Pages

Tan Malaka – Kekecewaan, Harry A. Poeze, dan Abu Gunung Kelud






Tan Malaka akrab serta terbiasa dengan kekecewaan dan jalan sunyi!

Tan Malaka atau Ibrahim  Datuk Tan Malaka telah hafal Al-Quran sewaktu muda. Pria kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Konsep dituliskan dalam  buku Naar de Republiek Indonesia pada 1925 sedangkaan Massa Actie pada 1926.  Tiga tahun lebih awal dari tulisan Moh. Hatta yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pledoi di depan pengadilan Den Haag – Belanda (1928) dan tulisan Bung Karno Menuju Indonesia Merdeka (1933).


Kedua buku Tan Malaka tersebut menjadi buku pegangan penting tokoh pergerakan di Indonesia.  Soekarno, Ir Anwari, W.R Supratman dan sebagainya adalah sederetan tokoh yang terinspirasi oleh kedua buku tersebut.  Tulisan Malaka dikutip Bung Karno  dalam pledoinya. W.R Supratman membentuk bait “Indonesia tanah tumpah darahku” kedalam lagu Indonesia Raya diilhami bagian akhir buku Mass Actie dimana Tan Menulis “kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya. Singkatnya Tan Malaka tokoh masyur selain Sukarno-Hatta.


Sewaktu kecil pria yang biasa dipanggil Ibra ini merupakan anak yang cerdas, gemar bermain bola, bandel dan nekat tapi tak pernah meninggalkan Sholat. Soal kebandelannya ini Tan Malaka mengkisahkan ceritanya dalam  tulisan Dari Penjara ke Penjara Jilid I. Kecerdasannya salah satunya dibuktikan pada tahun 1907 berhasil terdaftar di Fort de Kock di Bukittinggi. Fort De Kock merupakan “sekolah raja”dimana hanya anak ninggrat atau pegawai tinggi yang bisa masuk ke sekolah itu padahal ayah Tan Malaka hanya seorang pegawai rendahan tetapi karena potensi yang dimiliki Ibra para guru Sekolah Kelas Dua tidak putus asa memperjuangkan Ibra bisa sekolah ke kota benteng.



Kecerdasan Tan tidak diragukan lagi baik ilmu pasti, filsafat dan sosial di zamannya. Guru Tan ketika Tan melanjutkan sekolah di kota Harleem - Utara Belanda (akhir 1913) beberapa kali memuji kecerdasan Tan. Anggapan bahwa waktu itu orang Hindia tak pandai ilmu pasti. Kecerdasan linguistic plus pengalamannya selama kurang lebih 26 tahun di beberapa negara baik dalam rangka melanjutkan sekolah maupun pelarian Tan menguasai beberapa bahasa. Menurut Ignas Kleden berita muncul di koran Amerika di Filipina (Manile Bulettin) ketika Tan ditangkap pada Agustus 1927 “Tan Malaka seorang Bolsyewik ditangkap, dia berbicara bermacam-macam bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Tagalog, Tionghoa dan Melayu”.



Tan merupakan penulis produktif. Terdapat ciri pada tulisan yaitu pada awal ia menceritakan iklim dan konteks ketika ia menulis. Hal ini agar pembaca mengetahui apa yang menimpanya, motivasi, kondisi dan latar belakang tulisan yang bisa diraba dan dirasakan. Sekaligus menjelaskan alur petualangannya dari daerah satu ke daerah yang lain((jarak petualangan Tan 2x jarak Che Guevarra di Amerika Latin).


Karena dianggap “berbahaya” oleh Belanda (Indonesia), Inggris (Malaysia,Singapura,China) dan Amerika (Filipina) dan nantinya Jepang karena dapat mengganggu kekuasaan imperial mereka Tan terus diburu dan mengupayakan agar Tan tidak menginjakkan kaki di negara jajahan mereka. Kesendirian dan keaslian menjadi ciri khasnya

Alur pengembaraan Tan yaitu :
  • Akhir 1913
Tan melanjutkan sekolah ke Rijks Kweekschool, Harlem Belanda. Meskipun Tan bersekolah di Eropa tidak membuat ia serta merta menjadi borjuis kecil dan larut dalam suasana justru sebaliknya identitasnya menguat semangat bekerja untuk memerdekakan negaranya semakin besar.
  • November 1919       
Pulang Kampung ke Sumatera
  • 1921                        
Hijrah ke Semarang setelah sebelumnya menjadi guru sekolah rendah di  perkebunan teh Belanda. Di Semarang berkabung dengan Sarekat Islam dengan  gerakan anti-imperialisme Belanda. Menjadi guru di sekolah yang didirikan oleh Sarekat Islam dan VSTP (sarekat buruh kereta api) yang dipimpin oleh Semaun.  Perkenalan dengan Semaun menmpatkan Tan pada posisi penting. Tan juga menjadi  wakil ketua Serikat Buruh Pelikan (tambang Cepu). Kongres PKI memilihnya menjadi ketua.

Parlemen atau Soviet? merupakan tulisan Tan yang hadir waktu itu di Semarang sebagai periode awal masuknya Marxisme di daerah itu. Di Tulisan itu ia mengurai terang model sosial demokrat di Eropa yang ia sama sekali tidak setuju  atasnya. Ia juga menceritakan dengan terang kontradiksi Pan Islamisme dari dimensi  ekonomi politik dan historisnya bahwa perselisihan semakin tajam karena partai-partai Islam saling mengatakan paling berhak menjadi khalif, banyaknya varian membuat situasi tidak rukun dan nantinya bersekutu dengan negara pemodal barat. Gaya hidup khalif (Turki dan sebagainya) tidak lagi membumi malah bermewah-mewah terpisah dari rakyat. Tan Menulis secara Tuhan memang satu tetapi dalam politik sudah beratus tahun berpecah-pecah.
  • 2-6 Maret 1921
Tan mengikuti kongres Sarekat Islam di Yogyakarta dan pertama kalinya bertemu  HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Semaun dan sebagainya. Semaun dalam bukunya Sewindu Hilangnya Tan Malaka mengatakan setelah pertemuan itu keduanya sepakat membangun Sekolah Rakyat di Indonesia. Pada pertama sekolah itu dibuka ada 50 siswa mendaftar. Dua siswa berusia 14 tahun tampil membacakan janji murid dihadapan penonton termasuk orang tua mereka. Suasana mengharu biru, banyak yang menitikkan air mata. Mereka gembira kerena mendapat bekal pahlawan. Siswa terus berdatangan hingga mencapai 200 orang.Puluhan orang juga mendaftar menjadi guru.

Pada pagi hari Tan mengajar murid dan sore hari Tan mengajar dan mencetak guru. Sekolah Rakyat semarang ini akhirnya menjadi model sekolah sejenis lainnya. Bandung merupakan kota kedua tempat sekolah sejenis tumbuh dan menjalar ke kota-kota lainnya. Dimana fondasi dasar sekolah adalah sama rata (tidak ada perbedaan kelas sosial), non-diskriminasi dan non-profit (gratis)
  • 13 Februari 1922    
Dianggap berbahaya bagi Belanda, Tan ditangkap di Bandung
(Selama periode 1922-25 kesehatan Tan sangat terganggu)            
  • 2 Maret 1922
Tan dibuang ke Kupang (Timor)
  • 1 Mei 1922
Status Tan dinaikkan menjadi extemering atau diasingkan, tujuan diasingkan ke Amsterdam. 
Di Belanda menjadi calon anggota parlemen nomor 3 melalui partai Komunis Belanda.
Tan ke Jerman. Disana ia bertemu dengan Darsono (pentolan PKI)
  • November 1922
Mewakili PKI dalam konfrensi komunis internasional (Komintern). Disini Tan mengkritik metode komunis Internasional yang tidak menggandeng pihak Islam. Sikap Tan sebaliknya.
  • Januari 1923
Melihat potensi kecerdasan dan daya baca situasi yang luar biasa, karir Tan melejit, diangkat menjadi wakil Komintern untuk Asia Timur di Kanton.
  • Desember 1923      
 Tan mencapai Kanton
  • 1924
 Buku Tan yang bersampul wayang dan ia tulis dalam berbahasa Rusia berjudul  Indonezijja; eejo mesto na proboezdaj oesjtsjemsja Vostoke / Indonesia dan tempatnya di Timur yang sedang bangkit, terbit di Moscow. Pemerintah Rusia mencetaknya sebanyak 5 ribu ekspamplar pada 1925.
  • 1925                          
Tan menulis buku yang nantinya begitu terkenal di semua aktivitis kemerdekaan Indonesia, Naar de Republiek Indonesia. Tan mendengar kabar Ayahnya meninggal tanpa sempat ia kunjungi.
  • Juni 1925                  
Tan menyelundup ke Filipina untuk menyembuhkan penyakit paru-parunya
  • Awal 1926
Tan  Masuk ke Singapura, menulis buku Massa Actie memakai nama Hasan Gozali. Land reform sudah dicantumkan pada tahun tersebut sebagai sebuah program
  • Juli 1927
Setelah bercerai dengan PKI, Tan  mendirikan Partai Republik Indonesia di Bangkok
  • Agustus 1927
Gerak gerik Klandestin Tan berakhir ketika pemburu berhadiah menjebaknya di kantor El Debate suatu Malam. Ditangkap polisi Filipina. Tan dicintai rakyat dan pemipimpin perjuangan Filpina. Bahkan Tan dibawah bayang-bayang nama besar pejuang Filipina yaitu Jose Rizal dan Plaridel (Marcelo del Pillar). Filipina menjadi satu tempat isitimewa bagi Tan dan sebaliknya.
  • September 1927
Tan  diusir dari Filipina, dititipkan di kapal Suzanna tujuan pulau Amoy (Xiemen) – Cina
  • 1930
Tan  Masuk ke Shanghai (nama samara Ossario, pekerjaan samaran wartawan).
  • 1932
Tan  ke Hongkong karena terjadinya perang Cina – Jepang.
  • Akhir 1932
 Tan tertangkap di Hongkong dan di buang ke Shanghai
  • 1936
Tan kabur dari kapal ketika kapal dekat di pulau Amoy. Tan mendirikan sekolah bahasa Inggris dan Jerman di pulau Amoy.
  • 1937
Jepang menyerang pulau Amoy, Tan lari ke Rangoon – Burma
  • Agustus 1937
Tiba di Rangoon
  • September 1937
 Tan kembali ke Singapura. Di Singapura setelah usaha keras dan hidup miskin sekali pada awalnya, akhirnya Tan diterima mengajar matematika di sekolah Tionghoa.
  • Mei 1942
Tan Pulang ke Sumatera melalui Penang karena fasis Jepang menyerbu semenanjung Malaya
  • 10 Juni 1942
Tan berlayar ke Medan (nama samara Legas Hussein)
  • 7 Juli 1942
Tan meninggalkan Telokbetong menuju Jakarta. Tan memiliki selera humor yang bagus sekaligus penyatiran. Tan mengatakan rupanya waktu itu sama dengan tanggal  Ir.Sukarno meninggalkan Palembang  tapi perbedaannya kapal Ir.Sukarno ditarik oleh  kapal Jepang sedangkan kapal Tan merupakan perahu layar tak lebih dari 4 ton, tua  dan bocor. Perahu itu bernama “Sri Renyet”.
Tan menggunakan kalimat “perahu layar ini sama sekali menjadi permainan angin saja, kalau angin dari belakang majulah dia, kalau dari muka berlabuhlah dia”. Suatu humor khas Melayu yaitu berbirama mirip pantun.

Kemudian Tan mengatakan waktu pembuangan dia 2x lebih lama dari Sukarno yang 10 tahun dengan kondisi sempit dan memprihatinkan (Lihat Madilog).
  • Juli 1942
Tan tiba di Jakarta, tinggal di daerah Rajawati. Menulis Madilog, magnum opus Tan yang dimaksudkan sebagai jembatan awal memajukan dan membuka  pemikiran rakyat Indonesia agar berpikir ilmiah dan berwawasan luas karena Tan melihat kondisi objektif rakyat Indonesia masih diselimuti oleh logika mistis/mistika dan terutama Indonesia yang berpopulasi  70 juta waktu itu tiada sama sekali buku sejenis. Artinya Tan menjalankan prosedur mencari dan tidak menemukan literature review untuk buku sejenis di Indonesia.
  • 1943
Menjadi kerani di pertambangan batu bara di Bayah-Banten. Terus tiarap dan menyamar untuk menghindari tertangkap oleh kampetai Jepang. Nama samara Ilyas Hussein
  • 19 September 1945:
Menggerakkan pemuda rapat raksasa di Lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas)
  • 1 Januari 1946
Mengadakan kongres Persatuan Perjuangan untuk berperang terus melawan tentara sekutu. Menjadi sahabat dekat jenderal Soedirman
  • 17 Maret 1946        
 Tan dan Sukarni ditangkap di Madiun 1946
  • Juni 1948
 keduanya dipindahkan ke Magelang. Tan menulis buku Dari Penjara ke Penjara.
  • 6 Mei 1948
Tan menulis Getrennt Marschieren Vereint Schlagen / Berpisah Kita Berjuang, Bersama Kita Memukul. Jika diparafrase dapat berarti berpisah kita terus bergerilya apalagi bersatu kita solid.
Di buku ini bahkan Tan telah menulis program penting rakyat Indonesia membuat blok Asia-Afrika, berdiri diatass self-felp. Dapat dipastikan Sukarno yang merupakan pembaca karya Tan boleh jadi terinspirasi nantinya membuat KAA pada April 1955 di Bandung yang merupakan momentum penting bagi dunia internasional. Sayang Tan tidak dapat melihatnya, berada di belakang layar selama-lamanya.
  • September 1948
Dibebaskan dari tahanan
  • 7 November 1948
Keduanya (Tan-Sukarni) mendirikan parta Murba
  • 21 Februari 1949
Ditembak oleh Tentara Republik Indonesia di desa Selopanggung, sebelumnya Tan bersama jenderal Soedirman bergerilya di Yogyakarta tetapi Tan berpisah dengannya dengan mengarah ke Kediri.Tan ditembak oleh tentara sendiri di sebuah negara yang telah ia cita-citakan sejak sekolah di Belanda (ending yang paling menyedihkan).


Tan Malaka – Kekecewaan
(penggunaan tanda “-“ untuk menggambarkan Tan Malaka bergaris lurus dengan kekecewaan)


Percintaan

Kisah percintaan Tan Malaka dapat dikatakan tragis. Tan terlalu mencintai mimpi & cita-citanya membuat rakyat dan negara Indonesia merdeka 100% dan internasionalisme merdeka dari segala bentuk imperialisme daripada persoalan individunya. Tan telah mewakafkan seluruh raga, energi, kebutuhan biologis, jiwa dan raganya untuk suatu nasionalisme - internasionalisme yang luarbiasa dalam.
Secara ruang tiga kali ia jatuh cinta kepada wanita (Indonesia, Belanda, Filipina) semuanya kandas.  Menambah kisah revolusioner gagal cinta seperti Che Guevarra. Sampai wafat Tan Malaka tidak pernah menikah.

Perempuan pertama bernama Syarifah.  Perempuan berdarah minang ini mengecap pendidikan ala Eropa dan keduanya (Tan-Syarifah) seangkatan 1907. Karena Malaka terpilih satu dari tiga siswa berprestasi maka dipilih melanjutkan studi ke Belanda, otomatis merekapun terpisah jarak. Tan mensiasatinya dengan mencoba terus berkomunikasi melalui surat tetapi menurut Poeze tak sekalipun Syarifah membalas surat-surat Malaka dengan kata lain bertepuk sebelah tangan. 


Syarifah menganggap Tan orang aneh. Pada 1916 Syarifah menikah dengan Bupati Cianjur bernama R.A.A Wiranatakoesoema walaupun dia dijadikan istri ke tiga. Sebelumnya bupati ini telah memiliki lima anak dari dua selir. Tampaknya Syarifah ini bertipe wanita umum/mainstream yaitu minim resiko,  ingin kaya instan dan takut miskin atau Tan bukan seleranya sebagai jawaban sublimasi. 


Cinta Malaka pada Syarifah ini sangat besar bahkan ketika Syarifah diceraikan pak bupati karena alasan Syarifah tidak mampu mengikuti tata krama Sunda pada 1924 (alasan bupati mengada-ngada), Tan melamarnya dan lagi-lagi Tan ditolak. Padahal waktu itu Syarifah berstatus janda tiga anak. Kurang cinta apalagi laki-laki yang masih “rela” menggantungkan cita-cita cintanya pada janda ber-anak tiga?.  Itulah beda jauh Tan dengan kita ..heheeee


Gadis kedua bernama Struyvenberg mahasiswi kedokteran berdarah Belanda. Tetapi data mengenai ini tidak didapatkan Poeze karena dia keburu meninggal dunia. Di Manila Tan disinyalir dekat dengan Nona Carmen, anak perempuan rektor Manila yang mengajarinya bahasa Tagalog.

Ketika Tan tak lagi klandestin (sesudah Proklamasi 17/8/1945) Tan mempunyai hubungan serius dengan Paramita Rahayu Abdurrahman keponakan menteri luar negri Ahmad Soebardjo. Walaupun hubungan ini serius tetapi tidak sampai kejenjang pernikahan. Paramita yang terpaut 26 tahun dari Tan menganggap Tan terlalu besar buat dirinya. Pada 1986 Paramitha meninggal dunia tanpa pernah menikah. Mereka berdua saling mencintai tanpa sebuah ikatan formal dan sentuhan fisik yang kontinyu melainkan melalui suatu ikatan emosional yang kuat.


Tan Malaka mengatakan “semua itu katakanlah cinta yang tak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan”. Maka benarlah Poeze yang menganggap roman cinta Tan “lebih dahsyat ketimbang fiksi”. Mungkin jika dinovelkan kisah – kisah cinta Tan yang dikenal “macan” ini begitu luar biasa dan sunyi. Jika Tan Malaka menikah mungkin kisah  revolusionernya akan menyempit dikarenakan family matter.


Kepustakaan

Kepustakaan dimaksudkan buku atau tulisan lainnya. Tan dalam beberapa kali tulisannya mengesankan ia sangat mencintai buku dan tulisan. Ia sedih  ketika buku-buku yang berhasil dikumpulkannya dengan susah payah terpaksa harus hilang misalnya dibuangnya kelaut untuk menghindari pemeriksaan aparat dan pernah juga di curi. Sewaktu ia sekolah di Belanda ia "melahap" banyak buku baik sejarah dunia dan sebagainya.

Dalam Madilog, Tan menulis ketika ia dibuang pertama ke Belanda pada tahun 1922 ia diiringi oleh cukup buku. Tetapi pada saat ia menuju ke Moskow ia harus melewati Polandia yang waktu itu bermusuhan dengan komunisme. Terpaksa kepustakaan harus ia tinggalkan di Belanda.

Selanjutnya pada perang Tiongkok – Jepang, tiga hari ia terkepung di belakang jalan Nort Su Chuan. Tentara Jepang menembak dari arah North Su Chuan Road ke arah Pao Shan Road sedangkan  tentara Tiongkok dari arah sebaliknya. Ketika beberapa hari ia balik ke rumahnya, tidak ada sehelai kertaspun yang tersisa di curi oleh “lalilong” (bahasa setempat untuk pencuri). Kecintaan dan kegemaran beli buku, Tan mengatakan setelah buku-bukunya hilang tidak membuat dirinya berputus asa, kalau perlu makan minum dan pakaian dikurangi untuk membeli buku. Sekali lagi ini beda Tan dengan kita yang berkebanyakan ini..hehehee

Stelah di tangkap di Hongkong (Oktober 1932) dan dibuang ke Cina kembali (Desember 1932), Tan berlayar dengan kepustakaannya. Tetapi Tan meloloskan diri dengan lompat dari kapal ketika di dekat pulau Amoy akibatnya kembali Tan terpisah oleh kepustakaan. Tan menulis, pustaka saya berlayar ke Foechow tanpa saya.

Kemudian dari tahun 1936-7 Tan telah mengumpulkan sepeti buku. Tetapi pada saat ia berlayar ke Rangoon Burma lagi-lagi ia harus berpisah. Ia melemparkan sepeti bukunya ke laut sebelum sampai di Rangoon.

Ketika di Singapura dengan keadaan sempit, Tan mengunjungi Rafles Library disana ia meminjam buku. Jepang yang menggempur Singapura melalui udara membuat ia kesulitan dalam membaca buku karena membaca dari lubang perlindungan. Tan membaca ulang Das Capital dari lubang persembunyian tersebut.

Ketika di Jakarta, Tan membeli buku yang harus ia sembunyikan baik-baik karena dalam buku tersebut terdapat fotonya sendiri, buku Tan berkategori buku terlarang oleh penguasa kolonial-fasis. Dalam menulis Madilog, Tan menghabiskan waktu menulis buku sekitar 720 jam (kira-kira 3 jam/hari) dari 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943. Tan Malaka berminta maaf untuk kaedah penulisan ilmiah yang dalam etikanya harus mencantumkan petikan atau daftar pustaka dan sebagainya karena kepustakaan Tan tidak dapat dibawa (keadaan minim). Hanya mengandalkan ingatan.

 Buat meringkas cara Tan Malaka dalam belajar sejak kecil yaitu “jembatan keledai” (ezelbruggece) yaitu mengingat dengan menggunakan singkatan-singkatan. Tan mengkritik metode pembelajaran “menghapal” karena membuat bodoh dan mekanis seperti mesin. Yang lekat pada ingatan bukan arti-makna suatu kalimat melainkan halaman buku dimana kalimat itu tertulis. Tan lebih dahulu dari Freire, Freire-nya Indonesia. Jika meminjam cara melihat Tan maka k

 “Jembatan Keledai” ini terus dipraktekkan misalnya guru pada waktu SMA  kelas satu dulu (tahun 2000) meminta menghapal unsur kimia pada tabel periodik. Misalnya golongan II A (Alkali Tanah) Beli Mangga Campur Sirup Bagi Rata.

Kita tinggalkan memori saya, ini tentang Tan. Sori numpang eksis sebentar. :D.. hihiiii peace


Seputar Pra dan Paska Proklamasi 

Kita semua mengetahui bahwa buku-buku Tan telah beredar dan semacam menjadi buku pedoman gerakan di Indonesia. Secara singkat, disetiap subjek revolusioner awal kemerdekaan Indonesia, buku Tan menjadi bacaan wajib. 

Mimpi dan cita-cita Tan tentang Indonesia Merdeka 100% jauh sebelum Indonesia merdeka. Dan ketika Tan secara ruang dan waktu dekat dengan peristiwa  bersejarah Indonesia yaitu proklamasi Tan justru tidak mengetahuinya dan tidak berada di panggung utama nan tinggi itu. Tan berada di belakang layar berada di jalan raya biasa bersama rakyat biasa. 

Dalam Tempo edisi khusus dan tulisan Poeze dijelaskan Tan menginspirasi tokoh pemuda untuk melakukan tuntutan proklamasi secepatnya dan bukan melalui mekanisme pemberian Jepang.  Tan  bernama samaran Ilyas Hussein (dari Bayah-Banten Selatan) mendatangi rumah Sukarni (tokoh pemuda) di Jalan Minangkabau, Jakarta awal Juni 1945. Di rumahnya telah ada Chairul Saleh, B.M Diah, Anwar, dan Harsono Tjokroaminoto. Setelah sedikit basa-basi Hussein (Tan) memberikan analisanya tentang Jepang bahwa kondisi Jepang telah dujung tanduk. Analisa Hussein tersebut membuat Sukarni terpukau karena pemikirannya persis dengan tulisan Tan Malaka. Setelah mendengarkan analisa, Sukarni menimbang dan semakin mantap proklamasi harus segera diumumkan. Menurut Adam Malik, pada saat rapat lainnya analisis Hussein mempengaruhi Sukarni untuk mendesak proklamasi  dan semuanya setuju. Usia Tan/Hussein waktu itu 48 tahun jika dikategorikan umur pada waktu Tan termasuk tokoh tua.


Karena identitas Hussein yang tidak diketahui banyak sementara analisanya brilian tokoh pemuda menjaga jarak dengannya. Hussein pada beberapa rapat mengatakan kita bukan kolaborator dan hal itu sejalan dengan sikap pemuda yang bersebrangan dengan tokoh tua terutama Sukarno-Hatta yang bersikap lunak serta prosedural yaitu menginginkan proklamasi dilakukan melalui PPKI.


Hussein kembali menemui Sukarni pada 14 Agustus 1945 sore. Tetapi suasana rumah Sukarni sangat ramai dan Sukarni sibuk. Hussein tidak tahu bahwa Sukarni dan Chaerul akan mengamankan Sukarno-Hatta (peristiwa Rengasdengklok)  dalam melakukan tekanan agar proklamasi dilakukan sesegera mungkin.  Akibat  keadaan yang hiruk pikuk dan tidak mendapatkan perhatian Tan meninggalkan rumah itu.


Upacara proklamasi 17/8/1945 di jalan Pegangsaan Timur 56 (pekarangan rumah Sukarno) dilakukan singkat dan Jepang melarang disebarkan luaskan melalui surat kabar dan radio. Tan baru mengetahui adanya proklamasi  melalui orang-orang di jalan yang ramai membicarakannya. Menurut Poeze, terbatasnya peran Tan yang pertama kali menulis dan menggagas negara republik Indonesia  itu sungguh ironis. Adam Malik dalam buku Riwayat Proklamasi Agustus 1945 mengatakan kejadian itu sebagai “kepedihan riwayat” dimana Sukarni yang bertahun-tahun membaca karya Tan dan disaat penting ia membutuhkan orang sekaliber Tan justru Sukarni enggan bertanya siapakah Hussein ia malah membiarkan Tan pergi jalan kaki, lepas dari pandangan mata. :'(


Tan juga tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya “rupanya sejarah  proklmasi 17 agustus 1945 tidak mengizinkan saya campur tangun, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini saya sesalkan tetapi sejarah tidak memperdulikan penjelasan seorang atau segolongan manusia”. Sebuah kisah sepi ditengah kebahagiaan di depan mata dan diakhiri dengan kalimat terus semangat. 


Tan berperan signifikan dalam peristiwa rapat raksasa Lapangan Ikada baik secara ide dan fisik. Pada 25 Agustus Tan datang ke rumah Ahmad Subardjo, keduanya telah bertemu lama pada 1919 di Belanda. Sejak itu Tan diperkenalkan kebeberapa tokoh seperti Iwa Koesoema Soemantri, Gatot Taroenamihardjo dan sebagainya. Pemuda terus bergerak melihat pemerintahan baru tidak optimal, Adam Malik berkata mereka cuma kumpul-kumpul di gedung Pegangsaan seperti tidak ada rencana”.


Pemuda prodemonstrasi seperti Sukarni mengatakan ini saat yang tepat untuk mempraktekkan Massa Actie (tulisan Tan). Mereka membentuk komite Van Actie mengambil sarana transportasi dan mengibarkan bendera putih dimana-mana. Di tempat yang lain Soebardjo saat itu menteri luar negri meminta nasihat Tan perihal propaganda melalui semboyan-semboyan. Tan ikut mengusulkan kata-katanya kemudian semoboyan itu ditulis di dinding, disebarkan di kereta api, dan menyebar keluar Jakarta dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar attraktif.


Sejak itu Sukarno mendengar kemunculan Tan dan berusaha mencari Tan. Pada waktu itu banyak Tan palsu (maklum Tan bak selebritas revolusioner). Kedua tokoh tersebut melakukan pertemuan diam-diam pada awal September 1945 yang menjadi sumber munculnya testamen politik bahwa “bila Soekarno-Hatta tidak berdaya lagi, pemimpin perjuangan akan diteruskan oleh Tan, Iwa Koesoema, Sjahrir dan Wongsonegoro”. Testamen ini nantinya tidak disetujui oleh Hatta dan akhirnya dirobek sendiri oleh Sukarno karena menjadi sumber gonjang-ganjing.


Tan kemudian menyetujui ide pemuda Menteng 31 dan mengusulkan agar demonstrasi dilakukan besar-besaran untuk mengukur seberapa kuat rakyat Indonesia mendukung proklamasi. Ide ini melecut pemuda untuk membuat rapat akbar di lapangan Ikada. Usul pertama rapat tanggal 17 September tetapi tertunda dua hari kemudian pada 19 September 1945.


Lapangan Ikada ini menjadi hal yang mengecewakan Tan atas sikap Sukarno tetapi tidak menjadikan mereka bermusuhan.  Massa berbondong-bondong datang kelapangan Ikada, kurang lebih 200.000 orang menghadirinya ditengah senapan mesin Nippon diarahkan ke massa. Pemuda mengusulkan agar Sukarno hadir tapi mulanya Sukarno menolak. Sidang kabinet terbelah sebagian menteri setuju hadir dan yang lainnya menolak karena takut ada pertumpahan darah yang besar antara Jepang-rakyat. 


Rakyat yang sudah memadati lapangan dari pagi hari harus menunggu berjam-jam. Sekitar pukul 4 sore Sukarno baru memutuskan datang. Tetapi yang Tan sayangkan pidato Sukarno tidak berapi-api dan hanya singkat 5 menit yang tujuannya menentramkan. Massa diminta membubarkan diri dan pulang serta percaya pemerintahan. Hasil dari demonstrasi itu mengecewakan, Tan berpendapat “tidak mencerminkan massa aksi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rayat”. Bagi kubu Sukarno sendiri hal tersebut untuk menghindarkan kontak fisik Jepang dan rakyat waktu itu.

PKI 

Melalui propaganda golongan kiri orde Soeharto terus berusaha menghilangkan sosok Tan,  Asvi Warman Adam mengatakan namanya dihilingkan dari buku pelajaran sejarah di sekolah. Sampai sekarang masih banyak menganggap Tan masuk dalam PKI sampai ia wafat.

 Pada mulanya Tan memang elit partai PKI tetapi semenjak pertikaian Muso cs dan Tan dalam peristiwa pemberontakan 1926-7 Tan keluar dari PKI. Tan sama sekali tidak menyetujui adanya usulan kelompok kamerad-kamerad pada rapat di Prambanan untuk pemberontakan serikat buruh di tiga kota (Surbaya, Medan dan Batavia) tersebut. Tan  menyatakan pendapat ketidaksetujuannya kepada Alimin  yang menemuinya di Filipina pada Januari 1926. 


Alimin dan Musso yang merupakan dua pendukung utama gerakan tersebut malah jalan terus. Pemberontakan itu dimulai pada 12 November 1926 berakhir padam pada 12 Januari 1927. Alimin melemparkan kesalahan kepada komintern yang tidak mendukung. Semenjak itu Tan cerai dengan PKI sehingga Tan mendirikan Partai Republik Indonesia di Bangkok pada Juni  1927 bersama Subakat dan Jamaludin Tamin. Partai menurut Tan harus terus ada sebagai alat perjuangan tetapi model parlementer borjuis dan sosdem harus dihindari.


Karena tidak mendapati dukungan Tan, kemudian hari PKI melimpahkan kesalahan pada Tan dengan menganggap Tan salah satu penyebab kegagalan aksi pemberontakan tersebut. Bahkan ketika Muso pulang ke Indonesia pada 1948 mengatakan bila ia punya kesempatan pertama kali akan menggantung Tan. Elit PKI kemudian hari melabel Tan seorang Trotsky pengganggu Stalin. Hal ini dilihat pada tiga puluh kemudian Aidit mengatakan disamping penyebab kegagalan yang lain ada Tan Malaka tidak berbuat apa-apa dan hanya menyalahkan, Aidit menyebut Tan sebagai Trotskyite.


Sebelumnya pada Januari 1923 Peter Bergsma seorang elit PKI tidak menyetujui pengangkatan Tan sebagai pengawas komunis Asia Timur. Baik Bergsma Semaun, Alimin dan Musso berpendapat terlalu cepat Tan menduduki posisi setinggi itu. Tidak dipungkiri dalam sebuah organisasi terdapat rivalitas individual.

Di saban hari PKI bersatu dengan PSI dengan sayap kiri, menyetuji dan mendukung persetujuan Linggarjati 1947. PKI masuk dalam gerbong Mr.Amir Syariffuddin mendatangani Perjanjian Renville 1 Januari 1948 sedangkan Tan Malaka menolaknya.

Kemudian setelah partai Murba (Tan menyebut proletar dengan sebutan Murba) berdiri September 1948 dan PKI sedang lagi merosot-merosotnya karena peristiwa pemberontakan Madiun 1948 kedua partai ini merupakan rival yang berhadap-hadapan baik dalam tataran ide, metode ataupun aksi. PKI khawatir partai Murba akan membesar disaat partainya merosot.  Tan dan elit PKI  berkonflik.  Kata Asvi, pada awal orde Soeharto Adam Malik dari partai Murba menjadi menlu tetapi tidak banyak berpengaruh pada partai. Setelah Soeharto jatuh, partai Murba menyebut diri dengan Musyawarah Rakyat Banyak dan beroleh suara kecil hanya 0,06 persen atau 62 ribu suara pada pemilu 1999.

Jika masih ada yang mengatakan Tan Malaka sampai akhir khayatnya berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia seperti yang belakangan ini santer terdengar, sudahlah tinggalkan saja. 


Seputar Negosiasi dengan Belanda

Dalam kacamata Tan, inilah permanent disappointment/kekecewaan terus menurus dimana ia menginginkan 100% merdeka terutama setelah proklamasi. Tan menolak segala bentuk kompromi, tidak ada negosiasi dengan pencuri di rumah sendiri kata Tan.  Dengan keteguhan memegang prinsip dan metode ini kita mendapati sosok Tan amat teguh, berkarakter sekaligus berbeda dengan elit kemerdekaan yang lain.

Bagi yang melihat sosok Sukarno-Hatta dan beberapa elit seperti Sjahrir seorang yang solid tanpa celah, Tan tidak begitu. Sebagai seorang senior dan tanpa mengurangi respect Tan pada mereka, berkompromi dengan Belanda merupakan jalan yang lemah dan terutama melemahkan perjuangan rakyat. Tan beranggapan harus terus melawan oleh karenanya Tan nantinya menjadi akrab dan bersahabat dengan jenderal Soedirman yang berprinsip dan berpandangan sama sebagai orang lapangan yang terbiasa miskin dan susah. Ini bukan hanya masalah permanent revolution ala Trotsky tetapi kondisi riil yang dilihat Tan dimana rakyat dan pimpinan militer siap mempertahankan tanah air dan diplomasi-negosiasi membuat semuanya "lemah syahwat" "ejakulasi dini".


Kekecewaan ini bisa kita lihat di tulisan Tan berjudul Gerpolek (Gerilya  Politik Ekonomi) (tulisan dalam penjara Madiun 17 Mei 1948)  dimana Tan menulis sepenuhnya kedaulatan telah tercerai berai dan wilayah,kekuatan dan sebagainya menyusut akibat negosiasi. Perjanjian Linggarjati menurut kalkulasi Tan menyusutkan daerah dari sebelumnya tanah seluas 700 ribu mil persegi susut 30% sehingga luasnya cuma 210.000 mil persegi. Perjanjian Renville lebih jauh menyusutkan yaitu hanya tersisa 5% dari tanah dan air/laut seluruh Indonesia. Begitu juga dengan faktor penduduk, perhubungan, militer, sosial politik dan  ekonomi. Akhirnya dari semua itu menyusutkan segala kekuatan dan memisahkan rakyat satu dengan yang lainnya dengan demarkasi. Jelas Tan dan jenderal Soedirman yang berpegang 100% Indonesia merdeka sangat kecewa.


Penahanan Tan pada masa Sjahrir merupakan efek dari perseteruan kubu “lunak” diplomasi dengan keras “gerilya”.  Asvi menjelaskan sejak tahun 1946 Tan menentang diplomasi yang merugikan, Tan menganggap negosiasi baru dapat terjadi jika sudah diakui 100% merdeka. Artinya merdeka dulu baru negosiasi jangan dibalik. Tan memimpin Persatuan Perjuangan yang merupakan afiliasi 142 organisasi sosial politik termasuk didalamnya jenderal besar Soedirman. Sikap ini menjadikan Tan berhadapan diametral dengan pemerintah resmi pimpinan Sjahrir. Tan ditangkap dan dipenjarakan pada Maret 1946 – September 1948 atas perintah Amir Syarifuddin. Ironis, ia dipenjarakan dalam negeri lebih lama daripada ia dipenjara pihak Belanda, Amerika dan Inggris.


Narasi yang sampai dibanyak orang ialah Tan “membahayakan” negara dan percobaan kudeta. Inilah narasi resmi pemerintah waktu itu,  karena takut kegiatannya akan menciderai perundingan dan membahayakan  legitimasi Sjahrir. Tetapi jika kita mengetahui kondisi objektif yang terjadi waktu ialah konstalasi tinggi internal pemerintah dengan orang “lapangan” maka pandangan bisa lebih jernih melihat persoalan. Tergantung mata siapa yang kita pakai untuk melihat. Di tulisan ini jelas standpoint adalah mata Tan.


Dalam Tempo dijelaskan, Sjahrir pun mempunyai banyak masalah ketika ia naik ketampuk pemerintahan. Sjahrir mengkampanyekan politik diplomasi dan pada sebuah pamphlet Perjuangan Kita Sjahrir mengatakan kelak akan menyingkirkan kolaborator Jepang. Pemflet itu menohok beberapa elit periode Jepang yang tergabung dalam PETA. Perselisihan menjadi runcing ketika Sjahrir naik menjadi PM dan mengubah sistem politik presidensial menjadi parlementer. Hatta dan Jenderal Soedirman turut berselisih paham dengan Sjahrir. Akibatnya Jenderal Soedirman merapat kepada Tan vice versa. 

Dalam kontestasi politik lokal tersebut terdapat pula orang minang lain yaitu Muhammad Yamin dengan memprotes keras politik diplomasi Sjahrir. Akhirnya Sjahrir mundur dari kursi PM 28 Februari 1946. Situasi mereda tidak berlangsung lama, Sukarno kembali menunjuk Sjahrir melanjutkan diplomasi. Tan-Sudirman kecewa bertubi-tubi, para pemuda sempat menembaki mobil Amir Syarifuddin yang akan masuk Istana Negara. Saling Tangkap terjadi, kubu Sjahrir-Amir memerintahkan penangkapan Tan dan tokoh persatuan lain karena selain dianggap membahayakan posisi akan menggagalkan upaya diplomasi yang terjadi sedangkan kubu Soedirman memerintahkan pasukan menangkap Sjahrir.  Ketika Sukarno turun tangan konflik tidak begitu saja mereda bahkan sampai Tan Malaka terbunuh. 


Poeze berpendapat saling silang orang minang ini (Sjahrir, Tan, Hatta) disebabkan banyak faktor salah satunya jika ditelusuri dari lingkungan akan memperlihatkan kelas-kelas. Meski sama belajar Marxisme, Tan secara ekonomi miskin, sedangkan Sjahrir – Hatta kelas menengah. Tan orang udik, Hatta dari Bukittinggi dan Sjahrir dari Padangpanjang dari keluarga pedagang. 


Ketika elit negri diasingkan ke Bangka (Sukarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim dan sebagainya) kedua sahabat ini bergerilya,  Jenderal Soedirman  di jawa Tengah dan Tan ke Kediri.  Poeze berpendapat Tan tidak selalu solid/tanpa celah, terdapat kesalahan terbesar Tan ketika ia bergerilya ke Kediri dengan bergabung dengan satu brigade divisi IV TNI pimpinan Sabaruddin. Poeze berpendapat Tan yang ahli strategi bisa salah dalam memilih patner karena Sabaruddin dikenal psikopat.

Kemudian waktu itu Tan juga bersitegang dengan mengkririk tentara divisi Jawa Timur pimpinan Soengkono. Akibatnya Soengkono menugasi Soerachmad  komandan battalion Sikatan yang bertugas di Kediri untuk "menyelesaikannya:. Ketika pasukan Soerachmad bergerak ke arah Tan, bersamaan pula muncul serangan Belanda akibatnya keadaan kocar-kacir. Tan berhasil lari dikawal enam orang anak buahnya tetapi mereka melewati daerah yang dikuasai battalion Sikatan.

 Di Selopanggung Tan bertemu dengan regu Soekotjo dan ditangkap. Akibatnya menurut Poeze perintah Soengkono (pimpinan divisi Jawa Timur) yang tidak detail membuat simpang siur bawahannya. Dalam perintah radiogram Soengkono, "Tan Malaka berbahaya dan harus dihentikan dan jika ada perlawan bisa dipakai hukum militer". Oleh karena inilah Soekotjo menafsirkan perintah itu sebagai tembak mati.

Menurut Poeze, Tan dieksekusi di dusun Selopanggung, Semen – Kediri pada tanggal 21 Februari 1949. Mendengar berita itu Sukarno, Hatta bersedih mereka (elit pemerintah) walaupun berbeda metode tetapi Tan merupakan senior mereka. Hatta kemudian memecat Soengkono sebagai panglima divisi Jawa Timur. Soekarno tak mau kalah, Tan diangkat menjadi pahlawan nasional pada 28 Maret 1963. Serial kematian versi Poeze yang kontemporer banyak dipercaya daripada versi yang lain.


Harry Albert Poeze merupakan sejarawan yang telah meneliti Tan semenjak 41 tahun yang lalu. Ibaratnya musik rock progressive banyak band yang bisa memainkannya dan mengetahuinya tetapi tidak ada yang setelaten, serapi dan sekonsisten Dream Theatre. Dalam sejarah Indonesia terutama untuk Tan, diantara banyak sejarawan Poeze adalah sang Dream Theatre itu. Poeze telah mendidikasikan diri dan intelektualnya dengan sentralitas Tan. Bahasa gaulnya, Poeze adalah sejarawan yang niat bangetttt ke Tan.


Pada tahun 1976 (saya belum lahir tentunya) Poeze sudah menulis disertasi tentang Tan berjudul Tan Malaka Strijder voor Indonesie's vrijheid: Levensloop van 1897 tot 1945 (Jika diartikan, Tan Malaka, pejuang bagi kemerdekaan Indonesia, hidupnya dari 1897 sampai 1945). Bahkan untuk mengetahui tinggi badan Tan, Poeze menyelidiki sampai di Hongkong dimana Tan permah ditangkap. Poeze juga mengupayakan uji DNA dengan swadaya mendatangkan dokter-dokter ahli dan membawa keluarga Tan. Teka teki kematian dan kuburan merupakan penemuan penting dari penelitian Poeze. Semua itu hasil kerja yang luar biasa dan apresiasi yang tinggi dengan membaca karyanya. Dan sungguh berbahagia orang yang mendengar langsung Poeze melalui diskusi dimana Poeze sekarang berada di hari tuanya. Kedepannya ditunggu apalagi yang ditemukan Poeze. Di dalam diskusi terdapat relasi speaker - listeners, guru - murid, teman diskusi-pemateri dan sebagainya.


Disaat Sukarno-Hatta penuh hormat kepada Tan, sebagian besar sejarawan Indonesia (baik orang Indonesia dan Non) mengakui peran beran besar Tan, ada juga orang dan kelompok hari ini yang sekonyong-konyong ingin menghapuskan Tan dari sejarah dan tidak memperbolehkan masyarakat belajar dengan sejarahnya persis orde Soeharto.  Cara yang dilakukan pun intimidatif, penuh terror dan propaganda  yang tidak-tidak.

Salahkah orang mengenal Tan? seorang yang bergelar pahlawan nasional yang diberikan Sukarno


Jika kelompok itu mau secara fair, lakukanlah penelitian yang berdurasi, berkualitas dan berkonsistensi seperti yang Poeze lakukan. Ambillah satu tokoh, potret kehidupannya, telusuri setiap tempat yang ia datangi, jika sulit mulailah dari pertanyaan berapa tinggi badan tokoh yang anda teliti itu. Jika dimulai pada tahun ini (2014) berarti mereka bisa memperkenalkan temuan-temuannya pada khalayak ramai sekitar tahun 2051. Dan ketika waktu itu dengan semangat dan sisa hidup yang tersisa, terus dicegah dengan orang yang tidak mengetahui jelas tentang temuan ilmiah anda dan menuduh macam-macam,  mungkin hari itu baru mereka sadar apa yang telah dilakukannya pada hari ini.


Para propagandis meniupkan alur ini kira-kira:
Tan diperkenalkan, orang-orang disusupi pikiran kiri, maka gerakan kiri membesar berakibat konflik masyarakat, pancasila berubah negara ambruk.

Itu suatu cara menyusun alur pikir dan menarik kesimpulan dengan hanya mengikuti nafsu tuduhan saja. Apalagi hanya membaca judul buku Poeze tidak membaca isinya. Tenang saja, massa yang memadati bioskop antri tiket Ainun-Habibie, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi ,The Avenger atau orang-orang yang terpukau pada kalimat bijak sekaligus komersil ala Mario Teguh atau yang antri tiket konser JKT 48 selalu lebih banyak kok daripada orang-orang yang tertarik mengetahui sejarah.

Dan jika logika pikir itu dipertahankan, sama saja dengan premis dan penarikan kesimpulan dari kalimat dibawah ini:

Kucing naik meja mencari ikan, kucing mendapat ikan, seisi rumah gaduh karena ikan hilang akibatnya rumah tetangga sebelah ambruk. Kesimpulan "rumah tetangga ambruk dikarenakan kucing" sama dengan GAK NYAMBUNG !!

Kesimpulannya bersifat  contradictio determinis – membantah dirinya sendiri


Lagian hari gini, sapa juga yg mau merubah-rubah itu Pancasila pak -_-" seperti nda ada kerjaan lain. Percayalah gerakan apapun yang mencoba mengganti Pancasila itu bunuh diri pak. Sampai negara Indonesia tetap ada begitu pula Pancasila. Stay cool aja...

Lambang Garuda Pancasila saja tetap terpasang dikelas-kelas sekolah, gak ada yang mau bawa pulang....gak ada yang mau rebut Pancasila ..heheee (becanda)


Mungkin kekecewaan Tan sekarang menjadi-jadi berhubung ia termasuk dari salah satu perintis sekolah rakyat Sarekat Islam, karena bangsa ini tidak kunjung pintar. Ditengah mudahnya mendapatkan akses informasi, buku dan sebagainya. Malah mistis, dogma dan mental inlander yang menjadi-jadi.


Ketika Tan ditangkap di Hongkong 1932, Tan  mengatakan “suaraku di dalam kubur lebih keras daripada suara saya dari atas bumi”. Jika dibaca karya-karyanya telah banyak proyeksi Tan yang benar.


Seorang yang secara ide khatam dan rapat, pengalaman bervariasi, metode solid, pembacaan dan kalkulasi kondisi akurat, aksi langsung ksatria, meninggalkan kesenangan individu, teguh pendirian, berkarakter dan tanpa kompromi atas segala sesuatu yang dipikirnya benar, mencita-citakan merdeka 100%, pantaslah ia mendapat gelar kepahlawanan. Seorang yang ahli sejarah, filsafat dan ilmu sosial lainnya termasuk hubungan internasional, seorang guru bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Rusia, Tionghoa dan matematika yang baik. Seorang  internasionalis melalui pintu nasionalis, seorang marxis relijius.


Semoga Abu gunung kelud yang meliputi beberapa daerah akhir-akhir ini bisa segera teratasi. Pandangan bisa lebih jernih lagi, tentram dan sehat. Semoga pikiran yang kabur, penuh curiga dan sebagainya bisa jernih sejalan dengan hilangnya abu yang meyelimuti daerah.


DAFTAR PUSTAKA

Meminjam kalimat Tan Malaka, dengan ini saya mau singkirkan semua persangkaan bahwa tulisan ini semata-mata terbit dari otak saya sendiri. Sebagian besar sumber disadur dari:
  • Tempo edisi Tan Malaka Agustus 2008, 
  • Tulisan – tulisan Tan Malaka, dan 
  • Buku jilid ke 3 Harry A. Poeze.

















Jogja 21 Februari 2014

Memperingati 65 tahun (21 Februari 1949) ditembaknya Ibrahim Datuk Tan Malaka di Kediri oleh orang yang sebangsa dan didalam negara yang teramat dicintainya












1 comment: