengurangan kemiskinan hanya sekedar wacana karena naiknya statistic GDP maupun GDP berpararel dengan naik angka/kualitas kemiskinan (khususnya bagi negara dunia ke tiga). Tetapi harus diakui negara memberikan fasilitas ekstra kepada masyarakatnya dibandingkan negara yang tidak menganut sistem tersebut.


Dari segi makro, welfare tidak akan bertahan lama karena penggerogotan perekonomian oleh pemodal (kapitalis) dengan hanya mencari keuntungan dapat mendeterminasi perekonomian sektor makro. Apabila sentiment sedikit saja, maka mereka tidak segan-segan untuk menarik investasinya bagi negara tersebut. Kelemahan dasar ekonomi capitalism dalam berjejaring dan saling bergantung dalam sistem dunia terutama menguatnya “pasar” dalam globalisasi. Ini dapat terlihat pada skema krisis financial Eurozone Eropa dimana krisis meng “hit” hampir semua negara-negara di Eropa misalnya Spanyol dan Italy apalagi Yunani begitu keteteran dalam menghadapi krisis dan tekanan domestik agar “cut” itu tidak diberlakukan karena sampai “cut” gaji PNS dan perusahaan yang menghindari rugi melakukan pemecatan massal.Welfare bisa bertahan dengan prasyarat keuangan negara stabil dan konsolidasi kelas pengusaha jika suatu saat taxes/pajak dinaikkan untuk menolong anggaran belanja. Tetapi opsi tersebut butuh power yang kuat karena jika pengusaha lokal membawa uangnya untuk investasi di luar (dinegara berkembangn dengan bunga utang yang tinggi) maka negara tempat para pengusaha tersebut tinggal akan kehilangan pundi dari local saving/tabungan domestik.


Jadi kerentanan akan krisis karena masih dalam struktur financial jejaring Capitalism oleh “pasar”. Hal itupulah lah yang akan meningkatkan pengangguran, kenapa? ketika perekonomian terdistorsi/melambat karena krisis maka eksport berkurang atau daya konsumsi menurun akibatnya profit perusahaan menurun à pemecatan buruh, akibatnya negara krisis (dalam hal mata uang, pemasukan maupun tingginya angka pengangguran) oleh problematika siklikal-siklikal tersebut. Ini merupakan cacat bawaan sistem ekonomi capitalism.



Akibatnya skema “cut” menjadi andalan dan paling berimbasnya ke masyarakat kecil/proletar dan ini menjadi social-political cost tersendiri sebagai efek domino economic cost yaitu riot dan protest akibatnya perekonomian dalam hal ini jalan dalam kondisi “double-slow”. Pemerintah dilemma akan menjadi suatu pemandangan yang umum dalam hal ini. Dilema yang kedua dalam jejaring financial skema “bantuan” itu pemberi “negara” akan memikirkan dirinya sendiri. Misalnya kalkulasi social-political cost tinggi,  daripada “membantu” negara lain dengan konsekuensi terdistorsinya perekonomian lokal yang akan berdampak politik-sosial yang tinggi (riot-protest) akibatnya seperti diatas “dobuble-slow” lebih baik mempertahankan kondisi “baik” dalam negeri karena kenyamanan domestic welfare system merupakan segalanya untuk mempertahankan legitimasi atas kekuasaan politik  dan sebagainya. Hal sebaliknya berlaku pada dunia ketiga pada umumnya atau negara lain yang dalam kondisi “weak” cenderung akan memenuhi prasyarat apa saja yg diberikan program bantuan agar mengatasi neraca defisit dan lemahnya investasi.



Ketika kondisi normal (ekonomi stabil) sistem ini masih berada dan menjebak massa dalam stage false consciousness atau kondisi unconsciousness , tetapi ketika krisis berlakunya pribahasa german “das sich wissende wissen” bagi semua orang/massa yg paling merasa imbasnya bahwa struktur itu sebenarnya tidak lebih dari sebuah kekacauan yang dipoles-poles yang siap meledak bagai kentut (baca:bomb waktu) wkwkwkwkkk.




ada satu logic sederhana untuk dipertanyakan : Bagaimana caranya dalam capitalism anda mau mengatur orang2 rakus pencipta berorientasi laba dengan cara cepat dan besar tanpa mau kerja nyata dan keras tanpa mau rugi sepeserpun ?? ß orang2 inilah yg mengisi “pasar” modal-komoditas dsbx dan para pemberi bantuan.

Jika jawabannya : 
  • “Ada caranya” dalam sistem capitalism berarti anda sedang ber ilusi dalam mimpi  (pengawas pasar modal lah, apalah)
  •    “ Tidak usah mereka diatur” inilah yg sekarang kita alami dan krisis menjadi sebuah kepastian.
  •  “ Tidak ada caranya” maka beralihlah ke sistem lain yang lebih manusiawi secara bersama- sama.




-       -----   --------------- Ketika krisis mereka lari, ketika baik mereka menggerogoti ---- --- ---





Warning: Hati-hati ilusi !!!

An old joke has three men stuck at the bottom of a hole, each
presenting his plan to escape. I have forgotten who the first
two are, but the third is an economist. When his turn comes
he begins by saying, “First, we assume a ladder.”



















di suatu tangga di bulan suci di sebuah kamar  di sebuah kerumitan hidup di suatu kota bernama Jogja


No comments:

Post a Comment